Sebagai media komunikasi, bahasa sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan penutur dalam melakukan interaksi sosial. Bahasa telah menjadi perekat komunikasi yang menyejarah dalam peradaban umat manusia dari generasi ke generasi. Bahkan, dalam perkembangannya bahasa telah menjadi sebuah ikon dan simbol status sosial penuturnya. Tak berlebihan apabila penutur alias pengguna bahasa berusaha mengekspresikan dan mengaktualisasikan jatidiri melalui bahasa yang sesuai dengan situasi kultural dan gaya tutur personalnya . “Bahasa menunjukkan bangsa”, begitulah “tamsil” yang sudah lama kita dengar dari nenek moyang kita.
Dalam konteks demikian, bahasa tak jarang digunakan untuk mengekspresikan sikap santun dan hormat sebagai bagian dari perilaku kulturalnya. Pernah mendengar tuturan, seperti: “Maaf, mohon izin ke belakang sebentar!”, atau “Lelaki itu berubah akal setelah istrinya meninggal”? Yups, idiom “ke belakang” atau “berubah akal” dalam konteks tuturan tersebut biasanya digunakan untuk menggantikan ungkapan yang konotasinya cenderung jorok dan kasar, seperti “ke WC” atau “gila”. Dengan menggunakan idiom-idiom semacam itu, tuturan akan terkesan menjadi lebih halus dan santun. Dalam situasi seperti itu, lawan tutur biasanya akan merespon, baik secara verbal maupun nonverbal, dengan sikap yang santun pula sebagai perwujudan sikap dalam relasi sosial. Itu artinya, berbahasa pada hakikatnya juga termasuk bagian dari aksi atau tindakan. Oleh karena itu, akronim NATO (No Action Talk Only): “Hanya ngomong doang tanpa bertindak!”, seperti yang sering kita dengar, dalam konteks kebahasaan, sebenarnya kurang tepat juga meskipun ditujukan kepada orang-orang yang hanya bisa berbicara.
Berbahasa tak jauh berbeda dengan tindakan memukul, mencubit, mencangkul, menghitung angka-angka, atau aksi-aksi yang lain. Yang berbeda hanya medianya. Aktivitas berbahasa juga melibatkan banyak organ dan syaraf otak sebelum berubah menjadi tindak tutur. Untuk mengucapkan idiom “ke belakang” atau “berubah akal” saja, seseorang harus me-retrieve atau memanggil ulang terhadap ribuan, bahkan jutaan kata, yang tersimpan dalam memorinya melalui proses yang panjang. Proses pemanggilan ulang terhadap idiom-idiom tertentu seringkali mengalami hambatan apabila seseorang sedang berada dalam kondisi jiwa dan batin yang tidak nyaman.
Nah, berkaitan dengan penggunaan idiom “ke belakang” atau “berubah akal” –sering disebut dengan majas eufemisme– untuk menyatakan sikap santun dan hormat, hal ini juga berkelindan dengan sikap hidup bangsa kita yang enggan berkonflik. Dengan menggunakan gaya eufemistik, hal-hal yang tabu atau hal-hal yang bisa membuat lawan tutur tersinggung bisa dihindari. Tak heran jika kita sudah demikian akrab dengan idiom-idiom semacam: “tunarungu” untuk menggantikan kata “tuli”, “tunawisma” untuk menggantikan “gelandangan”, atau “wanita tunasusila” untuk menggantikan kata “pelacur”. Disadari atau tidak, penggunaan idiom semacam itu akan memberikan nilai rasa yang lebih nyaman dan menenteramkan kepada pihak yang dituju ketimbang menggunakan kata-kata lugas dan vulger. Dengan cara demikian, konflik dan friksi dalam konteks relasi sosial pun bisa dihindari.
Namun, dalam perkembangannya, majas eufemisme telah mengalami reduksi dan kontaminasi penggunaan yang terlalu jauh dalam desain komunikasi yang dibangun oleh penguasa. Eufemisme tidak lagi digunakan untuk menyatakan nilai-nilai kesantunan, tetapi lebih dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan an sich. Jargon-jargon eufemisme pun bertaburan dalam setiap ranah komunikasi yang didesain oleh rezim beserta aparaturnya. Pada era Orde Baru, misalnya, kita demikian akrab dengan tuturan semacam: “Harga minyak disesuaikan untuk menjaga stabilitas anggaran”, “Pemerintah sedang mengupayakan bantuan pangan untuk rakyat desa tertinggal”, “Pencopet itu telah diamankan oleh pihak yang berwajib”, atau “Karyawan itu terpaksa dirumahkan karena telah melanggar peraturan”.
Persoalannya sekarang, apakah penggunaan kata “disesuaikan”, “desa tertinggal”, “diamankan”, atau “dirumahkan” dalam konteks kalimat semacam itu benar-benar sesuai dengan realitas yang sesungguhnya? Bisakah dibenarkan penggunaan kata “disesuaikan” kalau kenyataan yang terjadi justru kenaikan harga gila-gilaan? Masuk akalkah sebuah desa miskin yang rakyatnya kelaparan dikategorikan sebagai desa tertinggal? Benar-benar amankah seorang pencopet yang ditangkap oleh aparat yang berwajib kalau kenyataannya justru mengalami penyiksaan fisik hingga babak belur? Logiskah seorang karyawan yang dipecat tanpa diberi pesangon dihibur dengan menggunakan kata “dirumahkan”?
Agaknya, selama bertahun-tahun rakyat sudah dipertontonkan oleh permainan dan logika berbahasa yang salah kaprah oleh penguasa Orde Baru. Penggunaan eufemisme untuk menutup-nutupi kenyataan yang sesungguhnya, tak lebih sebuah pembohongan publik; topeng manipulasi sebagai kedok persembunyian akibat tidak adanya “kemauan politik” untuk melakukan sebuah perubahan. Rakyat dihibur dengan jargon-jargon eufemisme agar tidak banyak protes dan berulah macam-macam. Bahkan, bisa juga dikatakan sebagai perwujudan sikap hipokrit karena tak berdaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.
Seiring dengan pergantian rezim, apakah sang penguasa masa kini juga masih suka bermain-main dengan jargon-jargon eufemisme? Kalau benar demikian, jangan salahkan rakyat kalau pada akhirnya mereka juga latah menggunakan eufemisme dan tak segan-segan memanipulasi data atau melakukan kebohongan sebagai bentuk penghormatan terhadap rezim yang tengah berkuasa, hahahahaha ….. ***
ooo
Keterangan: gambar diambil dari sini.
Ngambil hadiah pertamax baru baca boleh, Pak Guru?
🙂
Samsul’s last blog post..Top Commentators di samsulhadi dot com
ooo
yups, silakan mas sam, makasih!
Mungkin karena pengaruh budaya Jawa ya, Pak. Seperti lingsir penggalihe, owah pikirane yang ada di kosakata bahasa Jawa. Tapi kebablasan digunakan untuk segala macam komunikasi, padahal penyajian data yang faktual untuk laporan apalagi dalam berita, wajib hukumnya. Biar tidak ada interpretasi yg berbeda-beda kepada target audiensnya
Samsul’s last blog post..Top Commentators di samsulhadi dot com
ooo
yups, bisa jadi begitu, mas sam. Meski demikian, seharusnya perlu dibedakan antara bahasa sebagai media komunikasi publik dan media komunikasi personal. komunikasi publik idealnya harus menggunakan bahasa yang lugas dan tegas, tanpa embel2 eufemisme.
Ngambil hadiah ketigax dulu
Ersis W. Abbas’s last blog post..Puisi Cinta (Cinta Rasul): Go Lomba
wew… pak ersis kok jadi ikut2an. silakan pak diambil!
cepat banget dah ganti postingan. besok bacanya. hehe
Hanna Fransisca’s last blog post..Senja Merah
ooo
hehehehe 😆 kebetulan saja kok, mbak hanna. ok, silakan mbak, makasih!
iyah pak, seperti sekarang tarif insentif dan disinsentif tarif dasar listrik, sama aja dengan kenaikan TDL…
Apa gara2 mereka ahili jadi mereka menipu rakyat yah…
termasuk tuh perang iklan juga…. miris deh 🙁
aRuL’s last blog post..It’s 24
ooo
wew… gejala semacam itu kayaknya sudah jadi budaya, mas aRul. seharusnya dalam konteks komunikasi harus dibedakan antara publik dan personal. kalau komunikasi dengan publik menggunakan eufemisme juga, seringkali pesan2 substansinya justru kabur.
Datang lagi … penghalusan bahasa penting, eufimisme untuk mengaburkan hal sebenarnya biar enak di telinga dan di mata. Katnya sih. Tapi, kalau tidak menghilangkan esensi, juga ngak pa pa kan Pak? Jangan-jangan visrusnya disebarkan gur-guru di sekolah he he. Kalau para pejabat, memang doyan habis tu. Kadang sebal juga. Dan, ya sudah …
Ersis W. Abbas’s last blog post..Menulis, Imajinasi, dan Fantasi
yup, bener banget, pak ersis. eufemisme tidak salah digunakan kok, asalkan sesuai dengan konteksnya. wew… virus yang mana, pak, hehehehehe 😆 Kalau pejabat publik sering menggunakan eufemsime juga bisa repot, pak.
Wah, iya juga ya pak. Saya baru sadar nih kalo saya selama ini terlenakan oleh kalimat eufemisme itu sendiri.
danalingga’s last blog post..Jenuh Nge-Blog
ooo
hehehehe 😆 sering berlangsung tanpa disadari bahwa kita memang sudah terperangkap dalam kepungan eufemisme itu, mas dana,
Sepertinya Pak Sawali lagi nyindir saya nih… 🙂 Masalahnya, gaya bahasa yang saya gunakan sering menggunakan eufemisme. Mungkin kurang tepat eufemisme tapi pilihan kata yang sengaja “dihaluskan” agar tidak menyinggung orang lain. Dan seringkali pesan intinya tidak bisa ditangkap orang lain karena “terlalu halus”. 🙂
Saya juga sering merasa heran kalau beberapa kata yang digunakan oleh pejabat publik, khususnya politik, sering menggunakan pilihan kata yang maknanya bisa banyak. “Diamankan”, “disesuaikan”, dan lain-lain sering menjadi pengganti “ditangkap” dan “dinaikkan”. Padahal maknanya jelas-jelas beda. Mungkin karena kita tidak bisa berterus terang mengungkapkan sesuatu secara blak-blakan dan menggunakan kata lain sebagai pengganti ?
Apa ada pengaruh budaya disini, pak ? Karena saya orang Batak, justru “penghalusan” dalam bahasa itu malah tidak dikenal.
fertob’s last blog post..Gadiza Fauzi, Logika, dan Iman
ooo
wew… ndak bermaksud menyindir siapa2 kok, bung fertob, hehehehe 😆 ttg penggunaan eufemisme dalam komunikasi publik agaknya juga bisa karen pengaruh budaya. namun, idealnya dalam konteks komunikasi demikian menggunakan bahasa yang lugas dan jujur sehingga tidak menimbulkan banyak tafsir.
kayaknya saya udah komena disini tadi, pak. tapi kok bisa hilang ?
fertob’s last blog post..Gadiza Fauzi, Logika, dan Iman
ooo
ndak hilang tuh bung! ada sedikit kegalatan mungkin.
jadi apa yang Pak Sawali katakan diatas sangat berkaitan dengan politik indonesia yang cenderung berkilah dengan berbagai cara “penyampaian” yang kadang2 berlainan denga kenyataan yang dilakukan.
persis bgt dgn orng2 politik yang hanya OMDO dan suka bermuka dua, bermanis2 di depan media massa namun membuat grand desain untuk mengeruk uang , dengan berbagai kepentingan pribadi.
wah, dalem banget pak, kritik yg sgt dalam klo sy kira.. untuk para pelaku politk praktis kita.. logika berbahasa yang sudah terdoktrin..
fauzan sigma’s last blog post..Pelajaran dari Pemilu Malaysia
ooo
wwe… itulah realitas yang terjadi dalam komunikasi publik yang didesain oleh pemerintah selama ini, mas sigma. mudah sekali menggunakan eufesmisme yang bisa mengaburkan pemahaman.
Sepertinya, penggunaan eufemisme ini malah semakin banyak, Pak… 🙁
suandana’s last blog post..bekerja dalam tim itu?
ooo
agaknya begitu pak adit, hehehehe
bangsa kita memang terkenal dengan bangsa yang sopan dan santun dalam bertutur kata, bahkan negara2 seberang sangat menghargai hal tersebut. tapi sangat disayangkan, budaya santun itu yang membuat bangsa ini menjadi bangsa ‘pembohong’, bangsa yang tidak jujur pada rakyatnya sendiri. selalu menutup-nutupi hal2 yang buruk dengan silatan lidah berefek pada ketidakjujuran dan pembodohan publik. tidak semua yang baik-baik itu berakibat baik ya pak.. 🙂
brainstorm’s last blog post..Die another day
ooo
hehehehe 😆 euefemisme pada awalnya memang utk menyatakan kesantunan, mas brain. tapi agaknya majas semacam itu telah mengalami perluasan penggunaan hingga ke level pemerintahan. ada kesan pengaburan substansi ketika masjas utk digunakan dalam konteks komunikasi publik.
Hmm, sebagai rakyat kadang kita pingin pemerintah sangat-sangat menjamin kesejahteraan kita. Tapi adakalanya kita juga harus bisa mendengar penjelasan pemerintah. Saya barusan baca penjelasan pemerintah malaysia tentang subsidi di http://www.epu.gov.my/Penjelasan%20Mengenai%20Subsidi%20Kerajaan.doc%20v6%20_PRINTING_.pdf
di Indonesia, ada ga ya penjelasan seperti ini. Maksudnya biar rakyat juga ngerti, kenapa harga harus naik.
Oh iya, pemilu Malaysia baru saja usai. Hasilnya? Partai pemerintah kehilangan kekuasaan dibeberapa negeri (propinsi). Tadinya hanya Kelantan saja yang lepas dari BN. Sekarang sudah tambah empat lagi, dengan total keseluruhan 5 negeri dari 13 negeri.
ooo
idelanya memang harus ada penjelasan yang logis dan rasional ttg kebijakan pemerintah agar rakyat bisa mengetahui duduk persoalan yang sesungguhnya, pak. kalao pake bahasa bersayap dg majas eufemisme malah bisa mengaburkan substansinya.
Ya Pak. Pada masa era orde baru kita menggunakan Anggaran Berimbang pada APBN kita. Saya waktu belajar tentang APBN itu bingung, berimbang dari mana wong selama Orde Baru kita ini selalu negatif, pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Eh, ternyata yang dimaksud berimbang itu adalah nyumpal keminusan dengan utang luar negeri supaya neracanya jadi berimbang antara kanan dan kiri. Sebuah pembohongan yang sistematis yang dilakukan secara berjamaah.
arif’s last blog post..Sinyal Lemah Indosat!
ooo
wah, lebih2 kalau menyangkut masalah anggaran, mas arif. perlu ada penjelasan secara logis dan rasional ttg sebab-musababnya supaya rakyat bener2 paham.
Mungkin juga disebabkan pengaruh budaya…kalau menggunakan bahasa yang langsung kawatir dikatakan tidak sopan. Tapi menggunakan bahasa eufemisme bisa mengaburkan masalahnya, dan malah tujuan tak tercapai.
Btw, karena menulis di blog saya juga hati-hati dalam mengolah bahasa…padahal sebelumnya dikritik suami dan anak-anak, bahasa saya terlalu to the point, karena terbiasa membuat laporan analisis. Menurut saya, asal semua dilakukan dengan kadar yang pas, tak masalah…asal jangan terlalu berbunga-bunga yang malah membuat banyak interpretasi beda.
edratna’s last blog post..Pernahkan merasa kawatir disaingi junior?
ooo
agaknya ada pengaruh budaya juga, bu enny. tapi kalau komunikasi publik menggunakan eufemsime juga bisa mengaburkan substansinya, bu, hehehehe 😆 komunikasi publik tentu saja beda dg bahasa blog yang lebih personal sifatnya, bu. postingan bu enny juga enak dibaca kok.
Kalo saya kok melihatnya malah begini Pak…., syarat utama menjadi seorang pejabat publik adalah harus pandai dan senantiasa bisa menggunakan “eufimisme” (dgn tepat) tanpa “memanipulasi data atau melakukan kebohongan”. Masalahnya…,dgn kata2 yg bermajaskan “eufemisme” aja…. banyak yg melakukan tindakan anarkis apalagi jika “pejabatnya” (semua) ngomong blak2an tanpa tedeng aling-aling.. wahhh…bisa kayak apa jadinya masyarakat ini…?? Rasanya aneh juga Pak…,jika Presiden (pejabat negara) mengatakan…, “Akan Saya printahkan agar si “Anu” ditangkap dan dijebloskan ke penjara agar di sana si”Anu” digebuki sampe elek, kalo perlu diinjak-injak sampe mampus biar tau rasa dia”… Atau rasanya gimana yaa…Pak , kalo tiba2 ada seorang Da’i kondang yg menjadi panutan berkata tanpa menggunakan majas “eufemisme” di setiap khotbah2nya..??
Memang kadang2 saya risih (juga) mendengar kata2 semacam “disesuaikan”, “desa tertinggal”, “diamankan”, atau “dirumahkan” (dlsb)…tapi rasanya (juga) saya lebih suka mendengar kata2 tersebut (keluar dari mulut seorang pejabat) dari pada mendengar kata2 yg lugas, jelas, blak2an dan menggunakan kata2 yg sesuai dgn makna aslinya dalam setiap “pernyataan” yg dikeluarkan. Kira2…apakah masyarakat di kaki bukit yg masih menjunjung tinggi adat-istiadat kesopanan bisa terima kalo desa yg mereka bangga-banggakan (meski pada kenyataannya miskin) dikatakan sbg “desa (yg) miskin” atau “desa(masih) primitif”….??
Maaf Pak…, Saya cuman mo mengatakan bahwa “omongan seorang pejabat” itu bukanlah omongan seperti di gardu/pos ronda atau obrolan di warung kopi yg lebih sering menggunakan kata2 yg sesuai dgn makna aslinya seperti yg disebutkan di dalam kamus besar Bahasa Indonesia karangan H.B. Jassin ato JS. Badudu (*halahh*), tapi omongan pejabat itu seyogyanya memang (harus) menggunakan kata2 yg ber-majas-kan “eufemisme” biar kagak menimbulkan kekisruhan yg lebih parah. Rasanya kok saya kurang sreg (baca: tidak setuju) dgn postingan Bapak yg mengaitkan/menghubungkan “eufemisme” dgn ke-“logis”-an atau tepatnya kurang cocok (baca: tidak setuju(lagi)) dgn ‘analogi” yg Bapak gunakan di atas. Mungkin pemahaman saya (thdp tulisan Bapak) salah tapi…menurut Bapak gimana ??
ooo
makasih bung serdadu. sepanjang yang saya tahu, semula eufemisme memang digunakan untuk menyatakan kesantunan. ini bisa jadi karena pengaruh kultural juga. namun, dalam konteks komunikasi publik, idealnya bapak/ibu pejabat kita membiasakan diri untuk menyampaikan informasi secara jelas dan lugas tanpa eufemisme. konteks ini jelas berbeda dengan konteks komunikasi personal. kita sudah lama hidup dalam “kamuflase” ketika eufemisme dijadikan sbg senjata untuk mnenutup-nutupi kenyataan yang sesungguhnya. kalau tujuan utamanya, taruhlah untuk menjaga agar tidak terjadi kekisruhan yang lebih parah, bukan berarti mesti ditutupi-tutupi dengan majas eufemisme itu. ada kata2 lugas yang tidak vulgar dan kasar. kata “disesuaikan”, misalnya, mengapa mesti digunakan utk menggantikan kata “dinaikkan”? jika disertai dg alasan2 mendasar dan logis saya kira rakyat bisa menerima. penggunaan kata “desa miskin” pun akan lebih berterima kalau kenyataannya memang demikian. ini tidak lantas berarti bahwa eufemisme tidak perlu lagi digunakan, asalkan disesuaikan dengan konteks komunikasi yang dibangun.
Seperti komentarnya Pak Ersis, menurut saya, Eufemisme dalam berbahasa yg digunakan pemerintah atau pihak manapun untuk memperhalus makna sebenarnya dari sebuah masalah boleh saja dilakukan, sepanjang tidak mengaburkan esensi sebuah masalah atau maksud diambilnya sebuah kebijakan yg membutuhkan penjelasan yg benar-benar nyata dan akurat [jika memang dibutuhkan agar masyarakat tidak merasa di tipu] serta tidak diniatkan untuk menghindari citra buruk ataupun penyembunyian borok-borok yg telah menjadi budaya, juga lari dari masalah yg membutuhkan penyelesaian yg jauh lebih baik dan out put-nya dapat diterima dengan lapang hati secara bersama…[Bisakah se-idealis ini?]
Mohon maaf Pak Sawali,
Duh,
Kalimat terakhir berupa ancaman dan ajakan ya Pak? 🙄
Semoga tidak ya Pak. Jika pemerintah kurang amanah melaksanakan tugasnya, maka tugas kita bersama untuk “menegur”nya dengan berbagai cara yg lebih baik, baik secara lisan maupun tulisan. Karena disadari, amanah mereka jauh lebih berat dari kita, rakyat yg dipimpinnya 😉
Semoga setahap demi setahap kita bisa mendaki tangga perbaikan untuk bersama-sama menuju puncak peradaban yg jauh lebih baik. dan semuanya berawal dari perbaikan diri sendiri.
Wallahu a’lam
Fakhru’s last blog post..Kita Tidak Hidup Sendirian di Dunia Ini
ooo
yup, memang tidak salah, mas rozy, tapi kalau dimaksudkan utk menutup-nutupi kenyataan yang sesungguhnya bisa repot tuh. kapan rakyat bisa mendapatkan informasi yang jelas dan akurat? wew… kok ancaman? Itu sebuah retorika *halah*masihkah kebijakan2 publik yang seharusnya disampaikan dg bahasa yang jelas dan informatif masih dieufemismekan juga? kalau hal itu masih terus berlanjut, bisa jadi rakyat dalam kultur masyarakat paternalistis akan menirunya. dan rakyat tidak bisa disalahkan, toh, hehehehe 😆 yup, amanah yang harus diemban oleh pemerintah memang berat, mas, tapi bukan berarti kita lantas bersikap permisif. Kita harus membiasakan dan membudayan untuk bersikap kritis. bersikap kritis, sepanjang yang saya tahu kok juga bukan hal yang dilarang, asalkan jelas dasar dan argumentasinya.
Ah itu kan hanya soal bahasa saja kang…
kalo nggak dipake ya nggak pa pa to?
Ndoro Seten’s last blog post..KENDURI CINTA
ooo
hehehehe 😆 justru karena itu bahasa, maka jadi penting untuk dipersoalkan, ndoro seten, hiks.
asal maknanya ndak multitafsir, saya kira daripada tidak apa-apa… 🙂
mybenjeng’s last blog post..Sejarah Hari Jadi Kota Gresik
ooo
yups, sepakat banget, mas. eh lha kok ketularan juga bahasa “daripada” para pejabat, mas, hehehehe 😆
pilih mana santun atau jujur?
apa gara2 ini ya, bangsa kita jadi tidak jujur?
:d
–teringat postingan saya–
sluman slumun slamet’s last blog post..Kota seribu mall?.
ooo
ada nggak pak, yang santun sekaligus jujur, hehehehe 😆 kalau ada, saya pilih yang itu pak slamet, hehehehe 😆
Weleh… weleh…
Pak Sawali juga gitu !
Hanya Blog Seorang Guru…
Pak Sawali tidak cuma seorang guru, tapi seorang teman dari temannya, seorang bapak dari anak kita, seorang kepala rumah tangga, seorang laki-laki, seorang suami dari seorang istri, seorang anak dari orang tua kita, seorang pembeli dari warung dekat rumah kita, seorang musuh dari nyamuk yang ada di sekitar kita, seorang pahlawan dari orang yang pernah kita tolong, seorang …
Kesimpulan sementara dari Statistik yang ada, Pak Sawali itu berorang-orang !!!
Weleh… weleh… Angele rek …
ooo
walah, apa pun analisisnya, saya hanya seorang guru, pak mar, hehehehehe 😆
P.R ….
Kenapa ndadak pakai “hanya” ?.
Kenapa tidak “blog seorang guru” saja ?.
Catatan:
P.R dikumpulkan hari Senin depan, sebelum Upacara Bendera.
(Andai ditubuh kita ada semacam mesin counter yang menghitung berapa kali kita ikut upacara, mungkin sudah menunjukkan angka 98544, atau bahkan mungkin sudah muter kembali dan jadi 00021 ya Pak. Mben Senin kok Upacara, mulai cilik nganti tuwek. Tambah maneh Upacara Hari Koperasi pendhak Juli. (tapi ono sangune + kaose, koyo kampanye)…
ooo
wew… kata “hanya” itu ada sejarahnya, pak mar. makanya aku suka pakai kata itu. *halah* btw, upacara itu untuk mendidik kita yang tua2 ini agar tetep disiplin, wakakakakaka 😆 pak mar pernah mbolos upacara, ndak?
masyarakat sekarang sudah cerdas dengan pemakaian eufimisme dari kalangan pemerintahan, dulu siy ridu juga masih bingung dengan istilah disesuaikan, maksudnya naik atau turun harganya.. eh ternyata selama ada berita disesuaikan, pasti harganya naik..
ridu’s last blog post..Islamic Bookfair 2008
seperti biasanya..
saya harus tetap belajar…
termasuk belajar dair pak sawali…
hehehehe…
apa kabar pak?
moerz’s last blog post..Hari Yang Melelahkan
@ ridu:
yup, begitulah kenyataan penggunaan bahasa yang sering digunakan oleh pemerintah Orba, mas ridu, bahkan sekarang pun kayaknya masih juga digunakan tuh!
@ moerz:
wew… belajar itu bisa dari siapa saja kok mas, moerz, hehehehe 😆 alahmadulillah, sehat. Gimana, ada kesulitan ndak belajarnya?
Sawali Tuhusetya’s last blog post..Bersembunyi di Balik Jargon Eufemisme
klo gitu maaf ya pak
saya ke belakang dulu
hanggadamai’s last blog post..Mainan Baru, Bikin Pusing Tapi Penasaran
ooo
ok, silakan mas hangga, hehehehe
Mungkin gini pak …
Penggunaan pilihan eufemisme dilakukan untuk ‘meredam’ keresahan. Bayangkan .. dengan kata yang sudah diperhalus saja, rakyat resah. Apalagi kalo dengan blak-blak an. Tapi semua itu tergantung dengan kondisi rakyatnya sendiri.
Untuk rakyat yang sudah ‘dewasa’ .. rasa2nya penggunaan eufemisme memang sudah tidak greng lagi. Rakyat yang ‘dewasa’ ingin suatu kepastian bukan ketenangan. Beda dengan rakyat yang masih ‘belajar’ .. perlu dibangkitkan ke-dignity-annya.
Saya justru lebih tertarik dengan pernyataan pak Sawali yang ini :
Benar pak .. sering kali ada yang berkomentar begitu di blog. Padahal, dunia blog adalah dunia menulis. Jadi wajar sekali kalo ngebahas segalanya dalam bentuk tulisan. Penulis yang selalu dikomentari NATO, lama-lama akan mematikan semangatnya untuk menulis/mengkritisi yang ada.
erander’s last blog post..Raga dipuja
Terimakasih atas pencerahannya.
BeTeWe…,
Dalam benak saya…, kata “menutup-nutupi” bermakna membuat (agar) sesuatu tidak terlihat (sama sekali) bukan (membuat) seolah-olah tidak terlihat/”kamuflase” ….benar gak seh Pak…??
Apakah penggunaan kata “disesuaikan” untuk menggantikan kata “dinaikkan” bisa dikatakan menutup-nutupi (kenyataan)..?? Bukankah orang yg mendengar kata2 tersebut (misal: “disesuaikan” dan “tertinggal”) dalam sebuah kalimat (yg diucapkan) sudah dapat memahami/mengerti arti/makna yg sebenarnya…??
******
Ahh…., melihat “eufemisme” dari perspektif “politik” kadang bikin saya bingung…., mungkin karena penggunaan “eufemisme” dalam bahasa (baca: dunia) politik sering menghadirkan “nuansa multitafsir” yg sangat susah untuk dipahami seperti susahnya saya memahami “pikiran” orang2 yg berpolitik atau “politicsphere” itu sendiri. Mungkin kali yaaa…..
@ erander:
sebagai media ekspresi, bahasa justru sangat penting bagi sebuah blog pak eby, hehehehe 😆 saya jadi heran juga kalao ada yang berkomentar bawha para bloger hanya bisa ngomong doang padahal, sejatinya, ngomong itu kan beraksi juga.
@ serdadu95:
Bung serdadu, menutup-nutupi itu mengandung nosi *halah sok tahu* melakukan pekerjaan yang dilakukan secara sengaja secara berulang-ulang. penggunaan eufemisme, dalam konteks komunikasi publik, sekali lagi dalam konteks komunikasi publik, akan melahirkan sejumlah tafsir. “disesuaikan” utk menggantikan “dinaikkan” konotasinya sudah jelas. ada nilai rasa penghalusan di situ agar terkesan rasional. namun, apakah kenyataannya demikian, kalau ternyata kenaikan harga bbm atau sembako seringkali tidak rasional. ok, bung serdadu, makasih juga sudah berkenan sharing dan berdiskusi, semoga wacana kecil ini bisa ikut memperkaya khazanah penggunaan bahasa agar bahasa indonesia yang sudah ditetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dapat berfungsi secara baik dan benar. yups!
Sawali Tuhusetya’s last blog post..Revitalisasi Pendidikan Kemanusiaan
Kang Sawali yth., komunikasi katanya Lurahe adalah seni keterbukaan yang menghadiahkan pembelajaran bagi yang mau terbuka.
(*Opo kuwi maksude lurahe?!?!)
dhodotes’s last blog post..Takut kawin?
ooo
wew … lurahe pinter juga bikin definisi carike. salut!
sampai sekarang saya tidak tau bahasa indonesia yang baik danbenar itu seperti apa! orang kadang menggunakan bahasa yang halus untuk kepentingan yang tidak baik, jadinya efeknya gak halus :d malah menyakitkan! begitu pula sebaliknya!
ridhocyber’s last blog post..Menampilkan Google Adsense di dalam Blog
ooo
bahasa indonesia yang baik dan benar itu *halah sok tahu* mestinya disesuaikan dengan konteksnya, ridho. jadi, kalo berbicara dalam situasi resmi, ada baiknya kita menggunakan ragam bahasa remi, sebalinya, kalau situasinya sante, kita justru dianjurkan untuk menggunakan ragam bahasa tak resmi.
Tapi sekarang banyak juga sih kata2 yang dulunya dianggap kasar tetapi sekarang sudah menjadi hal yang biasa (apalagi dalam Bahasa Inggris!!). Namun menurut saya eufemisme selain sebagai memperhalus bahasa juga terkadang berfungsi untuk ‘memperindah bahasa’, tapi cara memperhalus bahasa terutama dalam bahasa lisan sedikit berbeda dari bahasa tulisan. Betul nggak Pak Sawali?? Dalam bahasa lisan misalnya, untuk memperhalus bahasa terkadang orang sering menggunakan cara lain seperti mengeja huruf perhuruf atau membalikkan kata tersebut. Misalnya: “Eh, dia itu kan sebenarnya te-o-el-o-el” maksudnya adalah “Eh, dia itu kan sebenarnya tolol!” atau “eh, dia itu orangnya nggak berladom banget!!” maksudnya “eh, dia itu orangnya nggak bermodal banget!!”
Rupanya dalam eufemisme orang juga butuh imajinasi dan kreativitas juga ya pak??
Yari NK’s last blog post..Asyiknya Belajar Geografi???
ooo
yup, eufemisme itu sah2 saja digunakan kok bung yari, *halah* baik dalam bahasa lisan maupun tulis, asalkan sesuai dg konteknya.
Waduh…… **halaah**-nya lupa!! Wakakakakak….. 😆
Yari NK’s last blog post..Asyiknya Belajar Geografi???
ooo
halah, bung yari masih suka pakai halah juga rupanya, wkakakakakakaka … 😆
Pingback: Gempur Media » Blog Archive » Stop Kelaparan dan Gizi Buruk
selagi jargon eufemisme tidak mengaburkan makna/arti sesungguhnya saya kira masih bisa kita terima. bukankah kita memang bangsa yang dikenal santun dan berbudaya. Istilah “blokosuto” kalau bisa dihindari hehehe…. 😛
Totok Sugianto’s last blog post..Biar Gak Gaptek, Rakit Sendiri PC Anda
ooo
eufemisme ndak salah digunakan kok mas totok, asalkan sesuai dengan konteksnya.
Pingback: Pengakuan Dosa Seorang Bloger | Catatan Sawali Tuhusetya
Allow p’guru…lam KeNal n numPang comment ya.. 🙂
saya jadi ingeT, bebrapa hari lalu nonton sebuah acara di salah satu stats tv..itu lho pa..lomba nyanyi anak2 biar bisa jd idola..(ckcckkk anaknya pa ibunya yg pengen ya.. ❓ )nah,salah satu jurinya mengomentari satu anak kurang lebih begini:
“kamu harus banyak senyum ya..jadi muka kamu “yang unik” itu…(he lupa). 😀
tp bagian yg lupa ga penting qo..saya hanya ingin mengomentari kata “muka kamu yg unik”…entah apa makna sebenarnya yang ingin disampaikan c juru itu tentang muka c anak (yang saya lihat, klo boleh blak2an c anak tu emang ga bisa dibilang cakep, item bgt, ya biasa az lah mukanya (he..maaf ya adek calon idola 🙂 ))
menurut saya c juri itu jg pake eufemisme..kata “unik” lebih terasa bagus daripada kata “jelek” dan “aneh”. Jd menurut saya lg nih pa..dalam situasi-situasi tertentu emang eufemisme sah-sah saja. gak kebayang kan kalo jurinya bilang” kamu tuh harus banyak senyum jadi muka kamu yang jelek…”, wah bisa-bisa c anak trauma n ga pede..hehe(berlebihan).
wa2 c’ dodol’s last blog post..wanita suka bola: suatu trik berkomunikasi dengan pria???
waaaw… bener juga tuh mas, sang komentator telah menggunakan majas eufemisme juga untuk menghaluskan ungkapan. selama digunakan secara tepat, eufemisme ok juga kok!
hiks….pa’guru aq kan cewe, qo dipanggil “mas” sih… :cry:,
waaaw’s last blog post..wanita suka bola: suatu trik berkomunikasi dengan pria???
ooo
sorry banget mbak waaaw… ndak tahu kalo cewek, hiks.
Apa saja joega mesti menggoenakan eufemisme setiap berkomentar di blog ini ya? [hipokrit] >> predikat “mengerikan”…
Salam,
ooo
wakakakakaka 🙂 ndak harus pakek eufemisme, mas ariss, nanti saya malah tidak ngeh, hehehehehe 😆
Pingback: No Change No future (*tanpa basa basi) | dhodotes' imaginations
Ya betul, selalu Rakyat yang jadi korbannya. Ditunggu kunjungan dan komentarnya juga di postingan blogku http://kwangkxz2010.blogdetik.com/2010/09/11/bersyukur/
Terimakasih.
ok, terima kasih!
ada eufemisme yang sangat melanggar rasa keadilan masyarakat, yaitu saat koruptor “diamankan” kepolisian, yang seharusnya “dicokok” atau “digelandang” seperti halnya maling ayam, malah “diamankan”