Cutdacraeh

Cerpen Triyanto Triwikromo
Dimuat di Media Indonesia (11/16/2003)

SUNGGUH, Rahwa, di taman itu aku telah melihat sepuluh bibirmu mendesahkan keperkasaan para raja yang tak henti-henti bercumbu saat hujan mendera beranda dan keheningan ranjang. Wajahmu sungguh berbinar-binar ketika dara-dara bermata biru itu mengajakmu berenang di kesunyian kolam. Tanganmu sungguh perkasa ketika sepuluh perempuan berwajah pelangi menyeretmu ke semak-semak taman.

Jadi, apalagi yang kaukhawatirkan, Rahwa? Semua perempuan paling pelangi telah kauberi sayap, sehingga mereka bisa menemanimu terbang ke gunung lembah ke laut pantai ke awan gemintang. Semua perempuan paling memukau telah kauberi mulut api, sehingga mereka bisa menciptakan neraka syahdu sambil memelukmu semalaman.

Maka seharusnya kau tak perlu lagi memenjara aku di taman penuh kelelawar ini. Kau tak perlu lagi membelitkan ular-ular berbisa di pepohonan jika yang kauinginkan hanyalah sepotong wajahku yang kehabisan desis. Kau tak perlu menciptakan lingkaran api di sekujur taman jika hanya ingin mendapatkan keheningan mataku yang telah terbakar.

Ya, ya, tanpa memandangku dengan sorot mata yang menggergaji pun aku terpesona pada sepuluh wajahmu yang penuh tanduk itu. Tanpa mendesiskan kata-kata bertabur melati pun, aku tak mampu berpaling dari sepuluh bibirmu yang senantiasa kauolesi lipstik biru itu. Jadi, urungkan keinginanmu membunuh lelaki mana pun yang telanjur membenihiku dengan pandangan mata penuh berahi. Urungkan niatmu mencongkel mata kekasihku hanya karena kautak ingin dia membelitku dengan pandangan yang menguarkan selendang sutra sarat cinta.

Sungguh, Rahwa, tak perlu kauberlagak membangun taman terindah, pantai berbunga ketam, aku mengagumi otot lenganmu yang perkasa. Tanpa kaubersimpuh bak paderi di patung seribu dewa, aku mengagumi matamu yang terus-menerus membuncahkan api.

Jadi, kau tak perlu menculikku. Kau tak perlu berpura-pura mencintaiku. Aku benci kepura-puraan. Aku benci bibirmu yang tak berani melumat bibirku di keramaian pasar.

/2/

TENTANG Ram, suamiku, apalagi yang bisa kuharapkan dari pria pesolek yang lebih mencintai Laks, –pria cantik yang tak henti-henti mengepak-ngepakan sayapnya– yang molek itu? Kausangka aku mencintai kejantanannya yang wangi? Kausangka aku mengagumi tutur katanya yang menguarkan cacing-cacing berlendir? Tidak! Tidak! Perkawinan kami hanyalah sebuah kutukan yang tak terhindarkan. “Kawin denganku,” kata Ram, “adalah kawin dengan kesegaran semangka. Kawin denganku adalah piknik tak habis-habis ke hutan hijau. Kawin denganku adalah bersembunyi sepanjang hayat dari keruwetan dunia.”

Dan aku selalu membutuhkan kesegaran semangka, karena itu aku mau dipinang pria berambut ular itu. Dan aku menyukai hutan hijau, karena itu aku bersimpuh di kaki perkasanya, saat sebuah hutan hijau dihadiahkan kepadaku. Dan, tentu aku mengikut ke mana pun dia pergi karena aku memang tak ingin jatuh ke jurang kehidupan yang ruwet.

Sekarang aku kecewa. Ketika kau (Rahwa, pria perkasa berbulu ulat sutra) menculikku, dia diam saja. Aku tahu di hadapan dunia dia bilang, “Cintaku, ke ujung angin pun akan kukejar siapa pun yang menculikmu.”

Namun, aku juga tahu: sehari sebelum mengulum bibirku untuk kali terakhir, dia memberi sirip ikan pada Laks. Dan itu berarti saat dia meninggalkan aku di hutan, mereka berenangan ke dasar danau yang gelap, bercinta tanpa takut dipandang sepasang mata perempuan yang telah dibutakan kesetiaan.

Oh, dia sangka Laks akan memberikan danau yang tak habis-habis dihirup. Dia sangka Laks yang seluruh gerak tubuhnya menggemulai bakal mengajak dia menyelam ke ujung pengembaraan cinta tanpa ujung.

Laks, kau tahu, tak lebih dari celeng yang mendengus-dengus kebingungan saat ditinggal sang majikan. Dan Ram tak tahu dalam tirai gaib –ranjang paling mustahil ditiduri pejantan lain– Laks menggigit leherku berulang-ulang. Dan dia sungguh celeng bagiku: mendengus, menusuk-nusuk sekujur tubuh dengan taring tajam, dan terkulai ketika kubisikkan desah betina anjing yang kehilangan akal.

Maka sungguh sialan seluruh isi dunia kalau terus-menerus memuja Ram dan menganggapku sebagai istri seputih bengkoang. Lihatlah mataku yang kian jalang. Oh, lihatlah mataku yang mendamba siapa pun tersesat di hutan. Dan kini aku jelas-jelas merindukan Rahwa muncul dari biru kolam, datang dengan dayang-dayang, dan mengajakku memaknai kehidupan.

/3/

JADI, begitulah Jata, kau tak perlu bersitegang dengan Rahwa hanya karena ingin menjaga kesucianku. Kau tak layak mati hanya untuk menjaga tanduk keindahanku dari sentuhan sayap Rahwa.

“Namun, siapa pun akan menangis kalau sampai Rahwa mencium keningmu….”

Tak akan ada yang menangis untuk sesuatu yang kelak kita sebut sebagai mimpi, Jata. Tak ada yang akan menangis untuk sesuatu yang kelak hanya dibuang sebagai legenda. Terbanglah mencari Ram. Katakan padanya: hanya anjing yang akan setia pada seonggok daging tanpa kenangan.

“Aku ditakdirkan turut menjaga kesucianmu, wahai Putri Junjungan!”

Kesucian? Tahu apa kau tentang kesucian? Paruhmu yang runcing lebih suci ketimbang jari-jemari lentikku, Jata. Sayapmu yang perkasa juga lebih suci ketimbang bibirku yang tak henti-henti mendesiskan nama Rahwa.

Kesucian, kautahu, hanya omong kosong para dewa. Kesucian hanyalah cermin retak yang senantiasa ingin diutuhkan. Kau tak bisa bilang dirimu paling suci kalau kau tak membunuh siapa pun yang mengaku menciptakan taman untuk para pendosa. Kau tak bisa bilang dirimu paling suci kalau masih menganggap dunia hanya layak dihuni oleh kepompong, ulat busuk, dan makhluk murahan yang mengagungkan cinta lebih dari kematian.

“Aku akan mati untukmu, Tuan Putri!”

Jangan, Jata! Jangan! Kematianmu hanya akan jadi kenangan para badut. Kematianmu hanya akan dikenang sebagai berahi percuma. Ya, ya, aku tahu, Jata, kau pun ingin menyentuh sepasang sayap indahku menjelang sakratul maut. Karena itu, kematianmu tak lebih dari desah terakhir seekor burung yang kehabisan waktu untuk mencericitkan berahi.

Maka terbanglah jauh-jauh dari hutan ini, Jata. Kabarkan kepada Ram: aku menolak pulang ke istana. Aku menolak menjadi perempuan berpayudara kencana jika kesucian cuma dijadikan permadani yang siap diinjak-injak. Katakan padanya: aku telah menjadi perempuan jalang, tetapi aku merdeka dari segala kutuk kehidupan yang cuma menganggap tanduk indahku sebagai barang mainan.

Aduh, Jata! Aduh! Mengapa kau tak mau mendengarkan kata-kataku? Mengapa kau tetap bertempur dengan Rahwa demi Ram yang pesolek itu? Kenapa mesti kau yang mati, Jata? Kenapa mesti kau?

/4/

SUDAH kubilang aku tak percaya pada sepuluh bibirmu, Rahwa, tetapi aku telanjur ingin memiliki satu bibirmu yang paling ranum. Pagutanmu begitu melenakan dan aku selalu meyakinkan diri betapa kelak bakal lahir kanak-kanak manis dari sepasang bibir yang tergesa-gesa bersentuhan.

Tidak! Tidak! Aku tentu lebih terpesona pada mantra cinta yang kausenandungkan saat kita berguling-guling di semak-semak taman. Aku tentu lebih kagum pada gigitan ganasmu menjelang kelelawar-kelelawar bergegas menabrak-nabrak keheningan pohonan.

Dan sungguh hanya bibirmu yang mengubah senja kerontang jadi langit penuh kabut. Hanya bibirmu yang mengubah arah terbang sepasang burung yang ketagihan kesejukan danau di ujung hutan. Namun, kau tak pernah memberikan sepotong bibir tanpa lipstik, Rahwa. Selalu kauoles bibirmu dengan lipstik biru penuh dusta.

“Hanya kau yang layak memiliki bibirku, Sayang. Hanya kau yang layak memagutnya semalaman,” katamu berulang-ulang.

Bukankah itu kebohongan yang tak terampuni, Rahwa? Bukankah selalu setiap malam tak seorang dayang pun tidak menyentuh sayap dan bulu-bulu ulat sutra di dadamu yang bidang? Bukankah tak seorang dayang pun tak memuja sorot mata kelelawarmu yang menawan?

“Oh, sejak mengenalmu aku tak pernah menyentuh ranjang, Cintaku. Sejak mengenalmu tak kudesahkan kata-kata penuh lendir di sekujur tubuh para dayang itu.”

Aha! Itu sungguh kebohongan yang menawan, Rahwa. Kebohongan yang membikin sungai jadi kering, hutan jadi meranggas, dan mataku jadi rabun.

“Rabun?”

Ya.

“Buta?”

Belum.

“Belum?”

Ya, belum. Segalanya toh belum berakhir sebelum Ram membakarku. Segalanya masih berjalan sebelum kau terbunuh dan aku menangis sesunggukan di ujung taman. Oh, apakah kau mendengar keluhanku, Rahwa? Apakah kau hanya menjadi bayang pudar yang menghilang setelah malam menggilas kesunyian taman? Apakah kau masih akan membelitkan seratus ular di kakiku demi cinta yang tak masuk akal?

Tidak, Rahwa! Aku tak percaya pada sepuluh bibirmu yang tak meyakinkan itu. Kalau saat pembakaran itu tiba, mungkin aku baru percaya: hanya cintamu yang mengekal. Hanya cintamu — meski telah menghunjam di kulit ari para dayang– yang mampu mengubahku jadi bunga jadi malam gaib jadi mangga paling manis. Apakah kaudengar suaraku, Rahwa?

/5/

KINI kau pun mengerti siapa dirimu, Ram. Kau hanya pangeran kencana yang tak mengerti mengapa gua-gua di ujung taman penuh kera berkepala anjing itu menujum hari kematianmu dengan hati bengis. Kau hanya pencinta bodoh yang tak mengerti makna kesetiaan palsu anjing-anjing berkaki garuda yang senantiasa memujamu.

Dan sekarang aku bertanya kepadamu: apakah kau pernah menganggap aku sebagai anggrek jelita yang tumbuh di rawa-rawa penuh buaya? Kau hanya menganggap aku sebai ular, berudu, kecebong busuk, serangga pemuja kepompong, atau lendir yang menetes-netes di kelamin ayam.

Kau tak pernah memujaku sebagai ikan, jelita paling kemilau di kolam penuh teratai. Kau tak pernah mencumbuku sebagai anjing cantik yang melenguh-lenguh bukan?

“Tidak, Tuan Putri. Ram sangat mencintaimu,” dengus kera tampan itu sambil menari.

Ya, ia boleh berkata begitu, tetapi aku telanjur tak percaya kepada bibir siapa pun. Juga bibir Ram. Juga bibir semesta sialan.

“Kita tak punya bibir lagi, Tuan Putri. Jadi, tak perlu mempersoalkan bibir siapa pun. Rasakanlah, Putri Junjungan, kita hanya bisa bercakap dengan hati.”

/6/

TIDAK! Tidak, Rahwa! Kau memang akhirnya tahu, kera tampan itu akhirnya membakar taman, Ram membunuhmu –meski tak tahu betapa kau tak pernah bisa dimatikan– dan bagai sepiring tulang rusuk aku dihidangkan kepada anjing paling brengsek.

“Apakah kau masih rusa putih bagiku, Cintaku?” Ram mendesis saat itu.

Tak perlu kujawab pertanyaan bodoh itu, bukan? Kau yang paling tahu, Rahwa. Kau yang paling tahu apakah senja akan tetap disebut senja jika sepotong bulan mengilau di tubuh langit?

“Jangan hanya diam, Cintaku. Jangan hanya bersembunyi di balik bibir kemilau?” Ram mendesis lagi –tentu mirip anjing.

Dan aku toh tetap tak sudi memenuhi perintah Ram. Maka, murkalah pangeran busuk itu.

“Apakah kau tak takut pada api?” Ram bertanya lagi, “Apakah kau tak takut pada mati?”

/7/

“APAKAH dia jadi membakarmu?”

Ya. Dia membakarku.

“Kalau dia membakarmu, mengapa kau masih bisa bercumbu denganku?”

Karena api takut padaku. Karena tubuhku telah dililit mahaapi sebelum api-api bodoh itu menyambar rambutku.

“Dan Rahwa?”

Rahwa membiakkan anak-anakku di danau. Semesta telah mengubahnya menjadi ikan bagiku.

“Dan aku?”

Kau hanya menjadi kera buruk rupa, pencerita yang menunggu hari mati. Kau hanya menjadi abdi penyeru bagi cerita-ceritaku yang dulu disembunyikan para pencari ikan di pantai yang sunyi ini. Kau hanya menjadi pemungut kerang. Kau hanya bisa menatap anjing-anjing kudisan berlarian mengejar hampa.

“Jadi….”

Jadi, kau tak perlu mengekalkan cintamu kepada siapa pun. Sekarang peluk aku. Setelah itu tidur dan bermimpilah tentang sepasang kerang, sepasang anjing, sepasang pantai dan sepasang maut yang menunggu kita di kesunyian bunga-bunga karang. Ya, ya, tidurlah, Sayang. Kau sudah mengantuk bukan?

/9/

AKU tak tidur-tidur. Aku tak mati-mati.

/10/

RAM tidur. Rahwa tidur. Ram mati. Rahwa mati. Dan kau, perempuan api, mengigau tak henti-henti. Tak henti-henti.

Semarang, 30 September 2003

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *