Orang Samin dan Pandangan Hidupnya

Oleh: Sutamat Arybowo
(Peneliti LIPI dan Anggota Asosiasi Tradisi Lisan)

Pada suatu hari di rumah elite desa sedang berduka karena putra tertuanya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal dunia. Warga desa kumpul melayat dan mempersiapkan upacara pemakaman jenazah. Beberapa warga desa hilir-mudik dan sebagian duduk berjejer di tempat yang sudah disediakan di halaman rumah. Dalam keadaan mulai sunyi, di tengah kerumunan jenazah, datanglah seorang laki-laki tua, usianya lebih kurang 75 tahun, mengenakan baju kurung lengan panjang warna hitam, dengan celana selutut berwarna hitam pula. Sarungnya diselempangkan di bahu sebelah kiri dan capingnya yang terbuat dari daun lontar dibuka lalu ditempelkan di dada kiri, dan di atas kepala mengenakan udeng (ikat kepala) motif batik warna hitam kecoklatan. Dengan percaya diri ia masuk ke rumah menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, ia seolah tak kenal siapa pun para tamu yang duduk di situ.

Setelah tiba di depan jenazah, ia membuka tutup bagian atas sembari menatap wajahnya. Lalu ia mengatakan, “Sedulur, asalmu ora ono/Terus dadi ono/Saiki ora ono maneh/Yo wis, tak dongak-ke slamet.” (Saudara, asalmu tidak ada/Lalu menjadi ada/Sekarang tidak ada lagi/Ya sudah, saya doa kan selamat.)

Kemudian tutup jenazah dikembalikan seperti semula, lalu ia mundur pelan-pelan sampai ke pintu rumah dengan membalikkan arah dan menuju ke halaman rumah. Setelah itu ia ikut duduk bersama-sama tamu yang lain. Ia memilih duduk di pinggir dekat pintu masuk menuju rumah sehingga beberapa warga banyak yang kenal. Pada saat ketemu orang lain yang menyapanya, ia selalu mengatakan sedulur, yang maknanya sama-sama saudara.

Perilaku kultural seperti itu dikategorikan sebagai orang apa? Bagaimana ia menghayati hubungan individu dirinya dengan sesama, dengan alam semesta, dan dengan Sang Pencipta? Sudah banyak tulisan tentang masyarakat Samin, bahkan ada yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dari zaman kolonial Belanda hingga saat ini. Beberapa informasi mengatakan bahwa Saminisme sebagai sebuah sejarah perlawanan terhadap kekuasaan telah diubah menjadi deskripsi kebudayaan.

Jujur dan pemurah
Sejak dikenal umum dari zaman kolonial Belanda, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu. Orang Samin memiliki rasa religi yang kuat sehingga sering kali membuat para pendatang (tamu) merasa risi dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap para tamu. Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan berapa harganya. Masyarakat Samin memiliki jiwa yang polos dan terbuka. Mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi dan bercampur bahasa Jawa ngoko dan sering kedengaran kasar.

Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin, orang Samin selalu beranjak pada eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu Ono niro mergo ningsun, ono ningsun mergo niro. (Adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya.) Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri).

Semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik, begitulah ringkasnya. Bagi orang lain yang tidak memahami eksistensi orang Samin, mereka bisa jadi menyebutnya sebagai Wong Sikep, yang artinya orang yang selalu waspada. Atau disebut juga Wong Kalang karena orang lain akan menganggap ketidakrasionalan pikiran, keeksentrikan perilaku, dan ketidaknormalan bahasa. Tetapi, bagi sesama orang Samin selalu menyebut kepada orang lain Sedulur Tuwo.

Ini pun tampak di dalam ia merenung dan berdoa kepada “Adam”, selalu minta keselamatan untuk dirinya, sesama makhluk alam semesta, dan juga Sang Pencipta sendiri. Ungkapan Sedulur Tuwo tak pernah ditinggalkan. Doa orang Samin juga selalu berhubungan dengan keadaan ekologi dan ekosistem di mana mereka berdomisili. Orang Samin yang tinggal di daerah Desa Klopo Duwur, Kecamatan Randu Blatung, Kabupaten Blora, misalnya, menunjukkan secara siklus hubungan antarmanusia sebagai pribadi, antarsesama manusia, antara manusia dan alam lingkungan. Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat dijumpai dalam ucapannya, seperti: Banyu podo ngombe/Lemah podo duwe/Godong podo gawe. (Air sama-sama diminum/Tanah sama-sama punya/Daun sama-sama memanfaatkan.)

Ucapan itu oleh pengikut Samin ditafsirkan secara bijak, maksudnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dijaga. Tidak berarti sama rasa, sama rata, seperti tuduhan orang lain di luar komunitas Samin. Dalam praktiknya, mereka justru ikut menjaga pelestarian kayu jati di daerah Blora. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan masak-memasak. Hal itu sudah berjalan sejak leluhur mereka masa lalu dan mereka tidak mau merusak hutan. Berdasarkan pandangan seperti itu, tampaknya orang lain sering kali menerjemahkan kata “Samin” sama dengan Sami-sami Amin.

Sejak masa kolonial
Pada mulanya ajaran orang Samin ini berasal dari seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tidak mau ikut kerja paksa. Seperti tokoh perintis kemerdekaan Indonesia yang lain, ia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat tahun 1914. Namun, ajarannya masih dianut oleh pengikutnya hingga sekarang di beberapa daerah yang disebutkan di atas. Beberapa catatan kolonial Belanda menyebut bahwa Kiai Samin Surosentiko dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, selalu melawan pemerintah. Oleh karena itu, ajarannya tidak boleh disebarluaskan dan oleh mainstream agama pada saat itu dianggap sesat, lalu mau tidak mau ia harus diasingkan dari pengikutnya.

Dalam kaitannya dengan deskripsi singkat ini, maka nilai tradisi yang dapat dipetik adalah bagaimana strategi ajaran orang Samin dalam mengimplementasikan kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka antikekerasan, jujur, terbuka, dan tidak mau menyakiti orang lain. Orang Samin mengejawantahkan kehidupan dengan solidaritas sosial. Juga pada zaman Orde Baru, ketika mereka menggunakan kiat atau strategi ngumumi; tidak melawan pemerintah, tetapi mengkritisi secara pasif.

Mereka memang tidak mau ikut program KB karena sudah punya cara sendiri. Mereka juga tidak ikut program Bimas-Inmas dan tidak mau terima kredit dari BRI supaya tidak ngemplang. Orang Samin bikin pupuk sendiri, bikin irigasi sendiri. Pendeknya, dalam hidup, mereka tidak bergantung kepada teknologi maju. Orang Samin benar-benar sebuah contoh kasus komunitas yang benar-benar memiliki kemandirian. Oleh karena itu, masyarakat Samin tidak mengenal krisis ekonomi dan moneter. ***

Sumber: www.kompas.com

Comments

  1. sungguh luhur budaya orang samin, tapi sekarang sudah terlindas oleh budaya budaya modern yang lebih mementingkan materi

    Baca juga tulisan terbaru endar berjudul Ngumpulke balung pisah

  2. komunitas yang seperti ini sangat langka dimasa sekarang ini, semoga saja ada yang membangunnya di ranah maya 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *