Menemukan Kristal Hakikat Danarto

(Sambung rasa dengan Bung Rosa Widyawan)

Sungguh tak terduga kalau tulisan saya “Menguak Absurditas Cerpen Danarto” (Wawasan Minggu, 26 Juni 1988) yang sekadar selentingan itu mendapatkan respon yang sangat menarik dari Bung Rosa Widyawan RP dengan judul “Tentang Cerpen Danarto: Absurditas Macam Apa?” (Wawasan Minggu, 4 September 1988). Ya, sebuah judul yang bernada retorika, namun justru menggelitik untuk dicarikan bias-bias jawabannya. Dengan munculnya tulisan itu, saya bermaksud mengadakan sambung rasa dengan Bung Rosa. Atau, boleh juga dibilang sebagai hak jawab saya atas pertanyaan yang diluncurkan Bung Rosa.

MENGUAK ABSURDITAS CERPEN DANARTO

Berdasarkan pengakuannya sebagai sastrawan, Danarto tergolong lamban dan sangat tidak produktif. Dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya muncul tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Hal ini bisa dimaklumi, sebab selain Danarto menggeluti dunia sastra, ia juga mengakrabi dunia seni lain, yakni seni leukis. Baginya, menulis dan melukis berjalan bersamaan. Sebuah pengakuan jujur.

Antologi Sastra

PALING tidak dalam paro dekade terakhir muncul fenomena baru dalam jagat kesastraan Indonesia mutakhir. Yakni, memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya lahir sebuah antologi (baik cerpen maupun puisi).

OTONOMI PENGAJARAN SASTRA

GAUNG kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajah dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan.

MEMBANGUN “OTONOMI” PEMBELAJARAN SASTRA

Tak henti-hentinya pembelajaran sastra di sekolah disorot para pengamat, pemerhati, dan peminat sastra. Hal itu memang cukup beralasan. Proses pembelajaran sastra di sekolah selama ini dinilai belum optimal; berlangsung seadanya, kaku, tanpa bobot, dan membosankan, sehingga tidak mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar sastra secara total dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal. Buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dibiarkan terpuruk tak tersentuh, kepekaan moral dan nurani siswa pun dinilai mulai menipis. Tidaklah berlebihan kalau Danarto pernah menyinyalir, salah satu penyebab maraknya tawuran antarpelajar ialah lantaran siswa tidak pernah diajar sastra dengan baik.

Membangun Budaya Demokrasi melalui Pendidikan

Perilaku elite politik politik partai “kecil” yang menyangsikan kejurdilan Pemilu 1999 tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bertingkah “inkonstitusional” dengan tetap bertahan diri meskipun partainya jelas-jelas tidak dipilih rakyat atau minta jatah kursi di parlemen yang amat-sangat tidak rasional, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan.

Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan rnembentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu. Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak.

Korpri dan Mutu Pelayanan Publik

Tanggal 29 November 1997, hari ini Korpri genap berusia 26 tahun. Sejak terbentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971, banyak kalangan menilai, Korpri kian eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya sesuai fungsinya sebagai wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri.

Kesetiakawanan Sosial Versus Masyarakat Konsumtif

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.

Fenomena Pilkades di Era Reformasi

Suasana tegang, panas, dan mencekam sempat mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa wilayah Jawa Tengah belakangan ini. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.