Selama dua hari (Kamis-Jumat, 28-29 Agustus 2008), saya mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Evaluasi hasil Ujian Nasional (UN) di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Semarang Jawa Tengah. Dalam acara itu hadir Dr. Baedhowi, Dirjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Depdiknas, Dr. Ir. Indra Jati Sidi, mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Prof. Dr. Djaali, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Depdiknas, perwakilan dari Pemkab/Pemkot dan Komisi E DPRD Kab/Kota se-Provinsi Jawa Tengah, pengurus MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), pengawas, serta pengurus MGMP (IPA dan Bahasa Indonesia SMP serta Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA SMA/SMK) dari 35 kabupaten se-Jateng. Kehadiran saya saat itu mewakili teman-teman guru Bahasa Indonesia yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Kendal.
Secara jujur harus diakui, masih banyak persoalan yang muncul ketika UN digelar menjadi sebuah “ritual” menjelang akhir tahun; mulai kebocoran soal, materi soal yang diragukan kesahihannya, hingga penghalalan segala macam cara untuk mengatrol nilai UN demi meningkatkan “marwah” sekolah atau daerah. Selain itu, selalu saja ada sindrom kecemasan yang menghantui guru, orang tua, dan siswa ketika saat-saat yang paling mendebarkan itu tiba.
Persoalan lain adalah hilangnya “roh” kurikulum yang dikhawatirkan akan sangat memengaruhi optimalisasi pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang kini sudah mulai dilaksanakan oleh berbagai sekolah. Otonomi pendidikan yang gencar digembar-gemborkan di sekolah agaknya akan menghadapi banyak kendala karena sentralisasi belum sepenuhnya dilepaskan oleh pemerintah pusat. Kegiatan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Paikem) pun menjadi sulit diimplementasikan, terutama di kelas-kelas terakhir. Murid-murid akan di-drill dan digelontor dengan setumpuk soal UN yang diprediksikan akan muncul dalam UN. Pendekatan behaviouristik yang mengutamakan hafalan pun akan terasa lebih dominan ketimbang pendekatan konstruktivistik yang menekankan pada upaya untuk mengajak siswa menemukan dan meng-konstruksi pengalaman belajarnya secara mandiri. Semuanya jadi serba mekanis –meminjam istilah Rama Mangunwijaya—tak ubahnya seperti pelatihan yang diterapkan untuk binatang-binatang sirkus.
Namun, agaknya berbagai kecemasan dan kekhawatiran itu tak melunturkan semangat para penentu kebijakan untuk menjadikan UN sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan. Bahkan, ada upaya serius untuk meningkatkan standar nilai UN dari tahun ke tahun. MGMP yang dinilai berada di garda depan dalam membuka ruang komunikasi dan interaksi dengan sesama guru mata pelajaran, diharapkan dapat mengindentifikasi dan merumuskan segala macam permasalahan yang terjadi, mencari alternatif pemecahan, dan menentukan program yang tepat untuk mengatasi permasalahan.
Dalam Rakor itu, perwakilan MGMP yang hadir memang telah merumuskan beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada Depdiknas agar pelaksanaan UN tak terjebak menjadi sebuah rutinitas tahunan yang mencemaskan dan mendebarkan banyak pihak. Salah satu rekomendasi yang penting dan substansial di antaranya keterbukaan informasi yang berkaitan dengan nilai UN yang selama ini (nyaris) tak pernah sampai secara utuh kepada “stakeholder” pendidikan. Kunci jawaban, misalnya, selama ini tak pernah diketahui oleh para guru, sehingga mereka tidak bisa melakukan analisis dan tindak lanjut terhadap hasil UN yang selama ini dicapai oleh siswanya. Imbasnya, banyak guru yang mengerutkan jidat ketika menemukan banyak siswanya yang bagus nilai hariannya, ternyata justru malah hancur nilai UN-nya. Demikian pula sebaliknya, siswa yang nilai hariannya hanya pas-pasan, justru mendapatkan nilai bagus dalam UN. Mengapa hal itu bisa terjadi? Itulah pertanyaan besar yang hingga kini belum bisa ditemukan jawabannya oleh para guru.
Karena secara regulatif masuk dalam klausul UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, setuju atau tidak, UN akan tetap digelar setiap tahun. Setiap daerah dengan sendirinya akan terus berpacu untuk menjadikan UN sebagai “ikon” keberhasilan peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Nah, bagaimana respon setiap daerah dalam menyongsong pelaksanaan U\N tahun 2008/2009? Agaknya, kita masih akan disuguhi berbagai jurus atraktif setiap daerah dalam menyongsong kehadiran UN di atas panggung dunia pendidikan. Kita tunggu saja! ***
(Mohon maaf kalau tulisan ini tidak disertai gambar karena “human error”, haks!)
bedanya ujian nasional vs ebtanas jaman dulu apa pak?,,,
Rasanya setiap zaman punya persoalannya sendiri-sendiri. Tidak dulu, tidak sekarang. Pola sama, metodanya saja yang terus berbeda-beda.
Mesti menunggu berapa generasi lagi hingga kita memiliki panggung dunia pendidikan yang ajeg ya, Pak Sawali? Memang tidak ada yang sempurna…
pak kayaknya UN perlu dipertimbangkan digabungkan dengan seleksi masuk mahasiswa juga, supaya ngak repot lagi ada 2 ujian yang satu ujian keluar dan satu ujian masuk dalam satu waktu 😀
Saya pernah mendengar program pemerintah tentang penggunakan sistem peringkatan nilai, jadi ada nilai A,B,C dan lain2 disesuaikan bahwa A itu bisa masuk di perguruan tinggi ini atau itu. dll. apakah itu masih ada? atau hanya angin lalu 😀
kayaknya, agak nggak sepakat dengan UN dech! soalnya tau sendiri kan pak! banyak ketidakwajaran (baca: kecurangan) yang ada disana!
Ya tidak ada gading yang tak retak, usaha pemerintah untuk turun ke bawah, mau mengefaluasi dan share sudah merupakan indikasi kesungguhan.
Pak sawali rupanya udah jadi pejabat yah, jangan jangan mau jadi bupati, haks.
Semoga deh pak, sukses,
Yang menyedihkan saya:
karena hampir 95 persen saudara saya adalah guru, maka saya hampir tahu apa yang dilakukan sekolah untuk mendongkrak UN. Di daerah daerah sudah ada semacam kesepakatan untuk mengakali nilai agar tetap lulus. Rekayasa ini ternyata juga sudah melegenda seperti rekayasa Korupsi yang seolah olah bukan korupsi.
Yaitu dengan mengatur antar guru antar sekolah agar bisa membocorkan nilai dan diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu baik tapi tetap di atas rata rata minimum yang disayratkan Pusat.
Yang kedua,
Kemarin kakak saya Wisuda S2, itu bukan karena ingin tapi tuntutan, maka apa yang terjadi, banyak guru guru sekarang memanfaatkan jalur cepat untuk S2, bisa dikatakan 1/2 Aspal, hanya karena ingin mengikuti rekan yang lain.
Gejala ini bagi saya sangat menyedihkan.
Unas direkayasa, tapi Gurunya juga sekolah jalur kurang benar.
Budaya Upeti.
Para pejabat pendidikan di daaerah bilang anti kurupsi tapi secara melegenda dan membdaya selalau meyisihkan dana dari bantuan pemeintah pusat mapun daerah untuk di potong sekian persen untuk Upeti.
Apa pak sawali pernah juga melihat hal ini?
Itulah pak sawali, mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan.
Selamat berpuasa, semoga Tuhan selalu mengampuni kita semua,
Demi masa depan yang lebih baik
Hingga saat ini UN merupakan penentu keberhasilan siswa didik sekolah. Banyak sekali kekurangan dan komplain dalam pelaksanaannya, namun pemerintah masih belum bisa memunculkan alat baru yang lebih bagus dari UN.
Saya rasa kalau diadakan ujian lokal sekolah (setiap sekolah membuat soal ujian sendiri) kok sepertinya juga tidak fair, karena kemungkinan bocornya jawaban akan lebih besar … siapa yang menjamin. Masalah bobot soal yang diujikan juga akan menjadi pergunjingan antara sekolah satu dengan yang lainnya karena alasan kemampuan masing2 sekolah. Bisa jadi sekolahku nilainya bagus2 semua karena bobot soalnya ringan. apalagi kalau soal tersebut dibandingkan antar siswa sendiri antar sekolah, yang paling dipermalukan adalah soal yang termudah.
Barangkali bagi yang tidak setuju dengan UN, bisa memaparkan pemecahan yang lebih abik kepada pemerintah. Apa perlu siswa dihadapkan pada ujian sidang seperti halnya skripsi … ?
Setiap kebijakan yang dibuat pasti ada plus dan minusnya pak termasuk UN, semoga dengan adanya UN akan menjadikan kualitas Pendidikan di Negara kita semakin baik, InsyaAllah Kalau pas ke Kendal saya usahakan mampir ke tempat Bapak silaturrahmi sekalian mencari tambahan ilmu kepada para Blogger Senior seperti Bapak dan pak Marsudiyanto ..salam
adik saya jadi salah satun korban UN tahun ini. Nilai2nya lebih tinggi dari teman2nya, ranking 10 besar kelas, tapi tidak lulus karena salah satunilainya di bawah standar.
benar sekali pak sawali, perlu ada transparansi sebenarnya bagaimana sistem penilaian UN, jadi kesalahan tahun2 sebelaumnya tidak terulang lagi. jeleknya ya nanti mata pelajaran mengacu pada soal2 UN melulu.
Mudah-mudahan dunia pendidikan kita dapat semakin maju. Bukan stagnan apalagi mundur ke belakang.
Menurut saya….. ujian nasional jangan dijadikan seperti wacana politik yang diperdebatkan panjang lebar yang tak pernah berujung. Kasihan kan anak didik kita…… pasti sedikit banyak akan terpengaruh oleh perdebatan2 yang ada, sehingga akan lebih memperburuk keadaan.
Menurut saya setiap sistem pasti punya kelemahan. Andaikan sistem UN diganti, belum tentu secara umum pendidikan kita akan bertambah baik. Saya pribadi **halaah** orang yang tidak anti dengan UN, hanya saja memang masih banyak hal2 yang perlu disempurnakan dalam sistem UN kita. Yang penting mari kita memperbaiki sistem UN dengan niat konstruktif dan bukan dengan niat saling menyalahkan………
Bener emang kata Pakar pendidikan Unnes Pak Saratri, Depdiknas memang tak punya pemikir2 andal. Apa sih yg mau diraih? Nilai ujian akhir saya dulu bgs namun saya tak mengingat satupun soal ujian tersebut krn emang ga penting2 amat. Yg saya ingat malah pelajaran2 yang disampaikan dengan gaya bercerita yang disampaikan guru saya yg notabene ga ada dalam kurikulum (beyond curriculum). Yang malahan hal itu sangat berguna bagi saya.
Yang salah dalam formulasi pendidikan kita adalah di mana nilai bagus menjadi tujuan (goal). Harusnya nilai bagus itu imbas karena murid mudheng pelajaranya. Kl nilai bagus menjadi goal, ya mending murid2 itu ga usah dikasih pelajaran. Kasih aja tips dan trik mengerjakan soal tanpa harus repot2 mendalami materi.
Yg saya dengar juga sih katanya Mendiknas berencana terus akan menaikkan passing grade UN…Saya ga bisa menutupi rasa iba saya pada murid sekolah zaman sekarang yg bebannya berat bgt.
Mbok ya dikasih alternatif to. Misalnya UN itu dibuat pilihan, jadi yg mau melanjutkan ke perguruan tinggi, baru ikut UN. WOng kenyataannya ga sampe 50% dari lulusan SMA/SMK/MA yg lanjut kuliah. Ada juga kan orang yang mungkin cita2nya ga muluk2 amat , kenapa kita harus ”menjegal” masa depan mereka dengan berpusing2 ria mengerjakan soal Matematika yang rumitnya minta ampun.
Lembaga pendidikan harusnya bertindak sebagai pelayan konsumennya. Dan yang perlu disadari bahwa kemampuan tiap konsumen tidak sama. Ya bagaimana caranya harus dipikirkan terobosan baru dalam pelayanan pendidikan.
Yang kena getahnya ga cm murid tp juga guru. Mereka juga dapet tekanan dari kasek karena kaseknya juga dapat tekanan dari kepala dinas. Mau dibawa ke mana arah negeri ini kl pemimpinnya aja ga paham filosofi pendidikan….
Bagaiman hubungan UN dengan multiple intellegence?
Pelajaran yang diujikan di UN kan hanya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika (CMIIW).
Bagaimana dengan siswa yang hobinya olah raga? kesenian? keterampilan?
Wah, banyak yang harus dibenahi sehubungan dengan UN ini.
Mudah2an hasilnya sesuai dengan harapan.
salut buat kang sawali. berarti perjuangan sastra semakin berat dengan adanya belenggu jawaban yang telah ditentukan. apresiasi siswa menjadi semakin terkukung ya kang? maaf lho kang. maksudku ada beberapa soal yang memang tidak bisa/harus diujikan dalam bentuk objektif test. pripun niki kang? he he tetap semangat!
waduh pak sama-sama di LPMP ya. padahal saya pengen ketemu pak sawali. sayangnya gak ketemu ya. saya pulang, pak sawali baru datang. ketemu di jalan kali ya, he…he…
jadi tentang un, ada nggak pak kebijakan yang benar-benar lebih bijak?
saya mengikuti UAN ketika SMP dan itu ckp membuat saya stress
bahkan ibu sayapun juga ikut stress..
untuk UN…
Penyelenggara kita belum siap.. saya merasa, ketemu sekaligus mengalami bahwa UN tidak mencerminkan (secara utuh) kemampuan siswa terlebih di ‘sekolah desa’ yang banyak terdapat ‘metode kerjasama’ dalam penyelenggaraan UN. Hm.. la yo terus apa parameter kelulusan yang baek?
Pemerintah masih setengah hati
dlm memajukan pendidikan,
karena trll disibukkan dgn urusan politik
so, UN blm bs jd indikator utama peningkatan
kualitas pnddkn kita
ya semoga pendidikan kita bisa sembuh dari keterpurukannya pak
UN belum bisa mencerminkan kualitas para murid pak.kelulusannya seperti iuntung-untungan saja
Karena UN mata pelajaran lain jadi dikesampingkan.. Saya sebagai calon guru bahasa Jawa jadi disepelekan.. Haks! (Ikut-ikutan pak sawali haks :mrgreen:)
bakalan ribut lagi sepertinya pak
Ujian nasional ataupun skripsi, tesis, disertasi kelihatannya masih sekedar formalitas saja pak Sawali. Memang menjadi buah simalakama. Di satu sisi dibutuhkan standarisasi yaitu diwujudkan dalam bentuk pengukuran berupa nilai, di sisi lain justru menjebab pada pemberhalaan pendidikan pada nilai ujian. Namun menurut saya lebih baik dilakukan UN dibandikan tidak dilakukan UN, ini jawaban pamungkas. Permasalahannya adalah sejauhmana visi UN tersebut dapat diimplementasi ke dalam strategi pengukuran yang representatif bagi setiap siswa. ……. *Wah mentah lagi deh* 😀
aslmkn pa sawali
sayamau tanya
kenapa yah setiap saya adensense ke google wah 9 kali g bisa-bisa
saya sudah tanya-tanya ma temen2 tapi ga bisa bisa
g mn ya pak ya
apa problemNya
Ujian nasional bagi saya hanya melanggengkan keterpurukan nasional dalam hal pendidikan. Setidaknya, budaya kecurangan secara massal terjadi. Bahkan oknum pelakunya dari institusi pendidikan itu sendiri.
Ah, tapi saya sudah terlanjur pesimis dan apatis untuk urusan UN. Sistemnya sepertinya sudah mulai bagus. Tapi, dasar mentalitas bangsa ini yang sekarat pak! sebagus apapun sistemnya masih aja dicari celahnya.
Ujian nasional bisa saya terima dengan catatan, penentu kelulusan dikembalikan pada sekolah sebagai satuan pendidikan yang memiliki otoritas penuh atas anak didiknya. Justeru saya melihat, hasil ebtanas di masa lalu lebih murni dan bisa dijadikan standar mutu pendidikan nasional dari pada sekarang yang nilainya gak karuan.
Sementara, penentu kelulusan bisa juga kembali ke masa lalu dengan kombinasi nilai ujian nasional dan uijan sekolah/semesteran atau EBTA. Meski semua mengandung kelemahan. Saya kira semua kembali ke mentalitas bangsa ini pak! mau jujur atau tidak!
*dalam hati teringat kata cak nun tentang bangsa ini yang dia anggap “bangsa pesolek”. Bisanya berdandan rapi, cantik tapi ndak ada isinya. Lebih suka gembar-gembor tapi melompong. Suka tampilan fisik mengabaikan nonfisik. Ah, sudahlah.. saya juga bagian di dalamnya.. hiks*
Kalo saya gak setuju dengan UN kang, apa iya sih sekolah tiga tahun nasib ditentukan dalam dua hari ….
Biarkan masing sekolah dengan standar yang sama [standaranya disamakan] yang menentukan layak tidaknya ijazah diberikan kepada anak-anak SMP/SMU.
*sok tahu mode ON*
Bagiku ujian nasional tetap diperlukan. Hanya nilai UN sebaiknya hanya salah satu bagian dari syarat kelulusan. Diknas sebenarnya sudah memformat demikian, bahwa syarat kelulusan adalah mix dari nilai UAS dan UAN. Persoalannya warga sekolah belum sungguh-sungguh menampilkan nilai UAS sebenarnya sehingga timbul kesekapatan internal sekolah ‘jika UN lulus (padahal UAS tidak lulus) maka dianggap lulus, sebaliknya jika UN tidak lulus (padahal UAS lulus) maka dianggap tidak lulus).
Dilematis.
Kapan sekolah mampu bersikap konsisten dan tidak sekadar menyalahkan sistem?
Tabik!
Waktu kemarin saya mengikuti acara reuni akbar SMA Kolese De Britto, saya cukup terkaget-kaget dengan apa yang telah terjadi di sekolah saya itu. Mulai dari penamaan kelas yang menggunakan angka 10 – 12, jenis mata pelajaran yang menurut saya “baru” sampai apalagi kalau bukan istilah UN ini.
Ya, saya doakan baik semuanya Pak hehehe asal bisa bikin anak2 kita pinter apa salahnya, tapi kalau malah sebaliknya.. walah lha mbok mbalik ke jaman EBTANAS wae 🙂
Hehehehe …
Wah kalau mengaju Kelulusan saya sangat keberatan dech pak sebenarnya , karena kalau kita lihat anak2 yang tadinya bisa dikatakan pintar ,rajin di kelas begitu mau menghadapi UN maka aka sedikit stress,demam pangung menghadapi UN…dan yang lebih menghawatirkan nilai2 akan ikut jebblok .karena hal ini dikarenakan apa yang dipelajari sebelumnya seakan hilang karena dibayang2-ngi dengan stress,deman UN, takut nggak lulus dan lain sebagainya ..haks..
Tapi mau bagaimana lagi karena semua ditentukan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini mungkin pemerintah ,diknas dll.Mungkin lebih mengerti daripada saya apa dan apa yang nanti yang akan terjadi .Dan saya pun masih percaya (biarpun ) UN sekarang seakan menjadi “Momok “bagi semua Siswa khususnya kelas 3 (smp,SMU dan sekarang SD )..haks..
Saya yakin mungkin generasi kita yang mendatang akan lebih diperhitungkan bagi negara2 Luar , karena kalau saya melihat apa yang di ajarkan mulai TK,SD sampai SMU ( Buuuuaaaaaanyak sekali mata pelajaran) mungkin beda dengan sistem di LN yang kira2 hanya beberapa mata pelajaran 4 kalo’ nggak sala ( Mact,Phisika,Art,bahasa) cmiiw…. jadi anak mulai dini sudah tahu besarnya nanti dia akan cenderung /fokus kemana jadi bisa tahu,haks..
Beda denga di Indonesia sehingga saya pikir anak2 kita nanti besar kira
1.Tambah jago karena semua mata pelajaran dikasihkan
2.Tambah Bingung , nggak tahu apa2 ( lebih dari 15 Mata pelajaran )
3.Bingung karena tiap hari Ulangan (Ujian)
Mungkin itu dulu pak sawali ….
mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan.
Selamat berpuasa, semoga Tuhan selalu mengampuni kita semua,
ikutan2 ahh..haks.. 😀
Diah
http://www.kuebasah.com
Salam
UN kok kesannya jadi beban buat siswa yak..belajar bertahun-tahun cuma ditentukan UN 2 hari yang boleh jadi persiapannya kondisional, makanya suka aneh kan ada siswa cerdas tapi ndak lulus..haks..
Duh apa betul hasil UN juga menentukan kualitas siswa sebenarnya *bingung*
Yak Pakde saya sudah ndak ngajar lagi sekarng tapi masih inget waktu dulu mau UN ngajar siswa abis-abisan tuh..he..untung lulus semuanya 😀
kalau menurut saya sih, rekomendasi dari perwakilan MGMP untuk Depdiknas tidak akan terlalu banyak berpengaruh dalam merubah sisi buruk UN. Harus saya akui, selama tiga kali mengikuti UN, saya hanya merasakan sedikit sekali manfaat, justru mudharatnya yang lebih menonjol.
wahh wacana yang menari nih mas sawali 😀
Seandainya setiap Kepala sekolah dan Guru tidak mementikan wadah nya (sekolah yg ditempati bernaung) mungkin jadi kecurangan akan sedikit bisa dipress lagi mas. knp saya mengatakan begitu ? setiap sekolah ingin menjadi pilihan nomor satu pada saat penerimaan siswa baru mas. Sekolah dan Kampus sekarang sudah bisa di sejajarkan kebanyaka (Mayoritas) Guru-guru dan para Kepala sekolah sudah mengikuti sistem Kampus (Tempat Kuliah) yang dimana Lahan Untuk orang meninbah ilmu dijadikan ajang bisnis. ini yg mungkin perlu diperhatikan.
klo kita melihat terus Pendidikan kita seperti ini niscaya mas regenerasi negeri ini akan berkurang. lihat saja di negara2 maju mereka sangat memperhatikan pendidikan negara mereka karena mereka sudah berfikir maju kedepan. bukannya indonesia mas yang memikirkan bagaimana saya makan enak besok *Ngakak Guling2 sambil geleng2 kepala
Kecanggian Teknoligi sekarang kenapa tidak dimanfaatkan semua Bidang yah mas Di negara kita ?
Setiap sekolah di indonesia menyumbangkan Soal dan soal tersebut nantinya akan diseleksi yg mana yg layak dijadikan soal UN (pada saat kita memakai pola ini tingakat kebocoran soal sangat kecil terjadi itupun guru yg membuat cuman mengetahui satu soal saja ). pada saat Ujian UN yah mari kita menggunakan Teknologi yang sudah ada lah kan bisa mengejarkan UN melalui Komputer ? trus soal yg diberikan memakai sistem acak (klo guru mau pusing yah pusing aja hihihihihihi enggak bisa ngebantu) kan tinggal keamanan data di jaringan aja di perkuat
*Maap mas klo Contoh yang saya sampaikan ngaur 😀
Yang intinya sih mari kita menghilangkan sifat Ego terhadap instansi mereka masing2. jujur mas karena ini juga salah satu Masalah yg dialami mahasiswa sekarang sehingga susah bersatu
SUKSES Buat Mas Sawali
Pak sawali lagi online ya?
YM-nya diaktifin donk
ada yang mau diomongin nih
menyangkut masalah tulis menulis
duhai pak guru,
terima kasih banyak kuhaturkan,
dikau telah bersusah-susah menuliskan jurnalnya,
tapi,
bagaimana nanti kujelaskan pada murid-muridku
tentang apa arti belajar itu,
saat pak guru berkata carilah ilmu karena ilmu itu sendiri
sementara ‘bosnya’ pak guru malah minta yang penting kau dapat angka…
main2 ke semarang, pak guru…
kemarin waktu pakguru jadi moderatornya pak budi maryono,
kami ada disitu…
^_^
ujian nasional maneh….. eh di teruske maneh…..
saya setuju ujian nasional hilang !!! kasihan bocah sekolah…. sebagai ukuran okelah… sebagai yang menentukan… hiiii takut !!!!
waaaaaaaaah ujian nasional; saya tidak pernah ngalaminya; cuman ebtanas aja 🙂
Greget banget … pak, saya malah merasakan ketika UN berlangsung sepertinya menjadi suatu peristiwa yang sangat WAAAH… ! Tak perlu saya absen lagi berbagai akibat dan dampak yang dirasakan. Ketika UN, hampir semua lapisan sibuk, cemas, khawatir, tapi… ada juga yang mencak-mencak, bahkan unsur lembaga yang tidak ada kaitan dengan pendidikan pun ikut-ikutan sibuk… memamantau! Katanya…
Pandangan saya, konsep evaluasi bagi siswa pada tingkat akhir yang lebih dapat menekan berbagai resiko ‘kekurangbaikan’ adalah konsep NEM yang pernah diterapkan di Republik ini. Mengapa?
a. menunjukkan KEADILAN, karena nilai berapa pun yang dicapai siswa diterakan seadanya,
b. menunjukkan KUALITAS siswa, karena dengan hasil maksimal yang dicapai siswa, mereka dapat menerimanya,
c. menunjukkan KUALITAS sekolah, karena sekolah menyadari pencapaian nilai oleh siswa sehingga sekolah pada jenjang di atasnya ‘mawas diri’ menentukan standar nilai bagi siswa baru yang akan diterima.
Barangkali saja… itu mah, pak Sawali.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
memang banyak yang harus diperbaikie di negeri ini, salute kepada orang-orang seperti pak sawali yang tetap semangat terjun langsung penuh dedikasi berusaha memperbaikie satu demi satu..
Jujur Pak, aku bingung juga kalo mikir Ujian Nasional (tentu bukan mikir soal Ujiannya soalnya aku mah udah lulus hi hi hi).
Ujian Nasional dengan satu standard membawa ketidakadilan tersendiri mengingat kita tahu ada disparitas yang cukup besar antar sekolah, ekstrimnya sekolah unggulan di Jakarta dengan sekolah biasa di pelosok desa tentu saja fasilitasnya beda jauh. Kalo ujiannya sama sedangkan fasilitasnya lain, bukankah itu sangat tidak adil? Standard mutu dinaikkan sampe minimal 6 atau 7 , saya rasa nggak punya pengaruh besar sama siswa sekolah unggulan. tapi bisa membuat bencana besar bagi sekolah-sekolah yang lain.
Tetapi saya sadar juga kalau kita melihat di sisi lain : kalau ujian atau penilaian murni diserahkan kepada guru, maka memang ada kecenderungan guru untuk meluluskan muridnya. Siapa saja guru yang membaca komentar saya ini tentu berhak membantah, tetapi saya secara jujur melihat ada kecenderungan seperti itu. Belum lagi kalo guru ditekan oleh sekolah yang kapasitas bangkunya terbatas, tentu ada kesulitan tersendiri bagi para guru untuk menolak.
Jadi Andai saja : Sekali lagi andai saja saya berada di posisi pemerintah sekarang , mungkin saya juga pusing tujuh keliling kali ya ????
SALAM YA
“Pendekatan behaviouristik yang mengutamakan hafalan pun akan terasa lebih dominan ketimbang pendekatan konstruktivistik yang menekankan pada upaya untuk mengajak siswa menemukan dan meng-konstruksi pengalaman belajarnya secara mandiri.”
Saya melihat, justru di sini kelemahan sistem kita: kurikulum lebih berporos kepada ujian ketimbang tujuan pembelajaran (outcome).
Padahal dari tiga dimensi kurikulum (tujuan, cara belajar, dan ujian), porosnya kan musti terletak pada tujuan.
Lha, kurikulum aja lebih mentingin isi ujian, apalagi anak didik?
Mau gak mau timbullah strategi belajar yang “assessment-oriented” itu, Pak.
Menghafal, mengulang, dan kebiasaan.
Tapi sebenarnya ini masalah universal di dunia pendidikan, bukan semata-mata negara kita.
kayaknya materi dan kurikulum jaman sekarang makin berat aja yah..
aku setuju kmaren ada yang usul biar sejarah masuk uan… biar padaberjiwa nasionalis.. bukan korup-is [apa tuh korupis]??
UN tahun skarang ada brapa mata pelajaran Kang??
-Pas saya UN SD dulu masih ada guru yang nyebarin kunci jawaban lho..
sepertinya sih biar SD saya persentase kelulusannya gede…
setiap daerah punya siswa yang berbeda2 kemampuan menyerap pelajaran tapi kenapa ujiannya sama? ah…… i
@Anang:
itulah yang terjadi, mas anang. tak tahu persis, kenapa siswa yang memiliki kemampuan beragam diuji dg soal yang sama, haks 🙁
OOT (barangkali):
ujian masih harus pake pensil 2B ya?
ini settingan bukan ya?
Suka heran sama pemerintah yang keukeuh betul… 🙁
Kami sekeluarga di Batam mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1429 H. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.
Wah, ternyata saya buka pakai IE malah bisa. Berhari2 saya buka pakai MF gagal. mungkin MF saya yg bermasalah.
….
Karena sesuatu hal, saya hanya mengikuti kegiatan tersebut pada hari terakhir jam terakhir alias penutupan, tapi saya tetep dapat sertifikat plus “uborampene”…
Sayang sekali ketika pleno kok dicampur aduk semua mata pelajaran, akhirnya malah tidak maksimal. Yang saya tangkap, saat kelompok tertentu menjelaskan hasil temuan beserta solusinya, kelompok yang lain terkesan tidak ngrespon. Saya ibaratkan audiennya adalah satwa, maka ketika sapi memaparkan tentang gurihnya “rumput” hijau, mana mungkin si “ayam” ngrespon. Bagi ayam mending ngrembug “pur”.
Lalu ketika si ayam dapat giliran memaparkan “pur”, mana mungkin macan mendengarkan. Dia baru bangkit dari kantuk ketika dengar kata “daging segar”.
Mungkin hanya Pak Sawali yg tidak ngantuk karena Pak Sawali suka segala, mulai bakso, nasi goreng, pecel semanggi, kembang goyang, lepet, lengko, garangasem, rokok…
Pemerintah kadang terlalu memaksakan kurikulum yang sepertinya tiap tahun makin bertambah 🙁
Akhirnya UN pun jadi momok yang mengerikan buat para siswa…
Saya melihat dengan jelas ketakutan itu pada saat UN tahun pelajaran kemarin, dimana SMA ditambah 3 MP khas jurusan.
Walaupun sudah dimotivasi dengan berbagai macam cara, tetap saja mereka tampak down, tidak rileks, tidak pede 🙁
Karena mereka sudah tersugesti : “duh… nilai minimal kelulusannya tinggi banget…”
Padahal saya yakin mereka bisa !!!
Saya sih inginnya pemerintah lebih bijak lagi…
Pingback: Nongol lagi, eh? « LAINSIJI
UAN inilah yang menjadi penyebab saya benci terhadap (sistem) sekolah, Pak Sawali. Segala hal yang namanya ujian di berbagai lembaga pendidikan bernama sekolah, identik dengan berbagai ketidak-fairan dan kemubadziran seperti yang Bapak kemukakan di atas. Yang dicapai adalah hasil, bukan proses yang bisa bermanfaat jangka panjang terhadap jiwa dan nurani anak-didik. Tentulah sering kita mendengar, anak yang cerdas namun gagal UAN, lantaran ia jujur, tidak nyontek. O la la, beginikah lembaga pendidikan negeri ini?
.
*Itu dia yang menjadi dasar dalam cerpen saya kemarin, Pak Sawali, menyentil sedikit tentang sekolah dan sistemnya, juga realita anak-didiknya*
.
Semoga semua status quo ini bisa didobrak dengan usaha Pak Sawali dan rekan-rekan bapak.
.
Salam,
UN… ini kata paling mengerikan untuk di bahas khsusunya bagi anak anak SMP dan SMA. tapi memang ujian sejenis patut untuk di berlakukan untuk mengukur tingkat pengetahuan anak dan sampai sejauh mana materi telah di berikan guru sesuai standar pendidikan nasional. tapi melihat ini ternyata UN selama ini tidak terlalu berpengaruh untuk masa depan anak. masalahnya untuk masuk perguruan tinggi juga harus di test ulang. mungkin sistem pengawasan dan pengiriman serta pengandaan soal harus di awasi dengan ketat. sekolah dan guru yg bermain harus di tindak tegas.
Saya termasuk yang setuju UN jalan terus pak!… Ke depan, mau tidak mau standar pendidikan harus ditingkatkan, mungkin UN bukan ideal, tapi bisa menjadi salah satu jalan yang cukup baik.
(info: ada mantan guru dari Boja-Kendal di http://www.bunoor.blogspot.com)
Terus bagaima dengan kejadian yang pintar disekolah, tak lulus UN, sedangkan yang bandel nan bodoh bisa lulus??? Ya bukan saya tak setuju, tapi persolan tersebut sering terjadi setiap tahun.
Ujian Nasioanl? Huff!!!! Coba deh, menteri pendidikan sekali-kali mikir pake otak, kita sekolah 3 tahun, tapi yang nentuin lulus tidaknya adalah pemerintah? Hei, emangnya kita sekolah di mana? Di kantor pemerintah? Lebih baik pemerintah mikirin tuh, masih banyak sekolah yang rusak, hari gini, tahun 2008, masih ada sekolah yang bentuknya kayak kandang kambing?????? Please deh! Udah gak jaman kale…!!!!!! Dasar Indonesia!!!!!!
selama UU Sisdknas dan PP 19/2005 ttg standar nasional pendidikan belum diubah, sepertinya UN akan jelan terus, karena ada klausul yang menyatakan bahwa pemerintah merupakan salah satu komponen yang berwenang untuk mengevaluasi kompetensi peserta didik.
emmmpht..
mungkin karena gurunya juga pernah mengalaminya,,,
jadi mereka ingin hasil mereka baik,,
agar guru tidak mengajar lmereka lebih dari 3 thn,…:(