Menjadi Shi Fu

Ketika iseng membaca sebuah artikel, tiba-tiba saya tertarik pada pepatah klasik Cina: “Yi ri wei shi, zhong sheng wei fu” (sehari menjadi guru, seumur hidup menjadi orang tua). *Maaf kalau salah ejaan dan artinya. * Jujur saja, saya shock ketika berusaha memahami makna idiom ini. Benar-benar menohok ulu hati saya yang selama ini telanjur mengagung-agungkan guru sebagai sebuah profesi. Padahal, sejatinya guru bukanlah sebuah profesi, melainkan status.

Loh! Bukankah pemerintah baru saja meluncurkan UU Guru dan Dosen yang jelas-jelas menahbiskan guru sebagai profesi yang selama ini dinilai telah terpinggirkan? Bukankah dengan menaikkan derajat guru menjadi sebuah profesi akan menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik sehingga para guru tidak lagi naik sepeda kumbang di atas jalan berlobang seperti yang sering disindir oleh Iwan Fals? Bukankah tuntutan itu yang selama ini menggema di balik demo para guru sehingga terpaksa harus mangkir mengajar dan mendidik demi memperbaiki kesejahteraan hidup?

Tunggu dulu! Kesejahteraan guru harus lebih baik, itu jelas. Guru tidak lagi naik sepeda kumbang ketika menunaikan tugas, itu wajar. Guru tidak lagi pusing memikirkan isi periuk di dapur, itu sudah pasti. Guru tidak lagi repot harus hutang ke sana kemari ketika tiba-tiba anaknya masuk rumah sakit, itu juga sangat beralasan. Guru tidak lagi nyambi jadi tukang ojek atau penjual rokok ketengan, *halah* itu sudah jelas masuk akal.

Namun, ada pesan moral yang lebih agung dan mulia di balik adagium Cina klasik itu. Guru bukan semata-mata sebuah profesi, melainkan status; sebagai Shi Fu; guru yang sekaligus berstatus sebagai orang tua. Yup, alangkah luhur dan mulianya status yang disandang oleh para guru. Mereka tak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan an-sich, melainkan juga membangun karakter. Mereka tak hanya pintar memberikan punishment, tetapi juga bijak memberikan reward. Ada sentuhan tangan sang guru yang lembut, penuh perhatian, dan sarat nilai kasih sayang kepada para murid ketika sedang bergulat di tengah rimba belantara dunia pendidikan. Ada simpul-simpul syaraf kemanusiaan yang dengan amat sadar dialirkan ke ruang-ruang kelas, sehingga atmosfer yang terbangun menjadi lebih beradab dan berbudaya.

Itulah sebabnya, saya menjadi sangat shock ketika mencoba menghitung “dosa-dosa” saya selama menjadi guru. Betapa selama ini saya merasa cukup bangga disebut sebagai guru profesional. Betapa wibawanya saya di depan siswa didik saya yang dengan otoritas yang saya miliki, saya bisa menjadi “aktor” tunggal yang diperhatikan dengan puluhan sorot mata penuh ketakutan. Betapa bangganya saya bisa menakut-nakuti murid dengan ancaman tidak naik kelas atau gagal lulus, bahkan mengeluarkan mereka dari sekolah apabila mereka mau main-main dengan peraturan dan tata tertib sekolah.

Cobalah kita tengok sebentar suasana ruang-ruang kelas yang berlangsung selama ini. Para murid bagaikan objek mati yang gampang dikebiri melalui otoritas sang guru. Para murid hanya jadi robot. Sang gurulah pengendalinya. Para murid sekadar mengikuti sinyal “remote control” yang disetir sang guru. Robot-robot yang sedang “error” tak segan-segan dibuang dan disingkirkan. Ancaman menjadi senjata ampuh bagi sang guru dalam menegakkan wibawa dan kharismanya. Tak heran jika selepas dari ruang kelas yang angker bak kerangkeng penjara, para murid seperti terbebas dari sekapan medan karantina berbau busuk. Lantas, mereka mencari pelampiasan dengan melakukan aksi yang sesuai dengan naluri agresivitasnya. Tawuran, pesta pil setan, pergaulan bebas, dan perilaku tak terpuji lainnya gampang sekali membius mereka.

Betapa naifnya saya setelah pantulan dari cermin kehidupan itu menampar wajah saya yang penuh bopeng dan dosa. Saya telah berlaku biadab dan kejam terhadap anak-anak bangsa negeri ini. Mereka saya perlakukan semau gue, sesuka gaya saya. Kapan pun mau, saya bisa meminta mereka untuk menjilati tembok dinding ruang kelas yang kasar dengan lidah mereka apabila mereka nyata-nyata melanggar aturan. Saya bisa menghakimi siswa didik saya untuk menguras WC yang berbulan-bulan lamanya lupa dikuras oleh petugas sekolah. Bahkan, saya sering mempermalukan murid-murid saya dengan cara menggantung kaki sebelah ketika mereka terlambat masuk kelas. Saya jarang tersenyum karena takut kehilangan wibawa. Saya harus lebih banyak menciptakan ketegangan di ruang kelas, agar mereka memusatkan perhatian pada materi ajar yang saya sajikan. Kalau ada murid yang berotak pas-pasan, tak segan-segan saya memvonis mereka dengan label “bodoh atau tolol”. Celakanya, saya beranggapan, mereka hanyalah anak orang lain yang dititipkan ke sekolah, sekadar untuk cari selembar ijazah.

Selama ini ternyata saya bukanlah seorang guru. Saya hanya menjadi tukang ajar. Saya sering mengatakan, “Saya punya ilmu, kamu punya uang!” Jadilah transaksi. Sekolah jadi ladang bisnis. Tak ada nilai karakter dan budi pekerti yang saya tanamkan kepada murid-murid saya. Tugas saya semata-mata hanya mengantarkan anak-anak negeri ini bisa memperoleh ijazah. Titik. Tak ada pertautan nilai kemanusiaan yang tersalur ke dalam gendang nurani siswa didik saya. Kalau ada siswa yang berotak pas-pasan, sering saya tinggalkan begitu saja. Saya tak peduli, toh anak orang lain, salahnya sendiri bodoh! Selama ini ternyata darah yang mengalir dalam tubuh saya bukanlah darah seorang guru, melainkan darah seorang pekerja dan pencari penghasilan.

Bertahun-tahun lamanya, saya terpasung dalam suasana semacam itu. Idiom klasik Cina itu telah mengingatkan saya agar menjadi seorang shi fu; menjadi guru sekaligus orang tua. Guru tak hanya sebatas memainkan peran sebagai tukang ajar, tetapi juga sekaligus sebagai orang tua yang mengemban misi mendidik. Kalau ada anak yang berotak pas-pasan, sudah seharusnya diajak untuk mengembangkan potensi kecerdasannya; dbimbing dan dilatih dengan penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang; tak ubahnya kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Kalau ada murid yang melanggar aturan, mereka perlu diajak dan dilibatkan untuk membuat “kontrak sosial” agar mereka patuh terhadap aturan main yang telah disepakati.

Guru juga tak hanya mengemban misi mencerdaskan otak siswa, melainkan juga membangun pilar-pilar karakter yang kuat agar kelak anak-anak negeri ini juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial. Sungguh, betapa dalam dan luasnya makna shi fu itu ketika saya silau oleh predikat sebagai guru profesional. Semoga, negeri ini akan bermunculan shi fu-shi fu baru yang benar-benar memiliki darah “guru sejati” yang memperlakukan siswa didiknya tak ubahnya seperti anak-anak kandungnya. Hanya dengan sentuhan tangan yang lembut, bijak, penuh perhatian, dan sarat belaian kasih sayang, anak-anak negeri ini akan menemukan dunianya yang beradab dan berbudaya. ***

No Comments

  1. Menurut saya sih…. semua orang banyak yg bersikap seperti itu (termasuk saya), walaupun bukan sebagai guru. Seorang manajer atau atasan yang memperlakukan bawahannya sewenang-wenang atau walaupun tidak sewenang-wenang tetapi memperlakukannya seperti robot atau memperlakukannya dengan dingin dan kurang keakraban, semua itu dapat terjadi di mana saja dan juga bukan hanya terjadi di negeri kita ini.

    “Saya punya ilmu, kamu punya uang!” Jadilah transaksi.

    Ini juga kini banyak terjadi di bidang marketing, seolah2 perdagangan tidak lebih daripada pertukarang uang dan barang/jasa. Unsur melanggengkan hubungan2 antarfihak seringkali diabaikan.

    Yah, seringkali profesi diterjemahkan hanya sebatas proses pekerjaan dan hasil pekerjaan, unsur hubungan antarmanusia seringkali diabaikan. Di abad ke-21 ini paradigma sudah berubah unsur2 manusiawi yang selama ini sedikit terabaikan di dalam sebuah profesi kini diakui juga sebagai penunjang kesuksesan sebuah profesi, termasuk profesi guru.

    Yari NK’s last blog post..Swatch® Internet Time, Sebuah Produk Gagal!

    oOo
    Sepakat banget bung yari. semakin global dan mondial sebuah peradaban, agaknya sisi2 kemanusiaan sering lupa disentuh. padahal *halah, sok tahu* justru sisi-sisi kemanusiaan semacam itulah yang mampu memanusiakan manusia secara “utuh dan paripurna” dalam bidang apa pun.

  2. Pak Sawali,
    Tulisannya mengingatkan para guru…saya ingat ibu saya dulu mengatakan,… mengajar tidak sama dengan mendidik…(ayah ibu saya guru)…artinya kita tak sekedar memberi ilmu ke anak didik, tetapi juga menganggap mereka anak-anak kita sendiri, menerima keluhan mereka diluar jam pelajaran, menerima dengan terbuka jika mereka curhat kerumah…ayahpun berpandangan sama…jadilah rumahku selalu rame oleh murid-murid ayah dan ibu….mereka akhirnya banyak yang menjadi seperti saudara.

    Hal ini bisa diterapkan juga dalam kehidupan sehari-hari… akhirnya saya juga meniru ayah ibu, menganggap teman anakku sama seperti anakku…jadilah teman anakku, seniornya sering curhat, kadang lewat sms, email atau bahkan datang kerumah (walau anakku sendiri lagi tak ada dirumah….). Walau tak semua persoalan saya bisa menjawabnya, mereka kadang sudah merasa nyaman hanya dengan didengarkan keluhannya.

    edratna’s last blog post..Training and Development, sebagai bagian strategi untuk mendukung pengembangan SDM

    oOo
    wah, alangkah senangnya bisa mewarisi karakter lembut dan penuh kasih sayang seperti Ibu Enny sampe2 temen2 putra ibu sudah menganggap bu enny tak jauh berbeda seperti orang tuanya sendiri. ini makin memperjelas tesis bahwa seorang guru mestinya juga bisa bersikap lembut dan kasih sayang seperti halnya ketika menyalurkan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya sendiri. Terima kasih bu enny.

  3. Postingan mengahrukan, dalam, tajam, dan langsung ke sasaran. Great. Hanya saja, semua itu terpulang pada the man behind the gun-nya. Sejarah guru, guru-guru hebat dan sebenarnya guru, sejak zaman Nabi Adam, adalah mereka yang tidak mempedulikan fasilitas sampai UU pendukung segala macam.

    Kita paham, sebagai profesional di zaman sekarang hal-hal sedemikian memang dibutuhkan, tapi … bukan segala-galanya. Saya termasuk orang yang geram dengan pengambil kebijakan yang melecehkan peran dan profesi guru —contohnya dalam gaji dan fasilitas. Tapi, tetap bersikukuh, guru itu kudu jadi guru. Tunjukkan: Inilah guru.

    Ya ya ya, bukan guru yang mengeluh, tidak bertaring, apalagi sampai ‘membantai’ anak didiknya. Keterlaluan. Kalau guru (organisasinya) tidak memperjuangan sungguh, sampai titik pikiran paling cerdas, ya beginilah akibatnya. Inilah perofesi beranggotakan 3 juta orang, yang alfa menyadari potensinya (Maaf, agak terbawa emosi Pak Swali. Biasa, nulis unge-unge he he. Habis postingannya menarik sih. Salam menjadi guru).

    Ersis W. Abbas’s last blog post..Menulis Menyamakan Frekuensi

  4. Di sebuah perguruan, eh sekolah menengah di lereng lembah tidar (tanya Kombor pasti tahu), guru diistilahkan sebagai pamong (mungkin terbawa konsep taman siswa, karena memang pada awalnya sekolah ini ada kaitannya dengan perguruan tamsis). Mungkin maksudnya juga hendak menumbuhkan rasa dan cara berpikir guru bahwa mereka selain mengajarkan ilmu pengetahuan juga berkewajiban untuk menjadi pamomong, pengasuh, pengganti orang tua (berhubung sekolahnya berasrama). Saya tumbuh dan dibesarkan juga oleh sepasang orang tua yang berstatus (bukan berprofesi) sebagai guru. Dan saya bangga dengan keberadaan orangtua saya, yang dalam pandangan subyektif saya mampu menjadi orangtua bagi siswa-siswanya, bahkan sampai sekarang, saat para (mantan) siswa-siswanya sudah jadi “orang”. Seandainya saya bisa menjadi seperti mereka …

    Dee’s last blog post..Berita Lelayu

    oOo
    iya, mas nudee. Perguruan Taman siswa telah lama dikenal sebagai institusi pendidikan yang memiliki konsep bagus dalam upaya memanusiakan manusia. guru tak hanya sebatas tukang ajar, melainkan juga ngemong murid2nya seperti halnya mereka ngemong anak2nya sendiri. salut buat orang tua mas nudee yang telah sanggup menyandang status guru dalam pengertian yang sesungguhnya

  5. Postingan TOP bangedh. :mrgreen:

    Saya cuma miris banyak calon guru yang semata-mata ingin menjadi guru karena tuntutan profesi saja, misalnya teman di kost saya ini ketika saya tanyakan mengapa ia ingin jadi guru. Dia jawab ya karena sekarang ini jadi guru hidupnya sudah enak. Wah….wah…
    Saya rasa nantinya ia juga akan masuk ke fase sadar bahwa guru itu bukan sekadar profesi. 😀

    Jadi ingat kisah-kisah silat Tiongkok yang jadi makanan saya sehari-hari pas SD dulu, guru silat yang mengajarkan murid tanpa pamrih, dan memperlakukannya seperti anak sendiri. 😛

    Goenawan Lee’s last blog post..…existence?

    oOo
    walah, kalo motif jadi guru dilandasi niat untuk mendapatkan nilai kesejahteraan yang memadai kayak teman kost mas gun itu, kayaknya susah juga yak utk menjadi guru yang sebenarnya. kisah2 guru silat tiongkok yang mas gun paparkan agaknya layak dijadikan sebagai figur teladan bagi rekan2 sejawat guru di negeri ini.

  6. Bukan sekedar mem-bagi-kan apa yang kita ketahui, tapi juga men-jadi-kan jauh lebih memahami dari apa yang kita mengerti. Bukan begitu Pak Guru?

    extremusmilitis’s last blog post..Gempa, Situs BMG Kok Di-Hack!!!

    oOo
    sepakat banget bung militis. guru tak hanya sekadar memberikan ilmu, tetapi juga bagaimana sang guru mampu memberikan inspirasi kepada murid-muridnya agar menjadi sosok manusia yang lebih terhormat dan bermartabat.

  7. Assalaamu ‘alaikum warahmatullah.
    Sepakat dengan pak Ersis dah… 😎
    Guru adalah profesi dengan tanggungjawab seperti yang dipikul orangtua ya Prof…?

    Waalaikum salam. Bung Ram-ram ternyata dari keluarga guru rupanya. salut juga nih. saya juga sepakat dengan pendapat pak ersis kok bung ram.

  8. guru, dipundaknya dititipkan anak2 bangsa
    anak2 bangsa yang akan dididik untuk mencintai bangsanya
    menghormati benderanya, membangun negerinya
    kemuliaan mereka dimata Nya

    brainstorm’s last blog post..Menengok Senja

    oOo
    sepakat banget mas brain. itulah sebabnya, guru memiliki tugas yang luhur dan mulia sebagai pengabdi kemanusiaan.

  9. Terharu membacanya. Kalau boleh komeng nih, Pak. Sebutan Shi fu itu bukan hanya untuk kalangan guru, lho. Di negeri China, shi fu itu panggilan untuk menghormti seseorang. Seorang supir taxi biasanya juga disapa Shi fu. Intinya Shi fu itu dipanggil untuk sesorang yang mempunyai keahlian khusus. Maaf, sok tahu nih, 😳

    Ya, moga bapak bisa menjadi guru teladan di negeri kita ini. Kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Siapa tahu kelak juga bisa membuka mata hati mereka.

    Salam perjuangan untuk guru.

    Hanna Fransisca’s last blog post..Untuk Sahabat

    oOo
    walah, boleh banget mbak hanna. justru itu yang saya harapkan masukan dari mbak hanna. makasih mbak, sudah meluruskan penggunaan istilah “shi fu”. Jadi malu, suka menggunakan istilah tapi ndak tahu asal-usulnya. makasih juga doanya mbak. tapi aku sendiri tak sanggup menyandang predikat guru teladan. terlalu berat tanggung jawab moralnya. padahal, aku sendiri belum bisa berbuat banyak terhadap kemajuan dunia pendidikan. makasih juga atas salam perjuangannya untuk guru mbak hanna.

  10. Sejatinya, saya tak pernah sepakat dengan para pengajar di kelas di sebut sebagai guru.. Terlalu Mulia predikat itu… Entahlah pak.. Dari awal saya mengajar, saya lebih suka disebut instruktur yang berarti pemberi instruksi, karena memang saya tak layak menjadi guru.. itulah sebabnya saya ingin menggugat kembali penyebutan itu..

    Sungguh mengerikan, bahwa yang saya lakukan selama ini sungguh jauh dari perilaku seorang guru.. Setau saya, guru itu pembimbing ruhani dan spiritual dalam agama hindu dan buddha terlebih lagi agama SHIKH yang menjunjung tinggi apa yang disebut GURU…

    Ah, bapak telah membuat saya TELANJANG SETELANJANG-TELANJANGNYA, jadi malu pak!

    gempur’s last blog post..Saatnya Memiliki Industri Nasional

    oOo
    Boleh juga pak gempur gugatannya. sayangnya, masyarakat sudah telanjur tenggelam ke dalam penyebutan predikat semacam itu. BTW, saya ndak bermaksud menelanjangi siapa2 kok, pak, hehehehe 😆 lebih2 pak gempur yang saya yakin masih memiliki idealisme untuk menjadi guru yang sesungguhnya; menjadi shi fu. saya cuman menelanjangi diri saya sendiri.

  11. wah, trimakasih pada tulisan ini. sewaktu berprofesi sebagai guru (meskipun honorer) selama 2 tahun di Pekanbaru, Riau, dulu, aku merasa sok bermartabat. yah, moga menjadi renungan kita semua.

    panda’s last blog post..Mungkin Memang Harus Punya Hasrat…..

    oOo
    wah, ternyata bung panda pernah jadi guru juga, yak? makasih atas apresiasinya bung!

  12. Sang gurulah pengendalinya. Para murid sekadar mengikuti sinyal “remote control” yang disetir sang guru. Robot-robot yang sedang “error” tak segan-segan dibuang dan disingkirkan.

    Yang ini pernah dikeluhkan seorang teman, ketika anaknya yang sering membolos dikenakan sanksi, surat peringatan 1, skors dan dikeluarkan, sebagai seorang Bapak dia menyesali langkah yang diambil pihak sekolah menurutnya seharusnya pihak sekolah justru menjadikan tantangan untuk perilaku siswa seperti ini, sebab anak itu bolos selalu sendirian tak pernah bersama teman-temannya artinya perbuatan anaknya tidak (belum)menimbulkan pengaruh buat yang lain. Tapi sekolah punya peraturan dan tentu bukan anak itu seorang yang perlu perhatian.mau tak mau kini anaknya tinggal menunggu tahun ajaran baru untuk bersekolah di tempat lain. Apakah akan terulang kejadian ini disekolah barunya kelak?
    Bagaimana menurut Bapak Sawali?
    catatan: Sang Bapak bekerja di luar kota hanya seminggu sekali pulang ke rumah.

    oOo
    sejak dulu saya tidak setuju pak hadi kalo sekolah dengan begitu gampangnya mengeluarkan seorang siswa karena dianggap nakal, mbandel, atau stigma negatif lainnya. Kalo setiap anak yang dinilai melakukan penyimpangan lantas dikeluarkan, lantas apa fungsi sekolah sebagai agen perubahan. Di dalam fungsi ini, sekolah mestinya harus bisa mengubah anak yang kurang baik menjadi baik. i situlah juga makna mendidik yang mesti dipahami oleh para guru. Walah, maaf kalo sok tahu pak hadi, hehehehe 😆

  13. Pak Hadi arr,
    Syukurlah sulungku bersekolah di tempat yang guru2nya memahami. Dia nyaris dikeluarkan saat SMP dan juga SMA…..syukurlah selalu ada guru lain yang melihat sisi baik anakku, walaupun akhirnya kami bersusah payah menjelaskan pada para guru dan kepala sekolah.

    Anehnya saat lulus SMP, anakku dipuja-puji karena masuk 10 besar…dan malah setelah adiknya sekolah di SMP yang sama…dan ternyata tak ada kenakalan sedikitpun (maklum cewek, lebih rapih dan pendiam)….kata gurunya, kok kamu tak sehebat kakakmu. Anak bungsuku ngambeg, terus nggak mau sekolah di SMA yang sama dengan kakaknya, kawatir dibandingkan melulu seperti saat SMP…padahal sulungku terkenal memusingkan, pertanyaan nya aneh-aneh, beberapa guru kewalahan….tapi begitu dia berprestasi, kenakalannya semua dilupakan……

    Begitulah di SMA, anakku masalah lagi…namun kembali Tuhan mengirim mujizat, kepala sekolah diganti dengan seorang ibu kepala sekolah yang memahami anak-anak..prestasi anakku meloncat (walau ga pernah belajar juga)…dan lulus dengan masuk 3 besar di SMA tsb.

    Setelah anakku meneruskan di Fak Ilmu Komputer UI, saya menemukan situasi yang menyenangkan, dosen, wakil dekan bersedia ditemui ortu, bisa lewat email, atau sms, bahkan disitu juga ada bimbingan dan konseling…..dan ternyata menurut dosen konseling tsb, anak yang pandai tingkahnya aneh-aneh. Disitu saya melihat, kebandelan anakku belum apa-apa dibanding lainnya.

    Semoga cerita ini dapat mencerahkan bapak ibu guru, untuk bisa melihat sisi baik anak-anak didiknya, cobalah dekati dengan hati…karena mereka sebetulnya anak-anak yang membutuhkan perhatian. Dan masa-masa remaja, adalah masa yang mereka sendiri bingung dengan dirinya sendiri….ada anak yang baik-baik saja, ada anak yang melalui proses mengarungi gelombang pasang. Ini saya alami sendiri, dengan kedua anak yang berbeda sifat dan tingkah lakunya…tapi mereka tetaplah seorang anak yang membanggakan, kalau kita bisa mengelolanya.

    Salam manis…maaf jadi panjang lebr.

    oOo
    Terima kasih banget Bu Enny. saya jadi terharu. mudah2an pencerahan bu enny ini dibaca oleh temen2 sejawat guru, khususnya juga saya, untuk tidak mudah memvonis siswa ketika mereka sedang melakukan penyimpangan perilaku. ini sekaligus juga penjelasan lanjutan atas tanggapan pak hadi mengenai putra temannya yang dikeluarkan dari sekolah. sekali lagi terima kasih bu enny atas perhatian ibu pada dunia pendidikan.

    edratna’s last blog post..Indahnya sebuah persahabatan

  14. hidup yang tak direfleksikan adalah hidup yang tak layak dijalani, begitu pernah saya baca *halah*
    sebuah refleksi yang tulus dari seorang guru
    memang sesungguhnya guru adalah ,bukan pekerjaan kalau konotasinya selalu berhubungan dg uang, pengabdian yang sangat mulia 😀
    saya juga anak guru lho Pak bapak & ibu saya guru *wah sedulur ki*
    pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membuat manusia sungguh2 menemukan kesejatian dirinya, bahwa ia pribadi yang unik, khas & punya banyak dimensi dalam diri
    pendidikan sejati menurut saya *halah* 💡 seharusnya bisa menggali potensi tersebut yang unik dari tiap pribadi & mengembangkannya 😀
    manusia hidup untuk menjadi namun sering manusia tak mampu mengenali siapa dirinya sesungguhnya ❗
    disitulah pentingnya pendidikan
    mengenali setiap segi hidupnya, memahami diri yang sesungguhnya untuk lalu berkembang dengan segala kemampuannya 😎
    pendidikan tidak harus membuat ’manusia ulung’ yang dibentuk dari cetakan yang presisi ”zero tolerance” 😥
    Yang hanya dilihat sebagai fungsi, sebagai alat, bukan sebagai diri kita. 😕
    Mungkin gitu nggih Pak Guru *sok tau nih si tomy* 😀
    Sampun, pareng :mrgreen:

    tomy’s last blog post..BEST I EVER HAD

    oOo
    Terima kasih banget pak tomy. tesis pak tomy makin memperkaya diskursus ttg persoalan guru setelah guru dinyatakan sebagai sebuah profesi. saya sepakat dengan pak tomy, bahwa sejatinya guru adalah pengabdi kemanusiaan.

  15. Wah pak guru, tampak menjiwai profesinya 🙂
    Membangun karakter? wah hwebat tuh pak, ini yang bisa membangun dan memperbaiki bangsa ni, selamat bertugas ya 🙂

    Ini tulisannya juga refleksi ya pak?

    oOo
    makasih mbak atas apresiasinya. bener sekali mbak. tulisan ini sekaligus juga sebagai media refleksi terhadap dunia guru setelah guru dinaikkan derajatnya jadi profesi.

  16. Semoga, negeri ini akan bermunculan shi fu-shi fu baru yang benar-benar memiliki darah “guru sejati” yang memperlakukan siswa didiknya tak ubahnya seperti anak-anak kandungnya. Hanya dengan sentuhan tangan yang lembut, bijak, penuh perhatian, dan sarat belaian kasih sayang, anak-anak negeri ini akan menemukan dunianya yang beradab dan berbudaya.

    kalo hal ini terealisasi, ridu yakin banyak siswa yang cinta dengan sekolah, jadi sekolah bukan hal yang menakutkan lagi

    ridu’s last blog post..Template Baru

    oOo
    makasih mas ridu, semoga bener2 bisa terwujud.

  17. seandainya semua guru mempunyai pola pikir yang sama dengan Pak Sawal, saya yakin tidak ada lagi istilah Guru Killer atau Guru menakutkan..
    Pinginnya semua guru itu menjadi guru favorit, guru yang disayangi semua siswanya.. guru yang selalu dirindukan kehadirannya di tengah-tengah mereka.. Semua berpulang kepada Bapak dan Ibu Guru sendiri, mau berubah atau tidak.

    Totok Sugianto’s last blog post..Penggemar Marvel Legends

    oOo
    sepakat banget mas totok. idealnya memang guru mesti bisa sekaligus menjadi orang tua yang mampu mengalirkan sentuhan cinta dan kasih sayang sehingga para murid mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Mereka tak perlu lagi takut kepada guru.

  18. sehari menjadi guru, seumur hidup menjadi orang tua

    wah hebat :mrgreen: menjadi orang tua seumur hidup…
    tidak mudah memang, disaat sebagian orang tua berfikir tugas orang tua selesai saat putra putri menikah…
    guru, masih harus tetap menjadi orang tua…
    semoga putra-putri didiknya menjadi soleh dan solehah, sehingga bila guru telah tiba pada titi mongsonya… do’a-do’a dari para putra-putri ini tetap mengalir…
    amien

    oOo
    Yup, makasih mas goop doanya. BTW, kok dikait-kaitkan dengan masalah nikah, sih, hiks. 😆

  19. Laporan dulu, Pak…
    Situs ini kok susah sekali diakses dari tempat saya, ya? Seringnya yang muncul itu tulisan kalo bandwidth-nya melebihi kapasitas (intinya begitu…, redaksionalnya lupa…) atau kadang tulisan kalau server-nya tidak bekerja…
    Laporan selesai…

    Soal tulisan ini, saya jadi… gimanaaaa gitu. Untunglah, selama ini, di sekolah, saya dan rekan-rekan pengajar IT disebut berstatus sebagai instruktur… 😎

    Saya jadi kepikiran nih, Pak… Layakkah saya disebut sebagai guru? Sanggupkah saya menyandang status itu?

    suandana’s last blog post..lagu-lagu?

  20. Yang kemudian perlu dipikirkan adalah berapa jumlah ideal murid yang harus dibimbing secara intens oleh seorang shi fu?

    Yang saya lihat sekarang, terkadang seorang guru harus membimbing puluhan murid, sehingga proses mentoring tidak bisa optimal. Jangankan nilai-nilai kemanusiaan dan karakter, materi kognitif dalam pembelajaran saja tidak tersampaikan dengan baik kok.

    STR’s last blog post..Guru yang Baik Adalah Guru yang Menggaji Muridnya: Kuantitas Lawan Kualitas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *