Mengungkap Keunikan Gumam Asa Bungkam Mata Gergaji

Hamberan Syahbana

I

Sastra

Bungkam Mata Gergaji adalah sebuah buku kumpulan gumam Ali Syamsudin Arsi,yang biasa disebut dengan panggilan Bung ASA, salah seorang sastrawan dari Kalimantan Selatan yang dikenal luas sebagai penulis puisi. Sedangkan di jejaring social facebook dunia maya Bung ASA ini biasa menggunakan akun Ali Arsyi. Buku ini diterbitkan oleh Framepublishing Yogyakarta. Sebuah buku berukuran 13,5 x 20 cm, tebal 148 + xiv halaman dengan nomor ISBN 978-979-16848-4-7.

Desain cover oleh Nur Wahida Idris dengan gambar cover lukisan Pintu Larangan karya Darvies Rasyidin. Cetakan pertama buku ini terbit pada bulan Februari 2011.  Buku ini menyajikan kumpulan 7 Gumam Asa yang terdiri dari: (1) Luka Merah, Merah Apel; (2) Ragam Jejak Rentak-rentak; (3) Bungkam Mata Gergaji; (4) Di Langit Buku Tak Terbaca; (5) Selanjutnya Kartini; (6) Gumam Kepada Gumam; dan (7) Lembar Demi Lembar.

Dilihat sepintas lalu buku ini nampak biasa-biasa saja. Pertama kali membaca isinya seperti artikel kolom yang berisi banyak sindiran halus dan kritik menggelitik terhadap berbagai hal yang terjadi di negara kita. Tetapi ketika dibaca berulang kali dan lebih dalam lagi ternyata ini bukan artikel kolom. Meski isi dan semangatnya sama tetapi berbeda dalam bentuk dan teknik penulisannya. Perbedaan itu terletak pada penggunaan pemaparan kata dan penyampaian masalah yang tidak langsung, tetapi menggunakan ungkapan-ungkapan perumpamaan yang harus dimaknai secara khusus. Tulisan yang seperti ini lebih mendekati pada karya sastra genre puisi. Atau barangkali gumam Asa ini adalah memang benar-benar puisi dalam bentuk tipografi yang berbeda dari puisi karya penyair lainnya. Hal inilah yang membuat buku ini menjadi sangat unik dan sangat berbeda dengan karya sastra dari penulis-penulis lainnya. Bukan saja berbeda dengan buku karya sastrawan Kalimantan Selatan, tetapi juga sangat berbeda dengan buku karya sastrawan Indonesia lainnya. Karena keunikan dan perbedaan inilah maka buku ini menjadi sangat menarik untuk ditelisik lebih dalam lagi. Bukan hanya menarik dalam hal teknis penulisannya saja, tetapi juga menarik dalam hal penyampaian isi, amanat dan pesan moralnya.

Berdasarkan paparan tsb. di atas maka kita perlu menelisik dan mencermati buku ini lebih dalam lagi. Utamanya tentang permasalahan apakah buku ini termasuk dalam katagori karya sastra genre puisi? Dan sejauh mana Kumpulan Gumam Asa ini dapat dihayati, diapresiasi, dan dinikmati. Dalam menelisik dan mencermati Gumam Asa ini, kita bisa melakukan dengan cara yang paling sederhana. Yaitu dengan cara menelisik unsur intrinsik yang ada di dalam karya sastra tsb. Apakah di dalam gumam itu ada unsur intrinsik pembangun puisi? Adapun unsur instrinsik yang dimaksud adalah: (1) bunyi; (2) diksi dan ungkapan; (3) rima; (4) ritme; (5) imaji; (6) majas, (7) judul; (8) tema, (9) amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.

Karya sastra itu dapat dikatagorikan sebagai karya yang masuk dalam genre puisi jika di dalamnya ditemukan sedikitnya ada 7 unsur intrinsik pembangun puisi tsb. Karena karya sastra genre puisi ini memiliki unsur intrinsik yang khas dan sangat berbeda dengan intrinsik cerpen dan novel. Unsur intrinsik pembangun sebuah cerpen dan novel itu ada 7, yaitu  (1) tema; (2) amanat; (3) tokoh; (4) alur atau plot, (5) latar atau setting; (6) sudut pandang, dan (7) gaya bahasa.

***

Kata gumam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suara omongan yang tertahan di dalam mulut. Karena suara itu tertahan dalam mulut maka  kesannya suara itu antara terdengar dan tidak. Bukan berarti dalam gumam itu tak ada kata-kata. Kata-kata itu tetap ada hanya suaranya saja yang kurang jelas. Secara konotatif kata gumam di sini maksudnya adalah karya sastra yang dideklarasikan oleh Ali Syamsudin Arsi dengan istilah Sastra Gumam. Menurut ASA sastra gumam ini terinpirasi dari suara gumam prosesi keagamaan warga transmigrasi asal Bali. Suara gumam yang sepintas lalu hanya bunyi gumam, ternyata dalam gumam yang tak terdengar jelas itu bersisi kata-kata suci yang menyuarakan banyak hal. Dalam hal yang sama gumam Asa ini juga mengungkapkan berbagai masalah yang padu dan menyatu. Ternyata rangkaian kata dan ungkapan tsb. sarat dengan makna, amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan judul dan permasalahan tersebut di atas, esai ini sengaja ditulis untuk mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang Gumam Asa ini. Mengingat terbatasnya kemampuan dan halaman yang ditentukan maka di sini kita hanya mengulas sebagian dari salah satunya saja, yaitu Gumam Asa 3 Bungkam Mata Gergaji.

II
Gumam Asa 3 ini berjudul Bungkam Mata Gergaji. Sedangkan kata Gergaji sendiri mengingatkan kita pada alat yang biasa digunakan untuk pemotong kayu. Dalam konteks Gumam ini secara denotatif kata Gergaji maksudnya adalah alat yang digunakan dalam penebangan hutan secara besar-besaran. Hal ini secara implisit dapat dilihat pada kutipan paragraf pembuka berikut ini.

Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul, negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik walaupun tengadah kulit yang keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas, sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetep bersih putih dan tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting. (Gumam Asa 3 Bungkam Mata Gergaji,  hal. 13)

Meski paragraf pembuka di atas tidak menyebutkan secara khusus adanya gergaji mesin yang digunakan untuk menebangkayu, tetapi secara implisit diketahui bahwa Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul ini sebelum dibakar hangus tentulah ditebang dengan gergaji mesin. Dan sisa penebangan yang berserakan itu lalu dibakar dan dihangus-musnahkan. Karena membakar sisa-sisa penebangan yang berserakan itu jauh lebih mudah daripada membersihkan dengan cara apapun.

Paragraf pembuka ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang begitu dahsyat dan puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul. Secara khusus ungkapan ini dibangun dengan majas tautotes, ada juga yang menyebutnya majas tautology yang ditandai dengan frasa hutan belantara yang bersinonim dan sama artinya dengan frasa rimba raya, demikian pula dengan ungkapan terlanjur hangus bertunggul-tunggul yang dipertegas lagi dengan ungkapan yang sama maksudnya yaitu sudah sangat gundul. Ungkapan-ungkapan ini menjadi indah dibaca dan didengar karena adanya rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata dan pada terlanjur, hangus, bertunggul-tunggul, sudah,  gundul dan pada kata gundul. Di sini juga ada rimaaliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata belantara yang bersajak dengan kata rimba raya. Dan di sini juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [s] pada kata sudah yang bersajak dengan kata sangat. Dan masih banyak lagi rima-rima yang lain.

Di sini juga ada untaian kata negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik yang dibangun dengan majas retoris yang ditandai dengan pertanyaan negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan ungkapan hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan. Di sini juga ada majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul, tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya, dan dalam ungkapan walaupun tengadah kulit yang keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting. Di sini juga ada majas eupimisme yang ditandai dengan ungkapan cuci muka. Dan sekaligus dalam untaian kata sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetep bersih putih. Di sini ada majas litotes yang ditandai dengan ungkapan hanya cuci muka.

Paragraf pembuka ini juga dibangun dan diperindah dengan ritme atau irama yang terbentuk dari pengulangan  bunyi vokal dan pengulangan bunyi konsonan. Hal ini jelas dapat kita rasakan pada untaian kata Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul. Di sini terasa keindahan bunyi karena adanya pengulangan bunyi vokal [a] yang dominan terasa pada Hutan belantara rimba raya. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [ul] pada kata bertunggul-tunggul dan pada kata gundul. Berikut ada juga pengulanganbungi vokal [e] pada rangkaian kata negeri kitakah yang tiba-tiba menjelmahutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik walaupun tengadah kulit yang keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas, sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetep bersih putih dan tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting.

5 Comments

  1. Oh, maaf paparan ini bukan saya yang menuliskannya, tetapi Yang terhormat Bapak Hamberan Syahbana
    Mohon dikoreksi seperlunya, ya Bapak Sawali, saya tidak memberitahukan sebelumnya

  2. Assalaamu’alaikum wr.wb, Pak Sawali yang dihormati…

    Alhamdulillah, senang dapat menyambung silaturahmi kembali ke blog yang diisi dengan sastera hebat negara Indonesia. Buku Gumam ASA yang sangat menarik dari segi bahasa dan susun kata yang indah walau hanya difahami mereka yang mengerti kata siratan yang berdampak besar jika diteliti dengan baik.

    Salam hormat takzim dari Sarikei, Sarawak. 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *