Pekik “Merdeka” dan KTSP

61 62 tahun sudah negeri ini merdeka. Namun, secara jelas dan nyata, kita masih merasakan betapa banyaknya pernik-pernik kehidupan yang silang-sengkarut. Dari sisi ekonomi, kita masih dihantui situasi krisis. Lapangan kerja menyempit, sementara angka pengangguran makin mencuat tajam. Di bidang hukum, masih banyak koruptor kelas kakap yang luput dari incaran dan jerat hukum. Dari sisi demokrasi, kita juga masih melihat banyaknya kelompok masyarakat yang lebih suka mengandalkan otot dan mengacungkan pedang dalam memperjuangkan kepentingan ketimbang hati nurani dan sikap rendah hati. Yang tak kalah menyedihkan, dunia pendidikan yang diyakini menjadi motor penggerak peradaban, belum juga menampakkan hasil yang nyata. Kualitas SDM kita masih jauh tertinggal dibandingkan negeri jiran kita, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, atau Vietnam yang bertahun-tahun lamanya diselimuti kabut perang saudara.

Sertifikasi Guru, Sebuah “Indonesia” yang Tertinggal

Ketika pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, mereka akan mendapatkan penghasilan yang “menggiurkan”. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Namun, untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat pendidik yang tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya lantaran memang dibikin “sulit” dan “rumit”. Walhasil, bisa dihitung dengan jari guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 2.700.000 yang bisa menikmati tunjangan tersebut. Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi, seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuk-tumpuk dokumen yang mesti dikumpulkan oleh seorang guru. Dan sudah pasti, hanya guru yang memiliki “jam terbang” tinggi alias masa kerja yang cukup lama yang bisa menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas, de-el-el. Kalau tidak, ya, mohon maaf, terpaksa harus lebih banyak berlatih menahan kesabaran.

Stop Pengadaan Seragam Sekolah!

Mohon maaf kalau dalam beberapa hari ini blog “Jalur Lurus” tanpa postingan terbaru. Bukan apa-apa. Hanya kebetulan saja selama sepekan ini (25 s.d. 31 Juli 2007) saya “ketiban sampur” mengikuti Workshop ToT Bintek KTSP SMP di Hotel Mars, Jalan Raya Puncak Cipayung Bogor. Sebenarnya dari rumah saya sudah menyiapkan HP CDMA agar bisa saya gunakan secara online. Sayangnya kabel data lupa dimasukkan ke dalam tas oleh istri saya. Ya sudah, akhirnya dengan seribu maaf, saya tak bisa posting selama sepekan. Meskipun demikian, saya sempatkan menuliskan beberapa tulisan selama di Bogor. Bukan hal-hal yang berkaitan dengan masalah workshop, melainkan persoalan pendidikan yang masih sering menjadi hambatan bagi “wong cilik” dalam mendapatkan akses dan layanan pendidikan yang memadai dalam dunia persekolahan kita, terutama yang berkaitan dengan masalah seragam sekolah bagi anak-anak mereka.

Guru Demo, Tanya Kenapa?

diambil-dari-http://www.okezone.com/

Sebagaimana gencar diberitakan di beberapa media, –bisa dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini juga, atau di sini — 19 Juli yang lalu ribuan guru yang tergabung dalam elemen PGRI Jawa Barat dan Banten “nglurug” ke istana. Di tengah atmosfer kota Jakarta yang panas, padat, dan sumpek, mereka mengajukan empat tuntutan, di antaranya menagih janji pemerintah untuk merealisasikan tunjangan uang makan (lauk-pauk) dan tunjangan fungsional, direalisasikannya 20% anggaran pendidikan dalam APBN, standarisasi UN, dan pengesahan PP Guru dan pendanaan pendidikan. Namun, seperti dapat ditebak, aspirasi para guru itu seperti hanya terapung-apung dalam slogan dan retorika. 10 orang wakil pendemo yang sempat berdialog dengan empat menteri —Mensesneg Hatta Radjasa, Mendiknas Bambang Sudibyo, Menkeu Sri Mulyani, dan Menkumham Andi Mattalata — merasa tidak puas. Padahal, di luar sana sekitar 10 ribuan guru yang tumpah ruah memenuhi halaman istana sudah tak sabar menunggu hasil kesepakatan mereka dengan para “punggawa” negeri.

Budaya Meneliti di Kalangan Guru

Secara jujur harus diakui, budaya meneliti di kalangan guru belum tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Kondisi semacam ini jauh berbeda dengan budaya meneliti di kalangan dosen yang memang termasuk salah satu Tridarma Perguruan Tinggi yang “wajib” dilaksanakan oleh para insan kampus. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa budaya meneliti di kalangan guru termasuk “Indonesia” yang tertinggal dalam dinamika dunia pendidikan kita. Lemahnya budaya meneliti di kalangan guru bisa dilihat berdasarkan minimnya jumlah guru golongan IV-A yang mampu melaju mulus ke golongan IV-B. Hal itu bisa terjadi karena untuk bisa “menikmati” golongan IV-B, seorang guru wajib mengumpulkan angka kredit pengembangan profesi sebanyak 12 point.

MAU MEN-DOWNLOAD PANDUAN PENYUSUNAN PROPOSAL PTK DAN CONTOHNYA?

Surat dari Pak Triman untuk Mendiknas

surat-pak-triman.jpgMelalui alamat sekolah, 21 Juni yang lalu, saya menerima surat dari Pak H. Triman Sd, seorang pensiunan PNS berusia 71 tahun, lulusan SMA 1959, yang tinggal Desa Megawon, RT 05/01 No. 294 Jati, Kudus, Jawa Tengah, Telepon (0291) 432451. Surat bertanggal 11 Mei 2007 perihal Sistem Pendidikan Nasional dengan lampiran dua lembar tersebut ditujukan kepada Mendiknas di Jakarta dengan tembusan Ketua DPR RI u.p. Komisi X, Menteri Agama RI, dan Ketua MPR RI. dialamatkan melalui sekolah, tempat saya mengajar.

Inilah surat dari Pak Triman selengkapnya.

EVALUASI KTSP SMP DI KABUPATEN KENDAL

Dalam rangka memantapkan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP di Kab. Kendal, mulai 25 Juni hingga 4 Juli 2007, Subdinas Pendidikan dan Pengajaran, Dinas P dan K Kab. Kendal, mengadakan kegiatan evaluasi pelaksanaan KTSP setelah diberlakukan secara serentak di semua tingkatan kelas sejak tahun pelajaran 2006/2007. Kegiatan tersebut diikuti oleh setiap guru mata pelajaran yang menjadi mata pelajaran inti, yaitu Guru Agama, PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya, Penjaskes, TIK.

Pendidikan Pencerah Spiritual

Dunia persekolahan kita, kata YB Mangunwijaya dalam buku PascaIndonesisa, PascaEinstein (1999), tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya—apalalagi berpikir kritispraktis—adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi didrill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.

Bahasa Indonesia, antara Modernisasi dan Jatidiri

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan.