Menimbang Bobot Literer “Puisi Blog”

Catatan Sawali Tuhusetya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Sekitar tahun 1989, saya pernah terlibat sedikit polemik dengan Kusprihyanto Namma (KN) tentang esensi “Sajak Koran” di harian Suara Merdeka. Dalam tulisannya “Penerbitan Puisi, Sekadar Dokumentasi” itu, KN ingin menggarisbawahi dua hal. Pertama, sajak yang termuat di koran (sajak koran) terpola oleh selera media massa cetak sehingga penyair terjebak dalam sikap hipokrit (kepura-puraan). Dengan demikian, sajak bukan hasil penjelajahan proses kreativitas yang intens. Kedua, sulit menemukan antologi puisi yang mengandung ekspresi-ekspresi berbeda dan keliaran-keliaran yang mencengangkan karena penyair terbentur struktur birokrasi budaya kita yang cenderung “membatasi” daya jelajah dalam menuangkan kebebasan dan kegelisahan.

Saat itu, saya tertarik menanggapi tulisan KN karena pengaruh adagium yang pernah diluncurkan oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf skolastik, “Pulchrum dicitur id apprensio”. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Keindahan (sajak) mokal bisa dinikmati orang lain tanpa publikasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dalam upaya memperoleh legitimasi kepenyairan, seorang penyair berusaha menembus barikade redaksi sastra-budaya di media cetak dalam memasyarakatkan obsesi visi dan estetisnya. Saya berkeyakinan bahwa apa yang penyair tulis di koran, murni terlahir dari kepekaan nurani, hasil pergulatan daya jelajah kreativitas yang intens. Mereka tidak harus dicurigai sebagai manusia hipokrit yang cenderung menuruti kepuasan selera media massa. Sajak koran mereka tetap menunjukkan penjelajahan rasio akal budi dan budi nurani dalam transpirasi total kepenyairan. Tanggapan saya terhadap tulisan KN bisa dibaca di sini.

Lantas, apa hubungannya dengan “sajak blog” –untuk menyebut sajak yang dimuat di blog? Yup, dalam pemahaman awam saya, sebagai media ekspresi, “sajak blog” tak jauh berbeda dengan “sajak koran”; sama-sama menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Kalau toh harus dibedakan, bisa jadi terletak pada proses publikasinya. Pada “sajak koran”, proses yang harus dilewati lebih rumit dan kompleks; harus menembus barikade, otoritas, dan selera sang redaktur. Jika dinilai layak muat oleh sang redaktur, baru terjadi proses publikasi. Jadilah “sajak koran”. Dalam konteks demikian, sang redaktur memegang otoritas tunggal terhadap lolos tidaknya sebuah sajak. Pada “sajak blog”, otoritas tunggal dipegang sepenuhnya oleh bloger sebagai pemegang admin. “Sajak blog” bisa dipublikasikan kapan pun oleh sang pemegang admin.

Persoalannya sekarang, bagaimanakah bobot “sajak blog”? Bisakah sajak-sajak blog yang belakangan ini menunjukkan intensitas publikasi yang luar biasa masif bertaburan di belantara dunia maya dipertanggungjawabkan secara literer? Dengan kata lain, bisakah sajak-sajak blog dikategorikan sebagai puisi yang memiliki kadar sastra yang membanggakan?

Jujur saja, saya tidak pernah bisa membuat puisi. Lebih baik disuruh minum racun kopi kental yang manis sambil menyedot asap kretek pembakar dada ketimbang membuat untaian kata-kata indah yang konon *halah* bisa membuai sukma dan melambungkan imajinasi hingga ke batas langit itu. Hehehehehe :mrgreen: Oleh karena itu, selama ini saya (nyaris) tak pernah memublikasikan puisi karya saya sendiri di blog ini. Namun, saya suka membaca, mengapresiasi, dan menikmati sajak-sajak blog karya teman-teman bloger. Juga hanya bisa sebatas menilai dengan pendekatan subjektivitas-personal yang jauh dari kebenaran nilai hermeneutika atau stylistika.

Menurut hemat saya, puisi yang memiliki bobot literer seperti idiom yang pernah dikemukakan oleh Horace; “dulce et utile” (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena diekspresikan dengan menggunakan bahasa yang indah; diksi terjaga melalui permainan rima yang tertata. Berguna karena mengandung muatan dan pesan-pesan moral yang bermakna bagi kemaslahatan hidup umat manusia. Ini artinya, seindah apa pun bahasa yang digunakan oleh sang penulis, tetapi jika gagal menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh nurani kemanusiaan, bisa dikatakan sebagian bobot literernya tidak terpenuhi. Sebaliknya, jika puisi hanya mengumbar pepatah-petitih sosial zonder memperhatikan keindahan bahasa, hal itu tak jauh berbeda dengan orasi kaum demonstran yang sedang melampiaskan emosi dan amarah.

Saya tetap menaruh rasa hormat dan salut kepada teman-teman bloger yang demikian produktif menulis puisi yang kadar literernya tak jauh berbeda dengan sajak koran. Ada banyak ragam tema kemanusiaan yang diangkat; mulai dari tema cinta, sosial, hingga religi. Fenomena semacam ini menjadi pertanda baik bagi perkembangan sastra di tanah air. Bagaimanapun juga, sosialisasi karya kreatif (termasuk puisi) lewat media itu penting dan strategis bagi sang penulis yang telah berniat mewartakan nilai-nilai kemanusiaan lewat gaya bertutur yang indah kepada publik.

Publikasi puisi melalui blog harus dimaknai sebagai upaya sang bloger untuk tetap bisa eksis dalam menggeluti dunianya di tengah hiruk-pikuk teknologi komunikasi yang demikian gencar menawarkan perubahan. Jangan membiarkan teks-teks puisi yang sudah menyedot banyak energi dan imajinasi hanya “memfosil” di rak draft.

Lantas, bagaimanakah “puisi blog” yang baik? Mesti panjang atau pendek? Bagi seorang penikmat puisi seperti saya, bobot literer sebuah puisi tidak bisa diukur berdasarkan panjang atau pendeknya. Namun, lebih ditentukan oleh muatan nilai dan gaya bertuturnya. Pendek tidak lantas berarti kehilangan muatan nilai, panjang pun tidak serta-merta bisa diartikan kehilangan nilai estetiknya. Setiap penyair memiliki licentia poetica yang sangat pribadi dalam pergulatan kreativitasnya. Ini artinya, setiap penyair memiliki kebebasan berekspresi dalam mengungkapkan pemikiran dan ide-ide kreatif yang terus menggerus tempurung kepalanya. Yang lebih menentukan bobot literer “puisi blog” adalah kesuntukan dan intensitas sang penulis yang tak pernah berhenti melakukan eksplorasi, baik dari sisi muatan nilai maupun gaya bertutur (estetik)-nya.

Jika aktivitas bereksplorasi terus dilakukan, saya memiliki keyakinan *halah* suatu ketika dari kompleks blogosphere ini akan bermunculan penyair-penyair cyber yang mampu menggoyang tahta sastra Indonesia mutakhir yang selama ini diduduki oleh para penyair media cetak. Apalagi, jika puisi-puisi blog tersebut bisa diabadikan ke dalam sebuah buku antologi puisi, lantas mengadakan kopdar ramai-ramai untuk launching-nya. Wuih, heboh deh! Hidup penyair blog! ***

Comments

  1. Kita mulai saja Pak. Bulan ini saya ngadaiin lomba puisi Cinta, tu ratusan yang ikut. Ntar yang bagus dibukukan. Tiap bulan tu. Dulu, saya nulis puisi, lalu bukukan. Kini, nulis di blog bukukan. Kadang-kadang, seperti artikel, kalau lagi mau saya kirim juga ke media cetak. Hanya, di blog lebih merdeka aja, cepaaaat. Di koran milik saya, malah ngak mau menulis puisi, belum pernah sejak terbit t tahun lalu he he

    Ya selamt menulis. dimana saja kapan bisa. Selamat menulis.

    Ersis W. Abbas’s last blog post..Lintah Tehnologi Indonesia

    oOo
    Wah, wah, bisa jadi heboh, pak. peserta lombanya bikin nggegirisi, 😆 mudah2an dari peserta lomba itu kelak bener2 dapat dunia panggilan untuk menekuni dunia sastra, pak ersis, apalagi dah ada niatan untuk membukukan. wah, makin salut nih sama pak ersis yang selalu kreatif dalam mengemas acara. Yup, memang benar pak, postingan apa pun kalau di blog sendiri gampang dan cepat dipublikasikan.

  2. amin.. semoga setelah baca ini lantas bermunculan penyair2 blogger indonesia hehehe

    Anang’s last blog post..Mahasiswa Mengamuk

    oOo
    semoga saja begitu mas anang. semoga kehadiran penyair cyber itu makin berkibar di belantara sastra indonesia mutakhir.

  3. Aku pikir, soal bobot literer puisi di blog bukan urusan kita. Biarkan puisi-puisi dan karya sastra lain tumbuh subur melalui media blog. Dan jika kelak ingin dibukukan, itu lebih baik!
    Setelah itu serahkan kepada kritikus sastra untuk menilainya.
    Pada sisi lain, puisi dan karya sastra lain harus tetap tumbuh apa adanya. cerdas, dan indipenden. Tidak perlu dikotomi media yang menjadi karya itu berbobot atau tidak. Mau hadir di blog, di koran, majalah, atau majalah dinding di sekolah sekali pun.

    Singkatnya, biarkan semua tumbuh di tempat di mana dia mau tumbuh. Asal jangan ‘ngotorin’ aja!

    Tabik!

    Zulfaisal Putera’s last blog post..Catatanku

    oOo
    Yup, bener sekali Pak Zul. Cuman selama ini masih muncul kesan penilaian semacam itu. teks puisi koran dianggap lebih berbobot ketimbang teks puisi cyber. mudah2an kesan penilaian semacam itu bisa berangsur-angsur berubah. ttg kritik puisi, mudah2an aja ada kritikus sastra kita yang berkenan untuk mendengok, mendokumentasikan, dan mengkritisi puisi blog. kan bisanya kita cuman berharap, pak zul, hiks.

  4. puisi blog, bagiku, sungguh penamaan yang membingungkan. sebab, penyair-penyair yang konon hebat di koran-koran itu juga sudah ‘menidurkan’ puisinya di blog. lalu, adakah beda puisi blog dengan puisi koran? makin aneh kita ini, sastra kian lama kian dicincang-cincang berdasarkan medianya.

    oOo
    Yup, bung panda. Saya sih sebenarnya ndak begitu peduli dengan penggunaan istilah itu. sama seperti komentar pak zul, apa pun medianya, teks puisi tetap saja teks puisi. Hanya saja selama ini masih muncul dikotomi semacam itu, Bung. Teks puisi koran sering dianggap lebih memiliki nilai literer ketimbang puisi blog. makanya, pada judul postingan ini puisi blog sengaja saya beri tanda kutip. Ok, bung panda, makasih komentarnya. mudah2an dikotomi semacam itu bisa terkikis, meskipun tidak bisa seketika.

  5. Dee

    Kapan nih, Pak Sawal bikin antologi “puisi blog”nya, atau bikin lomba “puisi blog”nya. Bagiku mau “puisi blog”, “puisi koran” atau “puisi buku” tak ada bedanya. Sama-sama ekspresi hati. Hanya kalau di koran justru banyak dipengaruhi juga selera redakturnya.

    Dee’s last blog post..Salah Sepatu!!!

    oOo
    Walah, kan dah dibilang mas nudee. saya ndak bisa menulis puisi, hehehehe 😆 utk lomba menulis puisi cinta kan dah ada di blog pak ersis. mas nudee ikutan, kan? ttg penamaan puisi semacam itu hanya sekadar utuk memudahkan proses apresiasi saja, mas. saya pun cenderung ndak suka membeda2kannya.

  6. Wah…. kalau saya sih boro2 bikin puisi, wong baca puisi aja kadang2 harus mengerenyutkan dahi tujuh kali baru (itupun hanya kadang2) dapat menangkap keindahan sebuah puisi.

    Tapi saya kadang2 juga ingin bisa bikin puisi, nanti saya coba bikin deh (entah kapan), nanti saya bikin puisi yang unik sekalian!! Yang belum pernah ada di dunia ini! Puisi macam apa tuh yang akan saya bikin?? Saya mau bikin puisi yang dibaca dari bawah ke atas!! **halaaah** Unik kan?? (apa edan ya?? :mrgreen: ). Huehehehe….. namanya juga seni, suka2 yang bikin dong! 😈 😆

    Yari NK’s last blog post..Ulang Postingku ke-100

    oOo
    heheheheheh 😆 yup, bener banget Bung Yari. kalo perlu bikin puisi yang ndak mungkin bisa dipahami orang lain, hiks. loh, kan ada tuh puisi konkret yang pernah digelar oleh danarto beberapa tahun yang silam. setiap penulis punya hak untuk berekspresi kok, bung. ok, saya tunggu puisi uniknya ya, bung, hehehehehe 😆

  7. Hahaha…
    Bapak ini, ada juga istilah puisi blog ya 😀
    aih kalo saya masih bingung, seperti juga kata teman saya, prosa yang puitis… jadi ga tegas.. aduh gimana kalo macam itu ya pak??

    oOo
    hiks, penggunaan istilah macam itu hanya utk memudahkan pemahaman dan penafsiran saja kok mas goop. saya sih ndak akan membeda2kan antara puisi koran atau blog. sama2 hasil kreativitas, sudah saatnya kita mengapresiasi teks2 sastra.

  8. Kenapa nggak Pak Guru? Nilai dari sebuah karya sastra kan sangat universal ter-gantung dari perspektif orang-orang yang menikmati-nya. Dan jujur aku melihat kalau apa yang telah di-tuang-kan oleh teman-teman selama ini sangat hebat dan brilian. Yang ber-beda kan wadah-nya 😉

    extremusmilitis’s last blog post..Evolusi Rokok-ku

    oOo
    Yup, bener banget, Bung. saya juga selalu salut dan angkat topi kepada temen2 bloger yang bebas berekspresi melalui puisi eksotisnya masing-masing. bung militis bikin puisi lagi dong!

  9. puisi di blog sepertinya malah bisa lebih kaya
    ada bahasa baru di situ, bahasa yg biasa digunakan di dunia maya
    kalo menurut pak guru gimana?

    caplang[dot]net’s last blog post..Polling 1: Identitas di Blog

    oOo
    Yup, bener banget Bung Caplang, karena tidak terbelenggu oleh redaktur atau siapa pun. temen2 bloger bebas berekspresi dan bisa memublikasikan karyanya kapan saja. “Puisi blog” justru kaya warna dan gaya.

  10. STR

    Oh, itu bukan blog saya, Pak. Itu punya teman saya, MeQ. Dia yang jadi tukang dokumentasi pas saya kampanye GoBlog! kemarin. Kira-kira kalo ditimbang pake idiom Horace, puisi-puisinya lebih cenderung menyenangkan atau berguna? Atau tidak keduanya? ❓ Saya kepingin tahu pendapat Pak Sawali aja.

    STR’s last blog post..Catatan Hari Ini: Tumpang Tindih Pembangunan

    oOo
    kalo pake idiomnya Horace bisa masuk kedua2nya. tapi yang saya lihat masih dominan pada content-nya. pesan2 moralnya lebih kuat dan khas ketimbang estetikanya. puisi khas kaum muda yang masih memiliki idealisme.

  11. Ah biarkan saja puisi blog berkembang Pak, biar seperti virus yang membuat semua orang tidak malu lagi untuk menulis puisi, tidak seperti dahulu kala disaat orang bilang menjadi seorang yang puitis itu cengeng. Padahal tidak pula mereka tahu bahwa banyak kaum pujangga yang dipenjarakan hanya karena tulisan dari puisi yang mereka buat telah menyenggol kalangan penguasa.

    Karena satu kelebihan puisi menurut saya, dengan keindahan katanya yang dapat dinikmati masing-masing orang bebas untuk menghayati dan menghayal tentang apa saja yang dipikirkannya, walaupun mungkin pemikiran dan pemahamannya tentang apa yang dibaca tidak sesuai dengan maksud sang penulis. Tapi itulah kelebihan yang bisa diambil oleh sebuah puisi. Dan walaupun puisi tersebut tidak indah – berdasarkan pikiran pembaca – tapi tetap saja puisi itu lebih bisa mewakili perasaan dibandingkan sebuah artikel panjang.

    bisaku’s last blog post..tarianku kaku ?

    oOo
    Yup, setuju banget mas toni. puisi lebih kaya isi; padat dan bernas. juga bisa digunakan untuk mengekspresikan berbagai situasi sosial di tengah peradaban yang sakit. ttg penafsiran pembaca yang beda dg maksud penulis, itu memang hal yang wajar terjadi. puisi itu *halah sok tahu yak* bersifat polyinterpretable; multitafsir. pembaca pun berhak untuk menafsirkan isi berdasarkan pendekatannya masing2. Yup, berkarya terus mas toni. salam kreatif.

  12. Paragraf terakhir itu seru banget… kopdar sambil launching antologi puisi.. hahahahahaha… Asli, asik betul itu pak!

    gempur’s last blog post..Belajar Memikirkan Petani: Sekadar Membantu Ide

    oOo
    Yup, kalo hal itu bisa terwujud, alangkah hebohnya, pak gempur. menjalin silaturahmi sekaligus unjuk karya. suatu ketika mudah2an hal itu bisa terwujud.

  13. STR

    Hmm … Bayangan saya tentang batas-batas “menyenangkan” dan “berguna” kok makin kabur ya, Pak?

    Yang menyenangkan itu seperti apa … Yang berguna itu seperti apa …

    Karena kalo menyenangkan itu sudah tentu berguna. Berguna untuk membuat hati senang dan mengusir kejenuhan.

    Sedangkan kalo berguna, tentu juga akan menyenangkan, karena hati menjadi senang karena mendapat suatu manfaat.

    Jadi, kalo demikian asumsinya, maka sebuah puisi hanya perlu difokuskan pada salah satu pilihan (dulce atau utile) saja untuk mencapai bobot literer yang tinggi, karena pencapaian maksimal pada dulce akan berimplikasi pada maksimalnya pula nilai utile. Begitu pula sebaliknya.

    Ataukah asumsi saya yang salah? ❓

    STR’s last blog post..Catatan Hari Ini: Tumpang Tindih Pembangunan

    oOo
    asumsi mas satria ndak salah, kok. bisa jadi bener jugak. tapi utk teks sastra memang lain, mas. ada bedanya antara menyenangkan dan berguna. menyenangkan lebih banyak berkaitan dengan persoalan estetika (keindahan) sehingga bisa membuat pembaca merasa senang karena keindahannya itu. sedangkan, berguna lebih banyak berkaitan dengan pesan2 moralnya. pembaca mendapatkan banyak manfaat setelah membaca teks sastra itu, misalnya bisa menghindar dari perilaku2 korup, tak terpuji, dll. teks puisi akan memiliki kadar literer yang bagus apabila kedua2nya terpenuhi. selain indah dari sisi estetika, juga memberikan manfaat bagi pembaca karena adanya muatan2 nilai dan pesan moral yang tersirat di dalamnya.

  14. ya, mari kita bicara soal kualitas sastra itu, tanpa bicara tentang media publikasinya. tapi blog, atau multimedia, memang tak punya redaktur yang penuh ‘selera’ membaptis karya-karya yang ada. itu saja persoalannya.

    Panda’s last blog post..Malam yang Berbentuk Dia, juga Aku

    oOo
    Yup, setuju banget bung panda. penggunaan istilah itu hanya sekadar sbg pintu pemahaman terhadap teks puisi yang dimuat di koran dan di blog. mudah2an dikotomi semacam itu berangsur-angsur hilang. yang lebih menentukan bobot literer bukan medianya, melainkan semata-mata karena teksnya.

  15. saya bukanlah orang sastra yang jago bikin puisi ataupun prosa 😀

    tapi selama ini (memang baru bentar banget sih), membaca dan menulis di blog itu sangat menyenangkan.
    berbobot atau tidaknya tulisan itu kadang bukan lah suatu hal yang yang terlalu saya pusingkan. malah kadang2 saya malah pusing sendiri baca tulisan2 yang terlalu berbobot.
    tapi mendapatkan sesuatu dari sebuah tulisan dan menggunakannya bagi saya itulah kegunaan dari sebuah tulisan itu di publikasikan. walaupun bisa saja sesuatu itu di dapat dari tulisan yang tidak berbobot kata orang yang ahli.

    menulis beberapa puisi serta sastra kacangan juga membuat saya senang, walaupun mungkin nanti tidak ada yang mau membaca ataupun mengomentarinya saya cukup merasa berguna paling tidak berguna untuk diri sendiri huhuhuhuhu

    bedh’s last blog post..?

    oOo
    yup, itulah kelebihan blog mas bedh. kita bisa mengekspresikan persoalan apa saja tanpa ada belenggu otoritas redaksi atau siapa pun. kalo ingin berpikir merdeka, kayaknya blog menjadi media yang tepat, yak, mas bedh. ok, deh, salam kreatif.

  16. Rame ya Pak, tanggapan yang positip petanda puisi banyak ditulis dan dibaca di blogosphere.
    Wacana kopdar rame-rame sambil launching buku (puisi) blog kayanya menarik tuh pak, pasti akan rame banget paling nggak gaung nya akan menggema kedunia sastra kita.
    Adanya puisi blog setidaknya menyadarkan bahwa ternyata banyak penulis handal yang belum berkesempatan mempublikasikan karya-karyanya lewat media lain.
    btw, kalau seseorang menuangkan perasaannya dalam tulisan yang berbentuk puisi apa sudah disebut penyair Pak?.
    Pak Sawali, saya tunggu puisi-puisi dari Bapak di blog ini, pokoknya saya tungguin deh *maksa* :mrgreen: 😆

    hadi arr’s last blog post..Bukan karena apa-apa

    oOo
    bener banget pak hadi. kalo saja kopdar sambil launching buku antologo puisi, ntar kopdarnya bisa sambil unjuk kebolehan baca puisi. pasti heboh deh. BTW, kan dah dibilang pak hadi, saya ituh ndak bisa bikin puisi. pak hadi suka memaksa juga rupanya, hiks.

  17. Lagi ngomongin saya ya pak. *GR*

    Baca artikel ini, saya jadi semangat buat puisi lagi nih pak. Semoga bisa makin bagus. 😀

    danalingga’s last blog post..Pekerja LSM

    oOo
    Yuo, harus mas dana. Puisi2 mas dana sangat kusukai. berwarna pelangi. ada dimensi sosial, humanis, dan religinya di situ. wah, semangat mas dana. salam kreatif.

  18. Refrensinya mantap bang!!
    Duh kalu soal sastra, diriku masih buram, heeee
    Tapi bagus juga lah kalau bloggers punya kumpulan puisi sendiri, punya komunitas sendiri, kajian sendiri, heboh kali ya 🙂

    oOo
    walah, biasa aja kok mbak. BTW, mbak kan sangat menyukai tetraloginya andrea hirata, wah, sudah so pasti seneng sastra juga, kok buram segh? kutunggu karya2 puisi mbak, yak? ok, deh, salam kreatif.

  19. kw

    pak sawali, apakah seni harus menanggung beban berat itu? ( menyenangkan dan berguna) 🙂

    kw’s last blog post..jakarta tenggelam

    oOo
    walah, mestinya bukan beban, mas kw. esensi sastra kan memang mencakup 2 hal itu. kalau salah satunya ditinggalkan, bobot literernya jadi berkurang, kan? *halah sok tahu, yak?*

  20. tan

    kalo bagi saya, menulis puisi, kemudian di posting di blog cuma media pembelajaran aja, kalo ditanya soal mutu, jelas jauh dari bagus, tapi toh gada salahnya kan pak, memulai dari kesalahan2. syukur2 kalo bisa berkembang jadi bagus. soalnya sampe sekarangpun saya belum sanggup menulis puisi. susah! :mrgreen:

    tan’s last blog post..Belalang dan Anjing

    oOo
    Yup, setuju banget mas tan. tapi “puisi blog” ada juga yang kadar literernya cukup bagus loh, bahkan ada juga yang melebihi kadar literer “puisi koran”. makanya, mas tan perlu juga tuh sesekali mostingin puisi, hehehehe 😆

  21. Kalo aku hanya mampu corat-coret. masuk kategori apa tulisannya ora ngerti. pokoknya nulis. 😛

    setuju dengan idenya nih, pak. membukukan puisi teman2.
    tentang bobot, bibit, bebet, aku masih buta. :mrgreen:

    aku suka blog ini karna banyak membahas sastra. jadi aku bisa belajar di sini. makasih ya, pak.

    hanna’s last blog post..Menggugat Cinta

    oOo
    Puisi di blog mbak hanna mantab habis kok. sudah saatnya dibukukan, khusus antologi puisi mbak hanna. makin mantap deh pokoknya. yup, makanya kalau kopdar ada acara baca puisi dan launching, wah, pasti heboh dan asyik. mbak hanna kudu siap baca puisinya, yak, hehehehehe 😆 walah, makasih mbak atas apresiasinya, mbak hanna bisa berkunjung ke gubug ini kapan saja mbak hanna mau, kok.

  22. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

    Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
    (Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

    JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Sitomorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Kantrin Bandel, dan Triano Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

    Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

    Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

    Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

    Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

    SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

    Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

    Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see others dan How you see others, How others see themselves dan How others see you, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

    Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

    SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

    Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

    Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

    Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

    SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

    makasih kiriman artikelnya, pak 🙄

  23. bapak Sawali setelah saya baca artikel bapak Rupanya cukup rumit juga dalam menulis blog puisi Yang bermutu. bukankah menulis itu sesuatu ke bebasan tapi dari segi kebebasan itu bagaimana cara nya menyampaikan apa yang kita rasa dan bisa di terima oleh khalayak banyak. dan bapak sawali tolong apabila tak berkeberatan untuk bertandang ke blog saya akudenny.blogspot.com , dan saya berharap bapak bisa memberi komentar untuk kemajuan gaya penulisan puisi saya.:)>-

    • wah, tentang proses penciptaan puisi, saya kira sangat ditentukan oleh minat dan mood seseorang, mas denny. ada yang gampang sekali nulis puisi, tapi mengalami kesulitan dalam menulis cerpen, demikian pula sebalinya. ok, deh, mas denny, saya akan segera meluncur ke rumah mas denny.

  24. biarkan puisi ini dalam lemariku
    biar saja dalam hati dan hilang
    semoga tiada siapa juga yang tau
    tapi bagaimana agar mereka mengerti aku
    manakala puisi ini hanya sendiri..

    Bermimpilah seluas samudera hatimu,
    dan menjadikan mimpi itu menjadi kenyataan
    seorang pujangga yang mampu melahirkan kata ia mampu berucap
    “Tiada yang paling bernilai pada sebuah kejayaan selain sebuku usaha”
    daripada jadi kena debu mari kita coba berkarya dalam sebuah buku cetak
    • cukup kirimkan semua karya ke alamat ini
    sastra_antropologi@yahoo.com
    karya akan diseleksi sehingga dapat mencapai
    suatu tujuan yang baik bagi sipembaca yang Insya Allah akan dicetak dan dibukukan.
    terimakasih atas partisipasinya
    “Kalau Bukan Kita Siapa Lagi”
    jangan pernah takut untuk melangkah
    untuk pengiriman naskah harap dalam format word

    Keterangan Lebih Lanjut : http://lembahkasih.page.tl

    • aha, sebuah ungkapan yang indah, puitis, dan ekostis. makasih banget. ini bisa menjadi bahan reffelsi saya ttg masalah hidup dan kehidupan.

  25. ¡ƃunq ɐɹʇsɐs ɯɐlɐs ˙˙ɐısǝuopuı ɹǝqʎɔ ɐɹʇsɐs ıp ƃunqɐƃ oʎɐ ˙˙uɐɯɐz uɐlɐƃƃuıʇǝʞ ɥɐpns nɯɐɹʇsɐs ˙˙ʇɐqɐɥɐs ‘ʎǝɥ

    • @SIBERPROUST TERA,
      wah, bentuk hurufnya yang terbalik sempat membuat saya kagum, mas tera. baru kali ini dapat komen dg bentuk huruf terbalik. makasih atas saran dan kritiknya. saya memang sedang belajar sastra dan menulis, kok, mas, mohon dimaklumi kalau postingan ini dah basi dan ketinggalan zaman, hehehe … namanya juga baru belajar. mohon bimbingannya, sobat!

  26. ˙˙uɐʞɥǝɔǝlıp ʞɐʎuɐq ƃuɐʎ ɐısǝuopuı ɐɹʇsɐs ɥɐuɐɹ ıp ƃolq ısınd ısısod ƃuɐʇuǝʇ ʇɐqos uɐsılnʇ qɐʍɐɾuǝɯ ɐɯnɔ ‘ɐʎuɯnlǝqǝs ɐʎɐs ɹɐʇuǝɯoʞ ıp uɐʞısnʞsıp ɐʎɐs uıƃuı ƃuɐʎ ˙˙ʞoʞ ɹɐɾɐlǝq ƃuɐpǝs ɐƃnɾ ɐʎɐs ɥıu ɐʎı ‘ʇɐqos ɯɐlɐɯ

    dan saya coba menjawabnya dengan ini:

    http://makamsastracetak.blogspot.com/

    salam sastra

    • @TERA,
      walah, sebagai penikmat sastra yang mencoba merambah dunia maya, justru saya menunjukkan apresiasi buat sahabat2 bloger yang kreatif membuat puisi blog itu.

  27. wuah, diskusinya berlanjut.. salam hangat deh dari Baranangsiang..
    hehehe..

    dan saya sepakat sobat, membaca artikel di atas, kita memang satu visi.
    kita memang patut mendukung perkembangan sastra cyber itu sendiri, betul begitu khan..

    tapi justru yang belum terjawab oleh sastrawan cyber itu sendiri adalah permasalahan transliterasi yang diragukan banyak kalangan, alias sekedar memindahkan sastra cetak ke dalam blog aja, lantas apa bedanya?

    nah.. medium internet yang canggih inilah yang seharusnya memungkinkan para sastrawan kita bisa bereksplorasi, memunculkan karya sastra yang tidak sekedar memindahkan sastra cetak ke dalam blog, tapi karya sastra cyber yang khas, tidak bisa dicetak dan hanya bisa dilihat di internet.
    hehehe..

    karena itu jargon ‘code is poetry’ lah yang mesti kita junjung, dimana kita tidak lagi menulis puisi dengan kata, tapi menulis puisi dengan kode..

    saya berharap sobat bisa menuliskan tentang perkembangan ini di lain kesempatan. contoh sastra cyber yang tengah saya kembangkan ya seperti puisi di blog Makam Sastra Cetak itu.

    dan siapakah sastrawan kita hari ini?
    SASTRAWAN KITA HARI INI ADALAH BLOGGER DAN HACKER!!

    salam sastra dan persahabatan

    ——————————-
    sekedar mengutip:

    “Lantas, bagaimanakah “puisi blog” yang baik? Mesti panjang atau pendek? Bagi seorang penikmat puisi seperti saya, bobot literer sebuah puisi tidak bisa diukur berdasarkan panjang atau pendeknya. Namun, lebih ditentukan oleh muatan nilai dan gaya bertuturnya.” (SAWALI T.)

    • @TERA,
      hehehe …. saya menikmati betul diskusi ini, mas tera. sudah lama banget saya merindukan dialog yang cerdas dan kritis seperti ini. saya juga dah mengunjungi blog sampeyan. tapi, elum sempat meninggalkan jejak komentar di sana. yaps, salam sastra dan persahabatan!

  28. Terimakasih atas ilmunya bang, sebagai penikmat seni saya pribadi menuangkan ide-ide dalam bentuk puisi, sajak, dan cerpen sebagai bentuk mengekspesikan diri. Entah bagus atau tidak secara “bobot” biarlah pembaca yg menilai. Salam kenal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *