Menentukan “Ruh” Cerpen Pilihan

Menentukan “Ruh” Cerpen Pilihan

(Jelang Festival Pergelaran Sastra (Cerpen) se-Kalimantan Selatan di Ajang Aruh Sastra VIII tahun 2011)

Oleh : Ali Syamsudin Arsi

Dalam surat edaran yang saya dapat dari panitia dan telah disampaikan ke masing-masing daerah dengan tujuan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dewan Kesenian Kota/Kabupaten, pada lembar ketiga poin tiga terbaca “Festival Pergelaran Sastra. Pergelaran sastra adalah seni memvisualkan cerpen (karya sastra=pen) ke dalam bentuk lakon; kombinasi sastra, teater, tari, musik dan seni rupa. Setiap Kabupaten/Kota mempergelarkan satu dari lima naskah yang telah disediakan panitia.  Dewan juri pergelaran sastra H. Adjim Arijadi, Drs. Syarifuddin AR, dan Burhanudin Soebly.”

asaLima cerpen pilihan sebagai materi festival tersebut, yaitu 1) Bunglon, karya Anton Cekov, 2) Kurik, karya Hasan Al-Banna, 3) Lukisan Angsa, karya Fakhrunnas MA Jabbar, 4) Buaya Putih, karya Ajamuddin Tifani, dan 5) Senja Kuning Sungai Martapura, karya Sandi Firly.

Paparan saya ini bukan bermaksud menggiring pemikiran pada sesuatu yang mutlak atau harus, tetapi sebagai upaya mensosialisasikan tahap awal kepada mereka yang akan terlibat secara langsung maupun tidak langsung terlibat, baik kepada para dewan juri, para pengarah laku, pemain, pemusik, atau siapa saja, bahkan penonton gelaran itu nantinya.

Sebelumnya saya sarankan agar konsep yang bernama pergelaran sastra itu dimatangkan terlebih dahulu oleh para dewan juri dan disinkronkan kepada para penampil plus kepada mereka yang akan terlibat di dalam penggarapannya, ini dilakukan agar pemahamannya menjadi jelas dan tidak terjadi kesalahan dalam menafsirkan maksud dan tujuan atau landasan penilaian. Karena ini merupakan ajang tampil yang dilombakan, apalagi dengan jumlah hadiah cukup besar. Paling tidak panitia menyiapkan agenda khusus ‘mempertemukan’ antara dewan juri (lengkap) dengan para peserta (perwakilan) yang berjarak waktu jauh dari ‘saat-festival’ diadakan, boleh jadi 3 minggu sebelumnya, lebih dari itu lebih baik tentunya. Ketuntasan dalam pemahaman dari pertemuan itu akan sangat membantu ke semua pihak dan tentu akan memudahkan dalam merencanakan segala sesuatunya.

Bagian lain yang ingin saya sampaikan adalah menawarkan beberapa pilihan dalam menafsirkan masing-masing naskah dari 5 cerpen yang ditentukan oleh panitia. Lima cerpen terebut satu sama lain memiliki karaternya yang berbeda, ada kekuatan karakter pada unsur emosi, ada kelucuan, ada dramatik, ada pula yang melankolis, klasik dan imajinatif. Semua unsur itu tentu saja dapat ditemukan tidak hanya dalam satu situasi karena beberapa unsur itu dapat bertemu dan bahkan saling-silang. Untuk menentukan unsur apa yang akan ditarik ke permukaan diperlukan ketelitian, kejelian dan daya bayang seorang sutradara tentunya.

Cerpen “Lukisan Angsa” bila dibaca sepintas sangatlah ringan dan mengapung, bahkan untuk menemukan kemeriahan akan mendapat kendala, tetapi secara realis-melankolis menjadi ‘kekuatan’ tersendiri, percintaan klasik. Ada satu hal yang akan menantang kreatifitas garapan, yaitu ketika tokoh perempuan membuka peluang untuk berimajinasi dalam lamunannya sendiri.

Cerpen “Senja Kuning Sungai Martapura” adalah sebuah gambaran emosi dari sang tokoh utama, membangun emosi ini tentu saja memerlukan garapan yang tidaklah mudah, ada sesuatu yang berpendar bahkan ke pikuk dan melenting, tetapi pula ada yang menggetarkan ke bilik-bilik mengharu-biru.

Cerpen “Bunglon”, sikap, perilaku, cepat berubah, mempolitisir situasi dan mengalahkan kehendak orang lain, cari selamat, menjilat, adalah gambaran yang tidak terlalu jauh dengan kondisi terkini, hukum dan undang-undang silahkan tertulis tetapi bagaimana cara membacanya adalah bagian lain dari perubahan sikap yang cepat dalam bertindak.

Cerpen “Buaya Putih”, gambaran masyarakat yang dekat, yang mengabarkan bahwa apa pun yang dilakukan dapat saja diterima asal dengan alasan-alasan dan trik-trik yang tepat, walau kesadaran bahwa ‘mambunguli-dibunguli’ adalah sesuatu yang dapat saja menggelitik kita dalam hidup keseharian, ia boleh jadi menghadirkan kegeraman sekaligus pula menampilkan kelucuan-kejenakaan. Silahkan terbahak-bahak, tetapi sadarlah ada yang menipu di sana.

Cerpen “Kurik”, di sini, ada cermin yang memantulkan bayang-bayang penuh pengharapan dan ketidak-tulusan itu menjadi taruhan ketika ia tampil sebagai bentuk permainan di atas panggung di satu bagian betapa perasaan si “kurik” dalam situasi terpasung, terpidana, sebagai korban, ternyata pengorbanan itu menjadi sia-sia belaka.

Kelima cerpen tersebut boleh jadi akan ditampilkan secara utuh di atas pentas seperti yang dilakukan dalam festival pagelaran sastra di ajang Aruh Sastra V di kota Paringin, Kabupaten Balangan. Pada festival kali ini hal tersebut di atas boleh saja berlaku kembali atau akan ada perubahan, semisal dalam menampilkan sebuah cerpen hanya ditentukan bagian-bagian terpentingnya saja  tetapi tidak merusak pola pikir mendasar dalam cerpennya. Ini hanya berupa tawaran dalam persiapan secara keseluruhan festival pagelaran sastra pada ajang Aruh Sastra VIII di kota Barabai, tawaran ini pun selayaknya dijadikan agenda pembicaraan pertemuan antara panitia, dewan juri dengan para peserta. Semua itu untuk dapat menentukan “ruh” di masing-masing cerpen sebagai pilihan. Termasuk di dalamnya menampilkan simbol-simbol untuk memperkuat penampilan, cahaya, bunyi-bunyian, unsur gerak dan sendra ataukah ingin menarik visi- misi dan amanat yang harus tersampaikan dengan seutuhnya; lurus ke depan mengikuti alur cerita dari mula sampai ke ujungnya.

Saya pun mencoba membuka ruang untuk menemukan hal-hal yang belum terbaca di antara rangkaian satu-kesatuan cerpen tersaji sebagai materi lomba. ***

No Comments

  1. Semoga uraian yang demikian ini tidak “membunuh” kreativitas para seniman sastra yang ikut pergelaran sastra, tetapi justru sungguh membantu untuk membuka kreativitas yang semakin memerdekakan. Sehingga karya-karya yang dipergelarkan sangatlah menarik dari semua sisi seni sastra. Selamat mempersiapkan pergelaran para pekerja seni sastra. Hidup sastra!
    Salam kekerabatan.

  2. Festival sastra seperti ini perlu diselenggarakan secara rutin diberbagai mas Sawali, dengan demikian maka generasi yang akan datang tetap mengenal karya sastra bangsa sendiri.

  3. Festival Pergelaran Sastra, baru pertama kalinya saya mengetahui kegiatan ini. Saya hanya tahu adanya festival; tari, budaya, dalang cilik dsb. Belum pernah sekalipun menghadiri festival sastra.

  4. Uraian itu semoga tidak akan memasung kreativitas para pelaku pergelaran, tetapi menjadi inspirasi yang mampu membuka banyak inspirasi kreasi seni sastra untuk dipergelarkan. Sehingga, bakal ditemukan pemenang yang dahsyat.
    Salam kekerabatan.

  5. Wah, ada lomba cerpen. Semenjak 10 tahun lalu saya masih belum mendengan adanya lomba cerpen di kota saya. Entah kenapa, sastra bukan menjadi daya tarik tersendiri. Malahan mereka banyak mengadakan festifal musik yang sedari dulu alunannya itu2 saja, tak berubah.

  6. Semoga dapat melahirkan seorang sastrawan yang memiliki talenta yang kuat, dan dapat mengangkat hasil citra anak negeri ini. Sukses untuk pegelaran lombanya.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah’s Blog

  7. Membaca dulu, menambah inspirasi..

    jarang sekali ada lomba cerpen, kebanyakan musik.

    Apa karena embel-embelnya yg besar, sehingga banyak peminatnya.. ? 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *