Membangun “Jalan Tol Peradaban” Berbasis Kerakyatan

Kategori Opini Oleh

Proklamasi kemerdekaanKemerdekaan RI yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat, pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 (tahun Masehi), atau 17 Agustus 2605 (tahun Jepang), atau 17 Ramadan 1365 (tahun Hijriah), sejatinya merupakan tonggak bagi bangsa untuk menancapkan sebuah perubahan. Ya, berubah dari situasi tertekan, tertindas, beku, dan stagnan, menjadi situasi merdeka dan berdaulat untuk mewujudkan cita-cita luhur dan mulia sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat.

Ya, ya, ya! Situasi pun berubah ketika vokal Soekarno yang khas dan kharismatik menggetarkan seantero dunia. Negara-negara yang selama ini bersimpati dengan derita Indonesia serta-merta memberikan dukungan dan apresiasi. Rakyat pun gegap-gempita menyambutnya. Hidup merdeka dan berdaulat membayang di setiap kepala.

Pada awal-awal masa kemerdekaan, situasi heroik berbasiskan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme agaknya masih begitu kokoh menancap dalam gendang nurani setiap warga bangsa. Kaum elite negeri bersama rakyat hingga di lapisan akar rumput masih berada dalam satu barisan, lantas bergandengan bersama di tengah “jalan kebersamaan” untuk mewujudkan makna hidup merdeka yang telah lama dicita-citakan. Sisa-sisa ketragisan hidup pada masa-masa revolusi fisik agaknya menjadi pemicu “adrenalin” untuk mengukuhkan “gerakan kebersamaan” mewujudkan “Indonesia Baroe”.

Situasi pun berubah ketika usia kemerdekaan makin bertambah. Antara elite negeri dan rakyat mulai memiliki kepentingan yang berbeda-beda. “Jalan kebersamaan” yang telah tertancap berubah menjadi beberapa jalan “kelinci” sesuai dengan kepentingan kelompok dan golongan. Makna kemerdekaan pun berubah sesuai dengan “jalan” yang telah dipilih oleh kelompok atau golongan yang berbeda-beda.

Di negeri ini, sebenarnya hanya ada dua kelompok kepentingan, yakni rakyat dan elite negara. Dalam konteks ini, saya sengaja tidak menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Clifford Geertz (The Religion of Java, 1961) yang membagi strata mayarakat (khususnya masyarakat Jawa) dalam tiga kelompok, yakni priyayi, santri, dan abangan. Pendekatan ini agaknya kurang relevan lagi jika digunakan sebagai “pisau” untuk membedah realitas budaya masyarakat yang demikian dinamis dan cepat berubah.

Dalam pandangan awam saya, ibarat sebuah kereta, rakyat adalah penumpang, sedangkan elite negara adalah masinis bersama kru-nya. Kalau boleh dibandingkan, situasi pada awal kemerdekaan, kereta bisa melaju mulus, jarang terjadi goncangan, apalagi kecelakaan, karena antara penumpang dan masinis bisa saling bersinergi. Stasiun dan halte pemberhentian pun jelas alur dan tahapan-tahapannya. Namun, setelah usia kemerdekaan telah jauh melewati batas-batas sejarah dan peradaban, agaknya antara masinis dan penumpang sudah tidak bisa lagi bersinergi. Stasiun dan halte bukan lagi sebagai tempat pemberhentian yang mesti ditaati. Ada banyak penumpang yang ingin berhenti sesuka selera dan keinginannya. Jika perlu dengan cara memaksa masinis dan kru-nya. Sementara itu, pihak masinis pun tak kalah sengit dalam merespon keinginan dan selera para penumpang yang memiliki beragam jenis kepentingan. Tak heran jika laju kereta seringkali mengalami goncangan dahsyat, bahkan tak jarang terjadi kecelakaan akibat sikap abai dari sang masinis untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan bersama.

Kini, agaknya perlu ada penafsiran ulang terhadap makna kemerdekaan ketika usia negeri ini terus bertambah. Jangan sampai terjadi, “jalan kebersamaan” yang telah dirintis oleh para pendahulu negeri, berubah menjadi “ladang” yang tandus dan tak terurus. Bahkan, harus ada kesadaran kolektif untuk menjadikan “jalan kebersamaan” itu seperti “jalan tol peradaban” yang mampu mengantarkan segenap rakyat negeri ini menuju harapan dan cita-cita yang diinginkan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Untuk membangun “jalan tol peradaban”, segenap rakyat dan elite negara perlu membangkitkan kembali serat-serat kesadaran sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sesekali, para elite negara, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif, perlu turun ke bawah untuk mendengar jeritan dan derita rakyat. Merekalah sesungguhnya yang bisa menafsirkan makna kemerdekaan itu secara tulus dan jujur. Jangan bertanya masalah esensi dan makna kemerdekaan itu kepada politisi, baik di pusat maupun daerah. Juga jangan tanya kepada bupati atau walikota! Sudah pasti, makna kemerdekaan akan ditasirkan jika jalan kemudahan untuk mendapatkan fasilitas dan penghasilan berlipat-lipat itu ada di depan mata. Rakyatlah yang bisa merasakan “buah kemerdekaan” itu dalam realitas hidup yang sesungguhnya. Jangan heran kalau rakyat akan menafsirkan makna kemerdekaan dengan beragam jawaban.

Pertanyaannya sekarang, kenapa para elite negara jarang sekali berdialog dengan rakyat? Bagaimana bisa membawa mereka pada terminal tujuan yang diinginkan kalau komunikasi terkunci rapat-rapat? Haruskah rakyat selalu “sendika dhawuh” terhadap kebijakan penguasa ketika gerbong rakyat tiba-tiba saja dibawa sang masinis ke sebuah terminal tujuan yang jauh dari harapan dan cita-cita mereka? ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

53 Comments

  1. Pertanyaannya sekarang, kenapa para elite negara jarang sekali berdialog dengan rakyat?

    Menanggapi pertanyaan di atas saya jadi teringat bagaimana dulu Presiden Soeharto sering berdialog dengan rakyat melalui acara klompencapir. Di sana terjadi dialog antara pemimpin dan pengikut.

    Saya kira, saat ini elit jarang berdialog dengan rakyat karena mereka suka berjanji kosong ketika kampanye sehingga takut ditagih oleh rakyat apabila diadakan dialog.

    wah, lha ya itu, mas, agaknya mereka memang ndka mau bertemu dg rakyat karena suka ingkar janji. mudah2an mas arif beok kalau jadi wakil rakyat ndak begitu 🙄

  2. belum bisa banyak komentar nih Pak :mrgreen:
    sedang kejar tayang proyek *bebebehhh* sebelum puasa
    PNS kerjanya menghabiskan anggaran 🙂 karena kalau tidak habis dianggap tidak bisa kerja 😎

    tomys last blog post..PUISI CINTA TUK INDONESIA

    wah, bener juga, pak tomy. selamat bekerja, pak, semoga sukses 🙄

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top