
Oleh: Sawali Tuhusetya
Aku tahu, saat ini Sampeyan sedang dililit banyak kesibukan. Waktu menjadi demikian berharga buatmu. Setiap menit, bahkan detik, bahkan juga setiap tarikan napas, selalu berharga untuk mengekspresikan imaji-imaji liar yang menumpuk di kepala. Aku selalu mendengar suara “pemberontakan”-mu sebagaimana tercermin dalam teks-teks cerpenmu. Ada nuansa romantisme, cinta, teror, darah, kebencian, perempuan, warna lokal, mitos, dan juga tradisi. Yang selalu kuingat dari cerpen-cerpenmu adalah suasana absurdisme yang meneror, untuk selanjutnya membawa imaji pembaca ke dalam sebuah ruang tafsir yang rumit, kompleks, tetapi sekaligus membawa daya kejut.
Triyanto –kalau boleh aku menyapamu demikian sebagaimana nama yang diberikan oleh kedua orang tuamu– yang baik. Entah, sudah berapa tahun kita tak bertemu. Pertemuan terakhir pun aku sudah lupa di mana. Yang sempat kuingat ketika Sampeyan menjadi moderator diskusi dalam Pertemuan Sastrawan Jawa Tengah di Purwokerto, Jawa Tengah, sekitar tahun 2000-an. Setelah itu, kita hanya bisa kontak lewat SMS. Itu pun sekarang sudah jarang kita lakukan. Ya, sudah, kita memang telah ditakdirkan untuk mengikuti “jalan hidup” yang telah disuratkan oleh-Nya. Sampeyan menjadi seorang jurnalis dan sastrawan yang telah mengglobal, sedangkan aku menekuni duniaku sebagai seorang guru, hanya ingin menjadi seorang shi fu, meski terkesan ndesa dan katrok. *halah*
Bukannya aku menyesal menjadi seorang guru. Justru aku merasa bahagia dan sangat menikmatinya. Yup, ini juga sekaligus memenuhi “panggilan hidup” sebagaimana yang selalu disuarakan oleh Emakku ketika aku masih kecil. Emakku akan merasa amat berbahagia seandainya aku bisa menjadi seorang guru. Alhamdulillah, aku sudah memenuhi amanat emakku yang kini sangat menikmati hidup di sebuah kampung yang sunyi menjelang masa-masa senjanya.
Triyanto yang baik. Entah, tiba-tiba saja aku merasa cengeng. Romantisme masa lalu tiba-tiba saja mengusik perasaanku. Aku kangen sekali untuk bisa bertemu denganmu. Apalagi, tanpa kuduga, kamu meninggalkan jejak komentar di sini. Sungguh, komentarmu membuat perasaanku seperti mendengarkan terompet orkestra yang berirama pedih. Menyayat-nyayat. Teringat saat kita masih bersama-sama menimba ilmu di sebuah lembaga keguruan. Mungkin Sampeyan sudah lupa, kalau kita pernah menggelandang di kompleks Mberok Semarang yang kumuh, bercengkerama dengan para “wadam” hingga akhirnya kita terusir setelah mereka gagal mengajak kita berkencan. Kita pun lari terbirit-birit hingga akhirnya terdampar di Pasar Johar. Karena capek, kita pun terlelap di atas box reot yang biasa dipakai para pedagang berjualan. Ketika Subuh tiba, kita pun sempat terkejut, lantaran sandal kulit usang yang kita pakai, diembat juga para pencoleng Pasar Johar yang sering berkeliaran seperti nyamuk-nyamuk liar yang menyedot darah kita semalaman.
Pernah juga kita bersama-sama dengan Mas S. Prasetyo Utomo dan Herlino Soleman menikmati malam di Bumi Wanamukti, Semarang, tempat Mas Mahmud Hidayat tinggal selama ini. Malam itu juga kita dikejutkan oleh suara-suara teriakan orang-orang kampung yang hendak menangkap seorang pencuri. Kita pun bersama-sama berhamburan keluar. Lantas, bikin sayembara untuk mengabadikan peristiwa itu menjadi sebuah cerpen. Ternyata, Sampeyan memang hebat. Dari peristiwa itu, Sampeyan berhasil membikin sebuah cerpen berdaya kejut tinggi “Ritus Tikus”. Masih ingatkah Sampeyan pada peristiwa itu? Lantas, pada malam yang berbeda, kita sering menghabiskan waktu untuk berdiskusi, bahkan berdebat, soal genre sastra dan filsafat. Topik yang selalu berat yang Sampeyan tawarkan.
Tak lama kemudian, nama Sampeyan sering tertulis di koran lengkap dengan cerpen-cerpen bergaya surealis dan absurd itu. Sampeyan pun dipercaya untuk menjadi penjaga gawang tetap “analisis puisi mingguan” di harian sore Wawasan. Namun, tak lama kemudian, aku tak tahu lagi kabar Sampeyan. Beberapa teman bilang, Sampeyan sedang “hiatus” dan melakukan “metamorfosis”. Bertahun-tahun peristiwa itu berlalu hingga akhirnya nama Sampeyan mulai melejit sebagai cerpenis papan atas dengan semakin banyaknya cerpen-cerpen Sampeyan yang khas itu muncul di Kompas. Tak lama kemudian, aku mendengar kabar bahwa Sampeyan telah memiliki sebuah antologi cerpen Rezim Seks dan dipercaya menjadi redaktur Sastra-Budaya di harian Suara Merdeka. Bahkan, Sampeyan juga mulai intens berkomunikasi dengan sobat Herlino Soleman hingga akhirnya berhasil menerbitkan kumpulan cerpen bersama Pintu Tertutup Salju. Buku itu pula yang berhasil membawa kita duduk satu meja dalam forum diskusi dan bedah buku yang digelar oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Kendal.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita juga sempat bertemu dalam forum Temu Sastrawan Jawa Tengah di Purwokerto bersama Kang Ahmad Tohari, S. Prasetyo Utomo, Gunoto Sapari, SN Ratmana, ES Wibowo, Timur SS, dll. Nah, sejak saat itu, nama Sampeyan makin melambung hingga menembus batas dan sekat-sekat geografis. Aku mendengar kabar, Sampeyan sering mengadakan lawatan sastra ke luar negeri. Syukurlah, aku jadi ikut senang dan bangga. Tak lama kemudian, muncullah buku-buku kumpulan cerpen Sampeyan berikutnya, semacam Ragaula, The Wings of the Dog, Malam sepasang lampion, atau Children Sharpening the Knives. Sejak saat itu pula, aku merasa semakin sulit berkomunikasi dengan Sampeyan. Ketika berlangsung acara Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus (19-21 Januari 2008) yang lalu, aku berharap Sampeyan bisa hadir. Ingin rasanya segera melepas kangen setelah sekian tahun tak bertemu. Namun, ternyata Sampeyan sedang mengikuti acara Residensi Sastra di Sydney Australia. Ketika di Kudus, aku pun sempat bertemu dengan Maman S. Mahayana dan sempat ngobrol di warung kopi hingga larut malam di bawah guyuran hujan yang membadai. Banyak hal yang kami obrolkan, termasuk “ngrasani” Sampeyan .
Lebih membanggakan lagi ketika aku membuka website Penakencana. Ternyata, Sampeyan juga yang menjadi Direktur Program Anugerah Sastra Pena Kencana yang heboh itu. Betapa tidak! Sampeyan telah berkiprah secara nyata hadir untuk memangkas jalur yang terlalu lama dan ingin lebih memartabatkan sastrawan.
Karena itu selain setahun sekali memberikan penghargaan tertinggi untuk satu puisi dan cerpen terbaik, juga meningkatkan jumlah hadiah. Untuk 2008, puisi dan cerpen terbaik, masing-masing Rp 50 juta. Nilai penghargaan itu diharapkan dari tahun ke tahun meningkat.
Itu kata Sampeyan dalam sebuah pengantar yang sempat aku baca. Luar biasa! Sebuah penghargaan yang bisa menjadi sebuah Indonesia yang I dalam menghidupkan martabat sastrawan. Aku percaya, masih ada kiprah-kiprah Sampeyan yang lain yang luput dari perhatian awamku sehingga tak terjamah dalam surat ini.
Triyanto yang baik. Untuk sementara, demikian surat terbuka yang sengaja aku tulis sebagai wujud apresiasi dan simpati dari seorang teman lama sekaligus sebagai ekspresi rasa kangen dalam menjelajahi romantisme masa silam yang pernah kita lalui bersama. Semoga Sampeyan masih sempat punya waktu dan berkenan untuk membaca surat cengeng ini. Mohon maaf apabila kehadiran surat ini sudah mengusik ketenanganmu.
Terima kasih.
Selamat berjuang dan salam kreatif, kawan.
Dari seorang teman lama,
Sawali Tuhusetya
oOo
Catatan:
Yang ingin membaca cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo, silakan klik di sini.
Sepasang Kekasih yang Mencari Arah Laut Lepas
*)F. Moses
Terceritalah kisah sepasang kekasih yang entah kapan tepatnya bermulai melaut.
Dalam kesekian waktu yang seolah tak akan pernah berhenti dan memang tak berhenti dan di barangkali saja telah berlangsung berbulan-bulan bertahun-tahun berabad-abad dalam waktu yang tak pernah terasa kecuali bayangan serupa pagi serupa siang serupa petang serupa malam, kami masih berada di perahu cadik berkayu coklat yang semakin tua serta kusam juga masih kuat sekalipun cukup waktu lama bagi kayu perahu kami berdua melapuk, ini mencari tempat pulang.
Ya, asal kau tahu, kami memang belum pulang. Entah kapan kami berpulang. Dan apakah suatu keharusan bilamana kami mesti kembali pada daratan negeri kami dalam—yang bagi kami—kesementaraan kami masih di laut. Tidak.
Sekalipun perjalanan kami berdua menyusuri tiap arah laut menjadikan waktu seolah dan barangkali saja melumut hebat, kami masih di laut. Di laut tanpa kami takutkan berapa kali lagi usia kami mesti berlanjut. Kami seperti manusia tanpa usia. Seperti keberusiaan di sepanjang keberadaan alam ini ada. Demikianlah adanya kami.
Di waktu ini pula, ketika sempat kami mempersoalkan usia, kami menyebut usia kami sekitar 300-an tahun. Barangkali lebih. Meski demikian kami belum luput. Kami masih bersuka mencari mata angin. Mencari arah. Arah laut lepas; arah yang acap bagi kami seperti sejengkal menuju kebahagiaan. Dalam kesadaran kami, kebahagiaan tak akan pernah mengeriput.
Setidaknya begitulah cara kami memperoleh kebahagian: berpikir bahwa sejengkal pada jarak di depan adalah harapan kami. Semacam cara menguji perasaan maupun firasat kami terhadap waktu. Kira-kira. Begitulah.
Di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan. Percakapan yang seolah tak sebatas kata. Melainkan firasat dan rasa. Percakapan sepasang kekasih. Begitulah.
“Masih adakah tempat terakhir di laut ini sebelum kita memutuskan untuk segera berlabuh dari rasa letih?” kata kekasihku.
Sambil memandang ke arah laut lepas yang seperti hanya tertampak garis tipis di hadapan kami, dari katanya yang seolah dalam benak terdengar olehku, bahwa sepanjang kehidupan ini tak pernah terbesit kalau laut menyediakan sebuah akhir. Entah masih adakah akhir? Entah adakah. Entah adakah.
“Laut tak akan pernah menyediakan sebuah akhir. Sampai kapan pun,” kataku.
“Ehm…Ya. Barangkali karena itulah, karena laut sepertinya selalu dan memang tanpa akhir, aku begitu masih mempertanyakan apakah cintamu utuh padaku. Sekali lagi, apakah cintamu utuh dan sejati padaku seperti sepanjang, seluas, sehebat, bahkan sedahsyat laut ini yang senyata-nyatanya dalam kenyataannya tanpa akhir, kekasihku? Seberapa tahan kau mampu mempertahankan cintamu padaku? Sekali lagi, sementara laut ini memang tanpa akhir,” katanya membalas.
Dari ucap yang seperti menampakkan kegelisahannya terucapkan kembali.
“Lantas kau akan mengakhiri cintamu saat di laut yang benar-benar terakhir nantinya?”
Aku tak menjawabnya.
Katanya lagi, ”Jika demikian, kita seperti dan hanya mengemas cinta palsu saja di sepanjang mengarungi laut ini.”
Kami sama-sama terdiam. Kecuali, deburan ombak serta desiran angin yang semakin memperlihatkan kehebatannya. Kehebatan dari yang tak lagi sekadar berbisik. Sekalipun demikian, kami masih mengarungi di tengah hamparan laut luas ini.
Maka tersebutlah saat ini, kami sebagai sepasang kekasih yang masih tersibukkan mencari arah laut lepas untuk mengakhiri perjalanan ini, dalam kenyataan belum dipertemukan oleh akhir. Dan sepertinya memang tak akan pernah.
Seperti tadi terkatakan oleh kami bahwa di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan yang seolah tak sebatas kata-kata melainkan firasat dan rasa. Seperti firasat datangnya malam. Seperti rasa datangnya angin yang acap tak lagi sekadar berbisik.
Sesungguhnya tersebutlah pula kami sebagai sepasang kekasih yang tengah berlari dari negeri di daratan itu. Ya, negeri kami masa lalu. Sebuah negeri yang terakhir terketahui warnanya telah berubah menjadi abu-abu. Negeri abu-abu. Negeri mati warna.
Tentang negeri kami di masa lalu; sebuah negeri yang tak pernah beres serta berkesudahan kelimpungan dalam persoalan. Persoalan sebuah negeri yang tanpa hari bersekaligus tanpa mataharinya, tanpa bulannya bersekaligus tanpa gemerlap bintang gemintang disekelilingnya yang berisi daging persoalan. Persoalan yang semakin memanjakan negeri kami dalam kecengengan. Persoalan tindas-menindas sesama manusia. Mati kasih. Kira-kira terkatakan begitu.
Sekali lagi, atas nama kekacaubalauan negeri kami, kami berlapang dada meninggalkannya. Ketimbang mesti bermunafik. Betapa ironis hidup dalam kemunafikan.
***
Hampir semua manusia di negeri kami pernah menganggap kami gila. Semua mengatakan kami hidup dalam pelarian. Pelarian yang berlari dan untuk terus berlari seperti sepasang kekasih yang memang nyata-nyatanya kami adalah sepasang kekasih tengah mencari kehidupan baru. Demikianlah kami.
Kami masih dan akan selalu masih mencari arah laut lepas di semacam yang kira-kira pada akhirnya nanti adalah akhir perjalanan kami. Kami terus mencari ujung perjalanan ini tanpa henti. Tanpa keputusasaan. Mencari akhir. Sekali lagi, entah adakah akhir.
Segala persoalan di sini—di tengah hamparan cakrawala laut lepas bersama kecipak deburan ombak yang terkadang mengganas dan terkadang tidak, malam yang seolah seperti kesuraman. Apalagi bila hujan mengguyur deras perahu kami berdua—dalam keberduaan kami hadapi penuh kasih. Dalam keberduaan sepasang kekasih.
Kami seperti mempunyai kata-kata tersendiri terhadap alam. Barangkali itulah alasan mengapa sampai kini kami masih bertahan. Bukti kebertahanan yang sampai detik ini kami masih mencari arah di lautan. Arah laut lepas. Bukti kebertahanan sebagai sepasang kekasih.
Entah seberapa tahan pula kami mencari arah laut lepas. Laut lepas yang benar-benar terlepas dari awal dan tengahnya lautan ini.
Entah bagaimana pula kami mesti berpikir bahwa kepengetahuan kami tentang di titik awal mana ketika beranjak melaut. Juga entah titik tengah mana sebuah lautan. Dalam kenyataan, senyata-nyatanya, kami masih melaut sampai saat ini. Mencari akhir dari sebuah arah laut lepas tanpa henti.
Kami masih bertahan. Kecuali, bilamana di ujung laut ini nanti; sebuah akhir yang kami anggap terselesaikan dari kami melaut. Entah apakah ini kegilaan dalam beranggap?
Ya, sekalipun hampir seluruh manusia menganggap kami gila. Entah kegilaan seperti bagaimana bila sekadar terus mencari ujung perjuangan sebuah kehidupan? Sekalipun di laut. Sekalipun bersama amuknya. Amuk yang jika itu memang suatu ketika menyergap kemudian menyeret kami. Kami masih tiada henti mencari arah. Arah laut lepas. Arah sebagai akhir perjalanan kami. Arah yang tersebutkan pula sebagai akhir sebuah kepenatan maupun kepekatan dari pikiran kami.
***
Dalam sekian waktu perjalanan melaut ini, tiba saja tertampak sebuah perahu-perahu laut bersandar. Tertampak memang pada sebuah daratan. Entah itu semua perahu-perahu siapa yang bersandar di daratan itu. Entah itu daratan apa. Entah daratan dari kehidupan siapa pula. Sekalipun terlihat sebagai daratan yang terjorok dari arah lautan.
Kekasihku tersenyum kecil sambil sesekali sedikit tersedu-sedu sambil berucap.
”Inikah ujung dari sebuah arah laut lepas yang kita nanti-nantikan?”
”Tidak.”
”Apakah ini daratan baru dari sebuah negeri baru yang akan kita singgahi?”
”Bukan.”
”Kemudian berarti telah sampaikah kita pada titik akhir perjalanan ini karena telah terlihat daratan? Tidakkah kau lihat, gedung-gedungnya tampak begitu menjulang. Seperti sejajar dengan bukit-bukit di sekelilingnya.”
”Belum.”
***
Kami masih mencari arah laut lepas. Mencari dan mencari dalam kesabaran berpenuh kasih.Tersadari oleh kami di entah keberapa kalinya kami mesti memperhitungkan usia kami. Ah, sudahlah, betapa hidup ini hanya ketakutan saja bilamana di dalamnya kami mesti memperhitungkan seberapa lagi usia mesti berlanjut. Kami masih mengalir saja seperti tanpa perhentian.
Mengalir yang bagi kami seperti aliran di seluas—sedahsyat maupun sehebat betapa tak terukur dan terujung lautan—laut ini.
Hal belum kami sadari, ternyata kami yang senyata-nyatanya sampai detik ini, tidak menemukan sebuah akhir dari lautan ini. Sekalipun terjumpai Tanjung maupun Teluk yang telah berubah warna menjadi abu-abu di keselamaan perjalanan kami ketika melihat rupa daratannya. Daratan pucat. Entah kepucatan Tanjung maupun Teluk yang mana.
Meskipun suatu ketika kami menjumpai daratan itu lagi, jauh bagi kami untuk menyinggahinya. Buktinya kami masih di laut. Mencari ujung dari sebuah arah laut lepas. Bagi kami adalah akhir perjalanan kami. Mungkinkah? Rasanya jauh pula kami mesti memikirkannya.
Yogyakarta-Lampung-Jakarta, Juli 2008
Sepasang Kekasih yang Mencari Arah Laut Lepas
Terceritalah kisah sepasang kekasih yang entah kapan tepatnya bermulai melaut.
Dalam kesekian waktu yang seolah tak akan pernah berhenti dan memang tak berhenti dan di barangkali saja telah berlangsung berbulan-bulan bertahun-tahun berabad-abad dalam waktu yang tak pernah terasa kecuali bayangan serupa pagi serupa siang serupa petang serupa malam, kami masih berada di perahu cadik berkayu coklat yang semakin tua serta kusam juga masih kuat sekalipun cukup waktu lama bagi kayu perahu kami berdua melapuk, ini mencari tempat pulang.
Ya, asal kau tahu, kami memang belum pulang. Entah kapan kami berpulang. Dan apakah suatu keharusan bilamana kami mesti kembali pada daratan negeri kami dalam—yang bagi kami—kesementaraan kami masih di laut. Tidak.
Sekalipun perjalanan kami berdua menyusuri tiap arah laut menjadikan waktu seolah dan barangkali saja melumut hebat, kami masih di laut. Di laut tanpa kami takutkan berapa kali lagi usia kami mesti berlanjut. Kami seperti manusia tanpa usia. Seperti keberusiaan di sepanjang keberadaan alam ini ada. Demikianlah adanya kami.
Di waktu ini pula, ketika sempat kami mempersoalkan usia, kami menyebut usia kami sekitar 300-an tahun. Barangkali lebih. Meski demikian kami belum luput. Kami masih bersuka mencari mata angin. Mencari arah. Arah laut lepas; arah yang acap bagi kami seperti sejengkal menuju kebahagiaan. Dalam kesadaran kami, kebahagiaan tak akan pernah mengeriput.
Setidaknya begitulah cara kami memperoleh kebahagian: berpikir bahwa sejengkal pada jarak di depan adalah harapan kami. Semacam cara menguji perasaan maupun firasat kami terhadap waktu. Kira-kira. Begitulah.
Di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan. Percakapan yang seolah tak sebatas kata. Melainkan firasat dan rasa. Percakapan sepasang kekasih. Begitulah.
“Masih adakah tempat terakhir di laut ini sebelum kita memutuskan untuk segera berlabuh dari rasa letih?” kata kekasihku.
Sambil memandang ke arah laut lepas yang seperti hanya tertampak garis tipis di hadapan kami, dari katanya yang seolah dalam benak terdengar olehku, bahwa sepanjang kehidupan ini tak pernah terbesit kalau laut menyediakan sebuah akhir. Entah masih adakah akhir? Entah adakah. Entah adakah.
“Laut tak akan pernah menyediakan sebuah akhir. Sampai kapan pun,” kataku.
“Ehm…Ya. Barangkali karena itulah, karena laut sepertinya selalu dan memang tanpa akhir, aku begitu masih mempertanyakan apakah cintamu utuh padaku. Sekali lagi, apakah cintamu utuh dan sejati padaku seperti sepanjang, seluas, sehebat, bahkan sedahsyat laut ini yang senyata-nyatanya dalam kenyataannya tanpa akhir, kekasihku? Seberapa tahan kau mampu mempertahankan cintamu padaku? Sekali lagi, sementara laut ini memang tanpa akhir,” katanya membalas.
Dari ucap yang seperti menampakkan kegelisahannya terucapkan kembali.
“Lantas kau akan mengakhiri cintamu saat di laut yang benar-benar terakhir nantinya?”
Aku tak menjawabnya.
Katanya lagi, ”Jika demikian, kita seperti dan hanya mengemas cinta palsu saja di sepanjang mengarungi laut ini.”
Kami sama-sama terdiam. Kecuali, deburan ombak serta desiran angin yang semakin memperlihatkan kehebatannya. Kehebatan dari yang tak lagi sekadar berbisik. Sekalipun demikian, kami masih mengarungi di tengah hamparan laut luas ini.
Maka tersebutlah saat ini, kami sebagai sepasang kekasih yang masih tersibukkan mencari arah laut lepas untuk mengakhiri perjalanan ini, dalam kenyataan belum dipertemukan oleh akhir. Dan sepertinya memang tak akan pernah.
Seperti tadi terkatakan oleh kami bahwa di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan yang seolah tak sebatas kata-kata melainkan firasat dan rasa. Seperti firasat datangnya malam. Seperti rasa datangnya angin yang acap tak lagi sekadar berbisik.
Sesungguhnya tersebutlah pula kami sebagai sepasang kekasih yang tengah berlari dari negeri di daratan itu. Ya, negeri kami masa lalu. Sebuah negeri yang terakhir terketahui warnanya telah berubah menjadi abu-abu. Negeri abu-abu. Negeri mati warna.
Tentang negeri kami di masa lalu; sebuah negeri yang tak pernah beres serta berkesudahan kelimpungan dalam persoalan. Persoalan sebuah negeri yang tanpa hari bersekaligus tanpa mataharinya, tanpa bulannya bersekaligus tanpa gemerlap bintang gemintang disekelilingnya yang berisi daging persoalan. Persoalan yang semakin memanjakan negeri kami dalam kecengengan. Persoalan tindas-menindas sesama manusia. Mati kasih. Kira-kira terkatakan begitu.
Sekali lagi, atas nama kekacaubalauan negeri kami, kami berlapang dada meninggalkannya. Ketimbang mesti bermunafik. Betapa ironis hidup dalam kemunafikan.
***
Hampir semua manusia di negeri kami pernah menganggap kami gila. Semua mengatakan kami hidup dalam pelarian. Pelarian yang berlari dan untuk terus berlari seperti sepasang kekasih yang memang nyata-nyatanya kami adalah sepasang kekasih tengah mencari kehidupan baru. Demikianlah kami.
Kami masih dan akan selalu masih mencari arah laut lepas di semacam yang kira-kira pada akhirnya nanti adalah akhir perjalanan kami. Kami terus mencari ujung perjalanan ini tanpa henti. Tanpa keputusasaan. Mencari akhir. Sekali lagi, entah adakah akhir.
Segala persoalan di sini—di tengah hamparan cakrawala laut lepas bersama kecipak deburan ombak yang terkadang mengganas dan terkadang tidak, malam yang seolah seperti kesuraman. Apalagi bila hujan mengguyur deras perahu kami berdua—dalam keberduaan kami hadapi penuh kasih. Dalam keberduaan sepasang kekasih.
Kami seperti mempunyai kata-kata tersendiri terhadap alam. Barangkali itulah alasan mengapa sampai kini kami masih bertahan. Bukti kebertahanan yang sampai detik ini kami masih mencari arah di lautan. Arah laut lepas. Bukti kebertahanan sebagai sepasang kekasih.
Entah seberapa tahan pula kami mencari arah laut lepas. Laut lepas yang benar-benar terlepas dari awal dan tengahnya lautan ini.
Entah bagaimana pula kami mesti berpikir bahwa kepengetahuan kami tentang di titik awal mana ketika beranjak melaut. Juga entah titik tengah mana sebuah lautan. Dalam kenyataan, senyata-nyatanya, kami masih melaut sampai saat ini. Mencari akhir dari sebuah arah laut lepas tanpa henti.
Kami masih bertahan. Kecuali, bilamana di ujung laut ini nanti; sebuah akhir yang kami anggap terselesaikan dari kami melaut. Entah apakah ini kegilaan dalam beranggap?
Ya, sekalipun hampir seluruh manusia menganggap kami gila. Entah kegilaan seperti bagaimana bila sekadar terus mencari ujung perjuangan sebuah kehidupan? Sekalipun di laut. Sekalipun bersama amuknya. Amuk yang jika itu memang suatu ketika menyergap kemudian menyeret kami. Kami masih tiada henti mencari arah. Arah laut lepas. Arah sebagai akhir perjalanan kami. Arah yang tersebutkan pula sebagai akhir sebuah kepenatan maupun kepekatan dari pikiran kami.
***
Dalam sekian waktu perjalanan melaut ini, tiba saja tertampak sebuah perahu-perahu laut bersandar. Tertampak memang pada sebuah daratan. Entah itu semua perahu-perahu siapa yang bersandar di daratan itu. Entah itu daratan apa. Entah daratan dari kehidupan siapa pula. Sekalipun terlihat sebagai daratan yang terjorok dari arah lautan.
Kekasihku tersenyum kecil sambil sesekali sedikit tersedu-sedu sambil berucap.
”Inikah ujung dari sebuah arah laut lepas yang kita nanti-nantikan?”
”Tidak.”
”Apakah ini daratan baru dari sebuah negeri baru yang akan kita singgahi?”
”Bukan.”
”Kemudian berarti telah sampaikah kita pada titik akhir perjalanan ini karena telah terlihat daratan? Tidakkah kau lihat, gedung-gedungnya tampak begitu menjulang. Seperti sejajar dengan bukit-bukit di sekelilingnya.”
”Belum.”
***
Kami masih mencari arah laut lepas. Mencari dan mencari dalam kesabaran berpenuh kasih.Tersadari oleh kami di entah keberapa kalinya kami mesti memperhitungkan usia kami. Ah, sudahlah, betapa hidup ini hanya ketakutan saja bilamana di dalamnya kami mesti memperhitungkan seberapa lagi usia mesti berlanjut. Kami masih mengalir saja seperti tanpa perhentian.
Mengalir yang bagi kami seperti aliran di seluas—sedahsyat maupun sehebat betapa tak terukur dan terujung lautan—laut ini.
Hal belum kami sadari, ternyata kami yang senyata-nyatanya sampai detik ini, tidak menemukan sebuah akhir dari lautan ini. Sekalipun terjumpai Tanjung maupun Teluk yang telah berubah warna menjadi abu-abu di keselamaan perjalanan kami ketika melihat rupa daratannya. Daratan pucat. Entah kepucatan Tanjung maupun Teluk yang mana.
Meskipun suatu ketika kami menjumpai daratan itu lagi, jauh bagi kami untuk menyinggahinya. Buktinya kami masih di laut. Mencari ujung dari sebuah arah laut lepas. Bagi kami adalah akhir perjalanan kami. Mungkinkah? Rasanya jauh pula kami mesti memikirkannya.
Yogyakarta-Lampung-Jakarta, Juli 2008
Wah, ingat masa kuliah di Semarang. Sama-sama Triyanto, adik kelas. Nah jadi ingat hutang, nih.
Waktu kuliah setahuku Triyanto itu cukup menderita, lho. Syukurlah, penderitaan itu sekarang terbalas dengan kesuksesannya.
Willy Ediyantos last blog post..Jam Mengajar ≠ Beban Kerja
waah.. jalan-jalan pagi tak terasa sampai di gubugnya pak sawali. baca susuratan dengan pak Triyanto yang hmmmm.. sangat menyentuh dan menginspirasi. betapa menyenangkannya sebuah persahabatan…
jalaindra’s last blog post..Tentangmu Yang Tiba-Tiba
ooo
wah, sempat juga baca surat itu rupanya mas adi. karena dorongan rasa kangen saja dengan triyanto, bung. yup, makasih, yak!