Bhismaaa…!

Kategori Wayang Oleh

Suasana alun-alun negeri Kasi bagaikan suara lebah cari sarang. Onar. Seluruh penduduk tumpah ruah di tanah lapang yang berada di jantung kota itu. Sinar matahari yang membakar kulit bukan halangan bagi mereka untuk berdesak-desakan. Bau keringat, suara batuk, aroma parfum murahan yang mulai luntur, berbaur dengan aroma bau mulut dan gas asam orang yang kencang berhembus dari lubang anus. Makin siang, alun-alun seperti bergetar, digoyang ribuan kaki yang hendak menyaksikan sebuah sayembara. Berkali-kali terdengar suara pekik yang membahana. Bersambung-sambungan.

Tak hanya penduduk Kasi yang meluber di alun-alun. Para putra mahkota dan pangeran dari seluruh penjuru negeri juga tumpah ruah di atas panggung kehormatan. Mereka bertekad mengikuti sayembara; merebut cinta ketiga putri kembar dari negeri Kasi yang dikenal berparas cantik dan bertubuh (nyaris) sempurna. Setiap tersenyum seolah-olah mampu merampas iman di dada setiap lelaki. Di dalam tubuh mereka; Amba, Ambika, dan Ambalika, seolah-olah mengalir darah ribuan gadis dari berbagai suku; memancarkan aura purba yang sanggup melambungkan khayal para lelaki hingga ke batas langit.

Sementara itu, di tempat sayembara, tampak dua makhluk raksasa; Wahmuka dan Harimuka, tengah melampiaskan murkanya kepada para putra mahkota atau pangeran yang sok jago. Bola matanya membelalak, memancarkan amarah. Otot dan urat-uratnya menegang. Sesekali, mulutnya yang lebar mendesis-desis. Hanya dengan sekali gebrak, puluhan peserta sayembara tumbang; menjadi korban keganasan dua sosok makhluk mengerikan yang konon merupakan penjelmaan ari-ari alias tembuni dari ketiga putri kembar dari negeri Kasi itu. Mereka dikenal sangat setia dalam melindungi ketiga putri sedarah itu. Nah, siapa pun yang berhasil mengalahkan kedua raksasa ganas itu berhak memboyong ketiga putri kembar itu sebagai istri.

Matahari makin condong ke barat. Suasana alun-alun tak berubah. Bahkan, semakin ramai. Para botoh judi dari berbagai kota pun tak mau kehilangan kesempatan. Secara terbuka mereka saling memasang taruhan.

Bhisma yang sedari tadi hanya nongkrong di atas mobil sport terbarunya gerah juga menyaksikan puluhan pangeran dan putra mahkota bertumbangan. Tiba-tiba saja giginya gemeletuk, menahan amarah. Tangannya mengepal. Darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun. Dia tak sabar untuk secepatnya turun ke gelanggang. Dengan langkah tegap, Bhisma segera ke tengah gelanggang. Ribuan pasang mata terkesiap.

“Wew… bukankah dia Bhisma? Kalau dia ikut sayembara, berarti dia telah melanggar sumpahnya sendiri! Ksatria macam apa dia? Huh!” teriak salah seorang peserta sayembara sambil berdiri.

“Betul sekali! Ksatria pengecut. Tak tahan godaan dengan nafsunya sendiri!” sambung peserta yang lain.

“Cuah! Betul-betul tak tahu diri. Menjilat ludahnya sendiri! Sungguh memalukan!” teriak putra mahkota yang lain, lantas disambung kegaduhan dari berbagai sudut alun-alun. Mereka mencemooh dan menghinakan. Bhisma dianggap telah melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak menikah selama hidupnya. Dia telah bersumpah menjadi brahmacari demi kelanjutan tahta negeri Hastina dan bertekad meninggalkan semua kemewahan dan perilaku hedonis di istana.

Bhisma sadar betul dengan sumpahnya itu. Meski nekad terjun ke gelanggang sayembara, bukan berarti dia melanggar sumpahnya sendiri. Semua itu dilakukan demi kelanjutan tahta bangsa Kuru. Dia rela menyerahkan tahta yang seharusnya ia warisi kepada kedua adik tirinya; Citranggada dan Wicitrawirya. Menjadi brahmacari juga sebagai wujud baktinya kepada sang ayah, Prabu Santanu; penguasa Hastina yang harus menanggung luka dan derita setelah ditinggalkan Dewi Gangga. Ketujuh anaknya telah dihanyutkan di Sungai Gangga. Beruntung dia berhasil memergoki Dewi Gangga ketika hendak membuang anaknya yang kedelapan. Karena dianggap telah melanggar janji yang tidak mau mengusik apa pun keinginan Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu harus kehilangan permaisurinya itu. Namun, dia telah berhasil menyelamatkan darah dagingnya yang kedelapan. Oleh Dewi Gangga, putra kedelapan itu diberi nama Dewabrata yang akhirnya mendapat sebutan “Bhisma” lantaran telah mengucapkan sumpah yang berat dan suci serta benar-benar akan menjalankannya.

Sepeninggal Dewi Gangga, Prabu Santanu bertemu dengan seorang perempuan yang selalu menaburkan aroma wangi di sepanjang Sungai Yamuna; Dewi Satyawati. Naluri kelelakiannya langsung bangkit dan berkehendak mempersuntingnya sebagai permaisuri. Namun, Satyawati mengajukan persyaratan, yaitu kelak anak keturunannya harus diberi hak untuk menduduki tahta Hastina. Sebuah syarat yang sangat berat karena Prabu Santanu juga sangat menyayangi Dewabrata, anak semata wayangnya. Bahkan, sangat berharap, kelak dialah yang akan menjadi pewaris tahta Hastina.

Tak sanggup membendung gejolak di dadanya, Prabu Santanu jatuh sakit. Nurani Dewabrata tersentuh. Dia pun bergegas menemui ayahandanya tercinta. Setelah tahu duduk perkaranya, Dewabrata pun memberikan kesempatan kepada sang ayah untuk mempersunting Satyawati. Bahkan, agar tidak dianggap mengganggu ketenangan keturunan Dewi Satyawati dalam menduduki tahta Hastina, Dewabrata bersumpah untuk tidak menikah selama-lamanya agar tidak memiliki keturunan. Sang ayah terharu hingga memberikan sebutan pada Dewabrata sebagai “Bhisma”.

Seiring bergulirnya waktu, dua calon pewaris tahta pun lahir dari rahim Dewi Satyawati; Citranggada dan Wicitrawirya. Ketika beranjak dewasa, Bhisma juga bertekad untuk mencarikan pasangan hidup sebagai permaisuri buat kedua adik tirinya itu.
***

Bhisma tergeragap. Di hadapannya telah berdiri dua raksasa ganas. Namun, telinganya juga tak sanggup membendung cemoohan dan hinaan yang jelas-jelas telah merendahkan martabatnya sebagai seorang ksatria yang pantang melanggar sumpah. Gigi Bhisma kembali gemeletuk. Bola matanya berubah liar; menyapu wajah para pangeran dan putra mahkota yang tak henti-hentinya menghina dan mencemooh. Seumur-umur, baru kali ini Bhisma dihinakan serendah itu. Sebagai ksatria bangsa Kuru, pantang baginya untuk menjilat ludah sendiri. Kini, kehormatan dan martabat dirinya sebagai bangsa Kuru telah dilecehkan habis-habisan di depan publik. Maka, dengan amarah yang memuncak, Bhisma menghunus keris Kalantuka yang hanya dia keluarkan jika benar-benar dalam keadaan genting dan darurat.

“Wahai, para pangeran dan putra mahkota negeri-negeri sahabat! Juga seluruh penduduk negeri Kasi!” teriak Bhisma sambil menghunus keris. Bola matanya memerah saga. Semua tersentak ketika menyaksikan pamor merah yang tak henti-hentinya memancar dari balik keris Kalantuka. Suasana mendadak senyap. “Saya bukanlah ksatria pengecut seperti yang Sampeyan tuduhkan. Saya tetap setia pada sumpahku untuk tidak menikah seumur hidup! Sumpahku semata-mata untuk menjaga kebesaran bangsa Kuru. Pantang bagi keturunan bangsa kami untuk menjilat ludah seperti yang biasa Sampeyan lakukan! Camkan itu! Kalau toh saya ikut sayembara, ketiga putri cantik negeri Kasi ini bukan untukku, melainkan untuk negeri Hastina! Paham?”

Ketika suasana hening, mendadak Wahmuka dan Harimuka mengamuk. Bhisma hampir saja terkena tendangan kaki raksasa yang berdebam di atas gelanggang sayembara itu. Untung saja, Bhisma berhasil berkelit. Merasa gagal, kedua raksasa itu kian membabi buta. Memburu ke mana pun ksatria Hastina itu berkelit. Hampir satu jam perkelahian seru di atas gelanggang itu berlangsung. Namun, kekuatan masih sangat seimbang. Hingga suatu ketika, Bhisma agak lengah. Dengan gerakan cepat dan garang, Harimuka berhasil menyemburkan hawa panas, tepat di wajah Bhisma yang tampan. Untung dengan gerak refleks Bhisma langsung mengeluarkan Kalantuka sehingga semburan hawa panas itu berbalik menyerang Harimuka. Tak ayal lagi, tubuh raksasa itu limbung seperti gedebog pisang. Tak berdaya. Melihat saudaranya tewas, Wahmuka kalap. Mulutnya mendesis-desis. Kaki dan tangannya terus bergerak menghantam sasaran. Sesekali, dari lubang mulutnya keluar hawa panas yang busuk. Bhisma dengan lincah berkelit, bahkan ketika Wahmuka hendak menghantam ulu hatinya, Bhisma telah mendahuluinya melalui tikaman Kalantuka dengan kekuatan penuh. Bum! Tubuh raksasa itu berdebam di atas gelanggang.

Sorak sorai membahana seperti menggetarkan langit di atas negeri Kasi. Para penduduk yang semula mencemooh Bhisma berbalik simpati dan hormat. Demikian juga, para pangeran dan putra mahkota yang telah salah menilai dirinya. Semuanya menunduk takzim. Saat itu juga, Bhisma segera memboyong putri Amba, Ambika, dan Ambalika ke negeri Hastina.

Alangkah bahagianya Dewi Satyawati melihat keberhasilan Bhisma. Sang permaisuri itu segera mempertemukan kedua putranya; Citranggada dan Wicitrawirya dengan ketiga putri boyongan itu. Ambika dan Ambalika tidak keberatan menjadi istri Citranggada dan Wicitrawirya. Namun, tidak demikian halnya dengan Putri Amba. Dia telah bersumpah hanya akan mencintai lelaki yang benar-benar sanggup mengalahkan makhluk raksasa jelmaan air-arinya itu. Dan Bhismalah orangnya. Namun, Bhisma juga mustahil menuruti hasrat Putri Amba itu.

“Kanda, mencintai tidak harus menjadi istri, kok! Aku rela meskipun tidak harus menjadi istri Kanda Bhisma, asalkan aku diberi kesempatan untuk melayani dan mengikuti ke mana pun Kanda Bhisma berada. Itu saja!” seloroh Putri Amba dengan suara tertahan di dada.

“Putri Amba, mohon jangan coba-coba menggodaku! Aku telah bersumpah! Mohon pengertianmu Putri!” sahut Bhisma dengan bola mata berkaca-kaca.

Agaknya, Putri Samba tidak bisa menerima keputusan Bhisma. Secara diam-diam, putri berwajah putih dengan dagu menggantung indah itu membuntuti Bhisma ketika hendak bertemu gurunya, Ramaparasu. Ketika tiba di sebuah tikungan, Bhisma mendadak mendengar suara pekik perempuan. Bhisma tersentak ketika menyaksikan tubuh Putri Amba jatuh terguling-guling.

“Putri Amba! Kenapa kamu bisa ada di sini?”

“Kanda, aku sudah bertekad mengikuti ke mana pun Kanda pergi!”

Bhisma kehabisan akal. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan senapan dari balik celana sekadar berbasa-basi untuk menakut-nakuti Putri Amba.

“Jangan nekad Putri Amba! Sekarang, pulang atau senapan ini yang akan menghabisi nyawamu!” ancam Bhisma.

“Silakan tembak Kanda! Aku rela mati demi memenuhi sumpahku! Ayo, Kakang, tembak!” seru Putri Amba menantang. Entah! Tiba-tiba saja tubuh Bhisma bergetar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Tanpa diduga, jari-jarinya yang bergetar menyentuh pelatuk senapan itu. Dorrr! Tubuh Dewi Amba pun tersungkur. Bhisma segera menghampirinya. Putri Amba benar-benar telah sekarat meregang nyawa.

“Kanda telah berbuat kejam! Kelak, aku akan balas dendam! Tunggu sampai peperangan besar itu terjadi, Kanda! Kanda akan mati di tanganku!” ancam Putri Amba sebekum menghembuskan napasnya yang terakhir.

Bhisma benar-benar menyesal. Putri Amba yang amat mencintainya itu harus tewas di tangannya sendiri. Namun, semua telah terjadi. Tiba-tiba saja, kepala Bhisma dipenuhi bayangan perang dahsyat yang melibatkan sesama keturunan bangsa Kuru. Di tengah perang dahsyat itu, tiba-tiba Bhisma seperti melihat bayangan seorang perempuan berkelebat dalam layar memorinya. Akankah Putri Amba benar-benar membuktikan ancaman dan dendamnya? Ah, Bhisma semakin tidak bisa memahami jalan pikiran Putri Amba. ***

Keterangan: gambar diambil dari sini.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

29 Comments

  1. […] dendam, melainkan tangannya yang telah belepotan darah perempuan yang amat mencintainya itu. Bhisma masih bisa memutar kembali kepingan peristiwa tragis itu dengan jelas ketika dia hendak berte…. Ketika tiba di sebuah tikungan, Bhisma mendadak mendengar suara pekik perempuan. Bhisma tersentak […]

  2. mbah Dalang Cerita di pewayangan kini terjadi dan filosopinya yang banyak terjadi tapi bisma di bharata yudha mati sebagai ksatria di lain versi dan sebagai pecundang sedang sekarang bismanya belum keliatan mati mbah hehehe salam

    kambingkelirs last blog post..Ogan Komering Ulu Timur

    >>>
    memang bener banget, mas. ada banyak versi yang dikaitkan dng kondisi masyarakat setempat. ttg bhisma? memang ini cerita hanya sebatas sekenanya disesuaikan dg momen2 aktual yang sedang terjadi, kok, hehehe 🙂

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Wayang

TEROR DI NEGERI WIRATHA

Dalang: Sawali Tuhusetya Akibat kebencian Kurawa yang telah mengilusumsum melalui aksi tipu
Go to Top