Menafsirkan Kembali Makna Pemuda sebagai Aktor Perubahan

Kategori Pendidikan Oleh

PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

***

kpKita pasti masih sangat hafal dan fasih dengan ikrar Sumpah Pemuda semacam itu. Jelas bukan persoalan yang mudah untuk merumuskan sebuah teks yang sanggup mengakomodasi aspirasi semua golongan ketika situasi masih sangat kental dengan warna lokal dan atribut-atribut lain yang berporos pada hal-hal yang bersifat kedaerahan. Namun, agaknya warna lokal dan berbagai atribut primordialisme semacam itu berhasil ditepis oleh para pendahulu negeri ini. Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 yang diprakarsai oleh PPPI (Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia), para peserta kongres yang terdiri dari wakil organisasi Pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, atau PPI, berhasil merumuskan sebuah tekad untuk menyatukan sikap nasionalisme yang mengakui tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu, yakni Indonesia.

sptDari sisi historis, memori kita juga tidak bisa menepis sebuah opini bahwa pada setiap zaman dan peradaban, kaum muda selalu tampil sebagai agen dan aktor perubahan. Secara kolektif, kaum muda bisa menjadi sebuah ikon pembaharu yang sanggup memberikan pengaruh dan imbas dahsyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat beralasan, sebab dukungan fisik, semangat, dan talenta idealisme, sangat kuat tercitrakan pada sosok kaum muda. Momentum reformasi 1998 hingga berhasil menggeser rezim Orde Baru dari singgasana kekuasaannya pun tak luput dari peran kaum muda yang dipelopori oleh barisan mahasiswa kita.

Meskipun demikian, kita juga harus jujur mengakui bahwa dinamika kaum muda saat ini tidak selalu bergerak pada ranah pemikiran dan aksi yang cerdas dan mencerahkan. Tidak sedikit kaum muda yang gampang terjebak melakukan tindakan anomali sosial demi memanjakan nafsu dan ambisi sekelompok orang yang dengan amat sadar memanfaatkan potensi dan talenta mereka. Dalam pandangan awam saya, demo-demo anarkhis dan vandalistis yang ditandai dengan aksi perusakan fasilitas publik, bukanlah semata-mata inisiatif murni kaum muda yang ingin melakukan sebuah perubahan, melainkan diduga telah disetir dan digerakkan oleh kelompok tertentu yang paham betul tentang potensi gerakan kaum muda sebagai generasi pendobrak. Kelompok tertentu inilah yang dianggap dengan amat sadar melakukan gerakan-gerakan terselubung dengan memanfaatkan kaum muda sebagai tameng untuk menciptakan situasi keruh dan tidak menentu dalam upaya menggapai puncak ambisi dalam ranah kekuasaan.

Saya juga tidak tahu apakah analisis “bodoh” semacam itu memiliki tingkat relevansi kebenaran yang sesuai dengan realitas yang sesungguhnya atau tidak? Saya bukan pengamat sosial-politik, juga bukan intel yang memiliki data valid tentang gerakan-gerakan kaum muda yang dengan gampang disetir oleh kelompok-kelompok tertentu. Saya hanya menggunakan logika dan analisis amatiran yang saya kaitkan dengan realitas sejarah kaum muda pada masa masa pra-kemerdekaan yang demikian elegan dan ksatria sehingga sanggup menanggalkan kepentingan dan pamrih-pamrih sempit dalam situasi terjajah yang sangat tidak menguntungkan.

Saya juga hanya bermimpi negeri ini memiliki kaum muda yang sanggup menjadi aktor perubahan; sosok yang memiliki kecerdasan dalam berpikir, memiliki kedewasaan dan kearifan dalam bertindak, serta sanggup melepaskan ikatan-ikatan primordial sempit sehingga mampu memberikan pencerahan sosial di tengah-tengah publik. Kaum muda juga selalu menjadikan “sejarah sebagai guru kehidupan”; mampu mengejawantahkan makna “historia magistra vitae” dalam merumuskan langkah hari ini dan masa depan negerinya. Saya yakin, bahkan haqqul yakin, bahwa sosok kaum muda yang memiliki karakter semacam itu masih ada di negeri ini. Hanya saja mereka belum bisa tampil secara kloletif menjadi sebuah kekuatan prima yang sanggup melakukan perubahan.

Sungguh, kaum muda yang gampang terkena provokasi sehingga terjebak melakukan tindakan anarkhis dan vandalistis yang sangat tidak menguntungkan bagi publik, sejatinya telah menodai citra kaum muda sebagai aktor perubahan itu sendiri. Meski demikian, saya juga optimis bahwa suatu ketika kaum muda negeri ini bisa bangkit merapatkan barisan untuk melakukan “reinkarnasi” secara kolektif mengejawantahkan semangat para pendahulunya dalam upaya melakukan sebuah perubahan yang cerdas dan mencerahkan bagi kehidupan bangsa dan negerinya. Semoga mimpi dan optimisme itu bisa terwujud! ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

119 Comments

  1. Pak Sawali yang santun, Insyaalloh dalam 20 tahun ke depan negeri kita sudah mampu berdiri sejajar dengan negara maju lainnya dengan orang-orang “Muda” seperti yang Bapak impikan. Indonesia membutuhkan Van Helshing untuk melawan koloni Vampire yang menghisap darah Ibu sendiri. Meskipun 1000 Van Helshing tidak akan menang kalo berjuang sendiri2 menumpas koloni Vampire tersebut. Tapi kalau dengan semangat yang Bapak ilustrasikan, dan Van Helshing2 yang ada membentuk jaringan yang kuat, meskipun Vampirenya ada puluhan ribu, 1000 Van Helshing akan menang karena masyarakat menginginkan yang 1000 itu memelihara eksistensi negeri ini, bukan eksistensi koloninya sendiri.

    Kira-kira demikian…haiyah!!

    🙂

    Baca juga tulisan terbaru dhoni berjudul Jogjaaa!… Jogjaaa!… Jogjaaa!… Nyempil ke Semarang.

  2. apa sech sebenarnya makna dari ‘menjunjung bahasa persatuan, bahasa indonesia? n apa bedanya dengan ‘mengaku berbahasa yg satu, bahasa indonesia?

    • hehehe, sepertinya memang ada rumusan bunyi ikrara sumpah pemuda yang berbeda, mbak hesty. menurut wikipedia, yang bener itu “menjunjung bahasa persatuan, bahasa indonesia”. namun, dari sisi makna, sebenarnya memiliki semangat dan ruh yang sama kok, hanya utk yang saya sebut tadi, ada nilai kebanggaan tersendiri terhadap bahasa indonesia.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top