Sebagai media komunikasi, bahasa sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan penutur dalam melakukan interaksi sosial. Bahasa telah menjadi perekat komunikasi yang menyejarah dalam peradaban umat manusia dari generasi ke generasi. Bahkan, dalam perkembangannya bahasa telah menjadi sebuah ikon dan simbol status sosial penuturnya. Tak berlebihan apabila penutur alias pengguna bahasa berusaha mengekspresikan dan mengaktualisasikan jatidiri melalui bahasa yang sesuai dengan situasi kultural dan gaya tutur personalnya . “Bahasa menunjukkan bangsa”, begitulah “tamsil” yang sudah lama kita dengar dari nenek moyang kita.
Dalam konteks demikian, bahasa tak jarang digunakan untuk mengekspresikan sikap santun dan hormat sebagai bagian dari perilaku kulturalnya. Pernah mendengar tuturan, seperti: “Maaf, mohon izin ke belakang sebentar!”, atau “Lelaki itu berubah akal setelah istrinya meninggal”? Yups, idiom “ke belakang” atau “berubah akal” dalam konteks tuturan tersebut biasanya digunakan untuk menggantikan ungkapan yang konotasinya cenderung jorok dan kasar, seperti “ke WC” atau “gila”. Dengan menggunakan idiom-idiom semacam itu, tuturan akan terkesan menjadi lebih halus dan santun. Dalam situasi seperti itu, lawan tutur biasanya akan merespon, baik secara verbal maupun nonverbal, dengan sikap yang santun pula sebagai perwujudan sikap dalam relasi sosial. Itu artinya, berbahasa pada hakikatnya juga termasuk bagian dari aksi atau tindakan. Oleh karena itu, akronim NATO (No Action Talk Only): “Hanya ngomong doang tanpa bertindak!”, seperti yang sering kita dengar, dalam konteks kebahasaan, sebenarnya kurang tepat juga meskipun ditujukan kepada orang-orang yang hanya bisa berbicara.
Berbahasa tak jauh berbeda dengan tindakan memukul, mencubit, mencangkul, menghitung angka-angka, atau aksi-aksi yang lain. Yang berbeda hanya medianya. Aktivitas berbahasa juga melibatkan banyak organ dan syaraf otak sebelum berubah menjadi tindak tutur. Untuk mengucapkan idiom “ke belakang” atau “berubah akal” saja, seseorang harus me-retrieve atau memanggil ulang terhadap ribuan, bahkan jutaan kata, yang tersimpan dalam memorinya melalui proses yang panjang. Proses pemanggilan ulang terhadap idiom-idiom tertentu seringkali mengalami hambatan apabila seseorang sedang berada dalam kondisi jiwa dan batin yang tidak nyaman.
Nah, berkaitan dengan penggunaan idiom “ke belakang” atau “berubah akal” –sering disebut dengan majas eufemisme– untuk menyatakan sikap santun dan hormat, hal ini juga berkelindan dengan sikap hidup bangsa kita yang enggan berkonflik. Dengan menggunakan gaya eufemistik, hal-hal yang tabu atau hal-hal yang bisa membuat lawan tutur tersinggung bisa dihindari. Tak heran jika kita sudah demikian akrab dengan idiom-idiom semacam: “tunarungu” untuk menggantikan kata “tuli”, “tunawisma” untuk menggantikan “gelandangan”, atau “wanita tunasusila” untuk menggantikan kata “pelacur”. Disadari atau tidak, penggunaan idiom semacam itu akan memberikan nilai rasa yang lebih nyaman dan menenteramkan kepada pihak yang dituju ketimbang menggunakan kata-kata lugas dan vulger. Dengan cara demikian, konflik dan friksi dalam konteks relasi sosial pun bisa dihindari.
Namun, dalam perkembangannya, majas eufemisme telah mengalami reduksi dan kontaminasi penggunaan yang terlalu jauh dalam desain komunikasi yang dibangun oleh penguasa. Eufemisme tidak lagi digunakan untuk menyatakan nilai-nilai kesantunan, tetapi lebih dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan an sich. Jargon-jargon eufemisme pun bertaburan dalam setiap ranah komunikasi yang didesain oleh rezim beserta aparaturnya. Pada era Orde Baru, misalnya, kita demikian akrab dengan tuturan semacam: “Harga minyak disesuaikan untuk menjaga stabilitas anggaran”, “Pemerintah sedang mengupayakan bantuan pangan untuk rakyat desa tertinggal”, “Pencopet itu telah diamankan oleh pihak yang berwajib”, atau “Karyawan itu terpaksa dirumahkan karena telah melanggar peraturan”.
Persoalannya sekarang, apakah penggunaan kata “disesuaikan”, “desa tertinggal”, “diamankan”, atau “dirumahkan” dalam konteks kalimat semacam itu benar-benar sesuai dengan realitas yang sesungguhnya? Bisakah dibenarkan penggunaan kata “disesuaikan” kalau kenyataan yang terjadi justru kenaikan harga gila-gilaan? Masuk akalkah sebuah desa miskin yang rakyatnya kelaparan dikategorikan sebagai desa tertinggal? Benar-benar amankah seorang pencopet yang ditangkap oleh aparat yang berwajib kalau kenyataannya justru mengalami penyiksaan fisik hingga babak belur? Logiskah seorang karyawan yang dipecat tanpa diberi pesangon dihibur dengan menggunakan kata “dirumahkan”?
Agaknya, selama bertahun-tahun rakyat sudah dipertontonkan oleh permainan dan logika berbahasa yang salah kaprah oleh penguasa Orde Baru. Penggunaan eufemisme untuk menutup-nutupi kenyataan yang sesungguhnya, tak lebih sebuah pembohongan publik; topeng manipulasi sebagai kedok persembunyian akibat tidak adanya “kemauan politik” untuk melakukan sebuah perubahan. Rakyat dihibur dengan jargon-jargon eufemisme agar tidak banyak protes dan berulah macam-macam. Bahkan, bisa juga dikatakan sebagai perwujudan sikap hipokrit karena tak berdaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.
Seiring dengan pergantian rezim, apakah sang penguasa masa kini juga masih suka bermain-main dengan jargon-jargon eufemisme? Kalau benar demikian, jangan salahkan rakyat kalau pada akhirnya mereka juga latah menggunakan eufemisme dan tak segan-segan memanipulasi data atau melakukan kebohongan sebagai bentuk penghormatan terhadap rezim yang tengah berkuasa, hahahahaha ….. ***
ooo
Keterangan: gambar diambil dari sini.
ada eufemisme yang sangat melanggar rasa keadilan masyarakat, yaitu saat koruptor “diamankan” kepolisian, yang seharusnya “dicokok” atau “digelandang” seperti halnya maling ayam, malah “diamankan”
Ya betul, selalu Rakyat yang jadi korbannya. Ditunggu kunjungan dan komentarnya juga di postingan blogku http://kwangkxz2010.blogdetik.com/2010/09/11/bersyukur/
Terimakasih.
ok, terima kasih!