Jalan Menuju Gumam

Oleh M. Nahdiansyah Abdi

Sastra

Empat buku gumam telah diluncurkan oleh Ali Syamsudin Arsi (ASA), yaitu Negeri Benang pada Sekeping Papan (2008), Tubuh di Hutan-hutan (2009), Istana Daun Retak (2010), dan Bungkam Mata Gergaji (2011). Sampai saat ini, penulisnya masih bersikukuh bahwa gumam adalah genre tersendiri, terlepas dari beragam komentar yang memuji dan menyangsikannya. Bagi saya sendiri, hanya ada satu pintu masuk untuk memahami gumam, yaitu kata “gumam” itu sendiri. Orang barangkali kesulitan mengidentifikasi jenis kelamin gumam. Dikatakan puisi bukan, dikategorikan prosa juga tak tepat. Ada orang yang melihat ciri gumam dari kerumitan dan kemampuannya dalam jungkir balik bahasa, yang tentu, membuat lelah pembacaan akibat abstraksi ide yang berlebihan1. Yang lain menyebut gumam sebagai karya yang asimetri, disharmonis, dan menggambarkan adanya dekonstruksi. Dikatakan, Gumam ASA sengaja didesain tidak teratur sebagai dasar estetiknya2. Pernyataan-pernyataan itu barangkali benar adanya. Namun, tak sedikit bagian dari gumam yang runtut, teratur, dan harmonis. Sepertinya gumam ingin melanggar semua batasan-batasan yang ada. Ia bisa sangat puitis, bila sangat prosais, namun juga bisa sangat gelap.

Hanya ada satu pintu masuk untuk memahami gumam, yaitu kata “gumam” itu sendiri. Gumam adalah aktivitas oral. Ia merupakan sebuah tradisi lisan. Walaupun kemudian dituliskan, tak pelak, sebelumnya ia berdengung-dengung dalam pikiran sebagai gumpalan gumam yang mendesak untuk diaksarakan. Dan setelah diaksarakan, ia juga mendesak untuk dikembalikan sebagai gumam. Gumam belum disebut gumam sebelum “digumamkan”. Kira-kira begitulah pandangan saya. Pandangan ini simetris dengan penyair Taufiq Ismail terhadap puisi. Ia mengutip Brogan dan Fleischmann: Saya menyokong pendapat bahwa puisi akan memperoleh seperangkat tubuh lengkap bila ditambahkan kepadanya suatu unsur lagi, yaitu suara lewat pembacaannya3. Ia bicara tentang puisi yang utuh. Dan kita bicara tentang gumam yang paripurna. Keutuhan dan keparipurnaan gumam hanya mungkin lewat penggumamannya. Tak ada cara lain. Ini bisa dilakukan sendirian di kamar atau didesain dalam suatu pertunjukan.

Tidak seketat penulisan teks sastra yang lain, gumam hanya punya satu aturan, yaitu pengakuan. Pengakuan bahwa teks yang ditulis adalah gumam. Titik. Isinya bisa apa saja, mau runtut, mau jungkir balik, mau panjang, mau pendek, mau ditulis rata kanan-kiri atau tidak, mau melanggar titik-koma, mau konvensional, mau puitis, mau bercerita, mau berisi serapah. Terserah. Dan setelah itu, kembali pada formulasi sebelumnya: gumam belum disebut gumam sebelum “digumamkan”.

Merunut Gumam sampai ke Rumah Sakit Jiwa

Barangkali saya adalah satu dari sedikit orang yang sudah tak asing dengan “gumam”. Bentuk gumam yang paling murni, saya pikir, banyak ditemui di rumah sakit jiwa tempat saya bekerja. Seseorang dengan gangguan psikotik4, selain dicirikan dengan adanya waham dan halusinasi, ia juga bicara terdisorganisasi atau inkoherensi. Bagi saya, inilah “gumam” yang sesungguhnya. Dan “gumam” yang satu ini, adalah manifestasi dari gangguan spesifik pada bentuk pikiran. Di dalamnya mungkin ada word salad (kata yang campur aduk), kondensasi (penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep), sirkumstansialitas (pemasukan berlebihan informasi yang tak relevan, meskipun kemudian mencapai tujuan), tangensialitas (yang ini sama sekali tak mencapai tujuan), flight of ideas (verbalisasi yang cepat dan terus-menerus yang menghasilkan pergeseran terus-menerus dari satu ide ke ide lain), clang association (asosiasi kata yang mirip bunyinya tapi berbeda arti), perseverasi (sukar mengalihkan pokok pembicaraan meski stimulusnya baru), derailment (penyimpangan mendadak dalam urutan pikiran), verbigerasi (pengulangan kata atau frasa yang tidak punya arti), glossolalia (ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata-kata yang tidak dapat dipahami/juga dikenal sebagai bicara pada lidah), neologisme (penciptaan kata baru)5.

Gumam yang lestari di rumah sakit jiwa, barangkali memiliki persamaan dan perbedaan dengan gumam yang dipopulerkan oleh Ali Syamsudin Arsi. Persamaannya, saya pikir, ia sama-sama bukan alat untuk berkomunikasi. Orang dengan bicara inkoheren (di buku rekam medik pasien sering ditulis sebagai bicara kacau), kata-kata yang keluar murni ekspresi dari dalam bawah sadar, sehingga kalaupun ada kata-katanya yang “nyambung” bahkan bijak, ia tetaplah tidak memiliki tujuan komunikasi. Sama dengan gumam ASA, seorang pembaca kadang memiliki harapan untuk berkomunikasi dengan teks gumam. Barangkali ada sedikit yang bisa dimaknai, namun pahamilah bahwa gumam memang bukan ditujukan untuk itu. Gumam bukan alat untuk berkomunikasi. Gumam lebih kepada alat ekspresi.

Perbedaannya, barangkali, bicara inkoheren berangkat dari alam bawah sadar yang rembes ke alam sadar manusia, tanpa ia dapat sepenuhnya melakukan kontrol. Sedangkan gumam ASA, adalah aktivitas sadar dalam gelombang otak yang rendah (alpha atau theta)6, dan ada keterlibatan otak kiri yang mengatur simbol dan bahasa, sehingga memungkinkan aktivitas menulis atau mengaksarakannya. Kontrol menulislah yang membedakannya, yang menyebabkan gumam ASA tetap “membumi”. Orang dengan bicara inkoheren akan sangat kesulitan membuat simbol-simbol bermakna dalam keadaan hilang realitas. Kecepatan pikiran melebihi respon motoriknya. Belum lagi muncul labirin-labirin gelap bahasa yang mungkin berasal dari alam bawah sadarnya atau alam bawah sadar kolektif manusia. Simbol-simbol yang akhirnya dapat ditulis barangkali akan berantakan.

Masa Lampau Gumam

Y. B. Mangunwijaya, si penulis novel Burung-burung Manyar, pernah menulis sekumpulan tulisan yang diberi judul Gerundelan Orang Republik7. Gerundelan, papar Romo Mangun, adalah mekanisme bertahan orang-orang kecil terhadap kekuasaan. Ya, gerundelan dan gumam memiliki akar makna yang sama (orang Banjar menyebut garunum). Dengan gerundelan atau gumam, efek tindas dari kekuasaan menjadi kecil. Dengan gumam, kebencian dan kemarahan dapat tersalurkan secara aman tanpa hukuman lebih lanjut dari kekuasaan. Gumam hanya muncul dari posisi sub-ordinat. Ini menjadi jalan orang-orang tertindas yang paling aman untuk menyuarakan perlawanan. Ia hanya membutuhkan seorang penunjuk jalan (baca pemimpin) untuk dikobarkan menjadi sebuah pemberontakan yang nyata.

Dalam bahasan psikoanalisa, bentuk-bentuk perlawanan telah dimulai sejak masa oedipal. Aliran klasik dari psikologi ini mencetuskan sebuah istilah Oedipus Complex. Pada masa itu, anak laki-laki dan ayah berebut perhatian dan cinta ibu. (Perkataan Oedipus sendiri diambil dari kisah tragedi Yunani yang diceritakan oleh Sophocles, di mana Oedipus membunuh ayahnya, lalu mengawini ibunya sendiri). Dikatakan bahwa saat itu, anak laki-laki akan membenci dan memusuhi ayah. Jika perkembangan seseorang terhenti di fase ini, ia akan terus-menerus dalam permusuhan dan perkelahian. Namun jika berkembang, ia akan melakukan sublimasi dengan cara melakukan identifikasi dengan orangtua dari jenis kelamin sama dan energinya dipakai anak untuk bersosialisasi.

Saya kadang tercenung dan memikirkan, bahwa puisi-puisi Rendra, adalah puisi-puisi yang banyak berciri oedipal, jika mau dikatakan begitu. Ayah adalah simbol kekuasaan pertama yang ditemui seorang anak. Dan perlawanan bermula dari sana. Rendra pernah menulis kepada penyair Ajip Rosidi, bahwa perlakuan dan tekanan dari ayahnya merupakan pengalaman terpahit yang membuatnya selalu ingin melawan dan memberontak pada dunia8. Bacalah puisi-puisi Rendra, penuh dengan lukisan perkelahian dan permusuhan terhadap pemilik-pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan itu bisa jadi itu berwujud ayah, majikan, lembaga Negara, lembaga agama, sistem sosial, atau sistem politik. Kompleks Oedipus telah menjadi penyulut api pertama bagi puisi-puisi penuh perlawanan.

Saya menduga, gumam juga berawal dari fase ini, namun fase ini tidak berjalan sempurna atau belum tuntas. Ada proses identifikasi yang macet. Ayah, sebagai pusat kekuasaan yang pertama, di mata anak berada dalam posisi yang membingungkan. Ia dicaci, tapi juga dirindukan. Ia sangat dihormati, tapi juga dibenci. Ia membuat kesal, tapi perlindungannya masih diharapkan. Mungkin ada pengalaman-pengalaman traumatis yang direpresi sehingga identifikasi yang mulai berjalan menjadi terganggu. Ini menyebabkan perasaan terbelah antara ingin melawan dan ingin sebuah figur. Bentuk-bentuk perlawanan menjadi tak maujud, namun juga tak hilang sama sekali. Ia menjadi api dalam sekam. Gumam memberi jalan tengah. Dengan gumam, ia dapat sekaligus melawan sambil terus melakukan identifikasi.

Jika menengok ke fase yang lebih awal, maka gumam juga memiliki basis perkembangan yang mungkin terkait. Fase ketika bayi mengeluarkan suara-suara yang tidak memiliki fungsi komunikasi. Dikenal dengan meraban atau mengoceh. Karl Buhler menyebutnya sebagai monolog ocehan. Mengoceh ini dimulai sekitar umur 3 bulan dan merupakan tanda dari permulaan perkembangan bahasa. Van Ginneken dan Gregoire  memandang hal ini tidak hanya bermakna terpenuhinya kebutuhan fisiologis, namun juga mempunyai arti emosional. Semacam hadirnya perasaan-perasaan positif, rasa senang dan kepuasan, penerimaan dan cinta.9

Gumam, jika dilihat dari perspektif ini, memiliki dua makna. Pertama, secara tidak sadar, ia merupakan bentuk pengulangan fase perkembangan yang lebih awal atau regresi ke fase, yang oleh Freud, disebut fase otoerotik oral. Fase ketika seseorang mendapatkan lagi penerimaan dan cinta. Kedua, secara sadar, ia menjadi alat bertahan dari ketegangan-ketegangan yang muncul karena benturan kekuasaan. Gumam mengembalikan kekuasaan kepada pemiliknya, penggumamnya.

Terkait dengan kekuasaan ini, gumam yang awalnya muncul di masa oedipal, terus dipertahankan secara konsisten pada tahap perkembangan selanjutnya. Ia bisa menjadi alat yang efektif untuk menyuarakan perlawanan. Menggumam adalah bentuk perlawanan tak kentara, yang diam-diam, tanpa pusat kekuasaan merasa terusik. Ia bisa menyasar siapa pun yang bertindak sewenang-wenang. Jika pun pusat-pusat kekuasaan terusik, dan bertanya: “Apa kamu bilang?!”. Si tertindas masih bisa berkelit. Ada keuntungan psikologis yang didapat oleh penggumam. Ia dapat dipandang sebagai “yang gila” sebagaimana orang yang bicara inkoheren. Ia dapat mengungkap hal yang terang menyimpang dalam akrobat bahasa. Hanya kekuasaan yang paranoid yang memiliki perhatian dan merasa terancam. Namun, menanggapi penggumam pada akhirnya hanya akan menimbulkan cibiran: sama gilanya!

Gumam juga patut diduga sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni estetika sastra Jakarta terhadap daerah. Dulu pernah heboh gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman, yang dimotori oleh Beno Siang Pamungkas, Kusprihyanto Namma, dkk. Pihak “daerah” menuding Jakarta telah bersikap tidak adil dan menutup ruang terhadap sastrawan dari daerah. Pihak “Jakarta” menyatakan subtansinya bukan itu, dan balik menuding bahwa orang daerah hanya frustrasi karena karyanya tak dimuat-muat oleh media pusat. Gumam, saya pikir, adalah sebuah mekanisme untuk mengembalikan kekuasaan orang-orang tertindas. Setidaknya penguasa tak leluasa menjamah wilayah ini, wilayah gumam, wilayah yang penuh rahasia. Ini sepadan dengan pernyataan implisit dari ASA sendiri dalam pengantar Istana Daun Retak. Katanya:”Apa pun bentuk peristiwa yang dialami oleh gumam, dalam perjalanannya, tetaplah ia sebagai proses kreatif penulisan. Sebagai jejak telapak di sepanjang perjalanannya. Jangan paksakan untuk menjadi ‘harus jelas’ sebab ada beberapa petunjuk tersimpan ‘sebagai rahasia’. … Rahasia menempati posisi penting karenanya. Bahkan rahasia itu juga ada di benak pembaca. Karena pembaca memiliki ‘kekuasaan’, memiliki rahasianya sendiri-sendiri.

Kerahasiaan yang dipertahankan gumam adalah kekuasaan itu sendiri.  Dengan Gumam, ASA barangkali terbebas. ASA merasa merdeka dari praktik-praktik hegemoni sastra Jakarta yang banyak membebani sastrawan-sastrawan daerah. Ya, bukankah banyak sastrawan daerah yang baru merasa ditahbiskan sebagai sastrawan setelah karyanya menembus media pusat? Tentu dengan estetika pusat pula? Bukankah gumam sebuah pembebasan estetika? Ah, di luar pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan itu, percayakan pembaca bahwa tulisan saya ini adalah sebuah gumam? Saya serius.

Untuk menutup tulisan ini, tidak afdol rasanya jika tidak mengutip gumam ASA. Barangkali anda terinspirasi.

Pohon-pohon Rumbia10

Pohon-pohon itu tertinggal jauh dari derap langkah perjalanan yang lama tidak lagi meninggalkan jejak di lumpur, “Lihatlah ujung atap rumah itu pun lenyap tanpa mampu bernapas, bahkan untuk dirinya sendiri, kita tak mampu,” selembar atap rumbia hanyut di arus sungai menuju laut yang begitu luas

“Adakah yang akan berangkat di subuh bercuaca kabut itu,” suara dari menara dan kini kita semakin melupakan bahwa ada yang menangis di bawah lumpur mereka.

Banjarbaru, 27 Juli 2013

Catatan Kaki:

1. Baca Gumam Asa, Aforisma dan Pasta Kebenaran oleh Sainul Hermawan, dalam buku Bungkam Mata Gergaji. Penerbit, Framepublising, Yogyakarta. Cet. Pertama, 2011, hlm. 139.

2. Baca “Gumam ASA”: Wawawan Estetik Disharmoni, Asimetri, dan Dekonstruksi oleh Dimas Arika Mihardja, dalam buku Bungkam Mata Gergaji. Penerbit, Framepublising, Yogyakarta. Cet. Pertama, 2011, hlm. 120.

3. Lihat buku Malu (Aku) jadi Orang Indonesia oleh Taufik Ismail. Penerbit Yayasan Indonesia, Jakarta. Cetakan kedua, 2000, hlm. 201.

4. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, dihindari pemakaian istilah “seorang neurotic”, “seorang skizofrenik” atau “seorang pecandu”. Namun dipakai istilah “seseorang dengan skizofrenia”, “seseorang dengan gangguan neurotik”, dsb. Istilah teknis ini mengacu pada anggapan bahwa penggolongan gangguan jiwa bukan untuk menggolongkan orang-orang.

5. Disarikan dari berbagai sumber, diantaranya Sinopsis Psikiatri, jilid I, edisi ketujuh, oleh Kaplan dan Sadock (2010). Buku Saku Psikiatri oleh Residen Bagian Psikiatri UCLA (1997), Ilmu Kedokteran Jiwa oleh W.M. Roan (1979),

6. Gelombang otak alpha dan theta adalah area di mana seseorang dapat sangat sugestif dan kreatif. Pembagiannya sebagai berikut: Ada kondisi sadar dan sibuk, yaitu gelombang Beta (24 – 14 cps), gelombang Alpha (14 – 7 cps), gelombang Theta (7 – 3,5 cps) dan gelombang Delta (kondisi tidur normal, 3,5 – 0,5 cps).

7. Gerundelan Orang Republik adalah buku kumpulan tulisan Y.B. Mangunwijaya. Buku itu pernah saya miliki, namun saya hibahkan ke sebuah SMP sewaktu KKN dulu.

8. Baca tulisan Biografi W.S. Rendra oleh Edi Haryono, dalam Doa untuk Anak Cucu (kumpulan puisi Rendra yang belum pernah dipublikasikan). Penerbit Bentang, Yogyakarta. Cetakan I, 2013, hlm. 74. Rendra mengenang: “Konflik dengan ayah itu agak membekas dan lama baru hilang.” Ia pun mengatakan, meskipun tidak cocok dan sering bentrok, ia kagum pada nalar dan cara ayahnya mempertahankan moral. “Saya ini justru mirip ayah saya, sama-sama keras,” ujar Rendra. Di sini mulai kelihatan Rendra melakukan identifikasi.

9.   Lihat buku Psikologi Perkembangan oleh F.J. Monks, A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono. Gadjah Mada University Press. Cet. 11, Yogyakarta, hlm. 158-159

10. Lihat Bungkam Mata Gergaji. Ali Syamsudin Arsi. Penerbit, Framepublising, Yogyakarta. Cet. Pertama, 2011, hlm. 11.

Keterangan:
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Mengulas Karya Sastra di ajang Aruh Sastra Kalimantan Selatan X di kota Banjarbaru tahun 2013 dan menjadi juara III. M. Nahdiansyah Abdi adalah pengarang yang kini tinggal di Banjarbaru.

6 Comments

  1. Assalaamu’alaikum wr.wb, Pak Sawali….

    Tulisan di atas sangat menarik kerana menjelaskan bagaimana proses bergumam itu bisa terjadi. Kita jarang mendengar adanya tulisan secara gumam ditulis kecuali setelah Gumam ASA meluncurkan buku2nya sedangkan jalan menuju gumam itu terjadi spontan dalam kehidupan kita.

    Menurut saya proses gumam ini sangat menarik ibarat bermonolog tetapi memerlukan kemahiran dan kepintaran bahasa yang baik serta santai mengasilkan ide yang kreatif. Salut buat Gumam ASA dan M. Nandiansyah untuk tulisan berbobot ini.

    Salam sejahtera dari Sarikei, Sarawak. 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *