Santhet

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Kang Jolodot marah besar. Darahnya berdesir deras. Kabut duka menyumbat dadanya.

“Pasti ada yang nggak beres!” berangnya menyaksikan ayam jagonya dihantam telak lawannya. “Jagoku ini sudah tiga kali jawara! Mustahil, mustahil!” pekiknya. Kang Jolodot menjadi gusar. Batinnya menerawang jauh. Tenggorokannya panas. Sementara, matahari membakar bumi dengan dahsyat. Menambah beban arena semakin panas. Penonton sabung ayam jingkrak-jingkrak tanpa irama. Rasanya Kang Jolodot ingin menyumbat mulut mereka. Namun, kini benar-benar terpojok. Merasa asing.

“Hore, jago Kang Jolodot KO. Kena tanduk matanya!” teriak salah seorang penonton disambung kegaduhan lain yang bergemuruh. Penonton semakin merapat. Riuh tanpa kendali. Gemanya membubung ke angkasa.

“Ayo hantam terus biar mampus!” teriak yang lain memberi semangat pada Bagong, jago lawan Kang Jolodot. Suasana semakin kacau. Lelap dalam keonaran yang mahadahsyat.

“Stop, stop!” bentak Kang Jolodot menyeruak kerumunan penonton. Dengan berkacak pinggang di tengah arena, mata Kang Jolodot menyapu bersih keributan. Mendadak suasana menjadi sepi. Nyenyet. Mirip deru bara api disiram air. Senyap. Semua penonton merunduk. Mereka hanya saling mencuri pandang dengan yang lain. Suasana tetap hening. Hanya sesekali terdengar kepakan sayap Bagong tanda kemenangan. Jago Kang Jolodot babak belur, tak berdaya.

“Dengar semua! Aku akan bikin perhitungan dengan Bejo. Pemilik Bagong. Mana orangnya?” serunya memecah keheningan. Tak ada yang berani bersuara. Sebab, mereka tahu selama ini Kang Jolodot dikenal sebagai orang yang brutal. Mudah sekali mengayunkan bogem mentah bila kemarahan sudah mencapai puncaknya, walau tindakannya salah besar. Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh gempal berkelebat di tengah arena. Semua penonton terkejut. Bisikan lirih mulai terdengar. Akhirnya ribut dan suasana bergemuruh lagi.

Tanpa banyak latah, sebuah bogem mentah Kang Jolodot melayang telak ke pipi Bejo. Bejo terhuyung ke belakang beberapa langkah. Bejo mencoba bertahan. Dengan napas memburu, Bejo nekad melawan kebrutalan Kang Jolodot. Jadilah arena sabung ayam itu menjadi arena perkelahian seru.

Semua penonton menjadi miris bercampur takut. Mereka ada yang lari tunggang langgang. Takut dijadikan saksi. Ada yang lari mengendap-endap sambil terus mengawasi jalannya perkelahian. Kadang terdengar jeritan histeris melengking merembet perut bumi. Lalu, sirna. Perkelahian semakin dahsyat. Penonton buyar. Tak ada yang berani mendekat.

Tiba-tiba darah segar mblabar ke tanah. Anyir baunya. Sesosok tubuh menggelepar tak berdaya mencium tanah. Ternyata adalah Bejo. Bejo menjadi korban kebrutalan Kang Jolodot. Penonton yang masih sempat melihat kebringasan Kang Jolodot lari terbirit-birit ketakutan. Melihat lawannya lemas tak berdaya, Kang Jolodot pergi meninggalkan arena. Sementara, di tengah keperihannya menahan belulangnya yang terasa ngilu, Bejo sempat mengumpat dan mengancam Kang Jolodot.

“Bangsat! Tunggu pembalasanku!” pekiknya lirih nyaris tak terdengar. Dengan sisa tenaganya, Bejo berusaha mengangkat tubuhnya berdiri. Berulangkali dicoba, namun terasa berat. Seolah terhimpit beban bumi yang ganas. Matahari telah condong ke barat. Perkampungan desa yang terpencil itu semakin nyenyet. Semua rumah penduduk tertutup rapat-rapat. Hanya gumam-gumam pendek terkadang menghiasi rumah mereka di sela keheningan.

“Jolodot itu kalau belum disanthet belum kapok, kok!” ancam seseorang di sebuah rumah yang cukup besar.

“Jangan keras-keras lho, Kang, nanti terdengar tetangga!” sambung istrinya mengingatkan.

“Aku mau bikin perhitungan jarak jauh dengan dia. Seminggu yang lalu keponakanku dihajar habis-habisan di tengah sawah. Kini adik kandungku, Bejo!” sambungnya.

Kang! Aku mohon jangan lakukan itu! Bila ketahuan hukumannya berat,” pinta istrinya setengah melarang. Namun, suaminya tetap bersitegang.

“Jangan khawatir! Dengan uang semuanya akan beres!” jawabnya optimis. Kemudian, ngeloyor pergi.

“Mau ke mana, Kang?”

“Ke tempatnya Mbah Karmo!”

Kemudian, hilang ditelan senja. Dengan tekad yang bulat, ia pergi ke rumah Mbah Karmo penuh gairah. Di dalam hatinya menggumpal dendam yang pekat. Membunuh Jolodot dengan cara yang lain. Ia akan puas jika melihat Jolodot terkapar di tengah amben tak berdaya. Perutnya membengkak penuh bervariasi benda tajam. Mengorek isi perutnya.

***

Gubug itu sederhana. Agak kumuh. Terpencil dekat sungai. Jauh dari rumah penduduk. Di dalam gubug itu banyak dipajang batu-batu aneh sebesar telur angsa. Mengkilat. Berbagai keris terselip di dinding bambu dengan kukuh. Asap dupa tak henti-hentinya mengepul. Mengabut, menahan pandangan. Aroma gubug itu mistis. Suasananya hening. Hanya ceripuk air sungai sesekali terdengar mengalun. Gemericik.

Seorang kakek berambut putih duduk bersila di atas batu persegi, tepat di tengah ruangan gubug yang sempit itu. Pandang matanya ganas, walau tubuhnya telah keropos termakan usia. Kang Kitri duduk bersimpuh dengan hormat. Dengan hati-hati sekali, Kang Kitri menyampaikan maksudnya. Setelah mendengar pesan kakek tua itu Kang Kitri menyodorkan amplop. Kakek tua itu tersenyum puas.

“Ingat, Nak! Taburkan ramuan itu di seputar rumah Jolodot. Jangan sampai kepergok orang,” pesannya. Lalu, terkekeh menyambut kepulangan Kang Kitri.

Selama ini, kakek tua itu terkenal sebagai dukun yang ampuh. Namun, sayang ia menjadi kalap dengan kedudukannya. Orang kecil alias orang miskin tak mungkin bisa menjamah gubugnya. Terjerat uang. Namun, gubugnya tak pernah sepi tamu. Selalu mengalir. Apalagi, bagi mereka yang ingin minta ramalan nasib.

***

Pada hari-hari berikutnya, suasana desa normal kembali. Keceriaan sudah mulai menghias bapak-bapak tani yang pulang dari sawah. Anak gembala sibuk dengan cambuknya menggiring ternak. Segerombolan pemuda asyik mengobrol di gardu. Berita perkelahian sudah tak menarik lagi bagi mereka. Obrolannya di seputar hasil sawahnya yang akhir-akhir ini merosot total dihiasi dengan rerasan terhadap pamong desa mereka yang dianggap kurang bijak dalam mengendalikan laju pembangunan.

“Musim kali ini baru benci dengan desa kita,” ujar Parjo yang dikenal sebagai pemuda yang rajin. “Semua hasil tani anjlog,” lanjutnya.

“Ya, memang lagi nasib desa ini,” sambung temannya.

”Terima sajalah. Itu memang sudah garis Tuhan. Asal kita mau berusaha tak mungkin kelaparan,” sela yang lain lagi. Perbincangan mereka semakin hangat.

“Aku ini heran. Desa dari dulu kok ajeg. Bahkan semakin bobrok. Apalagi kalau musim hujan seperti ini, nggak bakalan bisa nonton teve,” seloroh seorang pemuda yang sedari tadi sibuk mengepulkan asap rokoknya. “Pamong desa kita kok ya nggak bergerak, ya? Padahal desa lain sudah maju, lho!” tambahnya sambil membuang sisa rokoknya.

“Jangan menyinggung soal itu. Kalau nanti terdengar orangnya, kita nggak bakalan dikasih tanda tangan kalau mau boro ke kota,” sergah Parjo. Mendadak perbincangan mereka dikejutkan oleh berita kematian Kang Jolodot. Suasana senja itu benar-benar menghinggapi penduduk desa menjadi takut. Gerombolan pemuda tadi kabur menuju rumahnya masing-masing.

Sementara, di pojok desa agak jauh terdengar samar-samar suara tangis yang menyayat hati. Meraung-raung, mengabarkan kematian ke seluruh penjuru alam. Semua penduduk terkesima. Terpaku mendengar raungan tangis yang mampu merobek-robek nurani manusiawi.

Keesokan harinya berita baru tersiar. Kang Jolodot mati disanthet orang. Para penduduk sibuk menerka pelakunya. Dengan sikap kemasyarakatan yang telah sejak lama mereka lakukan, maka mereka melaporkan kematian kepada Pak Lurah. Namun, ternyata Pak Lurah yang diharapkan mampu menjernihkan suasana pergi ke kota. Ujung pangkal kejadiannya pun akhirnya kacau. Melihat kekacauan itu Kang Kitri merasa puas. Dendamnya terkabul dengan sempurna.

“Tak mungkin ada orang yang bisa menggugat. Orang yang tahu kejadian ini kubungkam dengan uang,” katanya kepada sang istri. Istrinya hanya diam. Walau sebenarnya hatinya berotak. Muak dengan cara suaminya yang keji.

Hanya sebagian kecil penduduk desa itu yang mau berkabung ke rumah Kang Jolodot. Entah! Ini yang membuat hati istrinya benar-benar terpukul.

“Oalah, Kang. Sampeyan mati dengan cara yang mengerikan. Tetapi tetangga kita seolah memandang kita sebagai musuh,” teriak istri Kang Jolodot di tengah raungan tangisnya yang dahsyat. Pelayat yang sebagian besar kakek-kakek hanya bisa membujuknya agar bencana yang menimpanya itu diterima dengan hati yang tabah. Namun, istri Kang Jolodot tak menghiraukannya. Ada bisikan ajaib yang merangsak nyalinya untuk bunuh diri. Ia mencoba menahan sekuat-kuatnya. Namun, ia tak mampu.

“Kang Jolodot, aku tak tahan menerima bencana ini. Aku ingin menyusulmu, Kang!” katanya lirih. Lemah. Seolah ia sudah bertekad bunuh diri. Tekadnya menggumpal dalam dadanya yang pengap. Ia merasa memiliki kewajiban moral yang mutlak harus dilakukan. Kewajiban seorang istri yang loyal terhadap suami.

Tiba-tiba ia menjerit histeris diikuti dengan tubuhnya yang rebah di sisi suaminya. Para pelayat semakin terguncang batinnya. Tak tahu harus berbuat apa. Di sebuah rumah terdapat dua kematian yang berbeda. ***

ooo

Keterangan:

Cerpen ini merupakan karya saya yang pertama kali dimuat di koran Wawasan, 2 Maret 1988

Comments

  1. fenomena yang paling sulit trungkap di negeri ini salah satunya santhet. banyak orang tak berdosa harus meregang nyawa karena ulah orang-orang yang tak suka dengan cara demikian. sehingga pihak hukum pun sulit memperkarakannya. kalau saya boleh usul pada pengauasa negeri ini. bisa tidak dibuatkan undang-undang terhadap penyantet. bukan dukunnya, tapi penyuruhnya. tapi sulit juga, bagaimana kita bisa mengetahui pelakunya? mungkin kita perlu menyewa paranormal terkenal. tapi jangan-jangan mereka malah pelakunya?
    Crepen di atas memang layak untuk dibaca oleh semua orang. saya tidak bisa mengomentari banyak. wong yang buat guru sendiri. nanti saja kalau saya juga sudah jadi guru seperti bapak. he he he

    farhan’s last blog post..MENGEJAR SORGA SEJAK DI DUNIA

    ooo
    yups, begitulah, farhan, kalau orang kalap, sering menghalalkan segala cara untuk melakukan dendam :mrgreen: ttg perangkat hukum ttg ilmu hitam, kalau tidak salah dulu pernah jadi wacana juga tuh. tapi entah, sekarang pada tiarap, semua, hiks.

  2. kasihan Kang Jolodot mati karena santhet..emang masih ada yah ?? tak paham saya motif nya…

    cempluk’s last blog post..Semarak Nyepi bareng Si JagoMakan

    ooo
    di tengah2 masyarakat kita, santhet-menyanthet itu pernah menjadi realitas, mas cempluk. bahkan bisa jadi masih berlangsung hingga sekarang. kita kan juga pernah dihebohkan kasus di banyuwangi beberapa tahun silam tuh.

  3. Shanthet sudah seperti budaya di masyarakat kita pak. Tapi kalo menurut Jenar nih pak bahwa mendoakan orang lain agar celaka juga sudah termasuk santhet. Itu menurut jenar loh pak, bukan saya.

    danalingga’s last blog post..Sukabumi, Suatu Masa

    ooo
    Jenar, memang cerdas, mas dana. waduh, mesti hati2 nih. mendoakan orang lain supaya celaka aja udah termasuk santhet nih.

  4. Pak … Kenapa loadingnya berat banget?
    Saya sampe chek koneksi berkali2, tak kirain eror. Tapi baik2 saja. CNN ja ngangkatnya cepet, …
    apa karena judulnya yang mengerikan ya pak? santhet?? *ga nyambung euy*

    Mezza’s last blog post..Trus Karya Tataning Bumi

    ooo
    kok bisa yak, padahal aku inginnya kembali ke theme minimalis agar loadingnya lebih mak wuh, eh, ternyata ada yang error. ya udah deh akhirnya kembali ke theme garden yang ijo royo2, hehehehe 🙂 yang pasti tak ada hubungannya dg jdul cerpen yang mistis ini loh, mbak, kekekekeke 😈

  5. Oalah, serem banget ceritanya. Pembalasan dendam dengan cara yang keji. Hik…

    hanna’s last blog post..Bening Sungaiku

    ooo
    hehehehehe 😆 itu sebagian realitas yang terjadi di tengah2 masyarakat kita, mbak. kata orang sih, cerpen itu juga bisa jadi media utk memotret berbagai peristiwa yang terjadi di tengah2 kehidupan masyarakat.

  6. Makanya hidup bermasyarakat itu jangan adigang adigung adiguna. Jangan enteng tangan untuk mengayun bogem mentah menghajar orang, jangan pula mengasari orang lain. Akan selalu ada orang yang tidak dapat menerima kebrutalan kita dan dia belum tentu korban langsung kita.

    Kalau jalan kasar tidak mampu, jalan halus yang ditempuh.

    *bukan berarti membenarkan santet*

    arif’s last blog post..Sukabumi Ituh Pecas Ndahe

    ooo
    yups, sepakat banget, mas arif. idiom2 jawa itu kayaknya masih membekas kuat dalam ingatan mas arif, yak. budaya jawa memang kaya akan idiom yang mengandung makna ttg kearifan hidup. salut buat mas arif.

  7. Ihhh… tatut. He he.
    Mas Sawali, saya sampe nyari tuh di mbah Wiki; orang ketemu artine santet. Malah ngomong ngene, tambah aja sendiri. Pripun to siMbah niki? Yo wis, saya ‘maknai’ sendiri. Sak kersane waelah.

    Santet, sisan sisan ….Ini soal permainan dimensi tomas? -jeneng kulo dudu tomas)-; dimensi yang dikendalikan oleh pikiran; pikiran yang menunjukan kemampuan juga ketidakmampuan. Karena bicara dimensi, maka inipun masuk ke soal frekuensi. Juga soal kebenaran dan keyakinan; akan ketepatan memilih frekuensi. Ini soal jalan pintas, yang sebenarnya panjang (ingat, ini permainan dimensi). Makanya ini menjadi soal yang sulit tapi sebenarnya tidak rumit.

    Yang jelas, ini adalah jalan keluar; yang dipilih oleh mereka yang salah memanfaatkan pikiran dalam menggunakan frekuensi pada dimensi.

    ooo
    wah, adi dimensi dan frekeuensi mas adi, yak, ternyata. tapi kayaknya proses dunia santhet lebih banyak berhubungan dg dunia mistis tuh.

  8. Assalaamu ‘alaikum prof Sawali… Sehat kan?
    cerpennya sarat dengan pesan moral. Saya gak bisa ngomentari panjang, karena terlalu keasyikan membacanya… 😀
    Salam prof…

    Ram-Ram Muhammad’s last blog post..Setelah Hiatus Panjang?

    ooo

    waalaikum salam, bung ram2. wah, kehormatan banget nih dapat kunjungan setelah lama hiatus. alhamdulillah sehat, semoga demikian juga dg bung ram2 dan keluarga. makasih apresiasinya, bung ram.

  9. Wah…. ini sang “preman” atau sang “jagoan” ternyata mati disanthet, sementara sang istri juga mati tapi entah karena apa!! Tidak diceritakan apakah ia sempat bunuh diri atau ia akhirnya disanthet juga atau penyebab lainnya…..
    Tapi yah itulah memang cerpen pak Sawali yang “open end”, bebas menyimpulkan sendiri2, sama seperti halnya orang bebas menyimpulkan apakah cerpen ini berakhir happy karena sang “jagoan” akhirnya “takluk” atau bisa juga berakhir tragis karena **halaah** peran utamanya harus mati karena disanthet….. hehehe, gitu ya pak? :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Anda Digigit Anjing Atau Kucing?? Awas Rabies!

    oooo
    hehehehe 😆 penafsiran bung yari tepat banget, hehehehe 🙂 bung yari pun bebas untuk menafsirkannya kok, hehehehe 😆 begitulah bung yari. dunia sastra memang lebih banyak berkaitan dengan masalah penafsiran dan apresiasi.

  10. Waduh santhet-santhetan segala nih Pak… 😀

    Saya masih bertanya-tanya, ketika darah mengalir deras dari tubuh Bejo, itu karena dipukuli atau kenapa ya? 😀 Saya kira Bejo terkapar dan meninggal, kok engga ya?

    ==================

    Btw, wah ini cerpen usianya udah senior banget Pak… 😀

    mathematicse’s last blog post..Iya Bu Betul, Selalu Dua!

    ooo
    hahahaha 😆 pak jupri bisa menafsirkannya sendiri, kok, hehehehe 🙂 kalau nanti saya yang jadi juru bicaranya, walah, saya telah mengintervensi penafsiran pak jupri, hehehehehe 😈

  11. santet itu kadang diluar akal sehat, tetapi kok ya bisa ada wajan, paku, rambut, dll keluar dari dalam perut, aneh..

    annots’s last blog post..Bloger itu ngapain aja

    ooo
    saya juga ndak habis bertanya-tanya, mas annots, hehehehe 🙂

  12. wah, jadi takut disantet nih… .

    btw sekarang kok sering nulis cerpen pak, dah gak pernah ngritik lagi?

    magma’s last blog post..SUPERHERO MENOLAK DATANG KE INDONESIA

    000
    yee, takut santhet, wakakaka 😆 yups, tentang tulisan kritik, insyaallah mas magma akan ter-update juga.

  13. pak ersis saya bisa nyantet lho….
    peres air kelapa yang dah diparut kan?
    *haha oops maaf salah itumah nyanten

    LieZMaya’s last blog post..How fast Google index my blog post?

    ooo
    wew… mbak maya piawai bhs plesetan juga rupanya, wakakakaka 🙂 santet diplesetkan jadi santen 😈 kreatif! hati2 pak ersis, jangan sampai bikin masalah dg mbak maya 💡

  14. Wah, tempat kelahiran saya dikatakan sebagai sarangnya dukun santet. Dulu salah seorang adik kakek saya berhasil menikah dengan wanita bandung karena wanita itu takut disantet. Padahal ngga ada yang bisa santet di keluarga saya, cuma karena terkenal sentra santet saja hehehe. Aneh memang.

    Santetisasi’s last blog post..tuhan dalam kebaikan dan kejahatan

    ooo
    wew… ternyata julukan kampung santhet ada juga di mana2 ya mbak? di daerah saya, santhet terkenal dg istilah tenung. ndak masuk akal memang, tapi benar2 terjadi!

  15. Hmmm… tahun 1988 ya Pak..

    Sekarang sih ndak jaman Pak mbahas gituan.. Yang ngetrend sekarang ituh soal UU ITE 😛

    *pemuda yang sok-sokan

    ooo
    UU ITE kira2 menarik ndak mas nasieb kalo dibikin cerpen, hehehehe 😆

  16. singo_woh

    Saya jadi ingat saat jadi sales marketing dulu, ada klien ibu-ibu agak berumur yang sakit sedikit mikirnya selalu disantet tetangga sebelahnya, sampai sakit perutpun demikian, hahaha.

  17. Santet apa masih ada ya di kota?

    Saat masih kecil s/d remaja, Ayah ibu selalu menanamkan kepada anak-anaknya untuk berbuat baik, berdoa, terutama setelah sholat wajib, …sehingga tak perlu kawatir adanya santet. Lagipula tanpa perkenan Nya….tak mungkin santet bisa mencelakakan orang yang yang selalu melakukan kewajiban dan berdoa untuk Nya.
    Anehnya istilah santet ini jarang terdengar di kota besar.

    edratna’s last blog post..WordPress yang baru

    ooo
    wah, kalao di kota2 besar sepertinya sudah jarang terjadi peristiwa tragis semacam itu, bu. kalau di kampung2, sepanjang yang saya tahu masih ada hingga sekarang.

  18. Tokcer tuh dukunnya,, Punya nomer hapenya gak, Pak? Pengen nyantet orang niey… *uuppss*

    ooo
    wakakakaka 😆 emang mbak kimi mau nyanthet siapa, hehehehe 😈

  19. serasa dibawa kedalam suasana desa yang masih primitif, kering, gersang dan penuh gejolak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *