Demokrasi yang Sehat: Kapan Terwujud?

Kategori Opini Oleh

Seringkali kita dibuat geli menyaksikan perilaku para petualang politik di negeri ini yang sungguh tidak cerdas. Selalu saja ada argumen yang mereka gunakan untuk memperoleh pembenaran terhadap “manuver” yang mereka lakukan. Yang paling gampang, jelas mencari kambing hitam. Yang paling sering kena sasaran jelas para rival politiknya. Dalam pilkada, misalnya, politisi yang kalah bersaing tak jarang melakukan aksi-aksi vandalistis dengan mengerahkan “tim sukses”-nya atau memburu pendemo bayaran. Mereka direkrut, tentu saja dengan sejumlah upah, untuk menciptakan stigma baru kepada publik.

Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran dalam sebuah pesta demokrasi tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bahkan bertingkah “inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan. Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa mereka telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.

Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera politiknya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan.

Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang akan terus berlangsung, agenda penting dan urgen untuk segera digarap ialah membangun budaya demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam membangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.

***

Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal, harus diakui, mereka memiliki kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Bejibun jumlah politisi jebolan Sl, S2, S3, bahkan yang bergelar profesor sekalipun.

Fenomena tersebut tentu menarik disimak, sebab ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan tidak (kurang) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat. Kalau demikian. apakah selama ini dunia pendidikan memang nihil dari sentuhan pembelajaran demokrasi? Tidak adakah ruang berdemokrasi dalam wacana pendidikan kita sehingga (nyaris) mandul dalam melahirkan demokrat-demokrat ulung, cerdas, dan andal? Upaya apakah yang mesti dilakukan agar dunia pendidikan mampu menaburkan benih-benih demokrasi kepada peserta didik’? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting dan relevan untuk dilontarkan dan dijawab, sebab kita semua tidak menginginkan dunia pendidikan kita terjebak menjadi ruang untuk “meng-karantina” peserta didik dari persoalan-persoalan riil kebangsaan dan steril dari budaya demokrasi.

Diakui atau tidak, terkesan ada “konspirasi” di tingkat elite penguasa Orde Baru untuk membikin sakit, bahkan mematikan atmosfer demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Kebijakan yang disusun secara sentralisasi-otoriter, tanpa memperhatikan aspirasi arus bawah, disadari atau tidak, telah menumbuhsuburkan virus “sindrom” yang antidemokrasi dalam bentuk indoktrinasi dan tekanan-tekanan terhadap praktisi pendidikan di lapangan. Beda pendapat “diharamkan”, daya inisiatif dimatikan. Sikap kritis pun ditabukan. Semua harus mendongak dan menanti petunjuk dari atas.

Sistem pendidikan berikut perangkat regulasinya telah dipola dan dikemas demi kepentingan kekuasaan an-sich. Mulai tingkat SD hingga SLTA, peserta didik telah dibiasakan untuk menjadi “anak Mami” yang manis, manutan, dan dilarang bertanya. Ruang belajar telah berubah fungsi menjadi tembok pemasung yang membelenggu kebebasan berpikir, berkreasi, bernalar, berinisiatif, dan berimajinasi. Beratnya beban kurikulum yang mesti dituntaskan telah membuat proses belajar-mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog, dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Sedangkan, di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa dibutakan dari persoalan-persoalan politik praktis, mesti berkutat memburu ilmu di puncak menara gading yang hendak dijadikan “robot” penguasa dalam mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Akibatnya, setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat, tidak paham bahasa rakyat. Dalam kondisi demikian, mana mungkin out-put pendidikan kita mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog? Mustahil mereka bisa menghargai perbedaan pendapat –sebagai salah satu esensi demokrasi– kalau iklim belajarnya berlangsung monoton.

Boleh jadi, memang sudah harus menjadi keniscayaan sejarah jika dunia pendidikan kita selama ini “tertidur pulas” di atas “ranjang” rezim Orde Baru. “Nasi telah menjadi bubur,” kata orang. Belajar dari pengalaman buruk semacam itu, kini tiba saatnya dunia pendidikan diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang punya rasa malu, rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik, moral, dan spiritual yang kokoh ketika bertarung dalam rimba polilik. Apalagi, era milenium ketiga yang diyakini akan menghadirkan banyak tantangan krusial dan perubahan global seiring dengan akselerasi keluar-masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia akan segera kita masuki, ranah demokrasi jelas akan ikut menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptabilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia.

Itu artinya, mau atau tidak, dunia pendidikan –sebagai “kawah candradimuka” dalam mencetak sumber daya manusia yang cerdas dan andal– harus mempersiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki sikap resistence yang kokoh di tengah-tengah “konflik peradaban”.

Pertama, sikap demokratis harus menjadi salah satu aspek yang perlu dicapai dalam tujuan pendidikan nasional. Kedua, kurikulum yang diberlakukan harus memberikan ruang yang cukup bagi peserta didik untuk belajar menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi. Mereka harus diberi kemerdekaan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat debat, diskusi, dan adu argumentasi dengan tetap mengacu pada nilai kebenaran dan nilai luhur baku. Ketiga, para birokrat dan praktisi pendidikan dituntut “good-will”-nya untuk memberikan teladan cara-cara berdemokrasi yang sehat. Dalam iklim masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik, contoh dan tindakan nyata akan lebih bermakna ketimbang retorika maupun ucapan verbal lainnya.

Yang tidak kalah penting, iklim demokrasi pun harus sudah mulai ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga institusi pendidikan lebih maksimal untuk mengembangsuburkannya. Apabila iklim demokrasi tumbuh secara kondusif yang pada gilirannya akan menjadi sebuah budaya, maka rasa sakit hati, dendam, mencari-cari “kambing-hitam” akibat kekalahan dalam sebuah demokrasi tak akan terjadi. Yang menang pun tidak akan selalu menepuk dada. Dalam sebuah demokrasi, kalah dan menang adalah wujud dinamika yang indah dan niscaya.

Pertanyaannya sekarang, kapankah negeri ini mampu mewujudkan atmosfer demokrasi yang sehat? Usia 63 tahun, idealnya sudah harus mampu menjawabnya. ***

Keterangan:

Gambar seutuhnya merupakan karya Dwijo D. Laksono.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

55 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top