Baca Puisi Mengenang Tujuh Hari Kematian W.S. Rendra

Rabu, 12 Agustus 2009 (pukul 15.30 s.d. 16.15 WIB), Pendapa Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menjadi saksi kiprah sejumlah seniman dan wartawan yang tengah berupaya mengenang tujuh hari kepergian si Burung Merak, W.S. Rendra, dengan berorasi dan membacakan puisi-puisi karya penyair balada itu. Ada belasan puisi yang dibacakan secara bergantian oleh para penggiat seni yang hadir. Selain sejumlah seniman dan wartawan Kendal, hadir juga Bowo Kajangan dan rombongan dari Semarang yang ikut memeriahkan acara dadakan itu.

Tak ada acara protokoler resmi. Semuanya mengalir begitu saja ala kaum seniman. Mereka bebas berekspresi ketika didaulat untuk membacakan puisi-puisi naratif dan satiris karya sang penyair balada itu.

“Seragam kita boleh berbeda. Tapi kehadiran kita di sini hanya satu tujuan, yakni untuk mengenang seorang penyair besar yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kemajuan kesenian dan kebudayaan Indonesia,” kata salah seorang seniman sebelum membaca puisi.

Siapa pun yang tampil diberikan kebebasan untuk sedikit berorasi dan kembali mengingatkan bahwa di negeri ini pernah lahir seorang penyair besar yang dengan sangat sadar menjadikan penyair sebagai sebuah profesi kebanggaan dalam KTP-nya.

Ya, ya, ya, W.S. Rendra memang layak dikenang. Kepergiannya menghadap Sang Khalik merupakan sebuah kehilangan, tak hanya buat bangsa kita dan para pengagumnya, tetapi juga buat para pejuang kebudayaan yang tersebar di berbagai belahan dunia. Karya-karyanya yang memadukan antara romantisme alam dan geliat budaya yang multidimensi seperti telah menjadi “sihir” estetis yang menghipnotis banyak orang secara lintas-geografis. Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah kesarjanaan, mulai level strata I hingga strata III.

Kesetiaan Rendra dalam menjaga gawang kesenian dan kebudayaan agaknya telah membuat hidup Rendra (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan politik praktis. Kalau toh bicara soal politik, ia selalu menggunakan paradigma kesenian dan kebudayaan. Begitulah sosok Rendra yang bisa demikian konsisten dalam memperjuangkan nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran, meski harus ditebus dengan menjadi penghuni kerangkeng penjara. Di tengah peradaban yang makin gila dalam memberhalakan gaya hidup hedonistis dan konsumtif, Rendra tak pernah terperangkap untuk ikut-ikutan latah masuk dalam lingkaran kekuasaan. Ia tetap bersarang dalam sangkar kesenian dan kebudayaan.

Meski demikian, agaknya kita tak perlu larut dalam romantisme berlebihan ke dalam sosok Rendra dengan segenap sihir dan daya pesonanya. Ia sudah meninggalkan kita dan tengah melanjutkan kehidupan barunya di alam keabadian. Yang perlu kita lakukan adalah meneladani semangatnya dalam berkesenian dan kebudayaan di tengah ancaman gaya hidup yang serba hedonis dan serba memberhalakan gebyar lahiriah.

Berikut ini saya kutipkan beberapa puisi karya W.S. Rendra yang dibacakan di depan Pendapa Kabupaten Kendal dalam mengenang tujuh hari kematiannya.

ORANG-ORANG MISKIN
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

AKU TULIS PAMPLET INI

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.

Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

Meski berlangsung singkat, semoga acara dadakan ini bisa menjadi penanda bahwa semangat Rendra tak pernah mati, bahkan akan terus terpahat dalam prasasti nurani bangsa dari generasi ke generasi. Semoga!

No Comments

  1. Wah langsung aktualisasi yah kecintaannya terhadap Sang Burung Merak =d>

    Saya sedang memikirkan begini mas. Siapa kah yang akan menggantikan generasi generasi hebat setelah W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Taufik Ismail. Saya baru mengenal Abdurrahman Faiz yang punya kematangan pemikiran yang sama 🙂
    .-= Baca juga tulisan terbaru dhodie berjudul Mimpi di Tiga Atap Tanah Jawa =-.

    1. hehe … wah, konon setiap zaman selalu saja akan melahirkan orang2 besar, mas dhodie. seandainya para sastrawan besar itu telah tiada, kemungkinan besar akan muncul juga sastrawan2 berikutnya.

  2. Selamat berpuisi Pak Sawali…
    Opo2 nek wis bidange memang nyenengke.
    Tapi nek kabeh berpuisi, lha nanti yang mengapresiasi sopo?

    Mangkanya saya cukup sebagai penikmat saja.
    Saya penikmat puisi juga, karena kakak saya juga mulang Bahasa Indonesia seangkatan Yant Mujiyanto & Suyitno.
    (Mungkin Pak Sawali pernah dengar nama itu…)
    .-= Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Mapan =-.

  3. mengapa rendra yang ndoro itu kok menyuarakan kemiskinan dan penderitaan ya, ataukah memang ketidakadilan memang sangat merajalela. Bagaimanapun juga sajak-sajaknya memang dahsyat dilihat dari kacamata manapun…
    .-= Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul Telaga Ngebel =-.

    1. betul, mas surya. lirik2 sajak rendra memang dahsyat. itulah yang bikin banyak orang kagum. rendra tak sebatas berbicara lewat teks, tetapi juga berbicara melalui tindakan dan perbuatannya yang selalu konsisten.

  4. Wah, padahal saya mau ikutan, tapi jauh sekali, saya di Jakarta. Saya pernah menciptakan lagu dari salah satu puisi Beliau yang berjudul “Kenangan dan Kesepian” dari bukunya “Empat kumpulan Sajak”. Saya ingin sekali menyanyikan lagu ini untuk mengenang Beliau, terutama seperti acara di atas. Apakah akan diadakan lagi di Jakarta, mungkin peringatan selanjutnya. Terima kasih apabila mau menginfokannya. Beliau betul2 telah memberi inspirasi pada anak bangsa…

  5. iya pak sawali…ws rendra memang pantas dikenang sebagai penyair yang kritis , semoga bisa muncul ws rendra baru ya pak…apreasi luar biasa buat pak sawali ….

  6. Dan yang lebih penting lagi, tampaknya justru semangat mengapresiasi karya seni orang lain yang terlihat sangat baik dalam acara ini terlepas dari sosok Rendra atau bukan.

    Ah, saya jadi ingat saya dulu suka sekali dengan puisinya Rendra yang sempat dinyanyikan Kantata Takwa yang saya lupa judulnya tapi liriknya kurang lebih begini “Orang-orang dirampas haknya, aku bernyanyi menjadi saksi”

    Salut!
    .-= Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Pipa Air dan Saluran Pembawa Rejeki =-.

    1. bener banget, mas don, upaya apresiasi semacam ini yang justru lebih penting, terlepas karya siapa yang mesti diapresiasi. wah, ternyata mas donny malah sangat fasih melafalkan lirik2 rendra.

  7. ada dua fenomena menarik dari serangkaian baca puisi mengenang rendra. hampir semua orang merasa dekat dengannya. mengaku menjadi bagian terdalam dalam teritori kemanusiaan rendra. setiap orang (utamanya seniman) merasa, bahwa menjadi orang paling dekat dengan rendra menjadi satu prestise tersendiri. rendra telah menjadi miliknya, semakin ia memiliki dan publik tidak, berbanggalah ia.

    sekali-sekali skeptis boleh kan pak, he-he-he.
    .-= Baca juga tulisan terbaru masmpep berjudul arogansi intelektual =-.

    1. boleh banget, mas mpep. hehe … kalau saya ikutan membaca puisi rendra tdk lantas berarti saya merasa dekat secara lahiriah dg rendra, meski secara batiniah saya memang menyukai karyanya. terlepas siapa pun rendra, dekat atau tidak, dia telah menjadi salah satu ikon dalam dunia berkesenian dan berkebudayaan, sehingga karya2nya layak diapresiasi utk mengenang hari2 kematiannya.

  8. Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
    menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
    kau tak akan mengerti segala lukaku
    kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
    Membayangkan wajahmu adalah siksa.
    Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
    Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
    Apabila aku dalam kangen dan sepi
    itulah berarti
    aku tungku tanpa api.

    Puisi Kangen (WS Rendra)
    kesukaanku
    .-= Baca juga tulisan terbaru ajengkol berjudul Rindu Bunda =-.

  9. kegiatan yang bagus sekali pak sawali… salut!
    saya suka sekali dengan sajak sebatang lisong, terutama bait terakhirnya: buat apa berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan… dalam sekali maknanya bagi saya… 😀

  10. sebagai seorang seniman yang boleh dibilang ndoro rendra konsisten menyuarakan ketidakadilan di negeri ini.yang selalu menghajar orang miskin dan lemah tanpa ampun
    .-= Baca juga tulisan terbaru ciwir berjudul Komunitas Blogger =-.

  11. walaupun WS Rendra sudah meninggak dunia, tetapi masih banyak Rendra-Rendra yang lain yang masih berpijak di Bumi,
    masih ada Sawali Rendra
    masih ada alfaroby Rendra.

    salam untuk WS Rendra yang telah menunaikan tugas yang mulia…
    .-= Baca juga tulisan terbaru alfaroby berjudul Ramalan Jayabaya =-.

  12. Salut buat sang burung merak yang telah menciptakan banyak karya yang bernilai seni tinggi, hingga dikenang walaupun beliau sudah tiada. Semoga terlahir ws rendra 2 yang lain yang akan meneruskan perjuangan sang burung merak ini 🙂

  13. dan Mas Willy di Atas Sana pun tersenyum, bahagia, betapa masih banyak orang yang senantiasa mengenang dan menghargainya….salut untuk acara dadakan yang sanggat menggugah rasa pak Sawali..

  14. Puisi karya WS Rendra, kalo di bandingin ama puisi ku terdahulu, Kayaknya JAUH BANGET ya….
    Emang beda, skill pro dengan skil amatiran kek aku..
    hehehe…

  15. mengutip kata-kata seorang sahabat “tukang anyam”, tak banyak orang (indonesia) yang berani total berprofesi sebagai penulis. saya tambahkan, apalagi penyair, tuntas dan tumpas sebagai pujangga. rendra adalah contoh yang jarang dan patut diteladani dalam hal totalitas dan komitmen, pak satu. beliau patut memperoleh apresiasi, apalagi mengingat betapa besar sumbangan yang telah beliau berikan bagi pencerahan batin bangsa ini.

    hm… sayang foto-fotonya agak blur, saya jadi ingin memastikan salah satu wajah di sana. :d
    .-= Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Anti Klimaks =-.

    1. betul banget, mbak yulfi. rendra memang dikenal sbg penyair yang konsisten dan begitu mencintai profesinya itu. benar2 layak diteladani. wah, ttg foto, duh, saya dah berusaha ngambil gambar dg angel terbaik, hehe … tapi dasar kamera bututnya yang ndak support, mbak, haks.

  16. Saya dapat kabar, pada peringatan 100 hari wafatnya WS Rendra akan diadakan acara. Rencana tempatnya di TIM. Kabar ini saya dapat dari seorang pegiat Teater Koma yang juga bermain dalam fil Lari Dari Blora bersama WS Rendra.
    .-= Baca juga tulisan terbaru kombor berjudul Fertob Dah Makmur di Sorong =-.

  17. Salam
    Setelah Rendra tiada, baru sadar betapa pentingnnya beliau, syair-syairnya akan tetap abadi sebagai bentuk perjuangan kaum marjinal. Salut Pakde untuk acara seperti ini, Semangat!!!!

  18. untuk Mas Rendra semoga diterima disisi Allah SWT,
    buat Pak Sawali terjawab sudah keingintahuan saya ttg acara sore itu, saya sempat lihat Panjenengan dan bertatapan muka saat pulang namun karena tdk tahu saya cuma bertanya dlm hati acara apakah ini, pas di alun2 ada gerak jalan kalo nggak salah…
    .-= Baca juga tulisan terbaru masjaliteng berjudul Musim sakit =-.

  19. :(( kita tak boleh luput dari kesedihan..
    🙂 kita harus bangkit dari samua ney dengan snyuman yang palinbg indah untuk..
    TOKOH YANG SANGAT AKU SEGANI..
    selamt jalan burung merak..
    tersenyumlah engkau disana…
    smua bangga padamu..
    I LOVE U…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *