Bu Ismi: Guru Besar yang Rendah Hati

Bu IsmiNama lengkapnya Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si. Namun, lebih suka disapa Bu Ismi. “Jangan sampai jabatan dan gelar menjadi penghalang dalam pergaulan sosial yang egaliter, hehe …, ” kata guru besar FISIP UNS Solo itu. Begitulah respon Bu Ismi setiap kali namanya ditambahi embel-embel Profesor. “Cukuplah gelar semacam itu untuk di kampus saja,” tegasnya.

Ya, ya, di tengah banyaknya akademisi yang “gila” gelar dan jabatan hingga tak sedikit yang memburunya dengan cara-cara curang, bahkan rela melacurkan diri dengan melakukan plagiasi karya ilmiah, apa yang dilakukan oleh Bu Ismi layak diapresiasi. Sempat beberapa kali bertemu dalam forum Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Pendidikan di Jawa Tengah, membuat saya tercenung. Andai saja setiap akademisi kampus bersikap seperti Bu Ismi, bisa jadi kampus akan steril dari “limbah” kemunafikan dan kenaifan akademik. Tridarma Perguruan Tinggi (PT) tak hanya sekadar slogan, tetapi benar-benar membumi, hingga akhirnya kampus mampu melahirkan generasi “kelas menengah” yang sanggup menjadi motor dan penggerak perubahan.

Harus diakui, insan kampus, khususnya mahasiswa, selalu menjadi agen perubahan sosial pada setiap zaman. Sejak rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi bergulir di negeri ini, mahasiwa selalu berdiri di garda depan dalam melakukan perubahan. Namun, dalam perkembangannya, ketika Orde Reformasi berhasil menumbangkan gurita rezim Orde Baru, mahasiswa dinilai makin terbelah ke dalam berbagai kelompok kepentingan. Kran politik yang demikian terbuka, disadari atau tidak, telah membuat kandidat intelektual kita demikian mudah terjebak ke dalam arus kelompok kepentingan yang “dikendalikan” oleh tangan-tangan politik yang (nyaris) tak tersentuh. Idealisme mereka dinilai sudah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik praktis. Tak heran jika “pentolan” mahasiswa yang dulu gencar meneriakkan “reformasi” tak sedikit yang masuk dalam jerat politik yang benar-benar membunuh idealisme mereka. Sudah jadi rahasia umum, politik di negeri ini sebagian besar sudah kehilangan fatzoen dan kearifan politik. Rakyat tidak lagi menjadi subjek, tetapi hanya menjadi objek politik untuk “memuaskan” naluri politik para politisi yang haus kekuasaan. Dan bisa dipastikan, mantan aktivis mahasiswa yang sudah terperangkap ke dalam kerangkeng politik praktis, jadi mandul, tiarap, dan tak sanggup lagi bersuara untuk memperjuangan kepentingan rakyat.

“Mandul”-nya idealisme mahasiswa bisa jadi disebabkan lantaran atmosfer internal PT yang dinilai mengalami degradasi intelektual yang cukup serius. Para akademisi yang seharusnya menjadi “patron” teladan dalam berkarya dan menulis karya ilmiah (termasuk buku) dinilai masih amat minim. Tak sedikit elite akademisi kita yang justru “berselingkuh” dengan partai politik sehingga gairah mereka untuk berkarya dan menulis buku untuk mendinamiskan dunia keilmuan jadi mlempem.

PT, sebagaimana dikemukakan Tejoyuwono Notohadiprawiro (2006), pada hakikatnya terjabarkan dalam Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Tiap darma memiliki dua rona, yaitu rona universal dan rona nasional. Dalam rona universal, PT menempatkan diri dalam jajaran masyarakat terpelajar dunia, pejuang kemanusiaan dan HAM, serta sumber ilmu pengetahuan. Sedangkan, dalam rona nasional, PT menempatkan diri sebagai pemikir dan hati nurani bangsanya serta sebagai sumber teknologi bagi kesejahteraan dan bangsanya.

Namun, kenyataan menunjukkan, keadaan PT dan produktivitas peneliti di Indonesia saat ini justru sangat memperihatinkan. Nisbah mahasiswa pascasarjana, masih menurut Tejoyuwono Notohadiprawiro, terhadap seluruh populasi mahasiswa yang terdaftar sangat rendah, hanya 0,7%. Sekadar perbandingan, nisbah di Thailand sebesar 2,4%, Brasil (2,7%), RRC (3,2%), Meksiko (3,3%), dan Korea (5,7%). Publikasi internasional para peneliti Indonesia juga rendah. Jumlah makalah ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional bergengsi yang berasal dari peneliti Indonesia hanya kira-kira sepertiga dari jumlah yang berasal dari Thailand dan Kenya, 25% dari Nigeria, 10 dari Korea, dan 2% dari RRC. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa mutu sumberdaya manusia masih rendah dan belum berkembang. Dalam konteks demikian, mutu dan kemampuan ilmiah para dosen PT idealnya perlu terus dipacu dan ditumbuhkembangkan, baik dalam mengajar, melatih pekerjaan laboratorium dan lapangan, maupun dalam membimbing skripsi, tesis, dan disertasi.

Profil Bu Ismi:
1. Nama: Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si.
2. Tempat/Tanggal Lahir: Purworejo 25 Agustus 1961
3. Riwayat Pendidikan: (1) S-1: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, 1985 (Bidang Ilmu: Ilmu Administrasi Negara); (2) S-2: FPS Universitas Gadjah Mada, 1995 (Bidang Ilmu: Ilmu Administrasi Negara); dan S-3: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, 2008 (Bidang Ilmu: Ilmu Administrasi Negara)
4. Fakultas – Prodi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – ILMU ADMINISTRASI NEGARA
5. Keahlian: Ilmu Adminstrasi Negara
6. Judul Disertasi: Kualitas dan Dinamika Formulasi Kebijakan Pendidikan Berperspektif Gender di Propinsi Jawa Tengah
7. Judul Pidato Pengukuhan: Reformasi Administrasi Publik Adil Gender (2011-05-05)
8. Email: ismi_uns@yahoo.com
9. Web: isminurhaeni.staff.fisip.uns.ac.id

(Profil selengkapnya bisa dilihat di sini)

Di tengah jerat “politisasi” PT dan “mandul”-nya kaum akademisi kita dalam memublikasikan karya ilmiah, Bu Ismi agaknya termasuk satu di antara beberapa dosen yang layak dikecualikan. Puluhan karyanya, baik dalam bentuk buku, jurnal, penelitian, maupun esai telah dijadikan sebagai rujukan baku di kalangan mahasiswa dan peneliti. Demikian juga pengabdiannya kepada masyarakat dan berbagai kegiatan yang ditekuninya selama ini. Bu Ismi termasuk sosok akademisi yang tak berhenti hanya pada tataran teori, tetapi juga gencar memasuki ranah praktis.

Dalam soal sosialisasi dan implementasi kesetaraan gender di berbagai lini kehidupan, misalnya, Bu Ismi adalah pakarnya. Sudah tak terhitung lokakarya, seminar, workshop, atau pelatihan berbasis kesetaraan gender yang diikutinya. Namun, dalam berbagai kesempatan, dia tak pernah mengagungkan embel-embel akademis yang melekat padanya. Dia selalu rendah hati, akomodatif, dan sangat menghargai perbedaan. Saya termasuk beruntung pernah ikut mendampingi Bu Ismi dalam beberapa event pelatihan PUG Pendidikan di tingkat Jawa Tengah. Dalam berbagai diskusi antar-fasilatator, Bu Ismi tidak mendominasi pembicaraan. Bahkan, sering meminta masukan dari para guru ketika pelatihan sudah memasuki ranah teknis dalam pembelajaran di sekolah.

gendergendergendergender

Dua buku hadiah dari Bu Ismi

Saya juga sangat beruntung ketika secara tak terduga Bu Ismi memberikan dua hadiah buku yang amat berharga, yakni Kebijakan Publik Pro Gender diterbitkan atas kerja sama Lembaga Penelitian Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) Surakarta (2009) setebal 166 halaman dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Pemberdayaan Perempuan menuju Pengarusutamaan Gender yang diterbitkan oleh CakraBooks Solo Bekerja Sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) dan LPPM UNS Surakarta (2011) setebal 356 halaman. Terima kasih sekali atas hadiah bukunya, Prof. …. eh Bu Ismi.

Kiprah Bu Ismi tak hanya sebatas di dunia offline. Secara online, Bu Ismi mengelola blog pribadinya yang tetap rutin ter-update sebagai “perpustakaan virtual”-nya, bahkan juga masih memanfaatkan jejaring sosial semacam facebook untuk menjalin pertemanan dengan banyak kalangan. Di tengah kesibukan yang menumpuk, amat jarang seorang guru besar yang mau meluangkan waktu membangun semangat berbagi dan silaturahmi melalui dunia maya. Dalam pandangan awam saya, Bu Ismi bisa dibilang sebagai seorang resi yang “tapa ngrame” dan inklusif; seorang ilmuwan yang tak mau terkungkung di atas puncak menara gading akademik, tetapi terus berkarya dan mengabdi buat bangsa, lentur terhadap perubahan, dan bergaul secara “manjing ajur ajer” dengan berbagai kalangan. Terima kasih atas tebaran “virus” keilmuannya, Bu Ismi. Teruslah berkarya untuk bangsa! ***

46 Comments

  1. Salut untuk Bu Ismi! Semoga Allah Swt selalu memberi kekuatan untuk tetap berkarya dan mengabdi untuk Indonesia tercinta. Amin

  2. Kalau denger atau membaca kata “Politik”, jadi kepikiran akan hal yang berat atau semrawut, tapi setelah baca profil Bu Ismi ini, kayaknya nggak begitu deh… 🙂

  3. Orang yang mengejar gelar dengan cara-cara curang seperti melakukan plagiasi saya kira tidak pantas disebut akademisi, Pak.

    Disiplin ilmu Bu Ismi di Administrasi Negara. 1994 saya diterima di AN UGM tetapi saya cabut pendaftaran ulang dan memilih belajar manajemen di UPH. Maklum yang di UPH saya kuliah gratis sampai lulus…

    Mengenai nisbah pasca sarjana, itulah potret demografi kita, Pak. Makanya orang yang bisa S2 dan S3 diharapkan mampu menjadi permata bagi bangsa ini karena mereka termasuk kaum elit yang jumlahnya sangat sedikit di negara ini. Yang sudah lulus S1 juga perlu menjadi intan karena termasuk ke dalam golongan 5% penduduk Indonesia. (Eh, saya termasuk yang 5% ya?)

  4. Somoga semangat idealisme Bu Ismi tetap terpelihara sampai beliau pensiun yah Pak Sawali. Biarkan rekan-rekannya berkompromi dengan idealisme mereka karena di desak oleh berbagai kebutuhan ekonomi. Semoga Bu Ismi tidak 🙂

  5. Namun saya rasa bukan hanya mutu pengajar saja yang ditingkatkan, tapi juga perhatian dan penghargaan dari pemerintah juga harus ditingkatkan. Faktanya banyak para ahli-ahli Indonesia yang justru enjoy mengajar di luar negeri dan menjadi peneliti di luar negeri., dan mereka saya yakin memiliki kualitas yang diatas rata-rata. Tapi kenapa mereka kurang berminat untukmengajar di negeri sendiri ? Suatu hal yang wajar bila mereka memberikan alasan soal kebutuhan hidup.

  6. Selain kompetensi dalam sebuah bidang, ada hal yang jauh lebih penting untuk dimiliki seorang Guru, yaitu sikap rendah hati.. semoga memang dengan kinerja seperti ini maka calon2 pemimpin bangsa akan terlahir jauh lebih baik dari yang sekarang ya pak 🙂

  7. Wah, sekarang memang jarang yang ngomongin soal karya ilmiah. yang banyak saya temui cuma mengajar dan ‘ngajar’. Soal riset dan karya sepertinya semakin berkurang. Apa kualitas kita semakin susut?

  8. kalau kualitas itu tergantung dari pribadi masing-masing menyikapi,, terkadang seseorang menilai sesuatu hal itu juga bisa dilihat seberapa besar kontribusi melalui karya-karya yang telah dihasilkannya,,

  9. Profesor adalah jabatan fungsional tertinggi dalam pendidikan yang patut diacungi jempol. Jabatan semacam itu memang perlu perjuangan yang keras untuk dapat meraihnya…selamat untuk para profesor…

  10. Menjadi keharusan, suatu gelar bisa membuktikan kredibel seseorang. Apakah pantas gelarnya untuk disandang?
    Bu Ismi salah satu inspirator bagi saya yang masih muda akan ilmu dan pengalaman.
    😛

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *