Ini soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.
Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.
Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).
Meski sudah menjadi soal klasik, fenomena ini tetap menarik diperbincangkan. Yang pertama, jelas atmosfer pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Sebagai “agen perubahan dan peradaban”, sekolah mestinya bisa dimanfaatkan sebagai ruang dan media yang strategis untuk mengakarkan sekaligus menguatkan nilai-nilai moral, religi, dan budaya. Namun, secara jujur harus diakui, sekolah-sekolah di negeri kita ini seringkali hanya tampak gedungnya saja yang megah, tetapi kualitas pembelajarannya “hancur” dan babak belur. Lebih-lebih pembelajaran apresiasi sastra. Para siswa tidak diajak untuk mengapresiasi (baca: memahami dan menikmati) teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pembelajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.
Belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia. Namun, bagaimana mungkin pelajar kita mampu menikmati teks-teks sastra kalau mereka hanya sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan dan hasil karyanya serta sekadar membaca sinopsisnya saja?
Buruknya mutu pembelajaran apresiasi sastra di sekolah juga tak lepas dari minimnya guru sastra yang memiliki “talenta” dan minat serius terhadap sastra. Apalagi, sastra hanya merupakan mata pelajaran yang “dinunutkan” pada pelajaran bahasa. Lantaran statusnya yang hanya sekadar “nunut”, tidak mengherankan jika apresiasi sastra hanya disajikan sambil lalu. Meskipun sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Menyajikan puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar, guru juga harus mampu memberi contoh yang memikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra. Seringkali terjadi, materi sastra yang dianggap sulit lebih nyaman untuk tidak disajikan alias dihindari. (Gitu aja kok repot! 😀 )
Jika pembelajaran sastra bisa mandiri, beban berat pendidikan yang mengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan, sebab lewat pembelajaran sastra itu pengetahuan budaya, cipta dan rasa, serta watak siswa akan lebih bisa berkembang. Dengan tutur lain, “otonomi” pembelajaran sastra akan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan.
Yang kedua, “kemauan politik” pengambil kebijakan. Hal ini penting dipersoalkan, sebab peningkatan mutu pelayanan publik terhadap masalah pendidikan berkelindan dengan politik kebijakan yang diluncurkan oleh orang-orang elite yang tengah berada dalam lingkaran kekuasaan. Kalau kepedulian mereka terhadap apresiasi sastra nihil jelas anak-anak negeri ini tidak akan pernah bersentuhan langsung dengan teks-teks sastra yang bermutu. Alih-alih peduli terhadap apresiasi sastra, jika perlu menerapkan politik iliterasi dengan memusnahkan buku-buku yang dianggap tidak segaris dengan kebijakan penguasa. Yang tidak kalah menyedihkan, nasib buruk tak jarang harus dialami oleh para sastrawan yang beriktikad baik untuk membangun sebuah peradaban yang lebih bermoral dan berbudaya. Berkali-kali Mochtar Lubis diseret ke penjara. Demikian juga teater koma sering kena cekal alias tak boleh pentas. Bahkan, WS Rendra pun juga mengalami nasib serupa. Sungguh! Kita tak habis pikir, kenapa masih saja terjadi pengekangan terhadap kreativitas sastrawan dalam menggeluti dunianya.
Kondisi semacam itu diperparah dengan aksi agresif dan vandalistis oleh kelompok masyarakat tertentu yang mencurigai kaum sastrawan sebagai penyebar benih-benih “kesesatan” melalui teks sastra yang diciptakannya. Ingat kelompok DDII Jawa Barat yang baru saja “menzalimi” puisi “Malaikat” karya Saeful Badar.
Yang ketiga, minimnya buku-buku sastra yang berkualitas di perpustakaan sekolah. Kalau toh ada, pada umumnya buku-buku semacam itu nyaris tak tersentuh. Buku-buku sastra dibiarkan terpuruk, bahkan mungkin debunya lebih tebal ketimbang bukunya. Fenomena ini menandakan betapa sastra di negeri ini hanya sekadar menjadi produk budaya yang terpajang di sebuah “etalase” yang miskin peminat dan pencinta. Olalala! (Tentang peranan perpustakaan, khususnya yang berkaitan dengan buku-buku sastra bisa menjadi postingan tersendiri, hehehehe 😀 lantaran banyaknya persoalan yang rumit dan kompleks tentang kebijakan literasi penguasa).
Kembali ke “retorika” yang menjadi judul postingan ini. Tampaknya perlu ada revitalisasi serius terhadap pembelajaran sastra di negeri ini. Pertama, jadikan materi apresiasi sastra di sekolah sebagai mata pelajaran mandiri, terpisah dari mata pelajaran bahasa. Fakta menunjukkan bahwa status “nunut” yang selama ini disandang oleh sastra hanya menjadi materi yang tersisihkan. Kondisi itu diperparah dengan minimnya “talenta” guru bahasa terhadap sastra. Tanpa semangat “otonomi”, tampaknya nasib sastra dalam dunia pendidikan di negeri ini akan makin tersaruk-saruk.
Kedua, pemberdayaan guru sastra. Kalau “otonomi” sastra sudah ada, perlu diikuti dengan pemetaan terhadap guru bahasa dan sastra. Mereka yang didaulat untuk menjadi guru sastra harus benar-benar memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menyajikan pembelajaran apresiasi sastra dengan baik. Tugas mereka tidak harus melahirkan para sastrawan, tetapi cukup membekali apresiasi sastra kepada siswa didik melalui proses pembelajaran yang menarik, memikat, dan menyenangkan.
Ketiga, harus ada “kemauan politik” penguasa untuk menghidupkan atmosfer sastra dengan memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kaum sastrawan untuk menciptakan karya-karya unggulan, liar, dan mencengangkan agar menjadi karya agung dan “masterpiece”. Kalau “politik iliterasi” terus diberlakukan, hal itu tak ubahnya seperti teror yang menindas dan menzalimi kaum sastrawan. Dengan banyaknya teks sastra yang agung dan “masterpiece”, hal itu akan membangkitkan animo dan minat pelajar kita untuk menggemari dan mengakrabi karya sastra.
Keempat, jadikan perpustakaan sekolah sebagai “jantung” ilmu pengetahuan dan peradaban. Sediakan dana yang cukup untuk membeli buku-buku bermutu bagus, bukan buku yang tergolong “sampah”. Melalui perpustakaan yang memadai, para pelajar bisa bersentuhan langsung dengan berbagai disiplin ilmu sehingga mampu membangun kepribadian yang mandiri, berwawasan, beretika, bermoral, beradab, berbudaya, memiliki kearifan, dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya.
Yang tak kalah penting, para pelajar kita diwajibkan untuk membaca buku-buku sastra melalui proses pendalaman dan apresiasi berdasarkan bekal yang mereka peroleh dari sang guru. Wajibkan mereka untuk mengumpulkan sinopsis buku sastra dan tafsiran bebas terhadap nilai etika dan estetika yang terkandung di dalamnya pada setiap akhir tahun. Hasil sinopsis dan apresiasi siswa didik terhadap buku-buku sastra perlu diabadikan dalam dokumentasi portofolio sebagai bukti otentik terhadap tingkat apresiasi sastra mereka dari tahun ke tahun.
Dengan cara demikian, para pelajar kita tidak lagi mengidap penyakit “rabun” sastra dan pada gilirannya mereka akan terangsang untuk menulis, menulis, dan menulis. Nah, bagaimana? ***
Waduh, saya berarti termasuk orang yang “rabun sastra”.
Jadi pengen baca buku-buku sastra. (Iya deh nanti saya puas-puasin bila sudah ada kesempatan baca karya-karya sastrawan Indonesia, akan saya selami dan pelajari dengan
isengbaik). 😀Dulu semasa SMP dan SMA belajar sastranya sebatas membaca puisi + cerita + sedikit ngarang + menghafal nama- nama sastrawan dan judul karyanya. Tapi, saya tak perlu menyalahkan guru bahasa, mereka sudah benar kok ngajarnya. Cuma karena kurikulum saja yang memaksa mereka seperti sekarang ini.
Saya setuju bila dikatakan kalau kita banyak membaca, maka akan merembet ke kemampuan menulis. Menulis akan makin baik bila banyak membaca.
—————
Wah, jangan terlalu merendah, Pak. Saya kira Pak Al-Jupri waktu di SMA dulu pasti suka membaca, dong!
Kalau di negeri Belanda, buku2 sastranya pasti OK punya, Pak. Pakar2 sastra kan banyak juga yang dari Holland, seperti A Teew yang kesohor itu. Dus, kalau pingin baca karya sastra yang bagus, di Holland gudangnya, Pak. Ntar kalau tiba di tanah air gantian baca buku2 sastra karya pengarang negeri sendiri. Kan bisa buat bahan bandingan, pak.
Antara menulis dan membaca bisa diibaratkan seperti 2 sisi mata uang, Pak. Kan nggak akan laku kalau salah satu sisinya hilang?
Ok, deh, Pak Al-Jupri, selamat menyelami dan menikmati dunia imajinasi yang tertuang dalam teks sastra.
Salam.
Jangan salahkan pelajarnya bung! Lihat anatomi RAPBS yang disusun oleh setiap sekolah. Berapa prosen yang dialokasikan untuk buku? Lalu dari yang ada itu berapa yang dibelikan buku sastra? Hehe, he, jangan tertawa begitu!
Saya punya usul: ajak guru-guru di MGMP Bahasa Indonesia untuk bikin gerakan. Tidak perlu domo kaya PGRI. Tapi bikin program bersama memilih buku-buku sastra yang bagus dan mengusulkan bersama ke kepala sekolah masing-masing. Terus ditindak lanjuti dengan lomba-lomba mulai dari tingkat sekolah sampai Kabupaten, jika memungkinkan sampai tk nasional gitu lhooh. Dengan begitu kepala sekolahnya yakin, kalau guru-guru itu konsekwen. Punya usul dan ditindak lanjuti dengan kegiatan yang nyata. Dengan demikian insya Allah meskipun sedikit tentu punya kontribusi untuk bikin siswa kita “melek” sastra, OK?
————–
Ok, Pak Ut, terima kasih support-nya.
Saya tidak menyalahkan siapa2, Pak, hehehehe 😀 Yang pasti sumber awalnya, kebijakan pemerintah yang saya nilai belum memiliki kepedulian untuk merevitalisasi sastra lewat dunia pendidikan dan rendahnya kualitas guru bahasa dan sastra Indonesia. Sejak adanya dan BOS reguler dan BOS Buku, koleksi buku perpustakaan memang mengalami peningkatan, Pak. Tapi, kalau nggak pernah dibaca, wah, ini yang repot. Apa mungkin perlu ada survei untuk membandingkan jumlah buku fiksi dan nonfiksi di perpustakaan sekolah, Pak Ut? 😀
Untuk kegiatan MGMP, mudah2an saja ada dana yang cukup untuk membangkitkan gairah sastra di kalangan pelajar dan rekan-rekan sejawat kita. Insyaallah kami siap, Pak!
Salam.
Kalau saya sich memang jarang baca sastra…maklum dulu saya anak STM yang pelajaran bahasa Indonesianya kebetulan sangat rendah kandungan sastranya (seingat saya).
Seandainya banyak orang yang menghargai sastra, mungkin tidak akan terjadi pemberangusan karya sastra seperti kemarin2 itu ya Pak?
BTW sepertinya sekarang para blogger sedang hobi membuat karya sastra (puisi), mungkin ini karena keberadaan Pak Sawali yang secara tidak langsung memberi motivasi untuk menulis sastra hehehe
—————–
Hahahahaaha 😀 Pak deking bisa aja lho. Sebelum saya ngeblog di WP kan dah banyak bermunculan para blogger yang rajin menulis puisi.
Meski mantan murid STM kan tidak lantas berarti tidak suka puisi. Saya pikir kok nggak ada hubungannya, wong minat sastra itu termasuk “dunia panggilan”, jeee…. 😀 Termasuk Pak deking saya kira juga termasuk orang yang gemar sastra. Kalau nggak, mustahil bisa bikin blog yang bagus dan menarik. Lha wong orang bisa nulis itu juga karena banyak membaca, kok. Bukankah begitu, Pak. 😀
Itu yang amat sangat disayangkan, Pak. Di era sekarang kok masih ada upaya2 pemberangusan kreativitas orang. Kurang kerjaan kali, ya? 😀
Wah…jujur saja, saya sendiri sebagai pelajar SMU amat prihatin dengan kondisi, dimana siswa – siswi disekitar saya lebih tertarik untuk memakai bahasa gaul ketimbang bahasa sastra.
Saya sendiri sudah pernah melihat bagaimana kontrasnya sebuah cerpen keluaran 1980 yang bahasannya amat berbeda dengan cerpen keluaran 2007.
Seram sekali.
Ah, ngomong – ngomong, tidak semua pelajar itu rabun sastra.
————————–
Pendapat Bung tepat sekali. Tidak semua pelajar SMA “rabun” sastra. Bahkan, saya melihat beberapa ada, terutama di daerah saya (Kendal, Jawa Tengah) pelajar SMA yang dengan amat sadar menggeluti dunia sastra, entah melalui group teater, diskusi sastra, bahkan ada yang sukses karya cerpennya dimuat di “Kaki Langit” majalah Horizon. Ternyata ada juga yang berprestasi juga, ya, Bung? 😀 Persoalannya, ternyata lebih banyak yang terjebak pada kemasan budaya pop yang dinilai mampu menyalurkan hasrat purba mereka
harga buku yg mahal ga termasuk salah satu penyebab ya?
—————
Mungkin juga, Bung, tapi sebenarnya untuk saat ini bagi dunia pendidikan no problem. Bukankah setiap tahun sekolah digelontor dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) reguler dan BOS Buku yang bisa dimanfaatkan untuk membeli buku2 bermutu? 😀 Yang jadi masalah, para pengelola sekolah memiliki kepekaan apa tidak? Bahkan, konon kabarnya ada dana BOS yang tak sanggup dibelanjakan selama tahun anggaran berjalan? Saking banyaknya kali, ya? Itu pun pihak sekolah masih memungut dana komite sekolah dari orang tua murid. Kalau itu benar, bukankah itu sesuatunyang ironis, Bung? 😀
Saya senang postingan tulisan ini ,pak. Dengan kerendahan hati saya , kalau boleh ya , posting lagi tulisan-tulisan tentang sastra , pak. Jadi saya bisa belajar sastra dari blog ini.Serius lho ,pak.
Saya setuju bahwa belajar apresiasi sastra pada hakikatnya ialah belajar tentang hidup dan kehidupan.
Saya tunggu postingan barunya ya ,pak.
Salam sastra.
————————-
Ok, makasih, Mbak Hanna. Mudah2an saja masih memiliki "kekuatan" untuk mengelola blog ini. hehehehehe 😀
Betul pak. Dulu waktu saya sekolah (SMA), pelajaran bahasa dan sastra hanya berputar soal nama sastrawan dan sinopsisnya saja, sementara isinya tidak pernah dibicarakan. Sastra memang jadi anak tiri dlm sistem pendidikan kita.
Saya sendiri penikmat novel/roman. Dulu waktu SMA saya lebih banyak membaca buku-buku sastra dengan usaha sendiri tanpa ada dorongan dari pihak sekolah. Buku Pram, M. Lubis, dll saya cari sendiri. Sampai sekarang hobi baca buku-buku sastra masih menggebu-gebu, tapi lebih banyak buku-buku dari luar negeri khususnya karya-karya penerima Nobel Sastra, spt G.G. Marquez, Kenzaburo Oe, E. Hemingway, dll
Saya rasa pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini masih ragu akan manfaat sastra bagi dunia pendidikan, atau tak ada kemauan ?
————
Begitulah, Bung, kalau sastra yang seharusnya disajikan dengan lebih menarik dan apresiatif, tetapi hanya disampaikan model hafalan. Imbasnya, para pelajar kita (hampir2) tak pernah merasakan nikmatnya membaca teks sastra. Betul Pak. Kalau para pelajar kita seperti Bung Ferto, misalnya nih, paling nggak mereka bisa belajar menjadi orang yang berbudaya dan memiliki kepekaan terhadap nasib sesama. Sebab, dalam teks sastra banyak nilai yang bisa digali untuk melakukan semacam katharsis atau pencerahan batin.
Ok, Bung Ferto, hobi baca buku sastra –kalau saya sih lebih senang dengan istilah butuh membaca karya sastra, bukan lagi sekadar hobi …. hehehehe :mrgreesn: — juga akan memicu pembaca untuk kreatif melakukan kegiatan yang bersifat “produktif, entah menulis puisi, cerpen, naskah drama, atau esai. Mudah2an kondisi pengajaran sastra di sekolah bisa berubah.
OK, salam budaya, Bung! Trims.
Bapak memiliki kekuatan itu , tinggal mengunakannya saja , saya sangat yakin itu. Tetap semangat dan smile !
————
Makasih, Mbak Hanna. Respon Mbak Hanna mudah2an bisa men-suport saya untuk bisa terus berkarya, meski hanya sekadar memosting tulisan di sebuah blog. Demikian juga, postingan Mbak Hanna saya nilai cukup bagus, terutama dalam hal memotivasi diri untuk hidup dinamis dan penuh optimisme. Kalau sempat mbuka arsip postingan saya, ada beberapa cerpen saya yang pernah dimuat di koran dan tabloit. Juga ada esai-esai sastranya. Mangga Mbak Hanna kalau memang menyukai sastra.
Ok makasih, salam.
Di sini (Belanda), di toko-toko buku yang pernah saya lihat, emang banyak tulisan-tulisan sastra. Cuma sayang, saya belum ngerti. Wong tulisannya bahasa Belanda. Hehe… 😀
——————-
Oh! Ya gpp Pak Jupri. Meski berbahasa Belanda dimiliki untuk koleksi. Siapa tahu ada yang membutuhkan.
Wah kalau saya senang sih belajar bahasa secara gramatikal, tapi pada dasarnya saya tuh orang yang kurang bisa menghayati sastra. Soalnya sastra kan butuh penghayatan yang dalam tidak seperti kalau kita membaca koran atau majalah.
Nah, sekarang kalau siswa belajar sastra di dalam kelas mungkin kita harus tahu tujuannya buat apa. Apakah hanya untuk sekedar tahu, atau untuk menghayati karya sastra tersebut, atau hanya sekedar memenuhi kurikulum pengajaran bahasa Indonesia saja.
O ya pak Sawali, saya masih bingung nih, bagaimana menilai suatu karya itu mengandung nilai sastra atau tidak? Apakah setiap puisi mengandung nilai sastra? Mungkin nggak ya, mengkawinkan atau memasukkan nilai2 sastra ke dalam tulisan ilmiah, agar tulisan tersebut tidak monoton tapi juga tidak terlalu membingungkan yang baca karena terlalu banyak nilai sastranya. Hehehe…. 😀
—————-
OK, Bung Yari, tujuan pengajaran sastra di sekolah sebenarnya lebih ditekankan pada aktivitas apresiasinya. Siswa diajak untuk menikmati keindahan teks sastra lewat media bahasa yang digunakan sang pengarang, sekaligus menemukan berbagai macam nilai yang terkandung di dalamnya. Tujuannya? Ya, agar para pelajar kita bisa belajar memiliki kearifan, kedewasaan, dan kematangan dalam hidup dan kehidupan sehingga bisa memiliki sensitivitas terhadap amsalah2 yang terjadi dalam kehidupan yang sesungguhnya. Pelajaran sastra selama ini kan tidak begitu. Para siswa hanya dijejali teori yang harus dihafalkan. Dengan model pembelajaran semacam itu, anak2 tidak akan mendapatkan apa2.
Teks sastra dan nonsastra bisa dengan jelas –menurut saya nih Bung– dibedakan dari muatan isi dan bentuk (bahasa) yang disampaikan pengarang. Muatan nilai dalam karya sastra akan mampu merangsang pembaca untuk memiliki kearifan dan kematangan hidup sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan tak terpuji. Sedangkan, dari aspek bentuk, pembaca mampu menikmati keindahan estetik berdasarkan bahasa ucap yang digunakan sang pengarang. Ini artinya, aspek muatan nilai dan bentuk dalam teks sastra bisa menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai sebuah buku, termasuk teks sastra atau bukan. Teks nonsastra (fiksi) seringkali hanya menonjolkan sensasi “murahan” alias “picisan” yang sekadar menuruti selera pasar. Teks2 semacam itu hanya bisa “meracuni” dan membuat pembaca jadi “dungu”. Tapi ironisnya, Bung, justru buku2 semacam itu larisnya bak kacang goreng di pasaran. Heheheheheh 😀
Memang agak sulit pak memahami buku sastra, saya saja butuh waktu lama untu bisa menyelesaikan satu buku seperti buku kontowijoyo, pak pram, atau gunawn muhamad. Tapi kalo tidak dipaksakan untuk membacanya maka kita akan menjadi orang yang buta satra ya gak pak
——————-
Ok, sebenarnya nggak sulit-sulit amat sih membaca teks sastra. Memang harus diakui, dalam teks sastra sering kali ditemukan beberapa ungkapan (idiom) khas yang sering kali membingungkan pembaca, khususnya teks puisi. namun, bukankah pembaca juga punya hak untuk memiliki penafsiran2. Itu artinya, pembaca adalah orang yang merdeka untuk mengapresiasi sastra dengan cara mereka sendiri. Kecintaan terhadap buku sastra bisa diawali melalui kebiasaan. Kebiasaan akan membentuk perilaku sehingga pada gilirannya kita akan dengan amat sadar senang membaca buku sastra tanpa harus dipaksa-paksa.
Ok, trims, salam budaya.
Sebenarnya gak harus buku sastra pak Guru, pertama minat baca dulu yg perlu ditumbuhkan dan untuk itu pemerintah mestinya menyediakan bacaan yang “murah” – begitu minat baca menggebu nanti akan berkembang sendiri, toh…….
Eh, kalo di Indonesia ada kegemaran bakar-bakar buku 🙁
———-
Betul sekali Kang Tutur. Memupuk minat baca tak harus dimulai dengan membaca buku-buku sastra yang selama ini dinilai tergolong “bacaan berat”. Para pelajar kita bisa membaca buku apa saja yang bisa merangsang mereka untuk terus membaca, membaca, dan membaca. Yang perlu dipersoalkan adalah buku nonsastra dalam kualitas dan corak yang bagaimana? Buku2 ilmu pengetahuan OK, buku2 agama OK, yang sama sekali tidak OK tuh kalau banyak pelajar yang tidak pernah baca buku. Betul nggak Kang Tutur, hehehehehe …… 😀 Lain itu, jangan sampai anak memiliki kebiasaan membaca buku2 picisan yang tergolong sampah yang akan “meracuni” pembaca untuk mengumbar selera dan nafsu purbanya.
Ok, trims banget Kang Tuturnya!
revitalisasi sastra kayaknya memang sangat diperlukan untuk anak-anak bangsa, soalnya pak sawali, katanya pendalaman tentang sastra itu juga bisa memperhalus jiwa hingga memberi pengaruh pada kecendrungan untuk berbuat baik dan menghindari kekerasan.
saya punya usulan buat para pelajar, selain ditugaskan untuk membaca, mereka juga meresensi buku-buku sastra, jadi selain membaca mereka juga belajar menulis dari apa yang mereka baca. Hasilnya kan lumayan bisa didiskusikan.
disamping melatih menulis, mereka juga memperdalam pengetahuan pengetahuan lebih dalam lagi ttg sastra.
———-
Ok, banget. Kalau usulan Sampeyan bisa direalisasikan bisa jadi akan memberikan imbas postif yang luar biasa bagi kaum pelajar. Mereka tidak sebatas membaca, tetapi juga diikuti aktivitas menulis resensi. It’s OK.
sastra memang tajam untuk memperhalus mekanisme pendidikan yang kian hari dirasa semakin kaya robot, orang berkutat dengan diagram, persamaan dan data.. lalu buat apa itu semua kalau akhirnya tidak bisa jadi bijak
—————-
Se-7 banget Kangguru! Otak kiri (rasional) dan otak kanan (akal budi dan hati nurani) harus ada keseimbangan. Kalau hanya berkutat dengan rumus2, apresiasi terhadap keindahan nilai seni berkurang, hidup menjadi timpang. Kepekaan terhadap nasib sesama tak pernah bisa tumbuh dan yang tak kalah penting, orang cenderung akan menghalalkan segala cara jika otak kanannya tidak pernah mendapatkan gizi batin.
Ok, salam Kangguru, trims.
ehm…ehm…
saia setuju banget nih, soale di sekolah saia juga siswa yang ndalemin sastra itu dinomerduakan setelah siswa yang mendalami ilmu yang sains…termasuk saia ini…hikz…dianaktirikan…T_T
*Curhat Mode On*
—————-
Nah, itulah kenyataan ironis yang terjadi, Bung! Akibat "stigma" semacam itu, SMA jurusan Bahasa dan Sastra jarang peminatnya. Di satu kabupaten saja, SMA yang membuka jurusan Bahasa bisa dihitung dengan jari. 😀
Jadi, marilah kita bakar semangat kesusastraan indonesia!!!
*tereak-tereak lewat corong…*
be te we, bole ngelink blogna ngga?
saia suka sekali sama postingan-postingannya pak sawali. makasih
ow, ya. saia baru lulus SMA taon ini lho, jangan dipanggil bung dunk? bukannya takut dianggep tua, cuma ga biasa aja…huehuehue
—————
OK, silakan kalau mau ngelink (enaknya panggil apa an, ya? Mas saja, ya?), Mas. Saya jadi ikutan senang, nih! Mangga, matur nuwun.
Kawan … coba tulis tentang sertifikasi guru in action. Misal, tahun 2007 ini disertifikasi 20 ribu guru … dana sertifikasi (oleh pelaksana, kalau ngak salah) Rp240 M, kalau selesai untuk bayar tambahan tunjangan hanya … sekali lagi hanya … Rp80 M. Coba mana yang pintar dan siapa yang punya budaya ho oh saja.
Itu belum seberapa, dari empat ranah kompetensi … ternyata yang disertifikasi hanya soal administratif saja … guru pernah ini-itu, buktinya ini-itu … Padahal, itu cukup diambil dari dokumen naik pangkat saja … Ngapain menghabiskan dana sedemikian besar, jauh kebih besar dari tujuan aslinya.
Yang penting proyek jalan … dan guru toh seperti baisa saja … ho oh
Bagaimana menurut Sampeyan?
——————
Wah, tampaknya butuh pengumpulan data yang lebih banyak dan valid, Pak. Tapi saya setuju kalau di balik sertifikasi guru itu memang banyak persoalan yang rawan kecurangan.
wah, pak. makasiih atas komennya di sini. wah komen perdana yang pernah saia terima…uda gitu, komennya lebih meng-ilmiah-kan tulisan saia lage. terima kasih banyak pak!
*menangis terharu…*
————
Ok, sama2, Mas. Meski hanya lewat blog semoga kita bisa terus bersilaturahmi dan menggairahkan sastra secara maya. Ok, salam hangat.
Ramai … sip … laounching trus seputar hal-hal yang 'dekat' … sangat menarik
—————-
Insyaallah, Pak. Blog ini memang digunakan untuk berdiskusi dan mengangkat pernak-pernik masalah yang berkaitan dengan masalah pendidikan, bahasa, dan sastra Indonesia. Ok, salam hangat.
Dari pelajaran sejarah yang saya peroleh dibangku sekolah .. pada jaman sebelum kemerdekaan, sastra di Indonesia sangatlah berkembang bahkan masih melegenda hingga saat ini seperti Siti Nurbaya.
Mengapa dimasa sekarang justru gaungnya hampir tak kedengaran, seperti mati suri? Menurut saya .. hal ini disebabkan karena pandangan masyarakat kita terhadap orang yang “berprofesi sebagai sastrawan” kurang dihargai.
Sejak kecil .. cita2 yang selalu digaung2kan adalah menjadi dokter, insinyur, tentara, penerbang dll sehingga apresiasi pada mata pelajaran sastra kemudian terabaikan karena dirasakan tidak menjadi penting untuk profesi2 yang dicita2kan.
Andil dunia politik terhadap kesusastraan juga besar pengaruhnya karena dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap sastra .. memang, kondisi ini sangat memprihatinkan. Mudah2an hadirnya bacaan populer – baik dari dalam maupun luar negeri – dapat menimbulkan minat baca anak2 jaman sekarang.
Juga kehadiran blog2 .. mudah2an bisa menimbulkan pergerakan sadar sastra. Semoga .. kita tetap harus optimis. Masa depan ada di tangan2 anak2 jaman sekarang.
———————
Tepat sekali, Bung Erander. Sastra kita memang telah mengalami banyak kemunuduran. Hal itu juga tak lepas dari situasi zaman yang makin abai terhadap persoalan2 moral. Selain itu, kebijakan politik penguasa yang berlum sepenuhnya memiliki kepedulian untuk memosisikan sastra pada aras yang mulia dan bermartabat. Semoga saja dengan kemudahan teknologi sastra makin banyak diminati generasi muda. Ok, salam hangat.
Sulit memang menggalakkan minat membaca di kalangan anak muda. Alih-alih membaca buku sastra bacaan yang ringan saja belum tentu disentuh. Anak-anak sekarang lebih memilih ber-fs-an di internet dibanding menulis blog.
—————
Ya, begitulah, Bu Enggar. Saya salut kepada Bu Enggar. Meski menggeluti masalah TI, tetapi tidak lupa memperhatikan perkembangan sastra. Kenapa juga, ya, Bu, anak-anak muda zaman sakini jarang yang membaca buku2 sastra? Padahal dari sana, mereka bisa banyak belajar tentang masalah hidup dan kehidupan.
sekarang mereka sudah dicandu oleh game, mana mungkin tertarik sastra?
————–
Nah, itu yang jadi persoalan, Pak. Kenapa juga mereka justru lebih suka main game ketimbang baca buku? Zaman mungkin memang sudah jauh berubah kali, Pak Mawardi, ya?
Saya mungkin salah satu penderita penyakit rabun sastra ini, Pak Sawali. Waktu SMA saya nggak suka mbaca. Saya doyannya berantem. Tapi dibanding berantem, saya lebih doyan pacaran sih. Hehehe.
Saya ingat, karya sastra pertama kali yang saya baca, yaitu novel Nick Carter. (*ragu-ragu…apakah itu karya sastra atau bukan. Sepertinya bukan yaa?*).
Di perpustakaan sekolah, ada buku Siti Nurbaya. Bosen sekali mbacanya. Sampulnya buluk. Lecek. Sobek kanan kiri. Belum lagi halaman-halaman dalamnya yang banyak saling menempel lengket, seperti majalah porno second hand. Lebih baik baca komik donal bebek. Berwarna. Lucu. Kalo bosen, tinggal dibuang.
Huehehe. Setelah komen ini, baru sadar saya, jawaban dari mengapa saya tidak pandai berbahasa. Huehehee.
—————-
Heeheheheee 😀 Kenapa nggak ngaku sejak dulu kalau nggak suka baca hehehehehe 😀 Tapi Bangaip saya kira kok nggak masuk kategori seperti itu. Gimana orang yang “rabun” sastra bisa memosting tulisan yang aduhai bagus kayak yang di blognya Bangaip itu? Hehehehe 😀
Pak sawali, saya izin ya, tulisan bapak yang legenda sisyphus dan bongkar pasang kurikulum, saya link di tulisan saya berikutnya tentang pendidikan. Nambah-nambah pengetahuan sedikit ttg kurikulum.
Saya juga nge link beberapa nama di list blogroll bapak ttg pendidikan, kebetulan saya tertarik di dunia yang sama, maka oleh itu, mohon bimbingan juga, saya ingin belajar banyak dengan orang yang sudah punya banyak pengalaman seperti bapak.
——————-
OK, silakan Pak Syam. Mangga, kita sama-sama belajar, Pak, sama-sama "menghijaukan" taman pendidikan kita. 😀
emang pak, di sekolah-sekolah pelajaran sastra seakan-akan tak ada, seingat saya di sma dulu gak ada pelajaran mengarang, apalagi resensi buku sastra. gak tahu kalo sekarang.
seumur-umur hanya sekali disuruh baca puisi di depan kelas
————————-
Nah, begitulah, Bung, kondisi pengajaran sastra di sekolah kita. Sastra hanya menjadi sebuah "Indonesia" yang tertinggal. Kebijakan pembangunan dan pendidikan blebih diprioritaskan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Sastra dan kebudayaan? Hanya menjadi asesoris, bahkan sekadar pelengkap penderita.
Hmm, buku di perpustakaan gak up to date!
itu dulu alasan saya enggak mau minjem buku di perpus…
[ini di SMP]
Pas masuk SMA, kepincut sama buku quantum learning, sejak saat itu, saya gemar membaca…
tapi kalau disuruh membaca sastra indonesia, malas.. Kenapa ya?
budaya ini harus digalakkan sejak kecil. perlu peran serta semua pihak untuk menumbuhkan kembali budaya membaca.
Banternya juga anak SMP SMA sekarang bacaannya teenlit melulu, daya nalar tidak berkembang..
——————————–
Ya, pada dasarnya sih semua buku bagus untuk dibaca. Apalagi buku2 motivator yang kini sedang “booming” di pasaran. Bisa jadi sumber inspirasi untuk melakukan hal-hal yang Ok. Oleh karena itu, Bung, saya setuju jika budaya membaca perlu diciptakan sejak dini agar kelak anak2 negeri ini bisa menjadi generasi yang top punya. Salam.
Dynamite summary on . I love this write ups!
Pingback: Guru Bahasa, Guru Sastra, KTSP | Catatan Sawali Tuhusetya
wah…. seneng sekali dapt bergabung dengan Anda sekalian. saya yakin mimbar semacam ini akan banyak sekali manfaatnya. saya mahasiswa bahasa dan sastra di Turki. memang banyak sekali perbedaan dalam dunia sastra antara Indonesia-Turki, dan juga dg negara Timur yang lain. salah satunya yang mencolok adalah di Indonesia belum ada ( atau setahu saya belum ada ) pelajaran membaca dan menulis. adanya cuman pelajaran tata bahasa indonesia. hal ini sangat berpengaruh besar tentunya terhadap perkembangan sastra dan budaya indonesia. seperti rendahnya tingkat baca masyarakat.
semoga dalam waktu mendatang semua pihak akan ikut peduli dengan dunia sastra indonesia.
kami disini juga sedang berproses mereleas bacaan-bacaan untuk sastra anak ( terutama umur 3-15 tahun) dengan tujan utama menanamkan kesenangan membaca sejak dini pada anak.
ok-lah. kami senang dan mendukung usaha anda sekalian. dan yang penting mari kita bersama-sama saling mendukung demi kebaikan bangsa.
ooo
yups, makasih bangte kunjungannya, pak saefudin. sebenarnya dg diberlakukannya KTSP, pelajaran membaca dan menulis bisa disajikan lebih intensif karena jelas menjadi muatan dalam kurikulum. namun, sepertinya masih banyak kendala, salah satu di antaranya adalah kemampuan para guru untuk menyajikannya dg cara yang tepat dan menarik.
Kalo menurutku sih mendingan dipisahkan saja antara sastra dengan bahasa, atau diberi tambahan jam pengajaran mengenai sastra bukan dalam arti hafalan tetapi apresiasi sastra dan menulis karya sastra. 😕
SALAM PAK Guru
Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Lupa Password Winforce(r)
@lovepassword,
bagusnya memang dipisahkan, mas love. tapi sepertinya utk saat ini belum siap, terutama dari SDM gurunya.
Waktu masih SMP, saya suka banget pelajaran Bahasa Indonesia tapi jarang disuruh mengarang tuh. Paling disuruh baca novel NH.Dini, St. Takdir Alisyahbana.
Wah, saya senang sekali baca karya-karya mereka. Meskipun suka nggak ‘ngeh’. Sastra memang berat tapi nikmat.
Hmm, jadi ingin sekolah lagi tapi belajar sastra aja ya.
Baca juga tulisan terbaru fatamorgana berjudul HASIL KUNJUNGAN
@fatamorgana,
wah, salut juga nih dg mas fatamorgana yang usdah suka baca karya sastra sejak SMP.
:d, wahh.. saya baru kali ini buka posting kaya gini,
mungkin saya juga newcormer kalii yak pak..
saya juga anak SMA, kelas 3, kenetulan lagi cari2 babhan tentang sastra, eh… kebuka blog bapak,.
disekolah saya juga lagi gencar2 bkn bulan bahasa, ada lomba mading, baca berita, baca cerpen, bedah karya sastra.. dll dah.
itu juga hasil dari kerjasama OSIS dgn MGMP bahasa indo di skul sayah,.
kebetulan sy antan ket OSIS taon lalu, wkt itu juga sempet pgn ngadain apresiasi bahasa sastra. eh.. baru kesampean sekarang.,
yang lebih seru lagi, seharian di bulan bahasa kami harus menggunakan bahasa indo yg baik yg benar, EYD gituu degh,.
bahasa gaul ato bahasa inggris pokoknya forbidden!!
susah juga sihh, siapa yang syalah..
saya akui aja nih pak, sbg ank SMU baca hikayat ato novel angkatan pujangga ituu susssaHHHHH! bahasanya nyastra banget! kesannya gak menarik gituu dah!
tapii, sy sama temen2 dan adik2 OSIS udh tobat kok, buktinya.. kami semua nepsong banget ikut bulan bahasa..
wahhhhh jadi gak sabar!
nb: buat sekolah yg blon
pernah bikin bulan bahasa
cepetan bikinnn,
maknyuss lohhh
@ECHA,
wah, salut banget dengan aktivitas OSIS di sekolah mbak echa yang gencar menggelar kegiatan sastra pada momen bulan bahasa. semoga acara seperti ini diikuti juga oleh sekolah2 yang lain.
Buku-buku tentang sastra memang untuk anak-anak di zaman seperti sekarang ini tidak begitu menarik. Terlebih lagi saat ini banyak buku-buku bacaan yang lebih mengangkat mengena cerita dan kehidupan anak di kalangan remaja. Dulu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya memang tidak begitu tertarik dengan buku sastra. Tetapi setelah saya mengambil fakultas keguruan dan program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya menjadi tertarik dan ingin rasanya mengajak anak muda sekarang untuk lebih mencintai dunia sastra. Agar kesusasteraan itu tidak punah bahkan termasuk sesuatu yang menarik.
@Nuke Nurwanti,
wah, salut dg aktivitas bu nuke yang sudah tergerak utk mengajak anak2 muda zaman sekarang mencintai sastra. semoga saja upaya seperti ini bisa membangun karakter anak2 muda yang lebih responisf terhadap nilai2 hidup dan kehidupan.
Pingback: Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra? « My Simple Blogz