Menimbang Bobot Literer “Puisi Blog”

Kategori Bahasa Oleh

Sekitar tahun 1989, saya pernah terlibat sedikit polemik dengan Kusprihyanto Namma (KN) tentang esensi “Sajak Koran” di harian Suara Merdeka. Dalam tulisannya “Penerbitan Puisi, Sekadar Dokumentasi” itu, KN ingin menggarisbawahi dua hal. Pertama, sajak yang termuat di koran (sajak koran) terpola oleh selera media massa cetak sehingga penyair terjebak dalam sikap hipokrit (kepura-puraan). Dengan demikian, sajak bukan hasil penjelajahan proses kreativitas yang intens. Kedua, sulit menemukan antologi puisi yang mengandung ekspresi-ekspresi berbeda dan keliaran-keliaran yang mencengangkan karena penyair terbentur struktur birokrasi budaya kita yang cenderung “membatasi” daya jelajah dalam menuangkan kebebasan dan kegelisahan.

Saat itu, saya tertarik menanggapi tulisan KN karena pengaruh adagium yang pernah diluncurkan oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf skolastik, “Pulchrum dicitur id apprensio”. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Keindahan (sajak) mokal bisa dinikmati orang lain tanpa publikasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dalam upaya memperoleh legitimasi kepenyairan, seorang penyair berusaha menembus barikade redaksi sastra-budaya di media cetak dalam memasyarakatkan obsesi visi dan estetisnya. Saya berkeyakinan bahwa apa yang penyair tulis di koran, murni terlahir dari kepekaan nurani, hasil pergulatan daya jelajah kreativitas yang intens. Mereka tidak harus dicurigai sebagai manusia hipokrit yang cenderung menuruti kepuasan selera media massa. Sajak koran mereka tetap menunjukkan penjelajahan rasio akal budi dan budi nurani dalam transpirasi total kepenyairan. Tanggapan saya terhadap tulisan KN bisa dibaca di sini.

Lantas, apa hubungannya dengan “sajak blog” –untuk menyebut sajak yang dimuat di blog? Yup, dalam pemahaman awam saya, sebagai media ekspresi, “sajak blog” tak jauh berbeda dengan “sajak koran”; sama-sama menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Kalau toh harus dibedakan, bisa jadi terletak pada proses publikasinya. Pada “sajak koran”, proses yang harus dilewati lebih rumit dan kompleks; harus menembus barikade, otoritas, dan selera sang redaktur. Jika dinilai layak muat oleh sang redaktur, baru terjadi proses publikasi. Jadilah “sajak koran”. Dalam konteks demikian, sang redaktur memegang otoritas tunggal terhadap lolos tidaknya sebuah sajak. Pada “sajak blog”, otoritas tunggal dipegang sepenuhnya oleh bloger sebagai pemegang admin. “Sajak blog” bisa dipublikasikan kapan pun oleh sang pemegang admin.

Persoalannya sekarang, bagaimanakah bobot “sajak blog”? Bisakah sajak-sajak blog yang belakangan ini menunjukkan intensitas publikasi yang luar biasa masif bertaburan di belantara dunia maya dipertanggungjawabkan secara literer? Dengan kata lain, bisakah sajak-sajak blog dikategorikan sebagai puisi yang memiliki kadar sastra yang membanggakan?

Jujur saja, saya tidak pernah bisa membuat puisi. Lebih baik disuruh minum racun kopi kental yang manis sambil menyedot asap kretek pembakar dada ketimbang membuat untaian kata-kata indah yang konon *halah* bisa membuai sukma dan melambungkan imajinasi hingga ke batas langit itu. Hehehehehe :mrgreen: Oleh karena itu, selama ini saya (nyaris) tak pernah memublikasikan puisi karya saya sendiri di blog ini. Namun, saya suka membaca, mengapresiasi, dan menikmati sajak-sajak blog karya teman-teman bloger. Juga hanya bisa sebatas menilai dengan pendekatan subjektivitas-personal yang jauh dari kebenaran nilai hermeneutika atau stylistika.

Menurut hemat saya, puisi yang memiliki bobot literer seperti idiom yang pernah dikemukakan oleh Horace; “dulce et utile” (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena diekspresikan dengan menggunakan bahasa yang indah; diksi terjaga melalui permainan rima yang tertata. Berguna karena mengandung muatan dan pesan-pesan moral yang bermakna bagi kemaslahatan hidup umat manusia. Ini artinya, seindah apa pun bahasa yang digunakan oleh sang penulis, tetapi jika gagal menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh nurani kemanusiaan, bisa dikatakan sebagian bobot literernya tidak terpenuhi. Sebaliknya, jika puisi hanya mengumbar pepatah-petitih sosial zonder memperhatikan keindahan bahasa, hal itu tak jauh berbeda dengan orasi kaum demonstran yang sedang melampiaskan emosi dan amarah.

Saya tetap menaruh rasa hormat dan salut kepada teman-teman bloger yang demikian produktif menulis puisi yang kadar literernya tak jauh berbeda dengan sajak koran. Ada banyak ragam tema kemanusiaan yang diangkat; mulai dari tema cinta, sosial, hingga religi. Fenomena semacam ini menjadi pertanda baik bagi perkembangan sastra di tanah air. Bagaimanapun juga, sosialisasi karya kreatif (termasuk puisi) lewat media itu penting dan strategis bagi sang penulis yang telah berniat mewartakan nilai-nilai kemanusiaan lewat gaya bertutur yang indah kepada publik.

Publikasi puisi melalui blog harus dimaknai sebagai upaya sang bloger untuk tetap bisa eksis dalam menggeluti dunianya di tengah hiruk-pikuk teknologi komunikasi yang demikian gencar menawarkan perubahan. Jangan membiarkan teks-teks puisi yang sudah menyedot banyak energi dan imajinasi hanya “memfosil” di rak draft.

Lantas, bagaimanakah “puisi blog” yang baik? Mesti panjang atau pendek? Bagi seorang penikmat puisi seperti saya, bobot literer sebuah puisi tidak bisa diukur berdasarkan panjang atau pendeknya. Namun, lebih ditentukan oleh muatan nilai dan gaya bertuturnya. Pendek tidak lantas berarti kehilangan muatan nilai, panjang pun tidak serta-merta bisa diartikan kehilangan nilai estetiknya. Setiap penyair memiliki licentia poetica yang sangat pribadi dalam pergulatan kreativitasnya. Ini artinya, setiap penyair memiliki kebebasan berekspresi dalam mengungkapkan pemikiran dan ide-ide kreatif yang terus menggerus tempurung kepalanya. Yang lebih menentukan bobot literer “puisi blog” adalah kesuntukan dan intensitas sang penulis yang tak pernah berhenti melakukan eksplorasi, baik dari sisi muatan nilai maupun gaya bertutur (estetik)-nya.

Jika aktivitas bereksplorasi terus dilakukan, saya memiliki keyakinan *halah* suatu ketika dari kompleks blogosphere ini akan bermunculan penyair-penyair cyber yang mampu menggoyang tahta sastra Indonesia mutakhir yang selama ini diduduki oleh para penyair media cetak. Apalagi, jika puisi-puisi blog tersebut bisa diabadikan ke dalam sebuah buku antologi puisi, lantas mengadakan kopdar ramai-ramai untuk launching-nya. Wuih, heboh deh! Hidup penyair blog! ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

36 Comments

  1. puisi bagian dari ekspresi diri, walau saya belum terlalu mahir berpuisi tapi saya respek dengan karya puisi, metafora kata-kata membuat imaji terbang menerawang makna…Sejauh ini mungkin saya bikin puisi masih banyak ngaconya hehehe tapi gpp yang penting terus menulis membaca dan berkarya….

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Bahasa

“DASAR NDESA!”

Gara-gara vlog bertagar #BapakMintaProyek, Kaesang dilaporkan kepada polisi. Tak tahu pasti, bagian

Menulis, Perlukah Bakat?

Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan rekan-rekan sejawat dalam sebuah pelatihan menulis, seringkali
Go to Top