Sudah hampir dua pekan, saya (nyaris) tak bersentuhan dengan dunia maya. Masih sesekali memang. Itu pun hanya sebatas melakukan kunjungan balik ke beberapa rumah sahabat yang kebetulan sempat meninggalkan pesan dan jejak komentarnya di rumah maya ini. Selebihnya, saya lebih banyak berurusan dengan ranah offline. Sebuah alasan klasik dan lebih terkesan sebagai pembelaan, haks.
Di tengah situasi “hiatus” seperti itu, tiba-tiba saja saya tersentak dan dirisaukan oleh berita tentang makin dimarginalkannya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDSH), sebuah “museum” sastra yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai saksi peradaban sebuah bangsa yang terus bergerak menemukan “takdir”-nya. Namun, itulah realitas yang terjadi. PDSH yang sejatinya bisa dimaknai sebagai ikon dunia sastra telah “dihabisi” akibat ketidakpedulian para pengambil kebijakan. Dengan alasan-alasan prosedural dan dicari-cari, mereka hendak menenggelamkan eksistensi PDSH ke dalam ceruk sejarah peradaban. Sungguh, sebuah sikap keblinger sekaligus mencerminkan betapa para pengambil kebijakan di negeri ini sama sekali tidak memiliki wisdom dan kearifan dalam mengelola aset-aset bangsa. Naif dan jauh dari sentuhan sikap wisdom dan negarawan.
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa PDS HB Jassin hanya memperoleh anggaran Rp 50 juta setahun makin membuktikan betapa ranah sastra di negeri ini memang kian dimarginalkan. Taruhlah Pemda DKI tak sanggup menggelontorkan dana yang memadai, tak adakah kearifan kaum elite negeri ini untuk melirik PDSH sebagai aset nasional yang perlu dipertahankan dan dikembangkan?
Jumat, 16 Mei 2008, atas jasa baik Mbak Hanna Fransisca dan Pak Maman S. Mahayana, buku kumpulan cerpen “Perempuan Bergaun Putih” berhasil diterbitkan dan diluncurkan di PDSH. Sebuah kehormatan buat saya pastinya. Apalagi, pada saat yang bersamaan juga digelar agenda diskusi kumpulan puisi penyair Malaysia, Ibrahim Ghaffar. “Aura” sastranya kian terasa. Di tempat itulah untuk pertama kalinya saya bisa merasakan langsung atmosfer sastra yang memancar dari sebuah gedung yang tersisih di Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat itu.
Sebelum peluncuran dimulai, saya sempat melihat beberapa dokumen bersejarah yang terpajang rapi di dinding gedung. Saya seperti menyaksikan mozaik sejarah sastra yang tak ternilai harganya. Di sana bisa disaksikan tulisan-tulisan tangan asli dari para sastrawan atau foto dan gambar “hitam-putih”; potret geliat dan dinamika kesastraan dari masa ke masa. Belum lagi dokumen-dokumen sastra berbentuk manuskrip atau buku yang berjumlah puluhan ribu. Sastra dari zaman ke zaman bisa dengan mudah ditemukan di PDSH.
Dalam konteks demikian, kegigihan HB Jassin dalam mendokumentasikan teks-teks sastra amat layak diapresiasi. Sungguh, bukan kerja yang mudah untuk bisa bersikap disiplin dalam mendokumentasikan teks-teks sastra. HB Jassin tak hanya sekadar mendokumentasikan secara harfiah, tetapi juga mencari, memburu, dan mengumpulkannya hingga menjadi sebuah pusat dokumentasi yang berwibawa dan disegani. Sungguh, kerja kreatif almarhum HB Jassin bukanlah kerja main-main. Dibutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerja keras, apalagi tanpa imbalan sepeser pun. Kalau lantas kemudian hasil kerja keras yang sangat berharga bagi perkembangan dunia sastra itu dimarginalkan dan dinistakan, apa kata dunia?
Di tengah nasib PDSH yang kian merana dan tak terurus, kita perlu mengapresiasi Gerakan Koin Sastra yang digagas beberapa sahabat aktivis. Semoga gerakan ini mampu membuka mata hati banyak kalangan bahwa sastra di negeri ini bisa menjadi saksi zaman dan mata air peradaban yang tidak sepantasnya dimarginalkan. Sungguh disayangkan kalau PDSH yang bisa dijadikan sebagai “museum sastra” sekaligus ruang beraktivitas harus tergusur dari sejarah peradaban negeri ini. Salam budaya! ***
koment saya yang pertamax di postingan ‘ranah sastra yang kian dimarginalkan’ ini boleh pak?
Semoga Pak, amin, hanya itu yang saya bisa lakukan sekarang…
Harapan kita semua tak tergusur, tentunya harus diperbanyak kegiatan di museum tersebut.
semoga pemerintah menydari warisan ini untuk generasi yang akan datang. Bahasa Ibu indonesia tetap jadi nomor satu, bagaimana kalw itu digeser dengan mengeser pengantar dg bahasa inggris. jepang saja memakai bahasa ibunya. nilai sastra harus tetap terpelihara.
Kayaknya pak FW dulu bahasa Indonesianya kalawo ulangan beliau contekan sama temen sebelah pak, itu pun mingsih remidial. Sungguh terlalu ya pak?
pemerintah DKI lalai..
nice info…
keep posting…
salam kenal.
saya rasa bukan hanya di Jakarta saja kejadian seperti ini pak. Kayaknya memang perlu adanya menteri kesenian, biar orang-orang Indonesia ndak kaku ….
ya begini jadinya kalau menteri itu berasal dari partai politik, bukan dari sosok profesional pada bidangnya. coba kalau menteri itu berasal dari kalangan profesional, ;asti dia paham apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus diperjuangkan untuk negeri ini
kok bisa begitu ya pemda DKI…kacauu
Apa yang terjadi dengan Pusat Dokumentasi HB Jassin adalah sangat menyedihkan.
Sarana yang sangat penting bagi kesusasteraan Indonesia hanya diberi anggaran Rp 50 Juta pada hal harusnya Rp 1 milyar lebih.
Padahal kalau kita lihat negara-2 maju didunia semuanya semuanya sangat menghargai sastrawan dan karya2 mereka.
Assalamualaikum pak Sawali…
Heh..baca ini saya jadi teringat penuturan teman saya,,,
“Siapa sih yang sebenarnya negois? Emang gak boleh anak seni rupa ikut kelompok sastra. Apa sih yang mereka tahu tentang sastra? Siapa yang egois?”
sepertinya ini merupakan bentuk kelalaian dan ketidakpedulian pemda DKI terhadap sebuah dokumentasi sejarah.. tapi gubernurnya sudah mengakui kok dan berjanji akan merevisi anggaran dana untuk PDSH ini
selamat siang sobat… kunjungan di siang hari untuk mencari follow dan backlink… semoga berkenan
Mampir lagi ajah boleh ya, kunjungan baliiikkk…
ini karena sastra dianggap kurang penting oleh stakeholder. sungguh disayangkan. yuk demo! >:(
Hmm, inikah benang merahnya kenapa bangsa Indonesia semakin tak berbudaya belakangan ini? Saya pernah membaca kata bijak, seni dan sastra itu melembutkan hati dan mengasah perasaan. Mungkin, karena bangsa Indonesia semakin meninggalkan sastra, jadinya brutal begini. Kacau!
Bukan hanya HB Jassin, toh ‘pemakaman’ budaya dan seni di kota2 lain sepertinya mendapat imbas yang sama dari dulu. Ngga heran generasi sekarang lebih mengenal ‘West’ ketimbang ‘East’
Kesadaran anak bangsa untuk mencitani karya sastra bangsanya sendiri kian memudar. Saya sendiri kurang faham dengan masalah ini. Tapi semoga aja akan segera kembali bangkit
Susah bangeeet untuk komen di sini ya……
Salam budaya pak!! 😀
Meskipun saya tidak begitu mengenal “HB Jassin” , dan saya juga tidak begitu memahami tntang sosial budaya, tapi setelah membaca artikelnya, Pak Sawali, ……
Saya jadi ingin ikut berkomentar…
O ya, maaf kalau komentarnya salah…he..he..
Budaya itukan bisa diibaratkan sebagai nyawa dari suatu masyarakat, kalau ngga salah…he.he..
Berarti, kalau budaya saja sudah di marginalkan seperti ini, nyawanya juga ikut marginal dong, Pak….he..he…
Terimakasih banyak atas informasinya, Pak..
Kirain saya, marginal itu cuma ada di nama Band saja,..he..he..
Ternyata budayapun ikut di marginalkan…hmmm…
Kasihan karya besar seorang Paus Satra itu. Pengelola media massa seharusnya bisa membantu. Mereka jangan hanya sebagai wartawan yang menulis tentang korban tabrak lari yang tak diperhatikan. Sang wartawan sebagai manusia seharusnya begitu melihat dan segera turun tangan menolong. Bukan hanya berteriak tidak ada yang menolong.. Perusahaan media massa dan penerbitan seharusnya ikut berpartisipasi.
Selamat malam pak
sastra hari ini lebih banyak bersifat pop
muncul sastrawan dadakan yang menulis hanya atas hasrat pembaca
jarang muncul penulis sastra idealis
semisal pramoedya, tohari, atau pak umar kayam
sedj
saya ikut tukeran link ya mas…
ini link saya..
http://www.hajarabis.com
linknya mas juga boleh dipasang di website saya…
thanks…sukses selalu..
Menyedihkan memang, Pak, betapa sastra yang kaya akan ilmu kehidupan yang sesungguhnya dalam pembentukan karakter umat manusia malah kurang mendapat perhatian serius dari pihak-pihak pengambil kebijakan. Semoga gerakan “koin sastra” akan terus berputar demi keberlangsungan denyut sastra di bumi pertiwi ini.
Salam kekerabatan.
mudah2an kalau nanti APBD tidak tersedot PSSI bisa dialokasikan ke ranah sastra, tetap semangat sastra Indonesia, semoga menjadi penyejuk ditengah bangsa yang kian panas …
lho, buku pak sawali yang dulu itu ternyata diluncurkan di PDS HB Jassin ya? he2. sekarang lagi heboh soal Taufiq Ismail, Pak. dituduh plagiat dan sempat digunjingkan soal tindakannya yg sempat menghalangi diskusi buku asep sambodja.
kabar terbaru koin sastra pds HB Jassin gimana ya? sangat sedih mendengar kondisi pds HB jassin yang tidak terurus dan minimnya perhatian pemerintah, padahal sastra merupakan asset besar dan bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa.
wah, kebetulan saya kurang begitu mengikuti perkembangan koinsastra. semoga saja makin banyak donatur tanpa pamrih yang mau memberikan kontribusinya ke pds hb jassin.
Dokumentasi karya sastra juga mencerminkan peradaban suatu bangsa. Semoga pemda DKI tergerak hatinya.
Setuju dengan pak Tikno, dari APBD yang begitu besar lebih baik disisihkan untuk pelestarian PDSH, dari pada banayak dialokasokan untuk beli mobil dinas dan seragam baru.
salam kenal mas bro 🙂