Pertanyaan yang tersirat dalam judul tulisan ini seringkali mengusik kegelisahan penulis atau calon penulis yang tengah memburu jatidiri. Dalam sebuah obrolan, banyak teman yang –entah sebagai pernyataan sikap minder atau rendah hati– bilang bahwa mereka tak punya bakat menulis. *Halah* Seperti biasanya, saya selalu “alergi” setiap kali mendengar pernyataan semacam itu. Banyak orang yang demikian “mendewakan” bakat dalam dunia kepenulisan. Padahal, sebenarnya nonsense saja. Siapakah sebenarnya yang tahu bakat seseorang? Bukankah bakat itu baru bisa dikenali setelah seseorang mampu melahirkan karya-karya hebat?
“Triyanto Triwikromo, Gus Tf. Sakai, atau Ayu Utami memang berbakat besar sebagai seorang sastrawan!” kata seorang teman suatu ketika. Yup, mereka, yang diberi label sastrawan itu diketahui berbakat setelah dari tangannya meluncur tes-teks sastra masterpiece. Hampir tak ada orang yang bisa menyebutnya seseorang itu memiliki bakat tertentu sebelum mampu membuktikan talentanya.
Saya kurang mempercayai betul adanya bakat. Keyakinan yang terlalu “mendewakan” bakat justru akan menjadi penghambat serius ketika kita sudah berniat mengibarkan bendera imajinasi kita dalam dunia kepenulisan. Tuhan menganugerahi kita dengan potensi-potensi “laten”. Semuanya butuh digali, digarap, dipupuk, dan dikembangkan hingga menjadi sebuah lahan yang subur. Baru menulis beberapa cerpen, tetapi tak satu pun yang bisa terselesaikan, lantas mengklaim dan mengutuk diri sendiri, “Kayaknya aku memang ndak berbakat nih. Bikin cerpen ndak pernah selesai!” Aduh, kenapa bisa berpandangan naif semacam itu, yak? Hehehehehe 😆
Budi Darma pernah bilang jika Anda belum dikenal sebagai sastrawan, cobalah memberontak. Katakan sastra hasil karya pengarang kita belum berbobot. Kutiplah keterangan dari pengarang dunia kaleber kakap. Atau, tulislah sebuah puisi yang nyentrik. Tentu Anda akan menjadi terkenal mendadak.
Paling tidak, ada dua kandungan tafsir yang tersirat di balik pernyataan pengarang novel Olenka itu. Pertama, sebagai “pasemon” terhadap kelatahan pengarang yang suka bikin sensasi lewat eksperimentasi penciptaan yang mentah dan konyol, tanpa dibarengi akuntabilitas moral dan etik. Artinya, “pemberontakan” hanya dilakukan untuk memburu ketenaran nama an-sich, tidak berbasiskan kultur penciptaan yang dengan sangat sadar dilakukan untuk melahirkan teks-teks kreatif yang bernilai.
Kedua, “pemberontakan” bisa dimaknai sebagai upaya pengarang (baca: sastrawan) dalam melakukan perburuan kreativitas penciptaan yang lebih berbobot, sehingga mampu mengembuskan napas dan arus kesadaran baru lewat teks-teks sastra masterpiece sekaligus menyejarah. Atau lewat” pemberontakan” yang dilakukannya, sang sastrawan sanggup menancapkan tonggak sejarah baru di tengah-tengah dinamika kesusastraan.
Hampir setiap angkatan sejarah mencatat kemunculan para “pemberontak” yang berupaya melakukan pembebasan “mitos” penciptaan teks-teks sastra. “Pemberontakan” yang mereka lakukan bukanlah sikap latah yang berambisi melambungkan namanya di tengah jagat kesusastraan, tetapi lebih berupaya mencari dan menemukan bentuk pengucapan yang sesuai dengan tuntutan hati nurani dan kepekaan estetikanya.
Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Chairil Anwar lewat sajak “Aku” pada Angkatan ’45, Sutarji Calzoum Bachri (penyair) lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat antologi Godlob pada era 1970-an adalah beberapa nama yang bisa dibilang sukses melakukan “pemberontakan” kreatif, sehingga bobot kesastraan mereka amat diperhitungkan dalam diskursus sastra kita. Tentu masih banyak pengarang lain yang dengan sangat sadar meniupkan roh dan semangat “pemberontakan” dalam karya-karya mereka.
Dalam sastra dunia, konon Albert Camus yang pernah mendapatkan hadiah Nobel Sastra tahun 1957, sebenarnya juga seorang “pemberontak”. Lewat bukunya L’Home Revolte (Manusia Pemberontak), ia mengatakan, manusia perlu memprotes nasibnya. Bahkan, jika perlu ia harus memprotes seluruh makhluk dan kehidupan yang ada di dunia ini sesuai dengan kondisi yang ada (Atmosuwito, 1989). Ini artinya, “pemberontakan” kreatif yang dengan sangat sadar dilakukan oleh seorang sastrawan, baik dalam aspek muatan maupun aspek penyajian, akan mampu menciptakan dan melahirkan teks sastra baru yang inovatif dan “monumental”.
Harus diakui, kesusastraan mutakhir kita baru memiliki beberapa gelintir sastrawan yang dengan sangat sadar melakukan “pemberontakan” kreatif lewat teks-teks sastra yang diluncurkannya, bahkan bisa dibilang miskin “pemberontakan”. Sebut saja Ahmad Tohari, seorang ulama yang sukses mengeksplorasi dunia ronggeng daerah Banyumas lengkap dengan warna lokalnya yang khas —blaka suta dan cablaka–dalam triloginya Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Karyanya bisa “melegenda” lantaran keberaniannya melakukan “pcmberontakan” dengan mengungkap pernik-pernik kehidupan dan kultur sosiologis masyarakat grass-root yang ditabukan bagi kalangan santri.
Darmanto Jatman juga bisa dibilang sastrawan “pemberontak”. Lewat teks-teks puisinya, ia melakukan eksplorasi bahasa yang dipadukan dengan penggalian tema-tema manusia marginal, masyarakat paria, yang tak berdaya menghadapi bayang-bayang “adikuasa”. Demikian juga sastrawan muda Triyanto Triwikromo lewat teks-teks cerpen terornya, baik yang terkumpul dalam Rezim Seks maupun Pintu Tertutup Salju (kumpulan cerpen bersama Herlino Soleman) yang berupaya melakukan eksplorasi tema-tema peradaban yang sakit dengan corak penyajian yang dinilai “nyempal” dari tradisi penciptaan cerpen yang pernah muncul.
Keminiman potensi sastrawan “pemberontak”, disadari atau tidak, telah membikin sastra mutakhir kita menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Hingga kini belum muncul Ahmad Tohari atau Darmanto Jatman baru yang sanggup meluncurkan teks-teks sastra kreatif yang “menghebohkan” publik dan pencinta sastra. Dalam konteks ini, Ayu Utami lewat novel Saman-nya –yang lahir dari sebuah ajang festival– bisa dikatakan sebuah fenomena. Nama yang selama ini (nyaris) tidak menampakkan gairah penciptaan teks-teks sastra lewat media cetak, tiba-tiba saja sanggup meluncurkan sebuah karya yang dipuji banyak pengamat.
Mengapa dinamika sastra mutakhir kita menjadi demikian stagnan? Selain kemiskinan “pemberontakan” kreatif yang dilakukan oleh para pengarang, menurut hemat saya, ada beberapa asumsi yang bisa dikemukakan. Pertama, negeri ini mungkin bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Gairah penciptaan dan kreativitas para pengarang memang terus mengalir di berbagai media cetak. Namun, hal ini belum bisa jadi bukti eksisnya kehidupan sastra di negeri ini. Apalagi, tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesusastraan masih berada pada aras yang amat rendah. Imbasnya, tidak sedikit sastrawan yang hengkang dari kampung halaman dan mengadu nasib ke kota lain. Jarang –lebih tepat dibilang langka– sastrawan yang benar-benar bisa hidup dari dunia yang digelutinya. Pameran dan peluncuran buku atau pentas dan diskusi sastra pun sepi peminat.
Kedua, kelangkaan penerbit yang memiliki idealisme untuk menggairahkan dan menghidupkan buku-buku sastra. Eksistensi seorang pengarang akan terasa makin “sempurna” bila tangannya telah mampu melahirkan sebuah buku. Namun, mewujudkan impian itu tidak mudah, apalagi penerbit mustahil mau menanggung risiko rugi jika kelak buku sastra yang diterbitkannya tak terjamah konsumen. Kondisi penerbitan yang terlalu berorientasi pada keuntungan itu jelas sangat tidak kondusif bagi idealisme pengarang.
Dan ketiga, mandulnya peran Dewan Kesenian (cq Komite Sastra) dalam memberdayakan kantong-kantong sastra di daerah. Keberadaan Dewan Kesenian tak lebih dari sebuah perpanjangan tangan birokrasi yang mengurus persoalan-persoalan administratif dan pendanaan ketimbang substansi dan esensi kesastraan. Akibatnya, potensi local genius kesusastraan tak bisa berkembang. Aktivitas sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik tak pemah tersentuh. Dialog dan curah pikir kesastraan yang mestinya dilakukan secara serius dan intensif pun jarang dilakukan.
Jika kondisi di atas terus berlanjut, bukan mustahil nasib kesusastraan mutakhir kita makin merana dan tak terurus. Dalam konteks demikian, dibutuhkan kesadaran kolektif semua pihak yang masih memiliki kepedulian untuk menghidupkan dunia sastra kita.
Sebagai kreator, sastrawan dituntut memiliki nyali “pemberontakan” kreatif dalam melakukan perburuan, inovasi, eksplorasi aspek muatan hidup dan aspek penyajian sehingga mampu menancapkan tonggak yang “melegenda” dalam khazanah sastra. Jika proses ini berhasil, penerbit yang memiliki idealisme terhadap persoalan-persoalan budaya dan kemanusiaan pasti akan memburunya. Dimensi hidup dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat perlu terus digali dan diangkat ke dalam teks-teks sastra, sehingga mampu memancarkan aura kemanusiaan bagi penikmatnya. Fenomena dan perubahan semesta kehidupan memang akan terus tcrjadi. Dengan kepekaan intuitifnya, sastrawan diharapkan mampu menafsirkan dan menerjemahkan berbagai persoalan mikro dan detil kehidupan menjadi lebih bermakna.
Para calon pengarang hendaknya juga jangan terlalu mempercayai adanya bakat. “Pemberontakan” dengan menampilkan teks-teks baru yang lebih liar dan mencengangkan justru akan lebih bernilai dan bermakna ketimbang berdebat soal ada atau tidaknya bakat kepengarangan. Proses kreatif-lah yang akan lebih menentukan keberhasilan seorang pengarang atau calon pengarang.
Masih banyak persoalan sastra yang belum tergarap secara serius, termasuk upaya meningkatkan apresiasi publik terhadap sastra. Dunia pendidikan sebagai wadah pemberdayaan generasi perlu dijadikan ajang apresiasi dan “pembumian” kesusastraan. Bahkan jika perlu, mesti ada program “sastrawan masuk sekolah” –baik secara rutin maupun insidental– untuk membantu guru-guru sastra yang selama ini dianggap gagal menanamkan apresiasi sastra kepada peserta didiknya. Nah! ***
Pertamaaaaaaaaaa x… 😀
mathematicse’s last blog post..Cantik itu Relatif
oOo
di blog ini ndak terlalu sulit utk menduduki posisi vertamax kok pak, hehehehe 😆 kan bukan milik seleb blog. halah.
Harus Pak Guru, harus melakukan pem-berontak-an, karena hanya dengan terus menerus melakukan improvisasi, terus menulis dan menulis yang bisa meningkat-kan kualitas yang lebih baik 😉
Ini yang sangat di-butuh-kan oleh kadet-kadet sastrawan kita saat ini Pak Guru, semoga bisa dan cepat menjadi seperti itu yaks 🙂
extremusmilitis’s last blog post..Akan-kah Kita Seperti Ini, Nanti???
oOo
bener banget, bung militis. asalkan, pemberontakan yang dilakukan bener2 bukan semata-mata utk cari ketenaran atau hanya sekadar melakukan eksperimentasi yang mentah dan konyol.
Mmmmh… menurut saya sih pemberontakkan seorang pengarang/penulis itu adalah karena dia menyajikan karya yang berbeda alis unik dan melampaui pemikiran orang-orang di jamannya. Karena itu mereka lebih mudah dikenal/terkenal… (benr ga ya? Maklum ga ngerti sastra… 😀 )
mathematicse’s last blog post..Cantik itu Relatif
oOo
Iya, bener Pak Jupri. setidaknya tampak pada dua unsur, yakni content (muatan isi) dan style (gaya). selain itu, juga tidak asal tampil beda, tetapi bener2 berdasarkan hasil pengolahan yang total dan ntens
Bagaimana dengan tulisan teman2 di sarana blog ini pak guru. Kita2 kan berasal dari bidang yg berbeda. Lalu apakah ada suatu fenomena bentuk kesastraan tertentu yg berkembang yang teridentifikasi dan sifatnya general sehingga dapat dikatakan telah menghasilkan suatu angkatan baru dalam kesastraan. Angkatan blogger 2000an misalnya.
Bukankah kebanyakan blogger itu “pemberontak” . 😎
———————- ➡
Eh, apa sudah ada ya peneliti sastra yang mengangkat fenomena sastra dari kberadaan blog ini ❓
herianto’s last blog post..Jangan biarkan dia membicarakan cela temannya di hadapanmu
oOo
wah, untuk angkatan blog gimana, ya, pak? utk menentukan kriteria sebuah angkatan, biasanya yang jadi ukuran adalah orientasi pada tema, gaya (style), dan mungkin juga isme yang dianut. sementara untuk blog itu kan cenderung bersifat sangat personal sehingga seringkali sulit untuk melakukan kategori. itulah sebabnya, sepanjang yang saya tahu, pak heri, hingga saat ini agaknya kehadiran blog belum dikategorisasi berdasarkan angkatan (periodisasi) tertentu.
Setuju pak Sawali, walau harus diakui bahwa jika berbakat tentu lebih mudah….
Saya jadi ingat, seorang pimpinan paduan suara anak-anak kecil dari Austria pernah mengatakan, bahwa pada dasarnya setiap anak mempunyai bakat seni…tapi tanpa diasah, tak akan diketahui bakat seninya dibidang apa.
Sama denga penulis, kita mengenal setelah ada karyanya, pernahkah kita tahu, berapa lama mereka dikenal setelah sekian lama mencoba menulis dan hanya masuk keranjang sampah…atau melalui proses penolakan untuk dimasukkan di media?
Sama halnya dengan menulis makalah, ada syarat-syarat yang harus diketahui(syarat menulis makalah)…seperti apakah tulisan yang layak untuk diterima mas media? Ini sebetulnya bisa dipelajari…dicoba lagi, jika gagal…dicoba lagi…
Btw saya hanya menunggu karangan pak Sawali yang dibukukan…karena dari tulisan di blog, saya bisa menilai, bahwa pak Sawali punya bakat dan kemampuan….saya tunggu ya….
edratna’s last blog post..Penggunaan Assessment Center untuk pengembangan SDM
oOo
Iya, bu enny, menurut saya begitu. kalau mau menulis dibelenggu oleh bakat malah bisa jadi repot. Begitu kirim tulisan di media cetak ditolak redaksi lantas mengklaim diri tidak punya bakat, walah, kapan bisa jadi seorang penulis yang sesungguhnya.
BTW, tentang buku, mohon doa restunya bu enny, mudah2an Allah mengabulkan doa kami.
wah aku pengen jadi penulis pemberontak juga ah 💡
gimana Pak kalo yang saya tulis berasal dari perjalanan mistik 😈
tentang orang yang putus asa & jadi pelarian dalam dogma 😕
mohon bimbingannya ya Pak Guru
tomy’s last blog post..MENGHARGAI KEHIDUPAN
oOo
Bisa banget kayaknya tuh pak tomy, buku2 semacam itu kayaknya juga masih jarang. pasti deh akan diserbu pembaca.
Bukankah menulis itu sendiri merupakan bentuk “pemberontakan hati dan pikiran” yang ingin mewujud dalam kata dan kalimat?
Bukankah pemberontakan itu sudah termulai dan terawali sejak kelahiran manusia ke dunia.
Tangisnya adalah pemberontakan akan keengganan yang bermula dari terusiknya kedamaian hidup di “alam angan”..
—***—
Dan tugas sastrawan yang ada di daerah-daerah memang seharusnya mengawal dan membidani kelahiran sastrawan-sastrawan muda dengan membebaskan mereka calon sastrawan dari belenggu kata dan kalimat yang normatif ada sebelum kemunculan calon sastrawan tersebut.
Dengan catatan, ‘mengawal dan membidani’tak lantas menjadi belenggu baru bagi calon pengarang muda tersebut.. Semoga saja ‘pemberontakan’ calon pengarang baru juga tak kemudian ‘kehilangan arah’.. Pada intinya saling mengerti dan saling mengisi.. dengan menedepankan kesantunan dan kebajikan.. Insya Allah akan lahir banyak calon pengarang dengan semangat pemberontakan dan pembebasan..
gempur’s last blog post..Segelas Es Cappucino untuk Rakyat
oOo
sepakat banget pak gempur. intinya memang begitu. “pemberontakan” agaknya menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh pengarang apabila benar2 ingin menghasilkan karya masterpiece. tentu saja harus mampu membebaskan diri dari pamrih sempit utk mencari ketenaran, sensasi, atau sekadar latah.
termasuk pemberontakan sastrawan online alias blogger, pak? 🙂
caplang[dot]net’s last blog post..Makan Siang Tukang Minyak Tanah
oOo
Iya, bisa juga bung caplang. blog pun perlu memiliki napas “pemberontakan” di dalamnya.
Salut. Dengan cerdik Pak Sawali “mendegradasi” yang namanya faktor bakat, demi menyusupkan keberanian dan memulihkan rasa percaya diri siapa saja pembaca artikel ini yang kadung memvonis dirinya tidak berbakat. Sekali lagu salut dan karena itulah aku memutuskan secara sepihak untuk tidak mengomentari “tesis” Pak Sawali mengenai bakat ini hehehe…
Soal “pemberontakan” dengan segala konotasinya di bidang seni, aku ingin menyodorkan pelukis Affandi sebagai “studi kasus”. Kebetulan aku cukup kenal dengan pelukis asal Yogya yang sudah almarhum ini.
Kita semua tahu, Affandi menjadi sangat populer dan dihargai oleh kalangan seni sebagai maestro adalah berkat karya-karyanya yang beraliran abstrak. Aliran ini adalah biangnya “pemberontak” di dunia senirupa, selain surealis, sebelum mumculnya seni instalasi.
Bagi kalangan awam biasanya amat sulit untuk menemukan “nilai seni” lukisan abstrak dan surealis. Bahkan tak sedikit yang nekad bergurau bahwa karya abstrak dan surealis tidak ada bedanya dengan coretan “ngawur” seorang balita, artinya tanpa teknik, tanpa pola dan tanpa makna.
Benarkah begitu ? Segampang itukah membuat lukisan abstrak dan surealis ? Apa ya karya semacam itu hanya dimengerti oleh pelukisnya? TIDAK.
Sebelum menekuni kedua aliran yang “ribet” tersebut, Affandi lebih dulu mempelajari semua teknik dasar menggambar dan melukis. Jangan salah, Affandi adalah lulusan akademi senirupa. Pelajaran baku disana mulai dari membuat garis, lengkungan, menggambar anatomi, pencampuran warna, nuansa, tekstur sampai yang namanya “manajemen cahaya”. Itu semua dikuasai oleh Affandi.
Penjelasan panjang lebar di atas hanya untuk mengatakan kalimat pendek ini : kuasai dulu teknik dasar, baru lakukan penyimpangan (improvisasi/pemberontakan}. Tidak ada perubahan, penyimpangan atau pemberontakan yang secara mutlak terlepas dari sejarah dan kondisi aktual lingkungannya.
Merdeka!
Sang Provokator’s last blog post..Melihat Indonesia dari Korea Selatan
oOo
merdeka bung robert. sepakat banget. “pemberontakan” yang dilakukan seorang pengarang jelas harus bertumpu pada proses kematangan dan eksperimentasi yang “sempurna” sehingga tidak terjebak pada sikap latah, apalagi hanya sekadar mencari ketenaran, sensasi, lewat eksperimentasi yang mentah dan konyol. Bravo!
Memberontak pak, mendobrak dan mencoba…
wah benar-benar saran yang dahsyat…
meski saya masih harus belajar untuk berimajinasi liar… dan multidimensi… 😀
makasih pak, sebuah pencerahan yang lain…
Goop’s last blog post..4 Heran Tanya Kelas
oOo
saran yang dahsyat, halah,senangnya mas goop nih berlebihan. konon begitu mas goop kata budi darma. pengarang mesti “memberontak” dalam artian yang positif.
ketertarikan pada tulisan-tulisan sastra merupakan awal dari sebuah pemberontakan buat saya, dari beberapa tulisan di blogsphere ini mencerminkan ternyata begitu banyak yang mempunyai bakat dan kemampuan disertai keinginan menulis. Pemberontakan dalam hal kreativitas, materi, dan penyajian banyak saya jumpai dan memberikan atmospher sendiri buat saya untuk menikmatinya.
Dengan banyaknya anjuran dan permintaan pada Pak Sawali untuk menulis buku saya berharap akan segera terealisasi dan saya pastikan akan banyak hal baru yang dipersembahkan buat pembacanya, maka itu ayo berontak Pak Sawali.
hadi arr’s last blog post..Penjual Minyak Wangi
oOo
Mari kita melakukan “pemberontakan” bersama-sama Pak Hadi. Hidup bloger Indonesia. *halah*
pemberontakan itu penting…
soalnya segala macam kemarahan kita harus dituangkan tanpa kebohongan, kalau bohong baru ga boleh ..
hehehe….
moer’s last blog post..STILL VIRGIN
oOo
Yup, sepakat mas moer.
sip pak!tulisan Anda bagus, cuma beberapa istilah sulit saya mengerti
Nico kurnianto’s last blog post..ROMBAK PSSI!
oOo
adakah istilah2 yang sulit mas nico?
Intinya, jadi pemberontak pun ternyata harus visioner! Iya kan, Pak?
Btw, ndak harus buku lah, Pak, tapi BLOG!
GoBlog!
STR’s last blog post..UKSW GoBlog! atau Malas?
oOo
Bener Mas Satria, mari kita go-blog! *halah*
nah, klo pak sawali ini adalah salah satu sastrawan yang berasal dari kalangam guru, makanya tulisanya yg ada di blog hebat ini selalu arif dan bijaksana..
saya sangat salut sekali dgn Bapak..
jadi ngebayangin di ajar sm pak sawali..
guru modern..
fauzansigma’s last blog post..“Kenapa ya orang-orang kita kecanduan sama kedelai?”
oOo
Walah, jangan ketinggian mujinya mas sigma, ntar saya bisa jatuh, hehehehehe 😆 BTW, saya hanya guru biasa loh mas sigma, juga bukan sastrawan.
menulis bukan adanya bakat atau gak..tapi antusiasme kita utk menulis itu ada gak ??
karena setiap manusia, saya percaya bisa menulis.
menulis yang berbobot, ya karena proses waktu..mungkin perjalanan panjang tuk menulis berbobot akan dilewati..
andi bagus’s last blog post..Indonesian Idle
oOo
sepakat 100% mas cempluk. Yuk, kita menjadi bloger “pemberontak”!
Ya ya perlu itu, terutama ‘memberontak’ atas belenggu diri sendiri. Pada tataran lebih tinggi, maaf, ‘memberontak’ itu kata lain dari ‘cengeng’. Lho?
Ketika ide, harapan, mau, kehendak, tidak dipenuhi oleh dunia luar, kita ‘marah’. Tidak dihargai, tidak diperhaikan, tidak dibina, dan seterusnya.
Ke depan sikap mental tersebut harus di rubah —terutama di dunia pendidikan— pendidikan mandiri, berkrepribadian. Orangt-orang sukses adalah yang berani tidak menuntut pada lingkungan tetapi memanfatkan lingkunga, betapa pun lingkungan tersebut tidak konstruktifnya.
Pesastra-pesastra hebat itu adalah mereka yang berkarya, walaupun dunia ini diterjang tsunani. Kali aja.
Ersis W. Abbas’s last blog post..Menulis Menyamakan Frekuensi
sastra terlahir dari pemberontakan, gaya penulisan yang terkadang radikal dan keluar dari norma2 kekolotan. Kalau saya baca karya2 dari seorang Oka Rusmini, Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu dll.. satu bab pertama mereka saya langsung bilang *anjrit.. edan.. * gempuran sastra modern para perempuan sungguh mengagumkan. Bukti bahwa sastra adalah pemberontakan
brainstorm’s last blog post..Menengok Senja
oOo
wah, salut juga nih sama mas brain yang getol baca teks2 sastra karya para perempuan pengarang. sayangnya, tak sedikit juga yang bilang karya2 mereka dianggap sbg karya “syahwat merdeka”. mereka yang mengkalim semacam itu tak meihat dari sisi “pemberontakan” yang dg cerdas dilakukan oleh para perempuan pengarang itu dalam melahirkan teks2 sastra yang bernilai.
Sebenarnya saya kurang faham nih dengan tujuan dari pembrontakan pada karya sastra. Apakah tujuannya sebagai murni dalam memajukan kesusastraan di Indonesia (baca: menancapkan tonggak sejarah baru dalam dunia sastra) ataukah jujurnya hanya sekedar mencari perhatian sejenak dari publik atas karya yang diciptakannya sebagai taktik agar karyanya cepat dikenal? Bagi saya yang awam sastra, mungkin penancapan tonggak sejarah baru dalam karya sastra akan membuat saya semakin binun, lha jangankan tongkat sejarah sastra yang baru, tongkat sejarah sastra yang lama saja saya masih binun, jadinya bagaimana nih??
**kabur sebelum ditabok pak sawali**
Yari NK’s last blog post..Skala Scoville, Mengukur Kepedasan Cabai
oOo
hahahahaha 😆 kenapa mesti kabur bung yari? tabokan saya ndak mempan kok, hehehehe 😆 pemberontakan yang dilakukan pengarang jelas bukan eskperimentasi yang mentah dan konyol bung, tapi bener2 melahirkan teks sastra yang unik dan eksotis sehingga memberikan warna baru dalam kesusastraan indonesia mutakhir.
Dulu juga saya merasa kalau segala sesuatu itu memerlukan bakat, tapi ternyata di tengah perjalanan, tetap saja…yang paling utama adalah ketekunan, kemauan…omong kosong hanya mengandalkan bakat saja 😀
Donny Reza’s last blog post..Breaking The Rules
oOo
bener banget, mas donny. yang lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam menulis *halah sok tahu* sebenarnya kemauan, minat, kerja keras, titik. bakat hanya akan menjadi belenggu seseorang dalam menulis.
Gitu ya, pak. saya jadi mengerti. baiklah, semangat!!! saya akan menulis lagi dengan hasil sejelek apapun tanpa mengeluh tak berbakat. dan akan aku selesaikan cerpen2 ku yang sepengal2. terima kasih ya tulisannya yang sangat bermanfaat.
Hanna Fransisca’s last blog post..Menggugat Cinta
oOo
Bagus banget, Mbak Hanna. Semangath! Saya siap menjadi pembaca setia cerpen2 mbak hanna itu, hehehehe 😆 jangan lagi mengeluh karena tak punya bakat baca juga komen temen2 tuh. mereka umumnya juga ndak begitu percaya adanya bakat. yang lebih utama, la iyalah, menulis, menulis, dan menulis.
Era 90-an, sastra ada di koran.
Era 2000-an, sastra ada di alam maya.
Seabad kemudian, sastra entah ada di mana?
Kenapa pula kembali ke masa pertengahan abad yang lalu. Saat sastra masih bersifat sentralistis. Saat inikan, tren desentralisasi. Sistem pemerintahan mengacu ke sana, kekuatan dunia mulai berimbang, berita bukan lagi hak mediamedia besar, dan lahan ekspresi seseorang makin mencair dan beragam. Tidak ada pusat, hanya perayaan semata. Perayaan akan keragaman.
wah, makasih banget tambahan infonya, mas hp. makin menambah wawasan sastra saya. matur nuwun.
terima kasih banyak atas tulisannya
moga sukses selalu.
jika ingin tau profil saya silahkan kunjungi..
click this
sama2, mas. terima kasih atas kunjungan silaturahminya.
setuju mas.. bakat hanya soal percaya diri aja.. selama percaya diri maka berbakat atau tidak itu bukan jadi persoalan hehe