Sang Primadona
Cerpen: Sawali Tuhusetya
Dada Tarmi naik-turun. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Kehadiran Surtini benar-benar membikin hatinya gerah. Sudah hampir sepuluh tahun ia malang melintang di dunia ketoprak tobong, belum pernah seorang pun yang mampu menggeser perannya sebagai rol dalam sebuah lakon. Yang membikin hatinya makin masygul, tidak ada seorang pun yang berupaya melakukan pembelaan-pembelaan. Betapa tidak sakit hati kalau tiba-tiba saja ia dicampakkan begitu saja, dibuang ke tong sampah.
Terbayang setiap kali pentas, ia bisa menghibur dirinya di tengah himpitan hidup yang berat dan sumpek. Ia bisa dengan mudah melupakan segala thethek-bengek urusan hidup yang serba ruwet. Baginya, panggung pertunjukan adalah istana yang mampu melambungkan mimpi-mimpi hidup yang serba enak dan menghanyutkan. Ia bisa dengan mudah memerankan permaisuri raja yang agung, putri istana yang cantik dan dimanjakan, pahlawan wanita yang dipuja banyak orang, pendekar yang dikagumi, atau bidadari yang dikelilingi banyak dayang. Tapi, kini kebahagiaan itu raib sudah. Tarmi menyedot napas panjang. Terasa benar, tenggorokannya amat berat seperti terganjal beban yang menyumbatnya.
Sang Primadona
Sastra Koran versus Sastra Cyber
Kepala di Bilik Sarkawi
Cerpen: Sawali Tuhusetya
Bilik Sarkawi yang sumpek, singup, dan gelap diselimuti asap dupa. Baunya yang khas berbaur aroma kembang telon dan minyak serimpi menyedak hidung. Sarkawi merasakan pikirannya hanyut dan tenggelam dalam arus percumbuan yang ganjil. Melayang-layang. Sepotong kepala yang tergantung dalam bilik itu tampak menjelma bagai wajah bidadari. Anggun, cantik, memesona, putih bercahaya, memancarkan aura kegaiban. Sarkawi merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Diusapnya sepotong kepala itu lembut. Mesra. Darah Sarkawi berdesir. Ada sebuah kekuatan aneh yang tiba-tiba muncul dari balik kepala itu, lantas merayap-rayap dan menjalar bersama aliran darah Sarkawi. Lelaki kurus itu tersenyum penuh makna. Ia paham, sinyal itu memberi isyarat bahwa ia harus segera bersiap memasuki pengembaraan batinnya.
Sembari duduk bersila takzim, mulut Sarkawi mulai komat-kamit merapal mantra. Tidak jelas benar apa yang meluncur dari balik bibirnya yang pucat itu. Lantas dengan gerak refleks, ia segera melolos sisir dari balik saku baju kumalnya. Sekali lagi, dengan lembut dan mesra, wajah sepotong kepala dibelainya seperti memperlakukan seorang kekasih. Rambut sepotong kepala yang menjuntai ke bawah itu disisirnya pelan-pelan. Sarkawi tersentak.
Kepala di Bilik Sarkawi
Kang Panut
Sepotong Kepala
Cerpen: Sawali Tuhusetya
Para penduduk bergidik ngeri menyaksikan jasad Sukardal yang hanya tinggal gembungnya, seperti bangkai babi yang barusan dibantai tukang jagal. Sepotong kepalanya menggelinding entah di mana. Bayangan kebiadaban menggerayangi setiap kepala.
“Untuk apa orang gemblung seperti Sukardal dibunuh!” teriak seseorang disambung gumam-gumam lirih yang tumpah di tengah kerumunan penduduk.
“Benar-benar biadab!” sahut yang lainnya.
“Kalau bukan iblis, pasti demit yang melakukannya!”
“Belum tentu juga, Kang! Aku yakin, pelakunya pasti manusia! Zaman sekarang, cukup banyak orang yang perangainya melebihi kebiadaban iblis dan demit!”
“Eh! Jangan sok tahu, sampeyan! Jangan suka memastikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya! Bisa-bisa sampeyan diperkarakan orang!”