(Kisah ini merupakan bagian ke-14 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8), Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10), Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar (11), Negeri Kelelawar Menjadi Sarang Koruptor (12)), dan Senjakala di Negeri Kelelawar (13))***
Siapa bilang Negeri Kelelawar tak mengenal peradaban? Siapa pula yang bilang kalau negeri seribu ngarai dan lembah itu mengalami stagnasi? Lihat saja kasus yang tak pernah berhenti menggoyang panggung hukum, sosial, dan politik negeri itu. Hampir semua celah tak pernah sepi dari persoalan, mulai yang kelas remeh-temeh hingga yang kelas berat. Kecamuk persoalan yang tak pernah usai tertuntaskan bisa jadi bukti kalau peradaban negeri Kelelawar itu ada. Terlepas apa pun jenis peradabannya, yang jelas peradaban negeri Kelelawar tak pernah ada matinya. Ratusan juta rakyatnya akan terus menggeliat dan bergerak memenuhi tuntutan takdirnya.
Walhasil, ketika kasus pelemahan KPKK (Komisi Pemberantasan Kelelawar Koruptor) ditengarai hendak mencapai titik terang, kelelawar koruptor yang nyata-nyata terbukti melakukan percobaan penyuapan, tak pernah berhenti melakukan perlawanan. Didampingi pengacara-pengacara “hitam”, mereka melakukan berbagai macam cara dengan membangun pencitraan publik bahwa komplotannya berada di pihak yang benar. Celakanya, aparat penegak hukum yang seharusnya punya nyali untuk memancung pesakitan yang nyata-nyata bersalah dengan pedang keadilannya, justru berputar-putar dengan berbagai dalih hukum untuk ikut-ikutan melemahkan KPKK. Mereka menjadi loyo dan tak berdaya di hadapan koruptor kelas kakap. Yang tak kalah menggelikan, kelelawar pelapor kasus korupsi justru dicari dosa dan kesalahannya, hingga jadi bumerang dan blunder buat sang pelapor itu sendiri. Sebuah preseden hukum yang bisa berakibat fatal dalam upaya menciptakan atmosfer hukum yang sehat. Para kelelawar yang punya setumpuk bukti kasus penilapan uang negara di berbagai lapis dan lini birokrasi, jadi ciut nyalinya. Mereka takut justru akan malah jadi tersangka. Tak perlu heran jika negeri Kelelawar yang terkenal korup, penjara justru dipenuhi oleh para jompo, anak-anak jalanan, maling ayam, atau preman kelas teri. Para koruptor masih saja bebas bergentayangan menikmati gelimang kemewahan di luar tembok penjara.
Sampai kapan pun, korupsi di negeri Kelelawar tak pernah tuntas tertangani selama aparat penegak hukum “berselingkuh” dengan uang dan kekuasaan. Mereka tak pernah bisa memburu para koruptor kalau mereka sendiri justru terindikasi berbuat korup. Mana bisa lantai yang kotor dibersihkan oleh sapu yang kotor pula? Maka, jadilah pengadilan kasus korupsi di negeri ini tak ubahnya sebuah dagelan yang mempertontonkan sekaligus memperlihatkan kepiawaian bersilat lidah dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Mereka yang fasih memperalat dan menafsirkan ayat-ayat hukum dengan gaya parlente dan percaya diri cenderung akan menang citra. Itu artinya, koruptor yang telah menciptakan jutaan rakyat negeri Kelelawar tersekap dalam kemiskinan dan keterbelakangan bisa jadi malah menjadi pahlawan yang dipuja dan dielu-elukan. Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang, antara pahlawan dan pecundang itu hanya sebatas dilapisi kain transparan.
Peradaban negeri Kelelawar memang tak akan ada matinya, tetapi saat ini sedang dalam keadaan sakit. Baru ada dalam sejarah negeri Kelelawar, kebijakan pemerintah justru memakan korban rakyatnya sendiri. Di balik sukses aparat keamanan menggulung sarang teroris, justru pemerintah menciptakan teror bom sosial yang bisa mengancam dan meledak setiap saat. Entah, sudah berapa rakyat yang jatuh menjadi korban ledakan tabung elpiji. Dengan penuh kearifan, rakyat seharusnya mendapatkan perlindungan dan pengayoman agar mereka terbebas dari rasa takut dan tertekan. Mereka yang diduga terlibat di balik kebijakan penggunaan tabung elpiji mesti diusut tuntas dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan brutal dan biadabnya. Sudah terlalu lama rakyat negeri Kelelawar menjadi “tumbal” kebijakan yang kurang menyentuh pada nasib dan kehidupan rakyat banyak.
Akibat carut-marutnya kepastian hukum dan buruknya manajemen negara, rakyat negeri kelelawar yang sudah merasa muak mencari cara sendiri untuk menyelesaikan masalah sosial yang mereka hadapi. Demo berbau fasis dan bar-bar pun marak terjadi di mana-mana. Hampir tak ada demo yang berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Mereka yang tidak sepaham, tak jarang melakukan gontok-gontokan untuk melampiaskan naluri agresivitasnya. Sungguh, ini penyakit sosial yang tidak datang begitu saja, tetapi melalui rentetan peristiwa yang saling terkait dan berkelindan begitu kompleksnya. Yang tak kalah menggelitik, di tengah ancaman penyakit sosial semacam itu, pemerintah mengambil sikap untuk mempersenjatai Satuan Polisi Pamong Praja. Bukankah ini sama saja kekerasan versus kekerasan? Bagaimana mungkin rakyat yang dinilai tidak tertib harus dihadapi dengan senjata? Akar masalah yang seharusnya dituntaskan adalah apa yang menyebabkan rakyat berbuat tidak tertib; anak jalanan merajalela, pedagang kaki lima menumpuk di trotoar, atau gubug-gubug kumuh dan liar yang bertebaran di pinggiran kota. Situasi sosial seperti ini yang seharusnya dicermati, diperhatikan, dan diselesaikan oleh aparat negeri Kelelawar dengan cara yang arif agar rakyat tidak selalu menjadi “tumbal”. Bukan dengan menaburkan ancaman kekerasan di tengah-tengah masyarakat yang sedang agresif dalam menemukan jati dirinya.
Ya, ya, ya, peradaban negeri Kelelawar memang sedang dalam kondisi sakit. Dalam situasi seperti itu, dibutuhkan keteladanan dan kearifan bertindak dari kaum elite penguasa negeri Kelelawar dengan mengutamakan perbaikan nasib rakyat yang sudah lama hidup terlunta-lunta dalam perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Konon, sejarah akan sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan, tidak berjalan linier dan ideal seperti yang diharapkan. Bersikap arif berarti memandang setiap peristiwa secara realistis dan humanis, lantas berupaya menyelesaikannya dengan cara-cara yang realistis dan humanis pula. *** (bersambung)
mengamankan yang pertama dulu..
hehe …. mangga, bang iwan, dilanjut.
Izin menyusuri ceritanya mulai dari Awal…
mangga, terima kasih kalau berkenan membacanya.
Dan entah sampai kapan Negri Ini akan tetap seperti ini!!
Menunggu perubahan yang kayaknya sulit untuk diwujudkan (sad)
hmmm … ini peristiwa di negeri kelelawar loh, mas jidat. mudah2an saja perubahan itu segera bisa terwujud.
@Sawali Tuhusetya, Amin pak Sawali, mari kita berjuang!! (bringit)
sip! ayo!
Sudah saatnya peradaban negeri kelelawar direfom,,, terutama bidang Hukum….
betul, mas tengku, mungkin bukan hanya di bidang hukum, melainkan juga bidang lain yang tak kalah pentingnya buat kesejahteraan rakyat negeri kelelawar.
Semoga Tuhan membukakan hati dan pikiran rakyat serta pemimpinnya… Amiin
amiiiin, mudah2an seperti itu, mas reza.
@Reza, Tuhan buka tapi manusia yang nutup diri…tuhan bosan liatin kita yang ngga perna tobat
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
‘ Sampai kapan pun, korupsi di negeri Kelelawar tak pernah tuntas tertangani selama aparat penegak hukum “berselingkuh” dengan uang dan kekuasaan ‘
Negeri kelelawar itu kok seperti negeriku sendiri ya, INDONESIA.
hehe … bisa jadi itu perasaan pak deni, hihihihi …
membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor, memang susah sekarang menemukan sapu yang benar-benar bersih dan membersihkan.
hiks, mungkin memang bukan hal yang mudah, mas nug, tapi bukan mustahil, kan?
negeri kelelawar itu udah terbentuk secara alamiah..tapi bisa dibongkar..
layaknya goa, rumah dari kelelawar, emang bentukan alam, tapi bisa digusur koq…
hahaha, pake apa yah
hehe …. mungkin ada benarnya, mas. tapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan perubahan, selama semua rakyat negeri kelelawar menghendakinya.
Cukup berat menanggapi hal ini,
tapi memang itu yang sedang dihadapi oleh penduduk negeri kelelawar…
bener banget mas alam, memang rumit dan kompleks persoalan yang sedang dihadapi rakyat negeri kelelawar, hiks.
wah sudah lama sekali saya tidak mengikuti cerita negeri kelelawar pak …
lagi konflik masalah penggunaan senjata juga yah pak di negeri kelelawar ….
heee …:d
hehe … kisah negeri kelelawar memang tak selalu rutin saya posting, mas bayu. nulis kisah ini kalau memang lagi enjoy nulisnya, hiks.
kapan yah .. negeri kelelawar bisa damai, tentram, adil dan makmur … ???
setiap saat bisa, mas bayu, kekeke ….. tergantung yang bikin kisahnya, haks.
Sedih dan menangis menatap aklaq negeri ini
itulah yang terjadi di negeri kelelawar, mbak ajeng.
setiap kali saya tenggelam dalam kisah di negeri kelelawar, saat itu pula saya merasa dalam ruang besar yang amat terasa kerdil. Adakah di sana ratu adil? atau juga hanya sekadar mitos?
hmm …. begitukah? wah, cerita ttg ratu adil itu, sebagian besar masyarakat negeri kelelawar sebatas menganggapnya sbg mitos belaka, mas zen, hehe …
mungkinkah perubahan seperti itu terwujud di negara
sangat mungkin bisa, mas fajar. tergantung komitmen warga dan pemerintahnya.
kelelawar memang harus banyak diatur biar ngak ngerepotin.
hehehe …. boleh, asal jangan sampai diindoktrinasi, haks.
semoga kedepannya lebih baik,,,
amiiin, itulah yang diharapkan.
sekarang jadi negeri tikus pak 😆
@suryaden, itu maunya si dagu
walah, malah makin parah, haks.
Polisi negeri kelelawar yang sejak dulu dikasih senpi,yang tentu telah berpengalaman saja, ternyata sering kita jumpai penggunaannya masih beralas emosional. Maka, semakin ngerilah kalau ada niatan pemerintah negeri kelelawar hendak memberikan senpi pada satpol PP negeri kelelawar, yang senantiasa menghadapi rakyat rendahan. Aduh…aduh….!
itulah yang dikhawatirkan, pak sungkowo. kalau satpol PP diberi fasilitas senjata, doh, ndak tahu apa yang akan terjadi. pakai pentungan saja banyak yang jatuh korban, kok.
:x pak sawal, bener sekali yang dicari adalah akar permasalahannya. Kalo saya bilang lebih tepat dari sisi permasalahan adalah budaya yang ada di negara kita ini sudah carut marut. hukum tidak berlaku dengan baik karena pembuat hukumnya sendiri dengan sadar melanggarnya dan beberapa masyarakat seakan tidak mau tau hukum tersebut baik untuk mereka. :-w
idealnya konon memang seperti itu, mas putut. menyelesaikan masalah2 kenegaraan memang butuh kearifan, selain harus menggunakan perangkat hukum atau UU yang sdh ada.
Polisi negeri kelelawar yang sudah lama dalam menggunakan senpi saja masih sering emosional. Jadi, semakin ngerilah kalau satpol pp negeri kelelawar, yang hanya berhadapan dengan rakyat rendahan itu, ada niat diberi senpi.
komentar pak sungkowo yang ini sempat ditelan akismet, hehe ….
Wah di negeri kelelawar ini mustinya ada Batman dan Robin ya Mas…
He he he…
hehehe ….. tapi bukan kakek-moyangnya rakyat negeri kelelawar itu, loh, mas.
hum…kalau dipikir-pikir melihat kelakuan mereka itu seperti nonton sinetron aja…haha…:d
hehe … bahkan lebih seru ketimbang sinetron, mbak ros.
saya nggak yakin akan membaik, sebelum aparatnya masih saja menjadi budak uang dan kekuasaan
walah, mas santri pesimis amat, haks. tapi sangat masuk akal itu.
Waduh, saya bacanya lompat-lompat, pak.
Jadinya separuh mudeng, separuhnya lagi puyeng. :D
Kayanya harus di-save dulu nih, trus di-print, baru dibaca sambil makan kacang goreng. ^_^
mangga, bung eko. matur nuwun.
sepertinya sulit atau dapat dikatakan hampir mustahil apabilamengharapkan negeri klelawar bisa tentram dan sebagainya…perilakunya sudah mendarah daging…:d
hmmm …. ada benarnya juga, bos, selama para penyelenggara negara tdk menjadikan rakyat sbg subjke, tapi hanya sekadar sbg objek belaka.
cihuuuyyyyyyy….aku suka timplet yg ini…^^
hehe …. makanya saya kembali ke template ini lagi, dok, hiks.
Memalukan sekali negeri kelelawar semakin semau gue, yang salah se-akan2 benar yang benar dijebloskan ,semakin amburadul , tapi rakyat negeri kelelawar tahu pasti biang malingnya.
itulah yang membuat rakyat makin bingung, hehe …
susah buad brubah . :-\”
hmmm…. perubahan sangat mungkin terjadi apabila para penyelenggara negara memang punya komitmen kuat utk melakukannya.
edan semua! …. :((
hmm …. sebenarnya masih banyak juga yang waras, loh, mas.
@Sawali Tuhusetya, yang warasnya dikeroyok sama wong edan pak guru :d
doh!
Sukses terus buat kisah negeri kelelawarnya yang tak kan pernah mati
hehe …. terima kasih support dan apresiasinya, mas rifky.
selama para penegak hukum masih bertuhan sama uang, negeri kelelawar sulit untuk maju pak ;)
bisa jadi seperti itu, mas arif. bener2 makin repot dan kompleks.
sepertinya, kalau masalah politik yang seperti kasus negeri kelelawar, sangatlah membuat pusing. Entah bagaimana cara untuk memenuhi ‘hasrat’ mereka.
ada benarnya juga, mas norland. bukan hanya soal politik, melainkan juga pada ranah yang lain.
kalo korupsi sudah membudaya, sulit untuk di hilangkan.
hmmm …. minimal menguranginya, mas sandy.
sebenarnya saya baru tahu nih ada peradaban negeri kelelawar
hehe …. tergantung yang bikin kisah, mas eko, haks.
sukses ya pak bwt crita negeri kelelawarnya
terima kasih apresiasi dan supportnya, mas faizal.
smoga perubahan akan terjadi di negri ini
amiiin, itulah yang kita harapkan, mas zackhy.
jangankan kan diriku…. semutpun kan marah bila selalu…. sakit begini… ( alm meggy z ) sejarah selalu berulang 66… 98… setelah ini kapan lagi….rakyat sudah lelah… muak dengan pertunjukan sandiwara yg semakin tidak lucu…….. naik..turun….naik…turun….. :-\”:-\”
hehe … ini kisah di negeri kelelawar, loh, mas firdaus, hehe ….
@Sawali Tuhusetya, iya pak… di tahun 66 dan 98 rakyat di negeri kelelawar juga pernah marah kok :D
Saya rasa sampai kiamat pun penyakit kronis dan akut korupsi di Indonesia tidak akan bisa di berantas.
kalau di negeri kelelawar gimana, mas marada? jangan2 sama saja, yak, haks.
Menggelikan sekali ya pak negerinya.. kok sama ruwetnya dengan negeriku.. :-?
hehehe …. sama tapi mungkin tak sebangun, pak, hehe …
jadi bingung mau koment apa….
spechless
hehehe …. kok bisa?
hahaha lucu gambarnya tapi lagi malas baca :((
walah, ndak usah baca, mas. cukup nikmati aja gambarnya, haks.
Kekerasan akan terus terjadi selama negri kita masi banyak ketidak adilan…hualahualla
bisa jadi, mas. kekerasan bisa saja muncul sbg imbas ketidakadilan tadi.
selama ini pejabat korup lebih banyak jumlahnya daripada yg bersih…bagaimana yg “bersih”-“bersih” ini dikloning aja mulai sekarang :)>-
hehe …. memang bisa di-clone, mas pradna, hiks. kalau bisa, saya setuju banget itu, haks.
Apakah peradaban bar2 ini akan terus berlangsung atau setidaknya bisa diminimalisir. Sepertinya perlu kesungguhan dari para pejabat di negeri kelelawar untuk mengubah tatanan kehidupan kearah yang lebih baik, terutama dengan penegakan hukum yang seadil-adilnya tanpa dicampuri oleh urusan politik.
butuh kolektivitas dan kebersamaan, mas ifan. segenap komponen bangsa kelelawar mesti bergerak bersama.
Para koruptor masih saja bebas bergentayangan menikmati gelimang kemewahan di luar tembok penjara, bagaimana hal tersebut terus terjadi? Masyarakat hakim sebenarnya
nah, itu dia yang selalu dipertanyakan, mas endra. mungkin hukum di negeri kelelawar perlu direformasi juga!
baca du lu yaa Pak.
apa kabar?
alhamdulillah, baik dan sehat, pak hadi. semoga demikian juga dg pak hadi dan keluarga. ngbelognya masih jalan terus, kan, pak?
makin lama negeri ini kian carut marut..! (doh)
tantangan juga buat anak muda, om.
“Sampai kapan pun, korupsi di negeri Kelelawar tak pernah tuntas tertangani selama aparat penegak hukum “berselingkuh” dengan uang dan kekuasaan”.
setuju mas, klo sudah atasan berselingkuh, bawahan dan rakyatpun akan mengikuti. Seakan-akan korupsi dan sogokan sudah menjadi budaya, sulit untuk diberantas
itulah yang mencemaskan, mas. kalau uang dan kekuasaan sudah menyatu, agaknya butuh waktu lama utk bisa menceraikan mereka, hiks.
nice artikel, lanjutkan!!
Kita yang tak bergelar profesor
yang tak berkursi jabatan
bisa memotret bahwa ada kemunduran
dalam peradaban
dalam tata kehidupan
Tetapi mereka yang besar
abai saja
kejayaan bangsa seperti
tak ada dalam kosa kata kamus mereka
selain kekayaan sendiri
wah, sungguh ironis, ya, mas. kalau dipikir-pikir, sesungguhnya kontribusi apa yang telah mereka berikan utk bangsa dan negaranya?
artikelnya bagus sekali, thanks
ok, makasih support dan apresiasinya, bos!
walau bagai mana pun itulah adanya..
kalo pengen berubah ya harus kita yagn mulai..
betul sekali. semua perlu dimulai dari lingkungan terkeci. lama2 pasti akan menjadi sebuah kekuatan kolektif.
@Sawali Tuhusetya, yup…begitulah lebihkurang nya…
Salam kenal prend….
Kalau dari mulai yang kecil sudah didik untuk terus lurus, tentunya akan kecil kemungkinan hal-hal yang terjadi di negeri kelelawar
contoh:
untuk melanjutkan ke sebuah jenjang pendidikan saja, sekarang ini…
uang dijadikan sebagai syarat utamanya….waduh..waduh…belum dengan yang lain. entah pejabat tinggi, pertahanan dan yang lain…
sungguh mengenaskan….
wah, itu yang terjadi di indonesia. agaknya negeri kelelawar pun mengalami hal serupa, mas, hehe …
artikelnya bagus sekali, thanks\:d/
ok, makasih atas apresiasinya, mas doris.
mudah-mudahan negeri kelelawar bisa cepat damai
amiiin, semoga bisa segera terwujud.
Wahhh.. bagus nih ceritanya… hehehe
Good luck brother :)
walah, biasa saja kok, mas, sekadar tulisan slengekan.
blognya bagus,
salam kenal….
need IT???
http://www.linovtech.com
salam kenal juga, mas aris. terima kasih apresiasinya.
makasih infonya
waw
cerita yang menarik,,
semoga bisa buat yang lebih menarik lagi yach pak..
SAlam kenal ta gan 🙂