Pendidikan Kita hanya Mencetak “Anak Mami”?

Kita sungguh tak habis pikir menyaksikan berbagai adegan di atas panggung sosial-politik negeri ini. Kearifan, kedewasaan, dan kematangan berpikir tampaknya belum menyatu ke dalam gaya dan pola hidup para figur publik politik kita. “Dendam” pribadi sering dibawa-bawa ke dalam ranah politik publik. Simak saja perseteruan antara Presiden SBY dan Zaenal Maarif (dapat dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini, de-el-el). Perseteruan keduanya banyak menyita perhatian publik. Maklum. Apa yang dibicarakan menyangkut pribadi orang nomor 1 di negeri ini. Tak heran jika mulai anak-anak SMP hingga kakek-kakek ikut-ikutan ramai memperbincangkannya. Politik “balas dendam” masih menjadi “amunisi” kaum politisi kita dalam menjatuhkan lawan.

Sementara itu, di ranah yang lain, proses anomali sosial juga berlangsung di kalangan pelajar kita. Tawuran, seks bebas, narkoba, pesta “pil setan, dan perilaku selera rendah lainnya seolah-olah sudah menjadi pemandangan rutin sehari-hari. Yang lebih memilukan, banyak orang yang tega melakukan mutilasi, pembunuhan, atau praktik kekerasan terhadap sesamanya, tanpa merasa bersalah dan berdosa.

Kenapa wajah Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka ini masih diwarnai berbagai noda dan citra buruk? Kenapa para politisi kita masih miskin kearifan dan kepekaan terhadap nasib rakyat, dan justru tenggelam dalam naluri purbanya; cakar-cakaran dan mau menang sendiri? Kenapa pejabat dan orang-orang kaya yang seharusnya peka terhadap jutaan saudaranya yang lain yang hidup dalam kemiskinan dan penderitaan masih suka menumpuk-numpuk harta dengan cara korupsi dan manipulasi? Kenapa konflik horisontal dan konflik antaretnis masih saja terjadi meski sudah diikat oleh Bhinneka Tunggal Eka? Kenapa masih ada juga organisasi yang mengatasnamakan agama tertentu masih suka mengandalkan kekuatan massa sambil mengacung-acungkan pedang untuk memperjuangan tujuan organisasinya? Kenapa juga para pelajar kita yang didesain untuk menjadi calon-calon pemimpin masa depan masih suka tenggelam dalam arus tawuran, pesta “pil setan”, dan narkoba? (Lihat postingan saya Surat dari Pak Triman untuk Mendiknas yang mengungkapkan kegelisahan orang tua tentang nasib anaknya yang kelewat nakal).

Jika mau, masih ada setumpuk pertanyaan yang bisa dijejer untuk mempertanyakan eksistensi Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka.

Disadari atau tidak, sumber kekacauan dan berbagai aksi chaos yang melanda negeri ini sebenarnya berasal dari dunia pendidikan kita sebagai basis “character building” sebuah bangsa. Apabila fondasinya rapuh, jelas pilar-pilar di atasnya akan rontok dan mudah tersapu angin.

foto-murid-belajar.jpg

Lihat saja proses pembelajaran yang berlangsung di dunia persekolahan kita. Para siswa didik diperlakukan bak “keranjang sampah” ilmu pengetahuan. Mereka didesain untuk menjadi penurut, sendika dhawuh, dan “anak mami”. Mereka yang mencoba untuk menghidupkan sikap kritisnya dengan banyak bertanya dan berkata “tidak” di depan sang guru, buru-buru diberi stigma alias diberi cap sebagai “pemberontak”, “mbadung”, dan “mbandel”.

Yang lebih menyedihkan, atmosfer pembelajaran di kelas berlangsung seperti di penjara. Angker dan menegangkan. Guru menjadi satu-satunya sumber pembelajaran yang berperilaku bak sipir penjara. Para murid bagaikan narapidana yang sedang menjalani masa-masa hukuman. Ruang kelas jauh dari iklim pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ruang-ruang kelas seperti kerumunan sel berjeruji sel yang angker dan singup. Tak heran apabila begitu keluar dari ruang kelas, para siswa didik seperti terbebas dari sekapan penjara dan melampiaskan kebebasannya dengan berbagai macam cara, ya, seperti itu tadi, tawuran atau pesta “pil setan”.

Atmosfer pembelajaran semacam itu agaknya membenarkan istilah Paulo Freire –tokoh pendidikan dari Amerika Latin– dengan”pendidikan gaya bank”-nya di mana para siswa didik yang sedang belajar dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai sosok yang serba tahu, sedangkan para murid diarahkan untuk menghafal secara mekanis. Otak murid dianggap sebagai safe deposit box, di mana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak siswa, dan jika sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil. Dalam konteks pembelajaran semacam itu, hubungan guru-murid hanyalah subjek-objek, bukannya subjek-subjek.

Karena pendidikan di Indonesia tidak membebaskan manusia dari ketertindasan, keterbelakangan, dan kebodohan, disadari atau tidak, keluaran pendidikan kita berusaha menemukan makna kebebasan itu dengan cara mereka sendiri yang sesuai dengan naluri agresivitasnya. Mereka yang memiliki naluri untuk kaya, tak jarang menempuh cara-cara korup dan menerapkan ilmu permalingan, mereka yang punya naluri untuk disegani dan dihormati tak segan-segan membeli ijazah, jabatan, atau pangkat dengan cara yang tidak wajar, mereka yang punya naluri hidup mewah dan kebelet memuaskan naluri hedonisnya tak segan-segan menipu orang miskin, mengeruk uang negara, dan merasa bangga jika lolos dari jeratan hukum.

Pertanyaaannya sekarang, quo-vadis dunia pendidikan kita pasca 62 tahun merdeka? Akankah terus dibiarkan atmosfer pendidikan yang dinilai telah gagal melahirkan manusia-manusia yang utuh dan paripurna semacam itu? Sebuah pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh para penguasa negeri ini.

(Terkait dengan postingan ini, saya mendapatkan email dari indoPROGRESS berikut ini!)

The Latest from IndoPROGRESS
Menghayati “Vita activa”

Posted: 31 Jul 2007 06:27 PM CDT

Fahmi Panimbang

SADARKAH anda, bahwa setiap kita adalah buruh? Atau, jika anda keberatan dengan istilah itu karena efek eufemisme yang dulu digencarkan Orde Baru, kata buruh boleh anda ganti dengan pekerja, pegawai, karyawan… Semuanya merupakan istilah yang sebetulnya merujuk pada kondisi di mana kita adalah buruh atau makhluk pekerja (animal laborans). Selain itu, kita juga makhluk pekarya (homo faber) dan makhluk politik (bios politikos).

Hannah Arendt (1906-1975), pernah merefleksikan bagaimana manusia sebagai pekerja, pencipta karya, dan pelaku politik, dalam bukunya “The Human Condition” (1959). Ia menggunakan istilah ”vita activa” (kehidupan yang aktif) dalam upayanya menganalisa kondisi kemanusiaan modern. Menurut Arendt, kegiatan mendasar manusia terdiri dari (1) vita contemplativa dan (2) vita activa. Yang pertama merupakan aktivitas mental yang meliputi berpikir (thinking), berkehendak (willing), dan mempertimbangkan (judging). Sedangkan yang kedua, vita activa, mencakup kerja (labour), karya (work), dan tindakan (action). Filsuf ini berpendapat, puncak pencapaian manusia bukanlah pada pemikiran (vita contemplativa), melainkan pada kehidupan yang aktif (vita activa).

Kerja, Karya, Tindakan

Kerja (menjadi buruh, labour) merupakan aktivitas manusia yang bersifat mengulang-ulang sebagai tuntutan agar ia bisa hidup. Laiknya binatang, manusia harus memenuhi segala kebutuhan dasarnya untuk hidup. Maka manusia disebut animal laborans yang mengkonsentrasikan diri pada tubuh dan kodrat biologisnya. Sedangkan lewat karya (menjadi pekarya, worker) manusia menghasilkan obyek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari keterbatasan tubuhnya. Karenanya ia disebut homo faber. Sebagai homo faber, manusia menciptakan obyek yang berguna untuk lebih memudahkan kerja dan memulti-gandakan kapasitasnya.

Sementara itu, melalui tindakan (menjadi pelaku politik, actor) manusia menciptakan sesuatu yang baru yang dapat mengungkapkan kebebasannya. Tindakan manusia adalah ‘kelahirannya kembali.’ Tindakan bersifat politis yang melibatkan upaya bersama. Tindakan adalah sebuah laku komunikasi antarmanusia yang mengandaikan kemajemukan sebagai faktisitas hidupnya.
Kerja, karya, serta tindakan ini serentak dilakukan oleh setiap manusia. Menjadi buruh (pekerja), pencipta karya, dan pelaku politik adalah kodrat manusia. Karena pencapaian manusia ada pada kehidupannya yang aktif, peradaban manusia ditentukan terutama oleh vita activa ini.

Pekerja, Pekarya, Pelaku Politik

Karena menjadi buruh atau pekerja adalah kodrat sebagaimana menjadi pekarya dan pelaku politik, maka dalam keseharian kita berperan sekaligus sebagai pekerja, pekarya dan pelaku politik. Tapi, biasanya salah satunya ada yang lebih dominan, karena ada relasi kuasa. Relasi kuasa ini kemudian memilah-milah dan membatasi peran vita activa manusia.

Tentu saja seseorang dengan kecakapan yang lebih akan menjadi tak sekadar buruh, tetapi juga mampu membuat suatu keputusan atau menentukan arah kebijakan. Maka, harus diakui mereka yang sehari-harinya bekerja menjadi buruh umumnya memiliki kuasa yang lebih lemah ketimbang mereka yang menjadi pelaku politik. Itu jika kita sepakat dengan konsep Karl Marx (1818-1883) atau Max Weber (1864-1920), yang mengartikan kuasa sebagai sebentuk dominasi (Herrschaft).

Tapi kalau kita merujuk definisi Michel Foucault (1926-1984), yang memaknai kuasa sebagai “nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu,” kuasa buruh sama kuatnya dengan kuasa pengusaha. Kata Foucault, kuasa dari bawah ke atas sama dengan yang dari atas ke bawah. “Lihat saja aksi-aksi yang dilakukan para buruh,” katanya berargumen.

Sebaiknya kita berhenti berteori tentang kuasa karena pemikiran Marx, Weber dan Foucault tidaklah sederhana. Lebih baik kita berupaya menyingkap fenomena-fenomena yang muncul dalam relasi kuasa, misalnya dengan bertanya perihal kemiskinan dan ketimpangan struktur ekonomi kita. Atau mencari tahu akar masalah mengapa bangsa kita menjadi salah satu yang tingkat korupsinya paling parah di dunia. Sepertinya ada yang salah dengan penghayatan kita sebagai animal laborans, homo faber dan bios politikos.

Pasti ini soal mental. Soal telah terjajahnya ruang publik oleh ruang privat. Dalam karyanya Politics, Aristoteles berpendapat bahwa polis (kota, negara) mendahului oikos (keluarga), atau ruang publik harus didahulukan dari ruang privat. Nah, kediktatoran, totalitarianisme, korupsi, merupakan akibat ekspansi kepentingan privat ke kepentingan publik.

Dalam politik, yang berperan seharusnya bukan manusia sebagai animal laborans atau homo faber, tetapi sebagai bios politikos. Politik mengandaikan tindakan, yaitu sebuah laku komunikasi dengan sesama dalam dialog. Tapi struktur ekonomi dan politik kita terlanjur oligarkis, tanda bahwa para elite penguasa kita menafikan kemajemukan. Lihat, misalnya, fakta tentang struktur dunia usaha kita: terlalu dominannya segelintir konglomerat yang jumlahnya hanya 0,01 persen (dari 36-40 jutaan pengusaha yang ada), tetapi menguasai 60 persen aset atau sumber daya produktif nasional. Sementara sisanya yang 99,9 persen lebih adalah pengusaha skala kecil, yang hanya menguasai sekitar 40 persen dari aset nasional. Sungguh tak adil.

Sementara itu, dalam upaya membendung konglomerasi internasional merangsek-masuk, membidik potensi pasar kita yang raksasa, serta mengeksploitasi buruh berupah murah di Indonesia, sejumlah aktivis gerakan buruh beberapa waktu lalu menggulirkan wacana perlunya mendukung pengusaha nasional. Tak ayal, kebanyakan yang didukung tentu saja segelintir konglomerat yang jumlahnya 0,01 persen itu. Padahal sebagian mereka adalah koruptor kelas kakap dan umumnya berperan menindas buruh. Relevankah nasionalisme? Tidak.

Kita Terus Miskin

Di tingkat global, mega-korporasi dan perusahaan-perusahaan multinasional juga oligarkis, dikuasai segelintir orang dengan aset yang jauh melebihi anggaran belanja negara kita, plus hutang yang masing-masing dari 227,1 juta penduduk kita menanggung Rp.7 juta per kepala.

Bayangkan, total upah belasan ribu buruh yang bekerja untuk produk NIKE di Indonesia, masih lebih kecil dibanding bayaran seorang pegolf, Tiger Woods, yang hanya sebentar mengiklankan logo NIKE! (John Pilger pernah menghitung ini). Dan setelah beberapa tahun lalu NIKE pernah hengkang meninggalkan Indonesia membiarkan belasan ribu buruh PT Doson di Tangerang sengsara, kini mega-korporasi di industri pakaian olah raga dan apparel itu berencana memutus pesanan kepada subkontraktornya, PT HASI dan NASA di Tangerang, Banten.

Nasib empat belas ribu buruh kita beserta keluarganya kini kembali ditentukan NIKE (menurut berita terakhir NIKE menunda pergi selama 24 bulan). Sampai kapankah keunggulan komparatif ekonomi kita adalah buruh berupah murah? Sampai bila sebagian besar nasib rakyat di negeri ini ditentukan oleh perusahaan multinasional? Yang jelas rakyat kita terus miskin.

Jika ukuran pendapatan dua dollar AS per hari kita pakai sebagai standar internasional dalam mengukur kemiskinan, porsi penduduk miskin di Indonesia sekarang ini mencapai 50 persen lebih dari total jumlah penduduk. Sial, saya termasuk di dalamnya!

Coba kita refleksikan lagi kenapa bangsa kita jadi begini. Barangkali kita mesti menghayati vita activa kita secara ‘benar’: cari makan itu mestinya dengan ethos bekerja, berekspresi itu harus dengan segala kreativitas berkarya, berpolitik itu mesti dengan kesadaran melakukan tindakan untuk kepentingan bersama. Jadi, jangan sekali-kali mencampuradukkan kepentingan pribadi dalam “urusan ummat,” seperti dilakukan para koruptor dan diktator.

Kita sungguh-sunguh dituntut menghayati vita activa kita dengan benar.***

No Comments

  1. Iya juga yah. Masalah sepele (ga bermutu) diungkit-ungkit demi melampiaskan kekecewaan.

    Eh, presidennya juga malah ikut-ikutan ga bermutu (terpancing masalah murahan begitu…. Jangan-jangan beneran ya? Benar apa yang dituduhkan itu.) 😀

  2. Untuk Pak Al Jupri, begitulah kualitas para pemimpin kita, ternyata belum juga memiliki kecerdasan emosi, mudah larut dalam emosi sesaat, ha3X.

    Untuk Mbak Safitri, terima kasih kunjungannya. Mental para pemimpin kita ternyata tidak sama “buah kelapa”, makin tua makin banyak santannya. Kok bisa begitu, ya, Mbak?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *