Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

Pernahkah Sampeyan mengikuti diskusi sastra yang panas dan menegangkan? Ya, forum-forum diskusi sastra memang acapkali diwarnai situasi semacam itu. Hal itu cukup beralasan, sebab umumnya dihadiri oleh para kreator yang selama ini dikenal sebagai orang-orang “gila” dan “keras kepala” dalam beradu argumen. Bahkan, cenderung menjadi seorang narcisus; berapologi secara berlebihan dalam menjustifikasi kebenaran-kebenaran nilai kreativitas yang dianutnya.

Tiba-tiba saja saya teringat peristiwa diskusi sastra 11 tahun yang silam. Bermula dari diskusi dalam acara “Nurdien Kembali” (17/7/1996) di aula Fakultas Sastra Undip, Semarang, Jawa Tengah. Bambang Supranoto, seorang penyair yang didaulat sebagai pembicara, mulai membedah puisi-puisi Nurdien yang terkumpul dalam Sajak Orang-Orang Desaku (SOOD), setelah Nurdien usai membacakan beberapa puisi karyanya. Dengan vokal khasnya yang kalem, tetapi menukik tajam, Bambang menilai bahwa puisi-puisi Nurdien telah kehilangan metafora. Diksinya terlalu verbal, sehingga tidak memberikan kemungkinan-kemungkinan penafsiran (multitafsir) yang menjadi “ruh” puisi. Akibatnya, ungkap Bambang, penikmat terindoktrinasi dengan gaya ucap yang demikian lugas.

amud5c155ccaksonohf3.jpg Tampaknya, Nurdien H. Kistanto benar-benar “berang” atas serangan kritik yang ditujukan terhadap kumpulan pusinya. “Keberangan” Nurdien bisa dimaklumi lantaran sebagai penyair, ia butuh legitimasi, butuh dipahami cara dia berkesenian. Bukan caci-maki, apalagi hujatan yang menafikan nilai-nilai keberadaan manusiawi dalam memahami proses kreativitasnya. Memahami penilaian Bambang yang demikian “keras”, pada akhir diskusi, Nurdien tidak berkenan. Penyair yang juga antropolog ini menilai bahwa Bambang sangat subjektif dan emosional dalam menganalisis puisi-puisinya. Miskin teori, bombastis, dan pengetahuan Bambang, lanjut Nurdien, hanya sebatas metafora.

Dari peristiwa tersebut, paling tidak ada dua substansi yang layak dicatat. Pertama, penyair menjadi “alergi” terhadap penilaian dan kritik yang kasar, keras, dan tidak manusiawi, sebab telah dianggap sebagai ulah pelecehan dan penghinaan yang tidak beradab, yang tidak ada upaya penghargaan dan legitimasi seorang penyair dalam berkesenian. Kedua, pengamat (kritikus) cenderung menggunakan “kacamata” personal, sehingga tingkat objektivitas dan akseptabilitasnya diragukan. Apalagi, pengamat tersebut sama-sama penyair. Akibatnya, karya orang lain terkesan “dipaksakan” untuk memenuhi selera estetik dan gaya ucap pribadinya. Imbasnya, kritik puisi yang esensinya diharapkan dapat menjembatani kepentingan kreator dengan publik menjadi nihil. Masing-masing bersikukuh untuk memegangi kebenaran visi dan persepsinya, tanpa ada upaya untuk memahami dan menghargai bagaimana orang lain berproses kreatif dalam pergulatan seni dan budaya.

Tampaknya, fenomena ini membenarkan jargon klasik bahwa penyair cenderung menjadi seorang narcisus dalam memahami eksistensi penyair lain. Artinya, seorang penyair cenderung berpretensi bahwa karyanya sendirilah yang layak memperoleh nilai plus. Penghakiman Bambang terhadap SOOD, jelas menunjukkan kecenderungan ke arah itu. Bambang terlalu bernafsu menggunakan “kunci” kepenyairannya dalam membuka “pintu” kepenyairan Nurdien. Bukan hal yang mokal jika wilayah kepenyairan Nurdien yang dianggap sakral terinjak-injak.

Menilai puisi, ternyata bukan perkara gampang. Membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian. Puisi tidak cukup dipahami secara leksikal, tetapi harus menukik hingga ke substansi eksternal yang mewarnai worldview dan visi penyairnya dalam memandang kehidupan. Menilai SOOD, misalnya, menjelajahi kehidupan pribadi Nurdien, lingkungan masyarakatnya, filsafat yang dianutnya, dan segala bentuk keterlibatan Nurdien dalam kapasitasnya sebagai antropolog jelas menjadi keniscayaan. Dengan kata lain, puisi tak cukup dinilai berdasarkan keliaran estetika yang mengharu biru sanubari, tanpa memahami muatan nilai moral, keilmuan, agama, filsafat, dan semacamnya yang tersirat di dalamnya. Dengan demikian, “patos” puisi yang menawarkan renungan, makna kearifan hidup, kejujuran, dan nilai-nilai purba ideal lainnya bisa tereguk dalam upaya menyiasati kehidupan yang semakin sarat rangsangan hedonis dan makin terpuruknya sifat-sifat puritan ini.

Bagaimanapun juga objektivitas penilaian terhadap bentuk sastra apa pun harus tetap terjaga. Kritik harus tetap sanggup menawarkan rangsangan positif agar kreator semakin total dan intens dalam menggeluti dunianya sekaligus mempersubur khazanah batin publik dalam mengapresiasi sastra. Hal ini perlu dicatat, sebab para kreator selama ini masih “alergi” terhadap bentuk-bentuk penghakiman yang cenderung mematikan kreativitas sehingga tak lagi memandang kritik sebagai jembatan menuju pergulatan seni dan budaya yang lebih bermartabat, penuh sentuhan manusiawi.

Tampaknya sastra kita sangat membutuhkan kehadiran “H.B. Jassin baru” yang begitu suntuk dan concern menggeluti dunia kritik sastra tanpa berpretensi untuk menjadi seorang kreator. Kritik sastra akan kehilangan kesejatiannya manakala sang kritikus sudah memasuki wilayah “sastra kreatif”, sebab kecenderungan untuk menjadi seorang narcisus sulit terelakkan. Penilaiannya menjadi sangat subjektif. Meskipun demikian, seorang kreator tidak harus mengalami stagnasi dan kevakuman kreasi ketika memperoleh hujatan. Justru harus dimaknai sebagai “vaksinasi” yang mampu mengebalkan jiwa dari segala bentuk pesimisme dan inferior.

Persoalannya sekarang, bagaimana dalam menyikapi menjamurnya berbagai teks sastra, baik cerpen, puisi, atau cerita bersambung, yang gemanya cukup nyaring di dunia blogosphere? Sebagai hasil kreativitas, teks sastra yang meluncur di blog teman-teman bloger saya kira tak jauh berbeda dengan teks-teks sastra yang dimuat di media cetak. Esensinya sama saja; mengekspresikan ide, gagasan, dan imaji-imaji “liar” yang mengumpul dalam tempurung kepala dan imajinasi kita.

Tak jarang terjadi, komentar yang sengaja disediakan oleh sang penulis (bloger) di bawah postingan –yang seharusnya bisa menjadi ajang diskusi dan sharing yang menarik– telah bergeser menjadi ruang “penghakiman”. Nilai-nilai apresiasi terhadap proses kreativitas sang bloger menjadi nihil. Bahkan, seringkali terjadi komentar-komentar sarkastik yang jauh bergeser dari substansi dan esensi postingan.

Haruskah “penghakiman” yang diekspresikan melalui komentar sarkastik semacam itu disikapi pula dengan sikap geram dan emosional? *halah* Dalam pemahaman awam saya, blog tidak hanya bisa menjadi media yang “sakti” untuk mengasah kecerdasan intelektual, spiritual, dan sosial, tetapi juga membiasakan kita untuk menghidupkan otak kanan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Memang seringkali terasa menyakitkan. Sudah repot-repot memosting; memeras otak, memperkaya postingan dengan rujukan sana-sini, mengeluarkan energi, bahkan seringkali harus meng-“insomnia”-kan diri, *halah* tetapi ketika di-publish serangan bertubi-tubi justru muncul dari berbagai belahan blogosphere.

Ya, ya, ya! Namun, alangkah naifnya kita juga apabila membalas komentar-komentar sarkastik itu dengan sikap emosional; memuntahkan “peluru” kata-kata yang jauh lebih sarkastis. Kenaifan dan kenarcisan kita dengan memberikan serangan balik terhadap komentar-komentar sarkastis tak ubahnya seperti ketika kita “meludah ke langit” yang akan menerpa wajah kita sendiri. Nah, bagaimana menurut Sampeyan? ***

—————
Catatan:

Gambar “dicuri” dari sini.

No Comments

  1. Duh, pak… menyoal produk sok sastra yang kadang saya post di blog, saya justru menanti komentar-komentar yang mengkritisi produk sok sastra saya lho pak, tapi bukan dengan cara kasar atau bagaimana. 😛

    Seperti yang saya ungkapkan di salah satu entry saya, mungkin tujuannya memang baik, tapi cara penyampainnya kurang sesuai.

    Gun N’ Roze’s last blog post..Kamu bilang sayang?

    1. Itulah mas gun. Pengunjung itu kayak penonton bola. mereka bebas berteriak. yang kita perlukan adalah kearifan dalam bersikap agar tidak ikut2an emosional. juga kepada pengunjung yang meninggalkan jejak di kolom komentar, silakan mengkritik, tapi dengan menggunakan bahasa yang lebih mengena.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  2. itulah pak, saya kadang-kadang ragu untuk menerbitkan apa yang sudah saya tulis, merasa kurang bermutu dan tak ada kesan bermanfaat buat yang nggak sengaja baca, apalagi bakat menulis saya memang nggak ada.
    Tapi saya pernah dapat pesen begini Pak “Seni itu bukan hanya semata-mata bakat, tapi bisa dipelajari! coba tengok pengrajin patung, hampir semua penduduk kampung itu semua membuat patung, apa mereka memiliki bakat semua, tentu tidak tapi mereka belajar dan belajar”
    btw Pak, apa semua komen di tulisan kita harus kita balas walau hanya sekedar say hello? jawab ya Pak pasti bermanfaat buat saya.

    1. wah, pertanyaan pak hadi nih menarik juga. emang banyak penulis bilang bahwa sebenarnya bakat itu tidak terlalu menentukan ssukses tidaknya seseorang menjadi penulis atau bidang seni yang lain. selain itu, berbakat atau tidaknya seseorang seringkali baru bisa diketahui setelah seseorang itu menghasilkan karya masterpiece. konon katanya pak, yang lebih menentukan adalah ketekunan dan intensitas seseorang dalam menulis, menulis, dan menulis.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

    1. hampir ada yang lupa pak hadi. kalo saya sih saya biasakan untuk merespon setiap komen dari temen2, pak. seperti halnya ketika kita kedatangan tamu. masak tamu ngomong atau bertanya kita diemin aja. bisa ndak mau lagi berkunjung ke rumah kita, pak, *halah* dianggap kita bukan tuan rumah yang ramah, hehehehe 😆 ttg komen yang ndak muncul di dasbor wp, waduh kalo itu sungguh pak hadi saya ndak bisa njawab kenapa bisa begitu, yak?

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  3. Walah… saya tak tahu menahu tentang sastra. Tapi, saya tertarik dengan karya satra tanpa tahu apa itu estetika, bla…bla… pokoknya bahasanya indah, seni, titik. :mrgreen:

    Filosofi China mengatakan: “Seorang pambaca puisi yang cerdas akan membaca sesuatu yang ada di luar syairnya; dan seorang pembaca buku yang baik akan membaca sesuatu yang tersirat di dalamnya.” 😛

    Hanna Fransisca’s last blog post..Duniaku Bukan Di sini

  4. ***Namun, alangkah naifnya kita juga apabila membalas komentar-komentar sarkastik itu dengan sikap emosional; memuntahkan “peluru” kata-kata yang jauh lebih sarkastis***

    Ya, ya, ya. Bila kita memahami sesuatu dengan baik kita tidak akan emosional. Manusia bijak tidak akan terpengaruh oleh perubahan dunia dan hal-hal yang bersifat eksternal. 😛

    Pak, komentar di atas ada yang salah ketik. Sastra terketik satra. 😀

    Hanna Fransisca’s last blog post..Duniaku Bukan Di sini

  5. Sulit juga ya kalau sastra/seni mau “diukur” karena basisnya adalah perasaan (yang sebenarnya melibatkan multi measurement). Nggak kayak dunia teknik yang ukuran dan patokannya bisa dibilang “jelas”.

    Basis saya pribadi adalah bidang teknik, tapi ada beberapa karya seni dan satra yang bisa saya nikmati dan apresiasi. Walau demikian rupanya lebih banyak yang sulit saya apresiasi.

    Bicara soal menikmati dan apresiasi mungkin memang sangat subjektif. Seperti buat sebagian orang yang namanya petai itu enak walaupun aromanya “nggak enak”, sebagian lainnya tidak suka sama sekali. Tapi ada rasa enak yang universal dan semua mengakuinya seperti kenikmatan …. Nah, apakah ini bukti bahwa seni itu tidak universal?

    Dhan’s last blog post..Random Walk Theory

    1. sepakat banget mas dhan. sastra tidak bisa hanya dinilai dengan menggunakan logika, tetapi dengan menggunakan hati dan perasaan. ada nilai2 tertentu dalam teks sastra yang justru seringkali bertentangan dengan logika. ada yang bilang kebenaran dalam sastra itu berbeda dengan kebenaran dalam realitas.
      Oh, ternyata mas dhan senang juga yak menikmati karya sastra. backrground teknik tapi suka sastra.
      meski demikian, seni (termasuk sastra) dalam hal content saya kira bisa dibilang unisversal. nilai2nya bisa berlaku kapan dan di mana saja. yang membedakan (kalau mau dibilang tidak universal) adalah kadar apresiasi dari pembacanya.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  6. penghakiman muncul karena isi yang sarat makna itu menimbulkan gesekan terhadap sesuatu hal.
    Tergantung lagi orang menilai seperti apa karya sastra di blog.

    Oia pak saya mau tanya, apakah semua karya sastra itu indah?

    aRuL’s last blog post..Teknik Negosiasi

    1. hehehehehe 😆 saya kira gesekan dan perbedaan pendapat itu hal yang wajar terjadi mas aRul. yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita mengekspresikan perbedaan pendapat itu agar tidak terkesan vulgar.
      ttg karya sastra apakah mesti indah? saya kira itu yg menjadi ciri dan membedakannya dg teks lain. teks sastra tak semata mengandung content (muatan isi) tetapi juga menggunakan bahasa yang indah.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  7. yup saya juga sejalan dengan yang laen*walah isohe melu melu*..
    memang dalam mengapresiasi dan menilai sebuah karya sastra membutuhkan rasa dan estetika yang tinggi dan tak kalah penting juga nilai2 moral yang terkandung didalamnya. akan lebih bijak jika kita menyikapi sebuah kritik sebagai wujud apresiasi yang bebas, liar dan legal. sehingga kita tidak perlu balik menyerang. *biar gak seperti meludak ke arah langit seperti yang di katakan pak sawali hehe*

  8. Menurut saya kritik adalah sebuah budaya yang sehat, mengenai kasar atau tidaknya, itu relatif, tergantung dari budaya masing2, namun yang jelas kritik yang baik adalah **halaah** kritik yang obyektif dan tidak menjurus kepada character assassination atau pembunuhan karakter. Saya rasa kritik mengkritik tidak hanya terjadi di dunia sastra tetapi juga di dunia sains, hukum, (apalagi) politik, dsb.

    Mengenai seseorang menjadi narsisus, sebenarnya **halaah** tiap orang mempunyai sifat seperti itu hanya kadarnya berbeda2 dan kemampuan pengendalian terhadap sifat itu pada setiap orang juga berbeda2. Itulah yg membedakan. Menurut saya salah satu cara untuk mengurangi sifat2 narsisus seseorang adalah dengan berusaha memahami sesuatu masalah jangan lewat kacamata sendiri saja. Berusahalah berfikir melalui faham pemikiran orang lain. Sebenarnya saya adalah orang yang hampir sama sekali tidak bisa menikmati karya sastra (kecuali mungkin cerpen ya), namun sejenak saya berusaha untuk ‘tidak menjadi diri saya sendiri’ dengan berusaha untuk mamahami dan mengapresiasi karya2 sastra, mudah2an dengan cara begini saya belajar untuk dapat melihat sebuah problema dari sudut pandang orang lain dan juga mudah2an dapat mengurangi sifat2 narsisus saya…… :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Dapat Buku Lagi?.!!

  9. Eh… iya…. ketinggalan….. menurut saya Pak Sawali, di blogsfer Indonesia ini justru terjadi sebaliknya, serangan atau kritik2 bertubi2 jarang sekali kita temukan. Coba saja lihat, komen2 berupa kritikan, apalagi kritikan pedas, dapat dihitung dengan jari sebelah tangan.

    Yang terjadi justru sebaliknya…. pemujian basa-basi secara berlebihan, malah kadang2 postingan ngga dibaca tetapi langsung memuji2 guna menaikkan trefik, bukan begitu kenyataannya pak Sawali? :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Dapat Buku Lagi?.!!

    1. sepakat bung yari, sikap narcisus bisa dihindari jika kita juga bisa memahami orang lain. ttg kritik di dunia blogosphere, khususnya teks sastra, emang masih belum menimbulkan kehebohan bung yari. saya sendiri kadang2 juga heran. yang sering muncul pujian melulu. padahal, penulis *halah* saya kira juga butuh kritik, terutama kritik yang mampu membangun vitalitas dan etos dalam berkarya.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  10. Puisi tidak cukup dipahami secara leksikal, tetapi harus menukik hingga ke substansi eksternal yang mewarnai worldview dan visi penyairnya dalam memandang kehidupan ..

    Rasa2nya saya sejurusan dengan pak Wali *bukan Walikota ya* 😀 karena puisi atau karya sastra adalah bahasa jiwa. Sehingga untuk menilai atau memahami karya sastra tersebut, maka kita harus menyelam ke dalam jiwa sang penulis.

    Jika saya berkomentar di blog teman2 yang menulis puisi, saya cenderung berkomentar juga dalam gaya ber-puisi. Sedapat mungkin dengan gaya bahasa yang sama. Sehingga – saya berharap – pesan yang ingin saya sampaikan bisa diterima. Baik pujian maupun kritikan.

    Tidak mudah memang mengkritik. Apalagi berkarya. Makanya, saya sering memberikan apresiasi pada orang yang mengkritik dengan cara yang ellegan. Karena upaya itu merupakan budaya yang bagus. Saya rasa, begitu bos.

    erander’s last blog post..Akhirnya .. mati

    1. oh, bahasa pak eby memang khas kok. ninggalin jejak komen pake puisi kalo ndak terbiasa bermain2 dg bahasa juga bukan hal yang mudah, pak. salut banget nih. Yup, utk kritik yang elegan itu sangat dibutuhkan dalam proses kreativitas seorang penulis/bloger.
      Walah, pak eby emang ganteng dan handsome foto2nya. kalok itu sih bukan narsis, tapi menampilkan apa adanya. kalo narsis, menurut hemat saya, akan terlihat jelas pada postingan atau komentar.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  11. Eit .. ketinggalan .. kalo soal narcisus .. saya justru dibilang narsis karena sering pasang photo2 ganteng saya 😆 bukan pada karya saya. Jadi .. sebenarnya narcisus itu pada karya apa pada photo ya pak??

    erander’s last blog post..Akhirnya .. mati

  12. pak sawali, ini menarik, tapi terus terang saya keburu-buru, nanti saya kembali dengan komentar lebih.. hehehehehe.. maaf pak.. maklum habis liburan..

  13. Kritik sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sebuah karya. Saya pernah baca di Kompas, dengan semakin banyaknya buku-buku karangan penulis yang baru,diperlukan jumlah kritikus yang memadai. Karena kritikus ini berperan, agar penulis juga mempunyai kode etik, untuk membawa pembaca ke arah tujuan yang baik bagi bangsa ini, serta tak membuat situasi makin buruk.

    Terus terang sekarang sulit mambedakan mana yang termasuk sastra dan mana yang bukan…kalau di Gramedia, yang termasuk sastra telah dipisahkan di rak tersendiri….. Saya juga kurang paham tentang puisi, hanya senang mendengarkan, apalagi jika pak Taufik Ismail yang membawakan.

    Pak, posting dong, apa sih beda novel, sastra dsb nya…walau saya pernah mengobrol dengan pak Jacob Sumardjo, tapi nggak saya tulis, jadi udah “agak lupa”…

    edratna’s last blog post..Jangan abaikan jika anda mengantuk berlebihan

    1. wah, salut juga dg bu enny nih. Piyantun yang lebih banyak berurusan dg manajemen tapi masih sempet juga membaca dan menikmati teks sastra. utk membedakan sastra dan bukan bisa dilihat isi dan bahasanya, bu. sastra sendiri ada yang fiksi, ada yang nonfiksi. mudah2an nanti saya sempat dan punya bahan utk diposting bu.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  14. Pak Sawali, saat ini saya harus jujur…
    tak sampai habis membaca postingan dan malah tertarik menelusuri komen demi komen, bukan karena apa.. tapi setelah tau intinya, saya ingin melompat ke komen2 di bawah… dan menarik sekali diskusinya 😀
    memang banyak karya sastra yang salah dinilai, makanya ada seorang kakak angkatan saya yang cukup sepuh, mengatakan bahwa dia tidak bersedia menilai sebuah karya orang, dia cenderung lebih senang berdiskusi saja, atau menjawab masalah, dari penulis bila ada..
    Akhirnya, memang ada keengganan membuat sesuatu bila hasilnya kurang bisa dipahami, tapi di satu sisi yang lain, tak kalah banyak yang memberikan apresiasi, akhirnya tetap berkarya ya Pak, saya tunggu..
    *maaf panjang sekali komeng ini* 😆

    Goop’s last blog post..3 Bantal Bingkai Mimpi

    1. Tidak apa2 mas goop. tidak baca saja sudah mampu memahami substansi postingan ini, apalagi kalo mbaca. *halah*
      Oh, agaknya emang benar mas goop. menilai teks sastra memang diperlukan pemahaman komprehensif ttg unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. kalo tidak sering terjebak pada “penghakiman”.
      Yup, makasih, yak.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  15. karya sastra itu sesungguhnya bukan karya sembarangan, yang mengerti isi dari karya tsb hanya pengarangnya sendiri, apalagi sebuah puisi, saya pun beberapa kali membuat puisi tapi ternyta banyak yg tidak mengerti ekspresi sesungguhnya yg ingin saya utarakan.. itulah sebabnya mungkin sastra bukan untuk dikritik tapi dinikmati kang..
    tapi salah juga kalau sampai tersinggung saat karya kita tidak dimengerti orang lain, hak semua orang juga untuk mengapresiasikan karya kita..
    *walah, jadi sok tau gini ya* 😆

    brainstorm’s last blog post..buktikan.. dimana pak Harto korupsi??

    1. saya kira mas brain ndak salah. teks sastra, lebih2 puisi, itu merupakan ungkapan yang bersifat personal sehingga perlu kejelian terutama dalam menafsirkan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. kalau ternyata ada komen pengunjung yang OOT, bahkan kritik yang pedas sekalipun ya ndak perlu kita ikut2an emosional *halah* malah bisa kita jadikan media belajar kecerdasan emosi.

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  16. Sikap santun yang anda sodorkan kali ini bukti bahwa kritik sastra yang njenengan gagas menunjukkan kualitas ‘narcisus’ njenengan sedemikian elegan. Saya kira menjaga obyektifitas dalam kritik sastra tak perlu harus ‘membatasi diri’ untuk masuk dalam ranah ‘sang kreator’ seperti yang njenengan tulis dalam kalimat berikut:

    Kritik sastra akan kehilangan kesejatiannya manakala sang kritikus sudah memasuki wilayah “sastra kreatif”, sebab kecenderungan untuk menjadi seorang narcisus sulit terelakkan. Penilaiannya menjadi sangat subjektif.

    Maaf, njenengan, bagi saya contoh subyektif sekaligus obyektif bahwa kritik sastra tak harus membatasi diri untuk tidak mencipta. Meski sulit menghindari subyektifitas, akan tetapi, dengan mengembangkan kesantunan dalam mengkritik, seorang kritikus yang penyair saya kira bisa memberikan penilaian yang bersifat obyektif.. halah, sok keminter, maaf pak!

    Dan lagi, fenomena kampus sastra yang ada di PTN maupun PTS, lebih banyak menghasilkan kritikus ketimbang sastrawan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah memang kampus sastra didirikan untuk menghasilkan kritikus? Masyarakat pun bertanya, ngapain juga kuliah di sastra kalau tak menghasilkan karya sastra? hehehehehe.. saya jadi bingung, Pak! maaf.. jadi sok tau, dan gak nyambung ama artikelnya.. 😛

    1. hahahahaha 😆 apa yang saya tulis ini sebenarnya pengalaman empiris pak gempur ketika terjadi perdebatan sengit dalam forum diskusi di UNDIP Semarang, bahkan berlanjut menjadi polemik di harian Suara Merdeka yang kebetulan *halah* saya ikut terlibat di dalamnya. dalam diskusi tersebut penyair membedah karya penyair lain. yang terjadi kemudian adalah penafsiran2 sepihak yang terkesan memaksakan style pribadinya diikuti oleh style penyair lain. berdasarkan pengalaman itu, saya punya asumsi bahwa kritik sastra akan berkembang dengan baik jika sang kritikus murni sebagai kritikus, tanpa terlibat dalam penciptaan teks2 kreatif, seperti alm. HB. Jassin, Faruk HT, atau Mama S Mahayana. Ini tugas PT utk menciptakan kritikus2 berbobot. persoalan mahasiswa jarang yang menjadi sastrawan, menurut hemat saya itu sangat personal sifatnya, tergantung bagaimana “talenta” mahasiswanya. Tapi idealnya memang sudah saatnya PT melahirkan kritikus2 yang bagus dan berbobot dengan tingkat objektivitas kritik yang akuntabel dan akseptabel. *halah, maaf pak kalo saya juga sok tahu!*

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  17. Tak jarang terjadi, komentar yang sengaja disediakan oleh sang penulis (bloger) di bawah postingan –yang seharusnya bisa menjadi ajang diskusi dan sharing yang menarik– telah bergeser menjadi ruang “penghakiman”.

    Hehehe dan kesempurnaan diksi yang melahirkan peluang multitafsir seringkali menjadi pemicu munculnya penghakiman tsb ya Pak? 😀

    deKing’s last blog post..Dia dan Enam-Nya ?

    1. bisa jadi bener pak deKing. Teks sastra atau postingan sastra yang dipublish lewat blog itu kan sangat personal sehingga tak jarang memunculkan digresi penafsiran. Tapi kalo menurut saya perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca itulah letak dinamika apresiasi sastra. bagi saya itu bagus saja, pak. kritik pun ndak masalah, justru dengan adanya kritik, penulis akan terus berupaya melahirkan teks2 sastra yang lebih bagus. *halah, sok tahu ya pak?*

      Sawali Tuhusetya’s last blog post..Perlukah Kita Menjadi Narcisus?

  18. Jare Carik’e? Agak sulit bahkan sangat sulit.

    Lah dalam sastra kan ada nilai-nilai kehidupan, jiwa, pembelajaran, berarti di situ ada obyektivitas (teposeliro), kemerdekaan, keterbukaan (*tenan gak ya?). Kalo emang gitu, 6 tadi saling berpasangan. Lha kalo ngobrolkan sastra tanpa pasangan2 tadi ya…jadi sangat sulit, gak ketemu.

    Dengan itu tadi, kalo ada forum diskusi masalah sastra akhirnya jadi debat sastra, kok rasanya gimana ya. Lha memang gak mungkin sama cara pandang orang ke suatu karya sastra, jadi ya gak bisa dipaksakan sama.

    dhodotes’s last blog post..Ikhlas Carik’e bilang, “Blekok benar.”

    ooo
    yup, bener banget carike, diskusi sastra memang sangat terbuka terhadap beragam pendapat dan penafsiran. meski demikian kalau sudah saling membunuh kreativitas ya repot jadinya. bener ndak carike?

    1. walah, cerpen2 pak jupri dah bagus kok, hanya tinggal memoles diksinya. topiknya juga menarik, membawa dunia ilmu pengetahuan ke dalam sebuah cerita. memang itu bukan hal yang gampang, pak, tapi pak jupri mampu melakukannya dengan baik. salam kreatif, pak!

  19. Ping-balik: My Home Page

Tinggalkan Balasan ke Sawali Tuhusetya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *