Kunta Wijayandanu untuk Anoman

Dalang: Ki Sawali Tuhusetya

Kawasan bukit Kutarunggu yang selama ini dikenal sebagai “kantong” bebas kekerasan, belakangan ini berubah panas dan menegangkan. Hampir setiap hari, ada-ada saja aksi bar-bar, anarkhi, dan vandalisme yang meluncur ke permukaan. Ulah kekerasan berdalih sentimen kesukuan, agama, ras, dan antargolongan merajalela. Banyak konglomerat hitam, koruptor kakap, atau wayang-wayang berkantong tebal yang urung ber-week end bersama sang gundik di puncak bukit yang sejuk itu. Pelancong-pelancong asing yang dulu berseliweran pun kini menjadi pemandangan langka.

Suasana bukit Kutarunggu yang panas dan menegangkan membikin aktivitas Prof. Kesawasidhi terhambat. Undangan seminar dari berbagai negara terpaksa di-pending. Acara-acara kampus sering berantakan lantaran peta dan stadium kekerasan selalu berubah setiap detik. Bahkan, upacara penganugerahan gelar doktor honoris causa dari perguruan tinggi ternama buat dirinya gagal dihadiri.

”Anoman, bagaimana You punya sikap dalam menghadapi situasi semacam ini?” tanya Prof. Kesawasidhi di rumahnya yang sederhana yang terletak di sudut bukit Kutarunggu sembari membetulkan letak kaca mata minusnya. Anoman yang duduk di seberang meja tak mampu menjawab. Diliriknya rekan-rekan sesama ajudan yang tertunduk lesu di sampingnya.

Anoman benar-benar dihadapkan pada persoalan pelik; menghadapi massa sipil yang tengah kalap dilanda euforia. Sebagai mantan serdadu, bisa saja dia menggunakan cara-cara kekerasan dan represif. Hubungannya dengan markas besar tentara pewayangan masih terjalin baik. Hanya dengan sekali kontak, dia bisa menghadirkan satu batalyon tentara pilihan untuk menjaga keamanan di bukit Kutarunggu. Namun, hal itu pantang dia lakukan. Menakut-nakuti penduduk sipil dengan peluru dan senjata hanya menumbuhkan ketaatan semu yang pada akhirnya bisa berubah menjadi dendam rakyat berkepanjangan. Selain itu, tindakan represif akan menjadi penghambat utama demokrasi, mengebiri hak-hak rakyat, sekaligus memandulkan pemberdayaan masyarakat sipil. Kalau itu yang terjadi, upaya membangun peradaban negeri yang lebih bermoral dan berbudaya hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika.

Sebelum menjadi ajudan sang profesor, Anoman memang dikenal sebagai prajurit andal. Musuh-musuhnya di medan perang selalu berhasil dia taklukkan. Gerakannya lincah. Pukulan dan tendangannya mematikan. Taktik perangnya selalu membikin musuh-musuhnya tak berkutik. Tidak heran jika dia dijuluki sebagai Senggana yang artinya panglima perang yang tak terkalahkan. Setelah purnatugas dari dunia kemiliteran, sisa-sisa keperkasaan sebagai prajurit sejati pun masih kuat membekas dalam sikap dan tindakannya. Sorot matanya tegas dan wibawa. Langkahnya tegap dan mantap.

Namun, tampaknya Anoman sudah jenuh dengan darah dan kekerasan. Kini, sudah tiba saatnya bagi dia untuk menebus dosa dan kesalahan masa lalu, menjernihkan nurani, memburu kearifan. Melalui penghambaan dan pengabdian yang tulus kepada Prof. Kesawasidhi yang sudah lama dikenal sebagai guru besar pejuang hak asasi, keadilan, dan demokrasi, dia berharap bisa belajar banyak untuk menjadi wayang yang arif dan cerah budi.

”Bagaimana, Anoman? You punya cara?” lanjut Prof. Kesawasidhi bertanya sembari mengerutkan jidatnya. Anoman tergeragap.

”Emmm…. bagaimana kalau kita gelar forum rekonsiliasi dan rujuk sosial secara lintas suku, agama, ras, dan golongan, Prof? Kita undang tokoh-tokohnya, kita ajak mereka berdialog, lantas berdayakan masyarakat bawah untuk belajar hidup berdamai di tengah perbedaan?” sahut Anoman sambil menatap wajah Prof. Kesawasidhi yang sudah mulai keriput digerogoti usia.

”Begitu? Tapi bukankah You juga tahu, sudah berapa kali forum semacam itu digelar Hasilnya? Rekonsiliasi hanya indah di ruang-ruang forum resmi, tapi praktiknya?”

”Lantas, kita mesti bersikap bagaimana, Prof?” tanya Anoman. Prof. Kesawasidhi hanya mengerutkan jidat. “Menurut hemat saya, rekonsiliasi tetap penting digelar, Prof. Masing-masing pihak perlu kita dengar pendapatnya. Nah, setelah itu perlu ada gerakan hidup damai secara simultan dan berkelanjutan hingga benar-benar menyentuh lapisan masyarakat bawah. Ajak tokoh yang benar-benar merakyat, bukan tokoh berwatak bunglon, oportunis, dan suka gembar-gembor mengatasnamakan rakyat, tapi kenyataannya hanya memburu kepentingan sendiri!” lanjut Anoman.

Prof. Kesawasidhi terdiam, membuka kaca mata minusnya, lantas beranjak mendekati jendela di sudut ruang. Jidatnya kembali berkerut. Pandang matanya menatap ke luar jendela. Meski sudah memasuki usia senja, kepekaan syaraf matanya masih cukup tajam untuk merespon suasana di sekitarnya.

Di bawah sana, terhampar kebun teh yang porak-poranda dijarah massa, tempat-tempat hiburan yang hangus terbakar, dan gedung-gedung pemerintah yang hancur berantakan. Di sudut lain, terlihat lalu lintas yang macet akibat aksi demonstrasi sekelompok massa yang menenteng spanduk dan meneriakkan yel-yel bergemuruh. Samar-samar, suara pengunjuk rasa hinggap di rumah sang profesor. Tiba-tiba terdengar suara tembakan beruntun diikuti jeritan histeris. Bola mata Prof. Kesawasidhi membelalak. Giginya terdengar gemeletuk, manahan amarah.

”Anoman! You segera turun ke sana! Cegah! Jangan sampai aparat keamanan bertindak represif. Sudah terlalu banyak darah rakyat tak berdosa yang membasahi tanah negeri ini!” teriaknya gusar. Berkali-kali, kepalanya yang sudah memutih penuh uban setengah botak geleng-geleng. Tanpa komentar, Anoman beserta ajudan yang lain segera kabur menuju lokasi unjuk rasa.

Tiba di lokasi, Anoman tersentak melihat para prajurit Kurawa tengah beraksi membabi buta menembaki massa demonstran. Di sana-sini tubuh para demonstran bergelimpangan meregang nyawa. Di belakang para serdadu yang biadab itu, berdiri para petinggi Kurawa, seperti Jenderal Karna, Sengkuni, Dursasana, Kartamarma, Citraksa, Citraksi, Surtayu, Jayadrata, dan Aswatama yang tampak angkuh dan arogan. Perilaku mereka benar-benar sudah di luar batas. Sayang, hukum tak sanggup menyentuh ulah mereka yang sudah berkali-kali melanggar hak asasi.

Naluri Anoman sebagai prajurit sejati segera bangkit. Dengan gerak cekatan dan terlatih, dia bersama teman-temannya segera membentuk barikade untuk melindungi demonstran dari kebiadaban para prajurit Kurawa.

”Hentikan! Ini bukan wilayah teritorial Hastina, di mana kalian tak bisa seenaknya menembaki rakyat tak berdosa!” teriak Anoman dengan sorot mata tajam ke arah para petinggi Kurawa yang tertawa terbahak-bahak. Para serdadu Kurawa menghentikan aksinya.

”Ha, ha, ha…. Kalau daripada mereka jadi penghalang, kenapa tidak diserbu saja?” sahut Sengkuni disambung suara tawa dari para petinggi Kurawa yang lain.

”Kami datang baik-baik untuk menemui Prof. Kesawasidhi. Eeee…. lha kok tiba-tiba para pengunjuk rasa sialan itu mengegrudug dan mengusir kami!” sambung Jenderal Karna.

”Sudahlah, nggak usah daripada banyak mulut, kera sialan! Antarkan kami menemui profesor!” sergah Dursasana dengan suaranya yang berat dan bergetar.

”Tidak bisa! Beliau tidak bisa diganggu!”

Akhirnya, ontran-ontran mencekam. Suara tembakan dan teriakan kembali membahana. Namun, berkat kesigapannya dalam bertindak, Anoman dengan bantuan masyarakat sekitar berhasil meredam kebiadaban para prajurit Kurawa. Mereka lari kocar-kacir. Sayang, Jenderal Karna berhasil meloloskan diri dan berhasil menemui Prof. Kesawasidhi. Anoman segera tancap gas membuntutinya.

Jenderal Karna memaksa agar Prof. Kesawasidhi menyerahkan buku ”Wahyu Makutha Rama” yang memuat ajaran Hastabrata, delapan sikap kepemimpinan dalam mengelola negara, kepada pihak Hastina. Prof. Kesawasidhi menolaknya. Jenderal Karna tak sanggup mengendalikan diri. Dengan luapan amarah, dia melolos senjata Kunta Wijayandanu yang dikenal memiliki hulu ledak dahsyat. Jangankan tubuh wayang, gedung kokoh semacam Senayan pun bisa dibikin hancur berkeping-keping. Beruntung Anoman bertindak cekatan. Sebelum senjata itu menyentuh tubuh Prof. Kesawasidhi, dia berhasil menjinakkannya. Jenderal Karna lari ketakutan.

Ontran-ontran di puncak bukit Kutarunggu itu berakhir sudah. Namun, tindakan Anoman dianggap Prof. Kesawasidhi sebagai kekeliruan besar. Pertama, melanggar takdir Tuhan. Kedua, merendahkan martabat seorang jenderal. Ketiga, tidak mempercayai kemampuan seorang guru besar dalam menyelamatkan diri. Dan keempat, telah berbuat licik dan tidak ksatria. Anoman menerima dengan lapang dada semua kekeliruan yang ditimpakan kepadanya. Itulah yang memang dia harapkan dari Prof. Kesawasidhi, membimbingnya untuk mencari makna kearifan hidup di tengah peradaban bangsa yang lagi sakit. (Tancep kayon). ***

Keterangan: gambar diambil dari sini.

No Comments

  1. setuju dengan pendapat bu edratna. tokoh semacam anoman senantiasa dinanti tapi amat sulit ditemukan saat ini.

    eh ontran-ontran itu berasal dari bahasa apa pak?

    Zulmasris last blog post..Intimidasi Pengawas UN oleh Kepala Sekolah

    ooo
    ontran2 itu dari bahasa jawa, pak, yang artinya kurang lebih gegeran alias kegemparan, hehehehe 😆 mudah2an saja masih ada orang berwatak anoman, pak zul, meski tak banyak jumlahnya 💡

  2. Walah mencari kearifan yang sebenarnya bersemayam di diri masing-masing kita ya Ki Dalam? Itulah kekeliruan banyak oranng, mencari ke lua apa yabg ada di dirinya. Bagus ya ada prajurit haus darah yang tobta, kalau dalam alam nyata sekarang, ada ngak ya yang bosan karena kebanyakan korupsi? Saya di negara pedalangan tidak ada revolusi sosial, di negeri kita jangan-jangan bentar lagi. Semoga tidak salam.

    Ersis WAs last blog post..Lomba Menulis 100 Tahun Kebangkitan Nasional

    ooo
    waduh, kalau revolusi sosial di dunia nyata, seringkali tdak imbang dengan jerih payahnya, pak ersis, hehehehe, hanya menuai badai! 😛

  3. ternyata anoman ada juga di zaman hastina ya pak?
    saya pikir malah hanya saat jaman rama-laksmana sahaja
    ah, kurang belajar nih 🙁
    makasih pak, salam

    goops last blog post..Angkringan Semarang

    ooo
    tokoh anoman itu sepertinya tokoh lintas zaman, mas goop, hehehe *sok tahu* dia bisa ada di serial bharatyudha dan ramayana. 😈

  4. Wah, dalangnya keren juga. Padahal,bukan penduduk asli ya, Pak? Tapi ceritanya oke punya, menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang pewayangan.
    Tapi, saya nggak terlalu paham tentang pewayangan, jadi prof itu siapa, bagaimana karakternya, kurang ngeh.
    Jadi sering2 aja nulis cerita seperti ini, Pak. Biar saya makin ngerti.
    Salam

    Hery Azwans last blog post..Idola Alternatif

    ooo
    makasih apresiasinya, mas azwan. btw, saya kan memang asli jawa, mas, hehehehe 😆

  5. jadi teringat th 1998
    ataukah ini memang pak guru tulis untuk mengenang itu?

    *haris last blog post..Tak Terasa..

    ooo
    oh, bisa jadi begitu, mas hari, hehehehe 😆 mei mengingatkan kita pada berbagai peristiwa tragis menjelang reformasi itu. 😛

  6. Hahahaha…. ini secara tak sengaja mungkin mengundang sinisme bahwa kera macam anoman bisa lebih bijaksana dibandingkan manusia wayang.

    Tapi nggak apa2 deh…. namanya juga dunia perwayangan yang jelas sesekera sesewayang seseorang yang berniat baik seringkali pada akhirnya dinilai salah baik oleh atasannya sendiri ataupun oleh publik, sungguh menambah keironisan ya pak! :devil

    Yari NKs last blog post..Postingan Rahasia Yang Konyol Dan Mudah Dibongkar Kerahasiaannya…..

    ooo
    hahahahaha 😆 bung yari ada2 saja. kearifan memang bukan hal yang mudah diterapkan, tapi paling tidak anoman sudah memberikan teladan kepada kita *halah*

  7. Kesalahan elementer yg delakukan Anoman sbg seorang Ksatria Seperti yg Bapak sampekan di akhir cerita… sekarag banyak dilakukan di negeri ini.

    >>Banyak orng pinter yg sukanya minteri dan mbodohi org yg gak pinter.
    >>Banyak orng gagah yg sukannya menggagahi orng yg gak gagah (baca : sok jagoan)
    >>Banyak orng yg gak peduli dgn unggah-unguh, sopan-santun, tepa-slira, suba-sita En senenge sak karepek dhewek…
    >>Dan banyak nyang merasa benar En mo menang sendiri…

    …untungnya si Anoman msh mau ngakui klo dirinya tlah berbuat salah… tapi sayangnya sifat nyang seperti itu semakin susah di temukan di negeri ini ya Pak… :DD

    *Btw.., saya sempat kaget ada kata2… “serdadu biadab” di crita Bpk… untung… gak ada “95” dibelakangnya* 😯

    serdadu95s last blog post..Teremaseh kawan… !!!

    ooo
    wah, makasih banget analisisisnya, bung serdadu. dalam soal perang, bung serdadu kan mesti lebih paham, hehehehe 😆 btw, ttg penggunaan istilah “serdadu biadab” itu kan utk mendeskripsikan prajurit kurawa yang seenaknya menembaki masyarakat sipil itu, hehehehe 😆 bung serdadu kan ndak mungkin melakukannya, kekekeke 😆

  8. Jarang sekali orang mau beresiko seperti Ano-man/wati, yang berfikir tuk keselamatan dan kemaslahatan rakyat jelata, apa lagi beresiko tuk diri pribadinya.
    lebih baik ngacir atau berpura-pura ! atau lebih baik jadi i-seng-kuni saja, karena dapat penghargaan dan kepuasan melihat orang yg dia laporkan menderita.
    Wallahu’alam bissawab !

    aminherss last blog post..Reading a Math Textbook

    ooo
    yaps, bener sekali agaknya pak amin. sikap cuek dan permisif sepertinya sudah membudaya dalam lingkungan masyarakat kita sehingga kepedulian terhadap sesama jadi berkurang. orientasinya selalu berujung pada kepentingan pribadi! 💡

  9. wah, seandainya di dunia wayang ada yg jadi wartawan.. :411

    sosok Prof. Kesawasidhi dibutuh kan juga yah di negara kita yg juga lagi sakit, kira2 di Indonesia si Prof. Kesawasidhi siapa yah?? ada gak kira2 nih.. :112

    ooo
    wew… sulit juga cari perbandingannya, ridu, hehehehe 😆 Ridu bisa menemukan orangnya? *balik nanya*

  10. Memang kalau orang sudah mahir di bidangnya buat apapun selalu enak kalu di kunyah. Lawong wayang bisa sampai begitu. Apalagi bahasanya itu lho yang bikin gemati. pokoke mak nyus

    farhans last blog post..TERIMA KASIH GURU

    ooo
    walah, biasa aja farhan, ndak usah berlebihan, hehehe 😆

  11. Ada yang belum menemukan kearifan? Mau menemukannya?

    Gampang. Temui saja saya. Wakakaka…

    Anoman ini kalau di Indonesia contohnya siapa, Pak? Wiranto atau Prabowo Subiyanto?

    arifs last blog post..Membaca Laskar Pelangi Serasa Bodoh

    ooo
    wew… bener juga, mas arif, sesuai dengan namanya, hehehe 😆 waduh, agaknya sulit mencari perbandingan antara watak anoman dan profil TNI, mas, hiks 😛

  12. Banyak jalan menuju Roma
    Tak tau banyak apa maknanya, tapi itulah kenyataannya.
    Banyak orang lakukan sesuatu, banyak pula tujuan yang hendak dicapainya. Ketika mau komentar tak tau harus nulis apa, maka sambil menyelam minum air, kutulis apa saja yang aku bisa, paling tidak agar namaku masih muncul sebagai 10 besar komentator.
    Sing penting terus terang, daripada diumpet2ke… :mrgreen:

    ooo
    kekekekeke 😆 mangga pak mar, matur nuwun sanget 💡

  13. This is often a pretty decent blog page. I have already been back many times during the last seven days and want to join your rss feed by using Google but can’t work out how to do it accurately. Would you know of any tutorials?

  14. Simply want just before say your piece of writing is stunning. The clarity in your post is simply striking plus i can take for granted you are an expert lying on this subject. Well with your permission allow me headed for grab your rss feed toward keep up headed for date with incoming post. Gratitude a million as well as please keep up the sound work.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *