PERUBAHAN KURIKULUM DI TENGAH MITOS GLOBALISASI

Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah enam kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Membangun Budaya Demokrasi melalui Pendidikan

Perilaku elite politik politik partai “kecil” yang menyangsikan kejurdilan Pemilu 1999 tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bertingkah “inkonstitusional” dengan tetap bertahan diri meskipun partainya jelas-jelas tidak dipilih rakyat atau minta jatah kursi di parlemen yang amat-sangat tidak rasional, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan.

Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan rnembentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu. Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak.

Korpri dan Mutu Pelayanan Publik

Tanggal 29 November 1997, hari ini Korpri genap berusia 26 tahun. Sejak terbentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971, banyak kalangan menilai, Korpri kian eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya sesuai fungsinya sebagai wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri.

Kesetiakawanan Sosial Versus Masyarakat Konsumtif

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.

Fenomena Pilkades di Era Reformasi

Suasana tegang, panas, dan mencekam sempat mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa wilayah Jawa Tengah belakangan ini. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.

“Anak-anak Bukanlah Keranjang Sampah”

“Generasi masa depan yang manusiawi harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang lain, kenyataan “ada bersama” harus dijalami dalam proses “menjadi” (becoming) yang tidak pernah selesai.” Adagium itulah yang mengantarkan Drs Sawali, MPd meraih juara I dalam lomba Inovasi Pembelajaran SMP Tingkat Nasional Bidang Studi Bahasa Indonesia yang digelar oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas, pada 1-4 Desember 2006 di Hotel Pitagiri Jalan Palmerah Barat 110, Jakarta.

Wasit Sepak Bola dan Dunia Pendidikan

Sungguh terasa sesak dada saya ketika menyaksikan pertandingan sepak bola Penyisihan Grup Piala Asia antara PSSI vs Arab Saudi, Sabtu, 14 Juli yang lalu. Bukannya persoalan kualitas pemain yang memang Arab Saudi harus diakui lebih baik daripada pemain-pemain kita. Arab Saudi jelas memiliki tradisi sepak bola yang lebih baik karena sudah berkali-kali mengikuti ajang bergengsi; Piala Dunia. Sekali lagi bukan persoalan kualitas pemain, melainkan lebih disebabkan oleh kepemimpinan wasit asal Uni Emirat Arab itu yang bikin saya ikut-ikutan kesal.

Menulis Buku Teks

Menulis buku teks merupakan pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Mereka yang sudah terbiasa duduk berlama-lama di depan layar monitor komputer pasti bilang bahwa menulis buku teks ternyata mengasyikkan. Hampir-hampir lupa waktu. Namun, bagi mereka yang jarang berhadapan dengan komputer, menulis jadi pekerjaan yang amat menjenuhkan dan menyulitkan. Belum lagi mesti mematuhi standar penilaian buku pelajaran yang biasanya sudah ditentukan oleh Pusat Perbukuan atau Tim Editor Penerbit Buku.

KETIKA PENDIDIKAN MEMBERHALAKAN PASAR

Dalam sebuah kesempatan, Garin Nugroho, pernah bilang bahwa dunia pendidikan kita tidak lagi mencerahkan dan telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai-nilai rasionalitas dan etos kerja keras, misalnya, telah disulap menjadi sikap instan. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tetapi dikembalikan pada pasar (Suara Pembaruan, 20/3/07).