Warni Ingin Pulang

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Warni tercenung di kamarnya. Dadanya tiba-tiba sesak. Benaknya jatuh ke tempat yang jauh. Ia rindu Emak, Bapak, dan adik lelaki satu-satunya di tanah Jawa, yang sudah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya. Kenekadan Warni untuk menerima tugas sebagai guru di luar Jawa seakan bebar-benar telah memutuskan hubungan darah dengan keluarganya. Ia sudah berkali-kali mencoba mengirim surat ke Jawa, tapi belum pernah sekali pun mendapatkan balasan. Warni tidak tahu, apakah surat yang dikirim memang tidak pernah sampai ke alamat yang dituju atau surat itu sampai ke tangan keluarganya, tapi sengaja tidak dibalas, yang bisa diartikan ia sudah tidak lagi dianggap sebagai anggota keluarga.

“Kamu hanya perempuan, Warni. Buat apa jauh-jauh meninggalkan kampung halaman hanya untuk memburu duit? Tanpa harus bekerja pun ayah sanggup menanggung hidupmu, bahkan sampai kelak kamu hidup berumah tangga!” kata-kata ayahnya menari-nari di lorong ingatannya.

Penjara

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Pelupuk mata Badrun mengerjap-ngerjap seperti klilipan. Berat dan pedas. Sudut-sudut matanya masih digerayangi sisa-sisa mimpi. Ia tidak tahu, sudah jam berapa sekarang. Sel tempat ia disekap memang sangat tidak memungkinkan untuk mengetahui dengan pasti pergantian setiap detik, menit, jam, bahkan hari. Ia pun tak ingat lagi, sudah berapa lama menjadi penghuni penjara terkutuk yang sumpek, pengap, dan bau ini.

Yang menjengkelkan, ia harus sering bergaul dengan para penghuni penjara berperangai kasar. Ia sering dijadikan sasaran amarah dan ledakan emosi para pesakitan yang sudah kebelet ingin mencium bau kebebasan di luar tembok penjara. Gertakan, makian, sumpah-serapah, ancaman, pukulan, bahkan ludah bacin tak jarang harus ia terima, tanpa perlawanan. Sangat konyol jika harus melawan mereka. Di penjara ini, hanya okol dan nyali yang berbicara. Makin kuat okol dan nyalinya, mereka malah disegani dan bisa dengan bebas memperlakukan napi lain seenak perutnya.

Sekolah Bukan Ajang Indoktrinasi

Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia persekolahan kita makin rumit dan kompleks. Sekolah tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual.

Dengan kata lain, sekolah dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna”. Namun, melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna” semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan “kemauan politik” para pengambil kebijakan untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai “panglima” peradaban, sehingga negeri ini mampu menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat dalam percaturan dunia internasional pada era global. “Kemauan politik” tersebut harus diimbangi dengan semangat dan motivasi segenap komponen dan stakeholder pendidikan, sehingga tidak hanya sekadar menjadi slogan dan retorika belaka.

Perlukah Kontrol Bahasa di Ruang Publik?

Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai. Terkesan alot dan berbelit-belit. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.

Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.

Korpri dan Neofeodalisme dalam Birokrasi

Pada 29 November 2007, Korpri genap berusia 36 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971 ini –warisan rezim Orde Baru– dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Dengan doktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, Korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan. Sungguh, bukan soal mudah mengakomodasi dan mengakumulasi beragam profesi dalam satu visi.

Meskipun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap.

Jagal Abilawa

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Sudah hampir sebulan ini aku dipusingkan oleh ulah Sumi, istriku, yang tengah hamil. Menurut para tetangga, istriku lagi nyidham, hal yang wajar dialami oleh perempuan yang sedang menjalani kodratnya. Dia minta dicarikan seorang tokoh dalam jagad pewayangan, Jagal Abilawa, salah satu kerabat Pandawa yang amat dikagumi lantaran keberanian dan ketegaran hatinya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Kalau sembarangan Jagal Abilawa, bagiku tak masalah. Aku bersahabat baik dengan banyak dalang dan perajin wayang kulit. Tentu, mereka dengan senang hati akan membantuku. Namun, yang diinginkan istriku, Jagal Abilawa yang usianya sudah mencapai usia ratusan tahun. Aku menganggap permintaan istriku merupakan sesuatu yang mustahil. Mana ada wayang kulit yang sanggup bertahan hingga umur ratusan tahun? Kalau toh ada, pasti sudah jatuh ke tangan para kolektor barang antik yang berkantong tebal. Tetapi, istriku tak peduli. Dia terus mendesakkan keinginannya untuk bisa dipertemukan dengan ksatria Jodipati yang perkasa itu.

Gerah Gara-gara Guru

25 November telah ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional, bersamaan dengan HUT PGRI. Menurut rencana, puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2007 akan dipusatkan di Pekanbaru, Riau, yang akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat teras pendidikan lainnya. Untuk ke sekian kalinya, guru dihadirkan di ruang publik. Upacara digelar di seantero negeri, mulai dari pusat ibukota hingga dusun-dusun terpencil. Semua siswa didik mengangkat tangan tanda hormat tingginya marwah guru dalam membimbing mereka meraih masa depan. Lirik Hymne Guru disenandungkan dengan rasa haru yang menyesak di dada. Para guru hanya bisa menunduk mendengarkan senandung pujian dan sanjungan. Tak kalah harunya menyaksikan siswa didiknya yang begitu tulus memberikan kado “Hymne Guru“.

Ya, ya, ya, ibarat serdadu, guru di medan pendidikan mengemban misi memerdekakan generasi bangsa dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berada di garda depan dalam “menciptakan” generasi-generasi muda yang cerdas, terampil, tangguh, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, berwawasan luas, memiliki basis spiritual yang kuat, dan beretos kerja andal, sehingga kelak mampu menghadapi kerasnya tantangan peradaban.

Buku, Penulis, dan Penjara

Diilhami oleh tulisan Bangaiptop “Dukung Bersihar Lubis“, Mas Hoek, dan juga banner keren, buah kreasi Kang Anto Bilang, naluri saya sebagai penulis katrok tiba-tiba ikut-ikutan “memberontak”. Betapa kebebasan yang dijamin pasal 28 UUD 1945 di negeri ini masih silang sengkarut. Masih ada persoalan serius yang harus dituntaskan, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.

Jujur saja, saya tidak kenal siapa Bersihar Lubis (BL). Pernah sesekali membaca tulisannya di TEMPO. Tulisan-tulisannya lugas, kritis, dan menusuk. Tulisan-tulisan khas yang biasa meluncur dari tangan para jurnalis. Namun, agaknya sikap lugas dan kritis BL berbuah petaka.

Revitalisasi Seni Rakyat di Tengah Peradaban Global

Seiring dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada arus globalisasi, dunia kesenian diharapkan bisa ikut berkiprah dalam melakukan pencerahan terhadap peradaban yang “sakit”. Seni tidak cukup hanya dipahami sebagai produk estetika, tetapi juga mesti diapresiasi sebagai sebagai produk budaya yang mampu memberikan sesuatu yang bermakna bagi umat manusia. “Dulce et utile”, kata Horace.

Berkaitan dengan keberadaan seni rakyat yang hingga kini masih tumbuh subur di kantong-kantong seni, khususnya di daerah pedesaan, pada era global justru akan semakin dilirik dan diperhatikan sebagai “mutiara yang hilang”. Seni rakyat justru akan semakin penting dan strategis setelah manusia-manusia yang hidup pada masa post-modern sudah mulai jenuh dengan berbagai produk seni modern yang dinilai mulai kehilangan basis dan tuah falsafinya. Oleh karena itu, produk-produk seni rakyat perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kehadirannya semakin dicintai dan dirindukan oleh publik.

“Langit Makin Mendung”: Cerpen Multiwajah yang Kontroversial

Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).

39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.