Posisi Buku Teks dalam Rancangan Kurikulum 2013

Kategori Pendidikan Oleh
Pendidikan

Oleh: Sawali Tuhusetya

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyusun buku pegangan untuk Kurikulum 2013. Rencananya, tanggung jawab buku tersebut akan terpusat pada tim penyusun yang dibentuk Kemendikbud. Penerbit-penerbit lain hanya akan memiliki hak untuk menggandakan, bukan menulis buku baru.

“Buku tidak kita serahkan ke siapa pun, tapi oleh tim yang kita bentuk sendiri. Harus ada penanggung jawab yang utama. Yang lain cuma tinggal mencetak saja. Kita pastikan dulu ini beres, urusan siapa yang mencetak itu urusan belakangan,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, sebagaimana dilansir news.detik.com.

Mendikbud menegaskan, kebijakan pertanggungjawaban terpusat atas buku pegangan guru dan siswa diimplementasikan untuk menanggulangi kesalahan penerbit-penerbit buku pelajaran. Selain itu, kata Mendikbud, dengan ditetapkannya satu buku acuan bagi peserta didik, maka akan meringankan siswa-siswi sendiri dalam membeli buku. Selama ini siswa-siswi masih dibebani dengan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang harus dibeli terpisah.

buku teksBisa jadi, kebijakan Mendikbud ini sekaligus menandai berakhirnya era Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang pernah diterapkan oleh Mendiknas, Bambang Sudibyo, sejak tahun 2007 yang lalu. Permendiknas Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008 pun diluncurkan untuk memuluskan langkah dan terobosan baru yang memiliki jargon “buku sekolah murah untuk rakyat” tersebut.

Pada kenyataannya, langkah dan terobosan Pak Menteri yang dianggap visioner tersebut justru tidak populer. Masih sangat sedikit, bahkan langka, sekolah yang dengan amat sadar memanfaatkan BSE sebagai buku teks utama di sekolah akibat kendala dan keterbatasan akses internet. Imbasnya, buku-buku teks bermutu makin sulit didapat. Penerbit pun jarang yang sanggup mencetaknya karena ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) versi pemerintah yang dinilai tidak memberikan keuntungan finansial. Sangatlah beralasan kalau kesenjangan kompetensi peserta didik antarsekolah, daerah, dan wilayah ketika Kurikulum 2006 diberlakukan makin melebar. Peserta didik yang tinggal di daerah perkotaan makin kencang melaju dalam memenuhi hasrat keilmuan akibat lengkapnya fasilitas teknologi virtual, sementara mereka yang tinggal di daerah-daerah pinggiran dan daerah tertinggal yang tak tersentuh jaringan internet hanya bisa “gigit jari”.

BSESelain itu, era BSE juga telah membuat banyak penerbit gulung tikar. Penerbit yang selama ini setia menerbitkan buku teks dengan amat terpaksa harus beralih menerbitkan buku-buku umum. Persaingan dalam dunia penerbitan yang begitu kompetitif tak jarang membuat penerbit harus mem-PHK karyawannya. Bahkan, sebagian di antaranya hanya tinggal “papan nama”. Makin terbukti bahwa BSE bukanlah pilihan yang tepat untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas secara adil dan merata. Puluhan, bahkan ratusan penerbit yang selama ini ikut menopang tumbuhnya budaya literasi di negeri ini pun terpaksa harus kehilangan peran dalam menciptakan atmosfer dunia perbukuan yang sehat dan mencerahkan.

Kini, ketika muncul kebijakan baru tentang buku teks seiring dengan rencana diberlakukannya Kurikulum 2013, era sentralisasi buku teks kembali menggema. Penyusunan dan pencetakan buku teks dikontrol dan dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah cq Kemdikbud. Jauh sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan, secara marathon para penyusun buku teks telah menyiapkan buku teks utama yang kelak akan dijadikan sebagai buku acuan utama di sekolah. Penerbit hanya berhak untuk menggandakannya.

Pada satu sisi, kebijakan buku teks semacam ini diharapkan mampu mengikis kesenjangan kompetensi peserta didik antardaerah dan wilayah. Semua peserta didik pada setiap jenjang menggunakan buku teks yang sama. Guru pun dibekali buku pegangan yang sama. Strategi, metode, model, bahkan langkah-langkah pembelajarannya sudah tersusun secara rinci dalam buku pegangan itu. Guru hanya tinggal melaksanakan apa yang tersurat dalam buku pegangan. Peserta didik di seluruh wilayah nusantara pun mendapatkan “asupan” materi pembelajaran dan soal-soal uji kompetensi yang sama dalam buku teks. Tak ada lagi alasan hasil kompetensi peserta didik dalam ujian nasional bermutu rendah. Kalau toh itu terjadi, pasti gurunya yang salah karena gagal mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran dengan baik.

Namun, pada sisi yang lain, penyeragaman buku teks bisa menyebabkan terjadinya kemandulan kreativitas, baik bagi guru maupun peserta didik. Nilai-nilai kearifan dan genius lokal yang diharapkan mampu meneguhkan dan menguatkan karakter serta kepribadian siswa justru makin tercerabut dan sulit dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pada sisi ini, penyeragaman buku teks hanya akan melahirkan generasi “robot” yang serba patuh dan penurut. Guru dan siswa menganggap apa yang tersurat dalam buku teks dan buku pegangan guru ibarat “kitab suci” yang tabu dibantah dan diperdebatkan. Imbasnya, dinamika keilmuan akan makin “stagnan” karena peserta didik tidak dibudayakan untuk bersikap kritis dan kreatif.

Senyampang masih ada waktu untuk berbenah, tidak ada salahnya kalau kebijakan sentralisasi buku teks, hanya dijadikan sebagai sebuah model. Selebihnya, berikan kesempatan kepada para guru untuk menerjemahkan materi ajar dalam kurikulum sesuai dengan dinamika keilmuan dan nilai-nilai kearifan lokal secara kontekstual. Sungguh naif kiranya kalau melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan berkarakter tangguh hanya mengandalkan sebuah buku teks yang sudah diseragamkan. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

29 Comments

  1. kami sangat mengharapkan semoga buku kurikulum 2013 cepat2 beredar ke-sekolah2. tapi benr – benar gratis neh. heeee. kalo dipake dana BOS kelamaan. untuk Rasio satu siswa satu buku. pihak sekolah juga sangan sulit mencari buku yang sama dan kalau beli sekaligus 1 : 1 siswa dana bos kami kagak cukup. trim
    satu lagi pak. untuk pelajaran PKN kemb

  2. dana Buku, dana Sosialisasi, dana kurikulumnya itu alat untuk mencapai tujuan yg berupa pisik, tapi bagai mana dengan sumber daya manusianya yang sudah terkontimasi oleh prilaku pengelola negara yang syarat materialistik,konsumtip dan korup. guru kan manusia yang tak punya apa2 tak punya materi, tak punya senjata, tak mau berteriak demo,sementara di tingkat pengelola negara masih terdengar penyelewengan, menyalahkan gunakan jabatan korup dll. seharusnya gunakanlah uang itu untuk pembinaan mental, materi dan kewibawaan guru sehingga gurulah yang menjadi panutuan di negeri ini, baru sukses pendidikan, karena siapaun malu dengan guru. Guru masih kecil nyalinya dibandingkan tukang surat di perkantoran

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top