Klub Guru Indonesia (KGI) telah mencanangkan gerakan SAGUSALA (Satu Guru Satu Laptop) dengan mengusung tema “The World is My Class”. Jelas bukan tanpa alasan kalau KGI menggelar agenda semacam itu. Dengan menggunakan motto “Sharing and Growing Together”, KGI berupaya untuk ikut berkiprah dalam memberikan katharsis dan pencerahan kepada rekan-rekan sejawat yang selama ini dinilai masih dibelit sejumlah kegelisahan terhadap dunia profesinya sendiri.
Secara jujur harus diakui, guru belum sepenuhnya terbebas dari mitos lama sebagai guru gagap teknologi (gaptek). Dunia teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) dinilai masih menjadi sumber kegelisahan guru dalam menciptakan atmosfer pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Tak berlebihan jika proses pembelajaran di dunia persekolahan kita selama ini cenderung monoton dan membosankan. Imbasnya, peserta didik gagal mendapatkan suguhan menu pembelajaran yang bergizi dan bernutrisi tinggi. Para siswa didik hanya menjadi pendengar pasif. Yang mencemaskan, mereka hanya menjadi bak penampung sampah keilmuan yang digelontorkan sang guru; tanpa ruang untuk berdialog dan berinteraksi secara intens, apalagi bercurah pikir dan berdebat. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin siswa didik mampu berpikir multidimensional; cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, dan sosial?
Agen Pembelajaran
Tentu saja, kita tidak bisa sepenuhnya menuding guru sebagai kambing hitamnya. Ada banyak persoalan yang belum sepenuhnya mampu mengakrabkan guru pada dunia TIK dalam pembelajaran. Pertama, keterbatasan akses terhadap dunia TIK. Secara jujur mesti diakui, jaringan infrastruktur TIK di negeri ini masih belum merata. Guru yang tinggal di daerah perkotaan jelas lebih diuntungkan. Mereka bisa dengan mudah memanfaatkan piranti TIK melalui fasilitas yang ada di sekitarnya. Namun, bagaimana halnya dengan guru di pedesaan yang secara geografis belum memungkinkan mereka untuk mengakses piranti TIK? Jelas, mereka masih mengalami banyak hambatan, padahal jumlah mereka jauh lebih besar jika dibandingkan dengan guru yang tinggal di perkotaan.
Kedua, belum memadainya kemampuan guru dalam mengoperasikan piranti TIK untuk kepentingan pengembangan profesinya. Persoalan ini selalu menjadi masalah klasik, sebab sebagian besar guru memang tidak pernah mendapatkan mata kuliah khusus tentang TIK ketika mereka duduk di bangku kuliah. Kondisi ini diperparah dengan nihilnya kemauan otodidak sang guru dalam memberdayakan dirinya untuk mengakrabi piranti TIK.
Ketiga, masih kuatnya mind-set “guru kurikulum” dalam ranah profesi keguruan. Diakui atau tidak, guru sudah merasa sangat nyaman jika sudah melaksanakan tugas-tugas profesinya sesuai dengan tuntutan kurukulum. Tugas-tugas keprofesian mereka hanya dibatasi empat dinding ruang kelas sehingga gagal memberikan inspirasi yang mencerahkan kepada siswa didik mengenai persoalan hidup dan kehidupan.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin peran pendidik sebagai agen pembelajaran seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28) hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa seorang pendidik harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dengan menguasai empat kompetensi seperti itu, guru diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam memangku jabatan guru sebagai profesi.
Bagaimana mungkin guru sanggup mengembangkan kompetensi profesionalnya kalau tidak memiliki akses terhadap TIK? Bagaimana mungkin mereka mampu menjadi “guru inspiratif” yang mampu mendesain pembelajaran secara kreatif, inovatif, efektif, menarik, dan menyenangkan kalau mitos guru gaptek itu belum sepenuhnya terbebaskan?
Terobosan Visioner
Memang bukan hal yang mudah untuk memberdayakan sekitar 2,7 juta guru yang beragam latar belakang keilmuan, kultur, dan sosialnya. Selain jaringan infrastruktur TIK yang belum merata dan masih kuatnya mind-set “guru kurikulum”, juga masih minimnya dukungan suprastruktur yang bisa memberikan kemudahan bagi guru dalam memanfaatkan piranti TIK.
Dari sisi kesejahteraan, kehidupan guru saat ini memang sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Apalagi, janji UU Nomor 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) tentang tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi pendidik yang dinyatakan lulus sertifikasi sudah terealisasi. Meski demikian, rangsangan insentif semacam itu dinilai belum bisa jadi jaminan kalau guru makin akrab dengan dunia TIK.
Dalam konteks demikian, sungguh layak diapresiasi gerakan SAGUSALA (Satu Guru Satu Laptop) yang digagas KGI. Agenda semacam ini setidaknya bisa ikut meringankan beban kegelisahan guru yang masih dicengkeram mitos guru gaptek. Di tengah dinamika global yang makin dimanjakan oleh pesatnya perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunikasi, program semacam ini bisa dibilang sebagai sebuah terobosan visioner yang dianggap mampu mengakrabkan guru dalam memanfaatkan kemajuan TIK untuk mengembangkan profesinya. Dunia pendidikan yang notabene menjadi “kawah candradimuka” peradaban jelas perlu mengakrabkan para guru terhadap media TIK, sehingga mereka mampu mengantarkan siswa didik menjadi generasi masa depan yang cerdas dan kreatif.
Persoalannya sekarang, apakah terobosan visioner semacam itu akan terus eksis dan berkelanjutan mengiringi dinamika profesionalisme guru yang makin rumit dan kompleks di tengah peradaban global? Akankah agenda semacam itu hanya akan menyala seperti “obor blarak” yang sekali berarti sesudah itu mati?
Pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sebagai organisasi guru yang memiliki komitmen kuat untuk membuat guru “melek” TIK, KGI perlu bekerja keras untuk mewujudkannya. Para pengurus diharapkan terus bekerja dan berkarya berdasarkan prinsip kolegial dan kolektivitas agar dinamika organisasi menjadi lebih solid, kompak, dan sinergis. Hal ini dimaksudkan agar KGI tak terjebak menjadi organisasi “papan nama” yang bagus visi dan misinya, tetapi sempoyongan menjalankan program dan agendanya.
Yang tidak kalah penting, para elite pengambil kebijakan perlu memberikan ruang gerak yang leluasa kepada KGI dalam membangun kreativitas dan memberdayakan guru, sehingga keberadaannya benar-benar eksis dalam melakukan sebuah perubahan. Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari sejarah bangsa Jepang ketika peradaban negeri Matahari Terbit itu (nyaris) hancur pasca-peledakan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945. Konon, saat itu Kaisar Jepang bertanya: ”Masih berapa guru yang tersisa di negeri ini?” Sang Kaisar justru tidak bertanya, berapa tentara yang masih tersisa?
Ya, agaknya sang kaisar sangat mencemaskan kelanjutan masa depan Jepang seandainya negerinya yang sedang menghadapi masa-masa sulit semacam itu kehilangan figur seorang guru. Dengan kata lain, untuk mengumpulkan puing-puing peradaban Jepang yang hancur, guru dirangkul dan diposisikan secara terhormat dan bermartabat. Tak heran jika dalam perkembangannya kemudian, negeri Dai Nippon itu mampu menjadi salah satu “Macan Asia”, bahkan dunia.
Analog dengan peristiwa semacam itu, para elite negeri ini agaknya juga perlu terus bertanya, “Sudah berapakah guru di negeri ini yang sudah “melek” TIK untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan profesinya?” Nah! ***
Marilah kita berdoa supaya pelaksanaannya lancar dan tak dihambat.
Setuju dengan pendapat pak Mars, satu guru satu email saja sulitnya setengah mati, padahal sebagian besar siswanya sudah pada ngeblog, dan sudah mampu mendulang dollar dari blognya.
Kelihatannya perjuangan masih panjang. Diusulkan saja pak, persyaratan sertifikasinya ditambah sebagian karyanya harus online. Pasti guru-guru akan berjuang supaya tidak gaptek.
Selamat berjuang.
.-= Baca juga tulisan terbaru Puspita berjudul Berbagi Sirih Merah =-.
itu ide yang bagus, bu pita. sayangnya, hal itu ndak pernah direspon depdiknas. bahkan, saya pernah menulis agar blog bisa dijadikan sbg alternatif pengganti angka kredit pengembangan profesi guru.