Revitalisasi Seni Rakyat di Tengah Peradaban Global

Seiring dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada arus globalisasi, dunia kesenian diharapkan bisa ikut berkiprah dalam melakukan pencerahan terhadap peradaban yang “sakit”. Seni tidak cukup hanya dipahami sebagai produk estetika, tetapi juga mesti diapresiasi sebagai sebagai produk budaya yang mampu memberikan sesuatu yang bermakna bagi umat manusia. “Dulce et utile”, kata Horace.

Berkaitan dengan keberadaan seni rakyat yang hingga kini masih tumbuh subur di kantong-kantong seni, khususnya di daerah pedesaan, pada era global justru akan semakin dilirik dan diperhatikan sebagai “mutiara yang hilang”. Seni rakyat justru akan semakin penting dan strategis setelah manusia-manusia yang hidup pada masa post-modern sudah mulai jenuh dengan berbagai produk seni modern yang dinilai mulai kehilangan basis dan tuah falsafinya. Oleh karena itu, produk-produk seni rakyat perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kehadirannya semakin dicintai dan dirindukan oleh publik.

“Langit Makin Mendung”: Cerpen Multiwajah yang Kontroversial

Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).

39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.

Kang Panut

Nada tangis pilu memecah perkampungan, mengiris atap-atap rumah, mengusik mimpi-mimpi yang membadai di layar bawah sadar para penduduk. Fajar baru saja menggeliat dari kepungan malam yang busuk. Sambil mengucak-ucak pelupuk mata, beberapa penduduk berjingkat dari pembaringan, menerobos pintu, menyibak kabut dingin.

“Ada yang meninggal, ya, Kang?” tanya seseorang.

“Mungkin!” sahut yang lain.

“Kira-kira siapa yang meninggal, ya, Kang?”

“Mana aku tahu? Tapi kalau ndak salah tangisan itu dari rumah Kang Panut!”

“Tapi setahu saya keluarga Kang Panut sehat-sehat saja, kok!”

“Yah, semoga tidak ada apa-apa!”

Mereka terus berjalan menyusuri jalan desa yang dingin dan berkabut. Tergesa-gesa. Suara tangis makin menyayat-nyayat. Para penduduk makin tak sabar. Ketika tiba di rumah Kang Panut, mereka menyaksikan kesibukan yang berlangsung di gubug reot berdinding bambu itu.

Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator

Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir sebuah antologi (baik puisi maupun cerpen). Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan. Begitu pentingkah sebuah antologi bagi seorang penulis sehingga perlu terus berjuang untuk mewujudkannya?

Ya, ya, ya! Antologi memang bisa menjadi alat dan media untuk mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari “panggilan” hidup, tetaplah butuh sebuah pengakuan. Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sebuah tujuan.

Bang Kempul Bergaya Selebritis: Sebuah Refleksi

Setelah jadi wakil rakyat, gaya hidup Bang Kempul berubah drastis. Kesibukannya luar biasa padat. Ia memang sering mangkir dan selintutan pada agenda yang “kering” dan melelahkan, tapi selalu hadir pada acara-acara “basah” yang mengalirkan kerincing dhuwit ke koceknya. Mobil mewahnya yang nongkrong di garasi siap memanjakan ke mana pun lelaki muda berjidat licin itu pergi. Rumah dinasnya magrong-magrong, lengkap dengan segenap perabot dan fasilitas serba mewah. Busana yang membungkus tubuhnya pun harus bikinan luar negeri yang konon bisa membuat pemakainya pede dan bergengsi.

Membebaskan Dunia Pendidikan dari “Virus” Politik

Pemilihan Presiden (Pilpres) memang baru akan berlangsung 2009 nanti. Namun, denyutnya sudah kita rasakan mulai sekarang. Para calon presiden (Capres) mulai “tabur pesona” dengan menjaga komunikasi seramah dan seefektif mungkin. Sebisa-bisanya membangun citra dan imaji positif di tengah-tengah publik untuk meraih simpati. Sikap kritis terhadap kepemimpinan RI I pun kian gencar dilakukan. Yang pasti, para Capres mulai ancang-ancang dan memasang strategi untuk menjerat rival politiknya sekaligus merangkul berbagai kelompok dan organisasi untuk membangun citra positif secara kolektif.

Dunia pendidikan dan dunia politik memang merupakan khazanah yang berbeda. Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia secara utuh dan paripurna, sedangkan dunia politik sangat erat kaitannya dengan proses bertindak dan mekanisme kebijakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan visi dan platform perjuangannya. Untuk mencapai tujuan, para politikus tidak jarang menempuh langkah dengan menghalalkan segala macam cara. Kawan bisa jadi lawan, lawan pun bisa menjadi kawan. Tidak heran apabila publik sering dibuat tercengang oleh ulah para elite politik yang suka berubah-ubah pendirian.

“Fasisme” dalam Dunia Pendidikan

Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana “fasis”, terpasung dalam cengkeraman rezim penguasa yang otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan nurani menjadi nihil.

Mereka menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri. Tidak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan negeri ini mudah digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, destruktif, bahkan mudah terkontaminasi oleh “virus” disintegrasi.

Mengapa Pamor Guru Meredup?

Sinyalemen tentang meredupnya pamor guru sebenarnya sudah lama terdengar, bahkan gaungnya masih sering menggema hingga sekarang. Sosok guru menjadi objek yang gampang mengundang perhatian, tanggapan, dan penilaian tersendiri dari berbagai kalangan. Hal ini sangatlah beralasan, sebab gurulah yang berada di garda depan dalam “barikade” pendidikan sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, dan pendidik yang langsung bersentuhan dan bergaul dengan peserta didik sehari-hari di sekolah. Gurulah yang dinilai sangat dominan dalam mewarnai “kanvas” pendidikan. Tidaklah berlebihan jika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam gerak dan dinamika pendidikan, orang beramai-ramai menuding guru sebagai biangnya.

Keberadaan guru kalau boleh ditamsilkan seperti lampu bangjo. Kehadirannya sangat penting dan amat dibutuhkan untuk memperlancar arus lalu lintas. Ketika guru mampu menjalankan tugasnya dengan baik, profesional, penuh dedikasi, disiplin, kreatif, inovatif, wibawa, dan mumpuni di bidangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, bahkan menjadi sebuah keniscayaan. Ya, memang seharusnya dalam menjalankan tugas-tugas profesinya, guru harus memiliki landasan idealisme semacam itu. Lampu bangjo pun akan diperlakukan seperti itu. Tak seorang pun pengendara yang akan berteriak-teriak ketika lampu bangjo berfungsi dengan baik. Namun, ketika sang guru melakukan penyimpangan dan kesalahan sedikit saja, hal itu dianggap sebagai noda dan “dosa” tak terampuni. Gugatan dan hujatan pun terus mengalir (nyaris) tanpa henti. Hampir sama dengan para pengendara yang berteriak-teriak, bahkan mungkin mengumpat, ketika lampu bangjo mati.

Membudayakan Cinta Lingkungan Hidup melalui Dunia Pendidikan

Dulu, Indonesia dikenal sebagai sebuah negeri yang subur. Negeri kepulauan yang membentang di sepanjang garis katulistiwa yang ditamsilkan ibarat untaian zamrud berkilauan sehingga membuat para penghuninya merasa tenang, nyaman, damai, dan makmur. Tanaman apa saja bisa tumbuh di sana. Bahkan, tongkat dan kayu pun, menurut versi Koes Plus, bisa tumbuh jadi tanaman yang subur.

Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban umat manusia, Indonesia tidak lagi nyaman untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan tandus. Jangankan tongkat dan kayu, bibit unggul pun gagal tumbuh di Indonesia. Yang lebih menyedihkan, dari tahun ke tahun, Indonesia hanya menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan yang terus dan terus terjadi. Sementara itu, pembalakan hutan, perburuan satwa liar, pembakaran hutan, penebangan liar, bahkan juga illegal loging (nyaris) tak pernah luput dari agenda para perusak lingkungan. Ironisnya, para elite negeri ini seolah-olah menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang-wenang dalam memperlakukan lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat.

Usai Shalat Ied, Lantai Masjid Jebol!

Ini sebuah peristiwa yang sungguh-sungguh menyentuh naluri religiusitas saya. Usai shalat ied, lantai masjid jebol. Untung tak ada korban. Mungkin masjid berbentuk panggung itu sudah terlalu tua sehingga tak kuat lagi menyangga beban. Maklum, masjid tua itu sudah berdiri sejak saya berusia 1 tahun, tepatnya tahun 1965. Kini, sudah berusia 42 tahun.

Peristiwa mengharukan itu terjadi ketika saya mudik lebaran, 13 Oktober yang lalu, di kampung kelahiran saya. Sebuah dusun sunyi yang (nyaris) tak tersentuh ingar-bingar modernisasi yang bising dan dinamis. Sebuah dusun yang dalam versi pemerintah Orde Baru bisa masuk kategori IDT (Inpres Desa Tertinggal). Dusun terpencil itu seperti tersekap dalam belenggu dimensi waktu. Dari tahun ke tahun hampir tak ada perubahan. Sikap hidup masyarakatnya lugu dan ramah, komunitas masyarakatnya begitu guyup dan rukun, serta masih sangat percaya pada tanda-tanda alam dalam menjalankan aktivitas agrarisnya yang mayoritas penduduknya hidup sebagai petani.