“Perceraian” antara Budaya dan Pendidikan: Tanya Kenapa?

Kategori Budaya Oleh

Saat-saat akhir menjelang tumbangnya rezim Orde Baru dari “panggung” kekuasaan, Soeharto pernah merombak kabinet. Bisa jadi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dan tekanan publik yang gencar menuntutnya untuk segera “lengser keprabon”. 21 Mei 1998, penguasa Orba yang dijuluki CNN sebagai “Indonesia’s Iron Ruler” (penguasa bertangan besi Indonesia) itu membuat manuver dengan “menceraikan” kebudayaan dari dunia pendidikan. Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya pun terbentuk. Bisa jadi juga sebagai imbas dari kebijakannya yang telah mencanangkan tahun 1998 sebagai Tahun Seni dan Budaya. Agaknya kebijakan penguasa Orba itu terus berlanjut hingga negeri ini mengalami beberapa kali suksesi. Meski namanya berubah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, esensinya tak banyak bedanya; budaya “diceraikan” dari dunia pendidikan.

Namun, apakah “perceraian” antara budaya dan pendidikan itu mampu memberikan “pencerahan” terhadap peradaban negeri kita yang tengah “sakit” ini? Ufh … Agaknya, kita mesti menarik napas panjang, bahkan tahan napas, untuk akhirnya dilepas pelan-pelan sambil mengelus dada. :mrgreen: Korupsi kian menggila. Otonomi daerah sekadar slogan; hanya mengalihkan ruang korupsi dari Jakarta ke daerah. Para bupati/walikota telah tersihir menjadi “kaisar-kaisar” baru di daerah dengan kekuasaannya yang (nyaris) absolut. Para wakil rakyat yang seharusnya meneriakkan suara rakyat justru “tiarap”. (Khawatir tidak kecipratan “rezeki tiban” dari sang penguasa.) *halah* Bencana dan musibah akibat manajemen lingkungan yang salah urus pun terus membadai bertubi-tubi.

Fenomena semacam itu makin membenarkan sinyalemen Pujangga Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha tentang munculnya “Zaman Edan” yang ditafsirkan oleh Franz Magnis Suseno melalui adagium: “Wong lugu keblenggu, wong jujur ajur, wong bener thenger-thenger, wong jahat munggah pangkat, pengkhianat saya nikmat, durjana saya kepenak” (orang lugu terbelenggu, orang jujur terperosok, orang benar terdiam kehilangan akal, orang jahat naik pangkat, pengkhianat tambah nikmat, orang durjana makin hidup enak). Sungguh ironis!

Apakah fenomena semacam itu merupakan imbas dari “perceraian” antara budaya dan pendidikan? Secara langsung tidak memang. Namun, setidaknya hal itu akan sangat berpengaruh terhadap paradigma dan mindset kita dalam memandang makna dan substansi kebudayaan. Budaya tidak lagi dipahami sebagai sebuah entitas pencarian nilai-nilai kedalaman dan kesejatian hidup, tetapi lebih diorientasikan bagaimana agar kita bisa hidup dari sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, kita tidak berupaya untuk “menghidupi” kebudayaan, tetapi justru bagaimana caranya agar kita bisa “hidup” dari kebudayaan itu. Sebuah “paham” yang telah diusung oleh kaum kapitalis ketika peradaban dunia sudah memasuki wilayah modernisasi dan globalisasi.

Merujuk pada Wikipedia, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” sebagai bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, culture (berasal dari kata Latin Colere) berarti mengolah atau mengerjakan, yang kemudian diindonesiakan menjadi “kultur”.

Dalam pandangan J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yakni gagasan (kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh), aktivitas (sering pula disebut dengan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan tata kelakuan), dan artefak (wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan).

Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua komponen utama. Pertama, kebudayaan material (mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, seperti temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci). Kedua, kebudayaan nonmaterial (ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional).

Merujuk pada pengertian tersebut, kebudayaan memiliki batasan yang cukup luas dan kompleks. Budaya tak hanya sebatas berkaitan dengan benda-benda “bersejarah” yang biasa dijual melalui paket pariwisata, tetapi yang tidak kalah penting justru yang berkaitan dengan pewarisan nilai-nilai luhur, termasuk nilai-nilai kearifan lokal, yang perlu terus dikembangkan dan dikemas secara kontinyu dan berkelanjutan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah peradaban sebuah bangsa. Jika upaya pewarisan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal itu terputus, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah “kebiadaban budaya” yang akan menghancurkan masa depan sebuah bangsa dalam mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat di tengah-tengah peradaban global dan mondial.

Namun, agaknya pemerintah kita cenderung memandang kebudayaan dari sisi ekonomi alias kebudayaan material an-sich yang ingin menjadikan budaya sebagai salah satu “ikon” pariwisata yang bisa mengalirkan devisa. Langkah semacam itu tidak salah, tetapi jika pewarisan dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal itu sudah berada pada titik nazir “pembiadaban budaya”, jangan salahkan jika kelak generasi masa depan negeri ini akan makin kehilangan kesejatian diri dan orientasi kulturalnya.

Pendidikan yang seharusnya diposisikan sebagai “domain” strategis untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, disadari atau tidak, telah dikebiri. Perannya telah tergantikan oleh pemikiran para birokrat pariwisata dan kaum kapitalis yang melulu ingin “hidup” dari produk budaya yang telah berabad-abad lamanya menjadi penyangga martabat bangsa.

“Nasi telah menjadi bubur”. *halah* Kebudayaan telah resmi “bercerai” dengan dunia pendidikan. Bukan tanggung jawab dunia pendidikan lagi dong kalau kelak anak-anak bangsa negeri ini tidak paham lagi terhadap esensi dan kesejatian budayanya sendiri. Jangan salahkan juga seandainya anak-anak masa depan negeri ini lebih akrab dengan Naruto, Sin Chan, atau Batman ketimbang Gatut Kaca, Rara Jonggrang, Jaka Tarub, atau Layonsari. Nah, bagaimana? ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

37 Comments

  1. bapak bisa aja.. lagian, kapan sih ada harmonisasi ketika kebudayaan dan pendidikan masih belum diceraikan? Saya kok tetap melihatnya dalam kepesimisan yang mendalam.. 😥

    Semejak genderang materialisme dengan idiom pembangunanisme ditabuh, esensi budaya dan pendidikan pekerti sudah mulai kehilangan akarnya sedikit demi sedikit.. apalagi setelah reformasi.. semakin carut marut..

    terlepas apakah akan rujuk atau tidak, upaya revitalisasi budaya dan akar kultur bangsa melalui -setidaknya- dunia pendidikan wajib dilaksanakan mulai dari sekarang, syukurlah, beberapa daerah yang sudah menerapkan KTSP mau memasukkan kembali bahasa daerah menjadi muatan lokal seperti jawa tengah dan surabaya. Meski dengan catatan bahwa tidak hanya itu saja upaya revitalisasi budaya bangsa.

    *maaf pak, komentar ini pertanda saya bangun dari tidur*

    gempur’s last blog post..Permasalahan yang Menghadang Dunia Petani dan Pertanian

    oOo
    Yup, sepakat banget, pak gempur. fungsikan dunia pendidikan sebagai pusat budaya. dari sinilah anak2 masa depan negeri ini bisa belajar dan menimba nilai2. BTW, barusan bangun tidur pak gempur langsung bersuara lantang, yak, hehehehe 😆 salut juga nih!

  2. aduh kang mas.. jangan ada perceraian deh.. sakit banget deh di hati… kasian anak2 kalau kita cerai..( lho kok …?? emang u laki gw…???? ) waduh gak nyambung blasss….

    oOo
    kekekekekeke …. mbak franya ada2 aja nih, hehehehehe 😆 emang bener kok mbak. Perceraian bikin panas hati, hiks. mending rujuk dan baikan ajah!

  3. wew…di jakarta sendiri rasanya kebudayaan sudah mulai memudar deh.. 😕

    btw budpar itu yang gedungnya unik khan? 😆

    *sering dibahas teman-teman kalau lewat gedung budpar*

    cK’s last blog post..Rocker, Gentleman, dan Bus TransJakarta

    oOo
    apalagi kota megapolitan sekelas jakarta, mbak chika, kota2 kecil di daerah pun juga sama. kalo yang urusan jakarta malah mbak chika dong yang lebih tahu lokasi gedung budpar-nya, hiks.

  4. Budaya seperti apa yang berkembang pada suatu peradaban ditentukan oleh manusia itu sendiri. Dan kualitas pemikiran seorang manusia tidak luput dari faktor pendidikan yang didapatnya, melalui cara apapun.

    Humm..sedih pak, melihat budaya korupsi bukannya semakin menciut justru makin merebak di kalangan pejabat-pejabat daerah, lalu apa bedanya diterbitkan atau tidaknya UU 32 Tahun 2004? Kembali ke manusianya ya pak, kalau moral sudah ga bener ya keadaan seperti ini sampai kapanpun ga akan membaik, mohon doakan kami pak untuk tetap mempertahankan idealisme (walaupun terkadang kehilangan cara strategik untuk tetap berjuang) 🙂

    pipiew’s last blog post..Tertawa

    oOo
    yup, betul banget mbak fifi. manusia jugalah yang akan menentukan nasib peradaban bangsanya.yup, selalu bedoa utk mbak fifi, semoga idealisme itu ndak hilang.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Budaya

Pilpres, Mudik, dan Lebaran

Oleh: Sawali Tuhusetya Suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Go to Top