Negeri Kelelawar Menjadi Sarang Koruptor

Kategori Negeri Kelelawar Oleh

(Kisah ini merupakan bagian ke-12 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8), Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10), dan Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar (11)).

Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Suasana dingin berkabut. Gunung, lembah, dan ngarai tak henti-hentinya menggelontorkan gumpalan kabut yang membadai di seantero lembah Negeri Kelelawar. Meski demikian, negeri tropis itu tak sanggup membendung suasana gerah dan panas. Di berbagai sudut dan lorong lembah, muncul kerumunan rakyat kelelawar dengan tatapan mata beringas dan kalap. Seperti dikomando, secara bergelombang, mereka berkerumun, lantas membangun iring-iringan seperti gerombolan masyarakat purba yang hendak melakukan ritus pengorbanan di atas altar para dewa. Mulut mereka tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel yang gegap-gempita.

negeri kekelawarnegeri kekelawar“Gantung koruptor! Gantung koruptor!” teriak mereka berulang-ulang. Garang dan bersemangat. Suara yel-yel yang gegap-gempita itu seperti menggetarkan pintu langit sehingga menggeliatkan para kelelawar yang bergelantungan di pinggang dan punggung goa. Karuan saja, para kelelawar yang terkantuk-kantuk dan terlelap dalam mimpi panjang serentak membuka kelopak mata, lantas terbang melintasi bubungan atap rumah-rumah penduduk. Tergesa-gesa. Dalam sorotan lampu merkuri yang temaram, sesekali moncong kelelawar terantuk bangunan beton yang angkuh dan tinggi menjulang. Tergeragap, mengendap-endap, lantas kembali menggeliat; terbang melintasi temaram lampu merkuri.

Ya, ya, ya, sebulan belakangan ini, rakyat negeri kelelawar memang tengah membangun sebuah gerakan penyadaran secara kolektif untuk mewaspadai korupsi sebagai bahaya laten yang mesti diberantas. Korupsi, menurut para aktivis gerakan antikorupsi, dianggap sebagai biang kerok yang telah membikin negeri seribu lembah itu tersungkur dalam kubangan kemiskinan yang berlarut-larut. Sudah lebih enam dasawarsa hidup di alam merdeka, tetapi mulut rakyat baru sanggup berteriak setengah merdeka dari penjajahan neo-kolonialisme yang dalam praktiknya mewujud dalam gerakan materialisme, konsumtivisme, hedonisme, atau liberalisme. Praktik ekonomi yang korup dan penuh limbah manipulasi, membuat anggaran negeri Kelelawar terpasung dalam kebijakan-kebijakan semu yang hanya menguntungkan beberapa gelintir orang yang masuk dalam jaringan dan lingkaran kekuasaan. Selebihnya, rakyat mesti menjadi tumbal kebijakan yang tak pernah berpihak kepada rakyat yang bertahun-tahun lamanya terlilit hutang dan kemiskinan yang mencekik leher. Ironisnya, kaum elite negeri kelelawar justru makin tenggelam dalam kepongahan dan kian rakus dalam menguasai aset-aset ekonomi yang seharusnya dikelola dan dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat.

Kaum kelas menengah negeri Kelelawar seperti baru saja bangkit dari alam sonya ruri. Mereka baru sadar kalau selama ini kekayaan negeri mereka telah dijarah habis-habisan oleh para koruptor yang rakus dan serakah, tetapi berpenampilan santun dan rendah hati. Para koruptor, agaknya menguasai betul taktik psikologi massa, sehingga demikian gampang mengambil hati dan bermain simulasi di tengah panggung kehidupan yang nyata-nyata dialami oleh para kawula negeri yang miskin. Yang lebih merepotkan, para koruptor memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam setiap lini dan jaringan birokrasi, sehingga (nyaris) tak ada program dan kebijakan yang luput dari aroma korupsi. Dalam kondisi seperti itu, rakyat yang sudah jatuh dalam lubang kemiskinan terus ditimbuni dengan beban hutang luar negeri yang pada kenyataannya hanya digunakan untuk memperkaya pundi-pundi para penguasa dan jaringannya. Kondisi semacam itulah yang memicu gerakan rakyat negeri kelelawar untuk melakukan aksi perlawanan terhadap korupsi secara masif dalam setiap ruang dan waktu.

Meski demikian, untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap perilaku korupsi ternyata bukan perkara gampang. Rakyat juga mesti berhadapan dengan aparat penegak hukum yang nyata-nyata menunjukkan keberpihakan kepada para pengemplang harta negara itu. Hampir tak ada vonis mematikan bagi para koruptor sehingga gagal memberikan efek jera. Berbagai media demikian gencar mewartakan tentang aksi para koruptor dengan berbagai modus operandi-nya, tetapi para pendosa itu tak pernah bisa diadili di pengadilan. Dengan berbagai dalih dan argumen, mereka selalu bisa lolos dari jerat hukum. Kondisi itu diperparah dengan maraknya mafia hukum dan peradilan yang demikian gampang mempermainkan aparat penegak hukum dalam mengawal dan menegakkan supremasi hukum.

***

Di tengah maraknya aksi demo yang masif melakukan perlawanan terhadap para koruptor, para pejabat dan elite negara justru tidak menunjukkan empati terhadap nasib rakyat yang makin miskin dan hidup terlunta-lunta. Entah anggaran negara dari mana, beberapa pejabat teras justru pamer kekayaan dengan memasang gigi berlapis berlian. Konon, pemasangan gigi berlian itu konon dilakukan untuk menunjang tugas-tugas kenegaraan di negeri kelelawar yang harus banyak berurusan dengan pelayanan publik. Padahal, untuk memasang satu gigi berlian saja mesti mengeluarkan duwit hampir setengah milyar.

“Sungguh tidak etis kalau melakukan pelayanan publik, tapi kita tampil loyo dan tak berdaya dengan tampilan gigi yang kurang meyakinkan,” kata sekretaris negara seperti tanpa beban. “Dengan tampilan gigi yang oke, para pejabat publik bisa tampil percaya diri setiap saat meski tanpa harus sikat gigi terlebih dahulu, hahaha …” lanjutnya di tengah kerumunan wartawan sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan beberapa deretan gigi berliannya yang bercahaya. Meski banyak menuai kritik, pemasangan gigi berlian itu berlanjut terus. Bahkan, para pejabat elite di berbagai daerah melakukan tindakan yang sama dengan memasang gigi berlapis emas.

Perilaku korupsi di negeri kelelawar memang benar-benar sudah berada di titik nazir peradaban. Berbagai upaya terus dilakukan oleh para aktivis untuk membuat negeri itu sehat dan bersih dari limbah korupsi. Namun, meski belum bisa dikatakan sia-sia, aksi mereka agaknya masih butuh waktu dan proses yang amat panjang. Entah, sampai kapan? *** (Bersambung)

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

180 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Negeri Kelelawar

Go to Top