Pekik “Merdeka” dan KTSP

61 62 tahun sudah negeri ini merdeka. Namun, secara jelas dan nyata, kita masih merasakan betapa banyaknya pernik-pernik kehidupan yang silang-sengkarut. Dari sisi ekonomi, kita masih dihantui situasi krisis. Lapangan kerja menyempit, sementara angka pengangguran makin mencuat tajam. Di bidang hukum, masih banyak koruptor kelas kakap yang luput dari incaran dan jerat hukum. Dari sisi demokrasi, kita juga masih melihat banyaknya kelompok masyarakat yang lebih suka mengandalkan otot dan mengacungkan pedang dalam memperjuangkan kepentingan ketimbang hati nurani dan sikap rendah hati. Yang tak kalah menyedihkan, dunia pendidikan yang diyakini menjadi motor penggerak peradaban, belum juga menampakkan hasil yang nyata. Kualitas SDM kita masih jauh tertinggal dibandingkan negeri jiran kita, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, atau Vietnam yang bertahun-tahun lamanya diselimuti kabut perang saudara.

Negeri kita memang sudah lama dikenal sebagai bangsa yang penuh ironi. Ketika atmosfer otonomi pendidikan gencar menghembus di berbagai wilayah dan pelosok nusantara, banyak pejabat di daerah yang tidak siap menyambutnya. Budaya “menunggu dan meminta” petunjuk dari atas tetap saja mengakar dalam duni pendidikan kita. Pengaruh budaya paternalistik masih kuat mengakar dalam jiwa dan kepribadian bangsa kita. Tak heran ketika Mendiknas melucurkan Permen No. 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan Pelaksanaan KTSP, banyak pejabat di daerah yang bingung untuk melaksanakannya. KTSP disusun asal jadi. Yang lebih menyedihkan KTSP hanya disusun melalui proses “copy-paste” dari sekolah tertentu yang dianggap sudah siap mengimplementasikan KTSP. Kalau prosesnya semacam itu, di mana letak kekhasan, potensi dan karakter peserta didik, dan latar belakang sosial-budaya masyarakat setempat yang menjadi ciri KTSP antarsekolah. Tak heran jika KTSP justru sering diplesetkan dengan nada nyinyir menjadi Kurikulum Tetap Sama Produknya. Artinya, KTSP yang disusun setiap sekolah memiliki produk yang sama lantaran hanya “copy-paste” itu tadi.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa budaya “minta petunjuk dari atas“ masih kuat mengakar dalam jajaran birokrasi pendidikan kita. Masih bisa dihitung dengan jari jumlah pejabat yang memiliki inisiatif untuk menyambut setiap perubahan secara mandiri dan kreatif. Sikap inferior dan takut salah masih menghinggapi pola pikir kaum birokrat pendidikan kita. Kalau kondisi semacam itu terus terjadi, disadari atau tidak, otonomi pendidikan yang gencar digembar-gemborkan itu hanya akan menjadi slogan dan retorika belaka. Fenomena tersebut membenarkan sebuah asumsi bahwa perubahan konsep itu gampang dilaksanakan, tetapi perubahan kultur bangsa butuh waktu bertahun-tahun lamanya.

Seiring dengan berhembusnya napas kemerdekaan yang sudah mencapai usia ke-62, bangsa kita idealnya sudah mampu menafsirkan makna otonomi pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. KTSP harus dipahami sebagai sebuah kurikulum operasional yang mencerminkan potensi dan karakter peserta didik, kondisi sekolah, dan latar belakang sosial-budaya masyarakat setempat. Dengan landasan hukum yang kuat, sekolah diharapkan dapat terbebas dari belenggu birokrasi pendidikan yang selama dinilai sangat kuat pengaruhnya dalam dunia persekolahan kita.

Namun, diakui atau tidak, KTSP yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2006/2007 yang lalu –khususnya bagi sekolah yang sudah menerapkannya karena berdasarkan Permendiknas No. 24/2006, sekolah baru wajib melaksanakan pada tahun 2009/2010– disusun seadanya, bahkan proses penyusunannya hanya melalui “copy-paste” dari sekolah lain yang dinilai layak dicontoh.

Berdasarkan sistematikanya, KTSP terbagi dalam 2 dokumen, yaitu dokumen I dan dokumen II. Dokumen I memuat 4 bab, yaitu poendahuluan, tujuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum, serta kalender pendidikan. (Bab I dan II disesuaikan dengan karakter sekolah). Sedangkan, dokumen II terbagi dalam tiga komponen, yaitu silabus dan RPP mata pelajaran (kelas 7, 8, dan 9), silabus dan RPP mata pelajaran Mulok (Muatan Lokal), dan silabus dan RPP mata pelajaran IPA dan IPS Terpadu. Untuk lebih jelasnya silakan dowload contoh dokumen I –hasil Bintek Bogor– di sini, sedangkan contoh dokumen 2 (silabus dan RPP mata pelajaran bahasa Indonesia) bisa didownload di halaman download!

Contoh tersebut hanya sebuah model. Sekolah bisa mengembangkan KTSP secara kreatif dan mandiri. Nah, selamat ber-KTSP.

 

No Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *