Seringkali kita dibuat geli menyaksikan perilaku para petualang politik di negeri ini yang sungguh tidak cerdas. Selalu saja ada argumen yang mereka gunakan untuk memperoleh pembenaran terhadap “manuver” yang mereka lakukan. Yang paling gampang, jelas mencari kambing hitam. Yang paling sering kena sasaran jelas para rival politiknya. Dalam pilkada, misalnya, politisi yang kalah bersaing tak jarang melakukan aksi-aksi vandalistis dengan mengerahkan “tim sukses”-nya atau memburu pendemo bayaran. Mereka direkrut, tentu saja dengan sejumlah upah, untuk menciptakan stigma baru kepada publik.
Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran dalam sebuah pesta demokrasi tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bahkan bertingkah “inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan. Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa mereka telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.
Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera politiknya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan.
Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang akan terus berlangsung, agenda penting dan urgen untuk segera digarap ialah membangun budaya demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam membangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.
***
Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal, harus diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Bejibun jumlah politisi jebolan Sl, S2, S3, bahkan yang bergelar profesor sekalipun.
Fenomena tersebut tentu menarik disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan tidak (kurang) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat. Kalau demikian. apakah selama ini dunia pendidikan memang nihil dari sentuhan pembelajaran demokrasi? Tidak adakah ruang berdemokrasi dalam wacana pendidikan kita sehingga (nyaris) mandul dalam melahirkan demokrat-demokrat ulung, cerdas, dan andal? Upaya apakah yang mesti dilakukan agar dunia pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik’? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting dan relevan untuk dilontarkan dan dijawab, sebab kita semua tidak menginginkan dunia pendidikan kita terjebak menjadi ruang untuk “meng-karantina” peserta didik dari persoalan-persoalan riil kebangsaan dan steril dari budaya demokrasi.
Diakui atau tidak, terkesan ada “konspirasi” di tingkat elite penguasa Orde Baru untuk membikin sakit, bahkan mematikan atmosfer demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Kebijakan yang disusun secara sentralisasi-otoriter, tanpa memperhatikan aspirasi arus bawah, disadari atau tidak, telah menumbuhsuburkan virus “sindrom” yang antidemokrasi dalam bentuk indoktrinasi dan tekanan-tekanan terhadap praktisi pendidikan di lapangan. Beda pendapat “diharamkan”, daya inisiatif dimatikan. Sikap kritis pun ditabukan. Semua harus mendongak dan menanti petunjuk dari atas.
Sistem pendidikan berikut perangkat regulasinya telah dipola dan dikemas demi kepentingan kekuasaan an-sich. Mulai tingkat SD hingga SLTA, peserta didik telah dibiasakan untuk menjadi “anak Mami” yang manis, manutan, dan dilarang bertanya. Ruang belajar telah berubah fungsi menjadi tembok pemasung yang membelenggu kebebasan berpikir, berkreasi, bernalar, berinisiatif, dan berimajinasi. Beratnya beban kurikulum yang mesti dituntaskan telah membuat proses belajar-mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog, dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Sedangkan, di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa dibutakan dari persoalan-persoalan politik praktis, mesti berkutat memburu ilmu di puncak menara gading yang hendak dijadikan “robot” penguasa dalam mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Akibatnya, setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat, tidak paham bahasa rakyat. Dalam kondisi demikian, mana mungkin out-put pendidikan kita mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog? Mustahil mereka bisa menghargai perbedaan pendapat –sebagai salah satu esensi demokrasi– kalau iklim belajarnya berlangsung monoton.
Boleh jadi, memang sudah harus menjadi keniscayaan sejarah jika dunia pendidikan kita selama ini “tertidur pulas” di atas “ranjang” rezim Orde Baru. “Nasi telah menjadi bubur,” kata orang. Belajar dari pengalaman buruk semacam itu, kini tiba saatnya dunia pendidikan diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang punya rasa malu, rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik, moral, dan spiritual yang kokoh ketika bertarung dalam rimba polilik. Apalagi, era milenium ketiga yang diyakini akan menghadirkan banyak tantangan krusial dan perubahan global seiring dengan akselerasi keluar-masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia akan segera kita masuki, ranah demokrasi jelas akan ikut menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptabilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia.
Itu artinya, mau atau tidak, dunia pendidikan –sebagai “kawah candradimuka” dalam mencetak sumber daya manusia yang cerdas dan andal– harus mempersiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki sikap resistence yang kokoh di tengah-tengah “konflik peradaban”.
Pertama, sikap demokratis harus menjadi salah satu aspek yang perlu dicapai dalam tujuan pendidikan nasional. Kedua, kurikulum yang diberlakukan harus memberikan ruang yang cukup bagi peserta didik untuk belajar menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi. Mereka harus diberi kemerdekaan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat debat, diskusi, dan adu argumentasi dengan tetap mengacu pada nilai kebenaran dan nilai luhur baku. Ketiga, para birokrat dan praktisi pendidikan dituntut “good-will”-nya untuk memberikan teladan cara-cara berdemokrasi yang sehat. Dalam iklim masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik, contoh dan tindakan nyata akan lebih bermakna ketimbang retorika maupun ucapan verbal lainnya.
Yang tidak kalah penting, iklim demokrasi pun harus sudah mulai ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga institusi pendidikan lebih maksimal untuk mengembangsuburkannya. Apabila iklim demokrasi tumbuh secara kondusif yang pada gilirannya akan menjadi sebuah budaya, maka rasa sakit hati, dendam, mencari-cari “kambing-hitam” akibat kekalahan dalam sebuah demokrasi tak akan terjadi. Yang menang pun tidak akan selalu menepuk dada. Dalam sebuah demokrasi, kalah dan menang adalah wujud dinamika yang indah dan niscaya.
Pertanyaannya sekarang, kapankah negeri ini mampu mewujudkan atmosfer demokrasi yang sehat? Usia 63 tahun, idealnya sudah harus mampu menjawabnya. ***
Keterangan:
Gambar seutuhnya merupakan karya Dwijo D. Laksono.
hmmmm..seperti biasa tulisanpak sawali panjaaang. tapi khusus yang ini sy baca sampe habis 😀 … selama yang memimpin negara ini adalah orang-orang kerdil seperti sekarang… saya kok ndak yakin demokrasi yang sehat bakal terwujud dalam waktu dekat…saya berdoa semoga saya salah :((
hhmm……
kayaknya susah kalo mo ngewujudin dekokrasi yang bener2 sehat…..
kita sendiri aja tau, gimana para petinggi negara kita banyak yang ‘gak jelas’…..
pemimpinnya aja gitu, gimana yang laen2nya???? 😐
azizs last blog post..BUAT SMA 11 DI HARI KEMERDEKAAN
Menurut saya pak…. jawaban dari judul artikel di atas sebenarnya simpel. Kapan Demokrasi yang sehat terwujud?? Jawabannya: Ya…. kalau mental dan moral serta fikiran rakyat kita juga sudah sepenuhnya sehat! Huehehehe…… Masalahnya kapan mental, moral dan fikiran rakyat kita ini sehat??
Kita seringkali menyalahkan pimpinan2 kita atas “kegagalan” terjadinya demokrasi yang sehat di negeri kita ini. Tapi ingatlah, sebenarnya pimpinan2 kita juga lahir dari masyarakat kita juga yang dibesarkan pada lingkungan yang sama. Jikalau rakyatnya sehat (mental, moral dan fikirannya) maka akan melahirkan pemimpin yang sehat. Jikalau rakyatnya “kurang sehat”? Ya… tentu kita hanya bisa menelorkan pemimpin2 yang “tidak sehat” juga. Begitu kan pak?
Yari NKs last blog post..Komputer Berbasis DNA, Komputer Masa Depan?
Budaya mencari kambing hitam adalah kesalahan didik wakru kita kecil.
Msh inget bngt saat anak trjatuh, ortu bilang ‘waah, kodok nya lari’ dlsb.
Yup, mau tak mau kesalahan yg ta terencana ini mempengaruhi psikologis anak tsb.
Entah bnr ato tidak, yg penting, Hidup Indonesia Ku! ^^
Saya sepakat dengan komennya pak Yari. Setiap individu adalah pemimpin, minimal pemimpin dari individu itu sendiri. Jadi, mari kita perbaiki kesadaran diri, lingkungan sekitar diri kita, masyarakat dan jika kita di beri kesempatan serta kekuatan lebih mari bersama-sama memperbaiki kesadaran bangsa ini.
Sayangnya walaupun usia republik ini sudah 63 tahun, tapi demokrasi sendiri baru berjalan selama 10 tahun. Jadi masih dalam masa kanak-kanak. Mungkin baru ketika berusia 17 tahunlah demokrasi di negara ini bisa berjalan normal dan dewasa.
kira-kira kapan yak !?!? 😡
klo memang para pemimpinnya sdh mulai memikirkan kemajuan bangsa ni, tdk hanay saling menyalahkan
afwan auliyars last blog post..Antara papa, ayam ma sekolah, ada apaan yak !?!?
sejak di sekolah anak-anak tak diajarkan demokrasi… mereka telah diseragamkan! Coba saja lihat pelajaran sekolah mulai di tingkat SD, anak-anak di seluruh Indonesia diajari ‘INI BUDI’. Padahal di Papua sana, sangat asing dengan seseorang bernama BUDI. Begitupun saat ke sekolah lanjutan, nilai anak-anak diseragamkan dengan Ujian Nasional.
Anak-anak sekolah tak dibiasakan dengan perbedaan!
Qizinks last blog post..Aku Ingin ….
Yuk, dimulai dari diri kita masing-masing, keluarga kita, tetangga n masyarakat kita, dan insyaAllah segera terwujud untuk bangsa kita 🙂
Ini pertanyaan yg cukup sulit dijawab. Sebab budaya outlaw sudah cukup mengkristal di negeri ini. Siapa yg harus disalahkan? Saya fikir tidak perlu mencari siapa yg wajib menanggung tuduhan pembuat salah ini. Yg penting kita mulai dari diri kita sendiri utk memulai apa saja yg seharusnya dianggap ideal.
Satu lagi, jangan mendewakan kemenangan. Begitu banyak partai yg terlibat dalam pemilu nanti. Yg harus menang adalah kebersamaan dan persatuan. Halah….
Johans last blog post..IKLAN GOOGLE
Tanya kenapa ???
Sepertinya butuh waktu lama untuk mewujudkan demokrasi yang sehat . Selama para elit politik yang membikin demokrasi sakit itu masih membikin sakit .
alabahys last blog post..Kebenaran
Kita selalu berharap demokrasi akan memberikan dampak untuk kesejahteraan rakyat, akan tetapi selama demokrasi model hukum rimba yang berlaku di negeri ini kesejahteraan itu akan sulit terwujud
Achmad Sholehs last blog post..Marilah Berbuat sesuai Kemampuan, Bukan Kemauan
Sayangnya demokrasi yang sehat itu butuh mental yang sehat dari pelakunya pak. Sebeba jika mental belum siap berdemokrasi, maka hasilnya malah hancur-hancuran.
USA aja masih terus belajar berdemokrasi. Dan sekarang sedang mengalami ujiannya dalam hal perkulit hitaman.
bersikap demokratis susah lho om… makanya wajar kalo tujuan pendiknas agak susah tercapai… tpi seiring waktu mudah2an gak susah lagi… he..he..
Masenchipzs last blog post..Terbiasa karena merasa menguasai.. salting gara2 gak tau menau?
Numpang bikin komentar satu lagi Pak. Biar kelihatan demoktratis. 😆
aduuh saya kok bingung…ya berdo’a saja semoga demokrasi di indonesia segera terwujud..biar nggak kalah2 telak sama negara tetangga 🙂
Diahs last blog post..Surat Pengunduran Diri ( Resign)
Demokrasi sehat? 😮
Kapan ya terwujud? Hehe…
Demokrasi sehat akan terwujud bila masing-masing kita memiliki kesadaran yang tinggi untuk mewujudkannya. Bukan sekedar dibahas tapi dipraktikkan.
Negeri ini akan maju bila para kaum intelektual tidak ada lagi yang melakukan kejahatan intelek. Kecerdasan yang mereka miliki mau diabdikan untuk masyrakat dan negeri ini. Kita bisa mulai dari kita masing-masing. Siapa tahu di kemudian hari banyak yang mengikuti jejak itu, hehe…
-salam-
@ Yari NK : setuju sama njenengan 🙂
Kuncinya ada pada figur leadership, dia dipilih oleh rakyat. Bagaiman kwalitas rakyat tercermin tercermin dari pemimpinnya. Kalau boleh memilih saya pilih njenengan sahaja pak! untuk suksesi kedepan
Demokrasi itu bukan produk asli bangsa kita, Pak Guru. Produk asli bangsa kita adalah feodalisme. Oleh karena itu, bangsa kita butuh proses belajar untuk menuju ke arah sana.
Saya tidak berpendapat bahwa proses belajarnya harus puluhan tahun atau berabad-abad. Itu semua bergantung, kepada kesehatan mental dan moral kita seperti yang Pak Yari sampaikan.
Jangankan dalam berdemokrasi, Pak, antri saja — saya pernah tulis di blog saya — kita tidak bisa.
Saya setuju bahwa demokrasi harus diajarkan sejak dini. Pembelajaran demokrasi di jenjang pendidikan dasar dan menengah sangat perlu. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Selama masyarakat kita tidak mempraktekkan demokrasi yang sehat, apa yang diajarkan kepada anak-anak bisa menjadi kemubaziran. Mereka hanya akan melihat demokrasi yang sehat secara teori sedangkan prakteknya di depan mata mereka adalah demokrasi yang sakit.
Dus, mari kita tularkan cara berdemokrasi yang sehat bukan hanya kepada keluarga melainkan juga kepada lingkungan kita.
arifs last blog post..Mari Nge-Plurk Bersama
demokrasi akan sehat setelah :
1. Dibangun PusKesDem (Pusat Kesehatan Demokrasi)
2. Dibentuk Posyande (Pos Pelayanan Demokrasi)
3. Didirikan POGD (Pabrik Obat Generik Demokrasi)
4. Dideklarasikannya PDST (Partai Demokrasi Sawali Tuhusetya)
5. Pak Sawali bergelar M.Dm (Magister Demokrasi)
6. Ada semboyan “mendemokrasikan kesehatan dan menyehatkan demokrasi”
7. saya selesai komentar
N.B.
Pak Sawali koyo guru Geografi, ada istilah IKLIM Demokrasi, ada ATMOSFER Demokrasi.
Aku rak nyangka…
marsudiyantos last blog post..Knapa Musti Segitu?
belajar berdemokrasi walau mahal ongkosnya…
belajar dari dini. semoga para orang tua “baru” mau “berdebat” dengan anaknya. niscaya satu generasi lagi bangsa kita sudah melupakan feodalisme dan akrab dengan demokrasi itu…
kalo bicara demokrasi susah de….malah banyak tuh demokrasi yang kebablasan….
ada lagi yang ngakunya tokoh demokrasi ko mimpin partai kaya partai milik dia sendiri…itu tuh maksud saya empunya partai nomor 13 mantan presiden yang sering jalan2 ke luar negeri habisin duit rakyat… :DD
yuk kita singkirin politisi yg opurtunis biar dalam pembangunan bangsa ini gak terhalang oleh mereka? he…he..
Masenchipzs last blog post..Trik kelola blog yg apik dan BW yg teratur saat sibuk beriring komentar (edisi jawaban buat bro and sis)
kapan yahhhhh?
ah merdeka dech pak guru.
btw kok loading rumah bapak ini susah bener yah, butuh beberapa kali refresh…terlalu berat nich kayaknya :oke
perlu dilakukan kerja dibidang ideologi Pak, ideologi sbg pernyataan kepentingan , sehingga kita sadar & tak jadi budak sebuah kepentingan 😯
tomys last blog post..PUISI CINTA TUK INDONESIA
tanpa tinta bermasalah
mungkin kita bisa melihat bagaimana negara iran melepas keterpurukan negaranya dengan semangat REVOLUSI mas. yang dimana REVOLUSI ISLAM tersebut diusung dari tahun 1977. mungkin indonesia bisa mengikuti jejak historis negara iran kenapa tidak kita mengambil sisi positif dari itu.
sekarang figus yang akan melaksanakan itu belum muncul diindonesia. mungkin yang pertama bagaimana ada seorang figur yang betul2 mementingkan hati rakyat, kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadinya sendiri.
Bagaimana tidak mas politisi sekarang berfikir bagaimana dia dapat mengembalikan modal hasil kampenye dulu pada kedudukannya sekarang. coba ada keputusan bahwa kampenye tidak diperbolehkan memakai uang yang banyak mungkin kemungkinannya kecil terjadi
Contoh2 Gila sang Politikus dan yang mempunyai kedudukan dalam pejabat teras Pemerintahan
1. Pada saat ingin menjadi penegak hukum harus mengeluarkan banyak Uang
2. Pada saat mau menjadi PNS harus banyak mengeluarkan uang pelicin
3. Pendidikan dijadikan sebagai ajang Bisnis
4. Kesalahan pemerintah dalam menjalankan sebuah proyek-proyek kota
Sukses mas
Padahal, tampuk pemerintahan yang dipercayakan oleh masyarakat/rakyat adalah amanah. Amanah itu kalau tak dilaksanakan dosa, kan? Trus banyak orang-orang yang sebenarnya belum mampu untuk memegang amanah besar macam ini. Tapi kok ya, tetap rebutan ingin memikul amanah berat tersebut. Segala cara digunakan, bahkan cara licik dan kotor sekalipun.
suhadinets last blog post..Hatmiati, Blogger Baru dari Amuntai
❓ Ini bisa dimasukkan dalam kriminalisasi politik pak sawali. Politikus kok menggunakan cara-cara inkonstitusional dalam berkampanye untuk merebut hati rakyat. Tidak boleh diteruskan, kita harus jeli, jangan dipilih politikus yang seperti itu. Nah permasalahannya, dari semua calon ternyata tidak ada je politikus yang ideal seperti itu ❓ ❓ ❓
laporans last blog post..Mitos
Jika para pemimpin negeri kita atau calonnya pada sehat otak dan batinnya…selain itu otak dan batinnya juga sinkron…
Sekarang ini selain tidak sehat, keduanya juga tidak sinkron…
Juliachs last blog post..Susah juga membaca pikiran orang 1
Salam
Mungkin selain para pelaku demokrasi yang “sakit” boleh jadi sistemnya atau malah demokrasinya sendiri yang “cacat” Pakde, karena demokrasi ini kan asal-muasalnya serta dilahirkan dari peradaban barat, saya kok cenderung ragu..iklim demokrasi yang dianggap mulai berkembang setelah euphoria reformasi bertahun-tahun lalu kok ndak memberikan signifikansi yang jelas kan terhadap perkembangan perpolitikan khususnya di Indonesia, jangan dulu lah mengharapkan kestabilan di semua bidang, wong di politiknya aja yang merupakan inti dari demokrasi ini yang ada selalu “chaos” sistem kita ini kayak benang kusut, silang sengkarut entah harus darimana mulai menguraikannya. yang jelas buat kelompok grass root sie ga penting kali ya bagaimana demokrasi ini berjalan yang penting bisa makan dan hidup, namun sayang yang terjadi di elite malah hanya memperubutkan kepentingan kelompoknya. Hmm bener kali ungkapan yang mengatakan dalam masalah politik tak ada kawan dan lawan abadi tapi kepentingan abadi, akhirnya kerjaannya ya cuma saling jegal padahal ujung2nya adalah bagaimana bertahan di tampuk kekuasaan utnuk menghasilkan pundi-pundi kekayaaan. haah cape saya Pakde melihat semua ini…kadang akhirnya merasa skeptis dan pragmatis.. *tarik nafas*
nenyoks last blog post..Baju Koruptor
Kita jadi bertanya tanya , apakah reformasi dan demokrasi – yang kebablabasan – di Indonesia akan secara otomatis membawa perbaikan pada kehidupan rakyatnya. Jangan jangan ini hanya ide dengan huruh i kecil. Saya justru takut pada kenyataan bahwa bangsa ini bisa besar jika diperintah secara otoriter. Mudah mudahan ketakutan ini tidak beralasan.
Demokrasi yg sehat???kapan yaaaa??? 8) 🙁 tapi dr pertanyaan itu sy menangkap masih adanya optimisme…beda kalo pertanyaannya, “mungkin gak ya demokrasi yg sehat terwujud?”..yaaa…yg penting optimis ya pak, kita dah krisis kepercayaan jgn lagi dtambah krisis optimis…kira2 begitu yak ???? :acc
fien prasetyos last blog post..
agaknya statemen bahwa kita belum siap untuk demokrasi secara langsung ada benarnya. Dan yg paling tdk siap itu adalah politisinya.
Mau jadi politisi pak?
Zulmasris last blog post..PADA HALTE KAU TUNGGU BUS KOTA
test
danas last blog post..Kaya
Pak, komen saya ada yang dianggap spam. DIbebaskan dunk pak.
danas last blog post..Kaya
Mudah-mudahan akan segera terwujud, Pak. Lha klo tidak segera terwujud, tentu saja bangsa ini akan makin terpuruk dalam segala hal, terutama dalam bidang ekonomi :DD
sapimotos last blog post..080808
wh..doakan saja mas sawali, tunggu saya menjadi pemimpin negara ini, baru akan terwujud demokrasi yang sehat…
*ngimpi neh okta 😉
okta sihotangs last blog post..I`m in Narsisme
sekarang jadi banyak yang skeptis dengan demokrasi pak
itikkecils last blog post..Kopdar with Chika part 1
yah, doakan saja mas biar saya bisa jadi kepala negara indonesia, agar demokrasi yang sehat bisa terwujud..AMIN!!!
okta sihotangs last blog post..I`m in Narsisme
4 kali komentar di postingan baru, mental semua
marsudiyantos last blog post..HaNuMan
Kalau saya menilai demokrasi itu sebuah proses, Pak Sawali.
Dan yang namanya proses, pahit getir dan manis cantiknya pasti ada.
63 tahun memang bukan angka yang sedikit, tapi dibanding proses belajar para dedengkot demokrasi dunia, bukankah angka segitu itu belum ada seperlima atau seperenam dari mereka malah 😉
Tetap maju!
Donny Verdians last blog post..Mengapa 888 Istimewa ?
nasi mungkin memang sudah menjadi bubur pak.. tapi bukan berarti tak bisa diolah jadi bubur ayam yang ueenakkk kannnn… 🙂
yainals last blog post..Berbagi Dunia a la Petruk dan Gareng
Bangsa ini memang masih baru belajar…..ya belajar…….
semestinya belajar sudah semakin pintar ya pak ?? ……tapi itu idealnya…hehe
dulu sewaktu negeri ini baru mengecap kemerdekaan, semua sistem pemerintahan di terpkan oleh seorang Bung Karno, ada demokrasi terpimpin, ada parlementer, tapi itu semua gagal………sekarang Demokrasi langsung……akankah negeri ini akan mundur lagi kebelakang…….o…mudah2an tidak…
Kadang prilaku masyarakat kita, itu mencerminkan Pemimpinnya juga. Jika pemimpinnya berantem ya rakyatnya pasti berantem juga.
Tapi semoga bangsa ini akan lebih dewasa dalam perjalanannya…….hingga KEJAYAAN dan KESEJATERAAN itu akan terwujud.
Saya orang yang optimis dengan hal ini.
Alex Abdillahs last blog post..Al-Quds dimataku
Lantas, siapa yang mesti menjawab, Pak Sawali?
Sama-sama berdoa aja Kang…
saya masih optimis kok klo banyak orang2 yg pengen perubahan di luar sana. Tinggal bagaimana kita maju bersama menindak ‘demokrasi yang tidak sehat’ itu.
-Salam kenal Kang dari Bandung-
Rully Patrias last blog post..Pagi Ini Dompet Memberiku Pelajaran
praktek demokrasi harus dimulai dari rumah. Orang tua jangan lagi otoriter, tapi jangan pula bergoyang macam pendulum lantas menjadi permisif.
Orang tua zaman sekarang perlu belajar membedakan aplikasi kasih sayang dengan over proteksi; aplikasi kasih sayang dengan tendensi memanjakan. Tak kalah pentingnya, setiap ayah dan ibu di Indonesia sebaiknya mengajarkan pada anak-anaknya tentang toleransi, solidaritas, patriotisme, sikap ksatria, harga diri, dan integritas.
Demokrasi tidak bisa dibangun lewat revolusi, tapi harus melalui proses belajar dan interaksi yang memakan waktu lama.
Salam Merdeka
Robert Manurungs last blog post..Batas-batas Iklan Politik
demokrasi sama gak dengan orang (maaf) gila yg berdemo mas? Kapan bisa terwujud? kita sembuin dulu yg “gila” itu, baru demo…he..he
Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul PR dari Bung IFOELL
walah, demokrasi sesungguhnya hanya alat alias media. sayangnya, seringkali demokrasi digunakan sebagai tujuan, sehingga demokrasi di negeri ini tak jarang melahirkan anarkhi. repot!
Kayaknya nggak bakal terwujud deh, soalnya nggak ada dokter buat ngobatinya. Nggak tahu dimana nyari dokter buat mas demo yang lagi sakit, terus nyari obatnya di apotek mana juga gak tahu. Hi Hi Hi
Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Telah Terbit : Buku Membobol Password itu Mudah
@lovepassword,
kekeke … kalau mau nyari apotek, mestinya juga ke apotek demokrasi, mas love. hehe …
sangat berterima kasih karena telah membantu saya dalam penyusunan makalah di bangku kuliah ( UNTL )
yaps, sama2, mas pedro.
sekarang lagi musim pesta demokrasi..pemilukada, banyak cerita cara2 yg tidak sehat masih terjadi.
begitulah suasana yang terjadi pasca-otonomi daerah, mas.