Sastra Koran di Tengah Imaji Kekerasan

Tradisi penulisan teks sastra lewat koran (sastra koran) sudah lama muncul. (Hampir) semua sastrawan kondang memanfaatkannya. Gerson Poyk, Abdul Hadi WM, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Gus Mus, Hamsad Rangkuti, atau Afrizal Malna –sekadar menyebut beberapa nama—adalah sederet tokoh yang dengan amat sadar ”menggauli” koran sebagai ”corong” kreativitasnya dalam berkesenian. Hampir mustahil seorang sastrawan bisa terangkat namanya secara otomatis tanpa harus bersentuhan dengan koran. Bahkan, bagi penerbit, sastra koran barangkali dijadikan sebagai ”barometer” untuk mengukur tingkat kapabilitas seorang sastrawan yang menginginkan karyanya diterbirkan sebagai buku. Itu artinya, koran, disadari atau tidak, memiliki andil besar dalam melambungkan nama seorang sastrawan.

Sayangnya, tidak semua penerbitan (koran) sanggup dan mampu bertindak sebagai ”juru bicara” sang sastrawan, apalagi ketika harga kertas melambung. Tidak sedikit koran yang terpaksa menggusur rubrik sastra. Koran pun jadi lebih banyak menyajikan berita-berita politik dan ekonomi yang ”memanas”, demo menolak kenaikan BBM, aksi-aksi kekerasan yang mengerikan, pernyataan para elite yang kontroversial, atau penanganan kasus hukum yang stagnan. Hanya penerbitan tertentu yang dengan setia menghadirkan tulisan yang humanis, menyentuh nurani, dan menyejukkan. Selebihnya, adalah penerbitan yang sering disebut orang sebagai ”pers provokator”. Tidak bikin sejuk, tetapi secara emosional malah bikin suasana makin panas dan mudah terkompori.

Sebagai salah satu entitas kebudayaan, sastra akan makin bermakna jika didukung media publikasi dan sosialisasi yang memadai. Salah satunya ya lewat koran itu tadi. ”Pulchrum dicitur id apprensio” (keindahan jika ditangkap menyenangkan), demikian ujar sang filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Ini artinya, keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media sosialisasi dan publikasi. Bagaimana mungkin publik mampu menangkap keindahan cerpen surealis Danarto yang fantastik dan teatrikal, cerpen Seno Gumira Ajidarma yang ”liar”, romantik, dan menghanyutkan, atau puisi-puisi Abdul Hadi WM yang religius, kalau tak ada media yang memuatnya? Bagaimana mungkin nama-nama mereka bisa dikenal publik sastra?

Dari sisi ini jelas bahwa keberadaan koran menjadi hal yang niscaya bagi kiprah dan kreativitas seorang sastrawan, khususnya bagi mereka yang sedang memburu popularitas. Untuk langsung mengirimkan setumpuk karyanya kepada penerbit buku? Alih-alih diterima, disentuh pun bisa jadi tidak, apalagi buku-buku sastra termasuk jenis buku yang ”mati” di pasaran.

Ada juga asumsi yang menyatakan bahwa sastra koran diragukan bobot dan kualitasnya. Asumsi ini beranjak dari kenyataan bahwa kreativitas sastrawan mesti ”tunduk” dan ”patuh” pada selera redaksi sehingga menutup kebebasan sastrawan dalam menciptakan teks-teks sastra yang ”liar” dan menentang arus. Selain itu, redaksi koran juga dinilai ”kurang adil” dalam memperlakukan para penyumbang tulisan. Mereka yang sedang berjuang mengukir sejarah kesastrawanannya untuk mendapatkan legitimasi publik harus menelan kekecewaan lantaran tulisan-tulisan kreatifnya tak muncul-muncul di koran. Ironisnya, tulisan sastrawan kondang yang secara tematik dan penggarapannya dianggap kurang intens dan serius, justru bertebaran di berbagai koran.

Asumsi semacam itu memang sah-sah saja. Namun, sepanjang pengamatan awam saya, teks-teks sastra koran yang muncul –tak peduli siapa penulisnya—secara sastrawi dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, dari sisi bobot dan kualitasnya layak digolongkan sebagai karya sastra yang sarat nilai kultural, relogi, dan kemanusiaan. Selain itu, pimpinan redaksi tentu tak akan gegabah menaruh sembarang orang untuk menjaga ”gawang” rubrik sastra. Paling tidak, mereka yang pernah eksis berkiprah di dunia sastra dan berwawasan estetika yang mumpuni –tidak semata-mata memiliki keterampilan jurnalistik– yang layak mengurusnya.

Di tengah atmosfer kehidupan bangsa yang makin rentan terhadap imaji kekerasan, disintegrasi sosial, atau ulah anomali sosial lainnya, sudah tiba saatnya koran menjadi media alternatif, semacam katharsis dan pencerahan batin, untuk ikut peduli meredam emosi pembaca lewat teks-teks sastra, baik kreatif maupun literer, yang mampu membikin hati sejuk, penuh sentuhan nilai kemanusiaan dan religi. Melalui teks sastra inilah denyut kehidupan manusia yang sebenarnya dapat dirasakan dan diraba. Dengan banyak membaca teks sastra, pembaca makin arif dan jernih dalam menyiasati berbagai fenomena hidup dan kehidupan.

Akankah ”sinergi” antara sastra dan koran makin menguat atau justru amburadul direnggut ”mulut-mulut” industrialisasi dan kapitalisasi global yang sulit terelakkan? Nah, sang waktulah yang akan menjadi saksi. ***

Keterangan: Gambar sepenuhnya merupakan karya Mas Dwijo D. Laksono

Comments

  1. saya setuju itu,mas.
    agar tak terlalu diberi berita2 yang terlalu sangar,memang boleh2 saja.
    tapi kalau ada penyeimbangnyakan lebih bagus itu.
    lewat karya2 sastra.

    langitjiwas last blog post..kirim khabar

    betul mas langitjiwa, idealnya begitu agar publik tak disodori berita2 “panas” mlulu 💡

  2. iya pak,
    dengan keberadaan vasilitas yang mempunyai nilai jual yg mahal sedangkan nilai kreatifitas anak bangsa yang tinggi tidak berimbang. buktinya tar lagi harga kertas koran naik kan.. naa itu salah satu kendala,
    ini bisa menjadi faktor hhmm,, gi mana yaa.. gak bisa ngomong da saya pak 😛

    thank’s

    ochims last blog post..Tingkah Pola Para Bloggeran

    kita hanya bisa berharap pada kearifan para pemilik media, mas ochim, agar para pembaca jadi cerdas, baik secara intelektual maupun emosional, hehehehe :oke

  3. Iya pak, sayang sekali jika sastra digusur dari koran. Sastra kan memang bisa mengobati jiwa, ditengah berita-berita yang nggak jelas ujung pangkalnya itu.

    danalinggas last blog post..Demo Yang Anarkis

    itulah sikap para pemilik modal, mas dana hehehehe 😛 yang dianggap kurang menguntungkan langsung dilibas.

  4. Sebagai penikmat karya sastra yang awam, aku tidak terlalu mengindahkan takaran-takaran kritik sastra secara akademis. Pokoknya karyanya enak dibaca dan ada kesan yang mengendap setelah membaca, berarti karya itu bagus.

    Apa sih hebatnya karya-karya Pramudya Ananta Toer kalau dibedah dengan pisau kritik sastra yang akademis ?

    kekuatan atau lebih tepatnya daya pikat karya-karya Pak Sawali, menurut pendapatku, adalah karena sifatnya yang bersifat reportase atau nyaris fotografis. Jadi, sebenarnya Pak Guru ini sangat berbakat menjadi wartawan, tapi keliru memahami potensinya sehingga menjadi cerpenis hehehe…

    karya-karya Pak Sawali memang terasa lempang, polos atau mentah; pasti bukan karena tidak menguasai plotting yang cantik dan rumit model cerita detektif; tapi karena Pak Guru ini orangnya senang apa adanya : jujur atau innocent.

    Nah, daripada terlalu banyak memamerkan kebodohanku dalam urusan kritik sastra ini; aku loncat ke konklusi sajalah : karya-karya Pak Sawali punya peluang menjadi jawara di jalur realis; justru karena hampir semua karya sastra kita keranjingan post-mo dan post post-mo. Terus terang, semakin sulit menikmati karya sastra/fiksi Indonesian dalam 20 tahun terakhir, karena memang berlomba untuk sulit dan rumit.

    Teruskan berkarya Pak Guru. jangan pernah tunduk pada uniformitas.

    salam merdeka

    Robert Manurungs last blog post..Inilah Para Penjahat Lingkungan dalam Kasus Lumpur Panas Sidoarjo

    hehehehehe 😆 makanya teori struktural itu sekarang jarang digunakan oleh para kritikus karena cenderung menghakimi kreativitas penulis dan mengabaikan nilai2 ekstrinsiknya. makasih bung robert! 💡

  5. Apa koran masih banyak yang baca Pak?
    Bukannya, lebih enak baca blog, hehehe.

    masih ada juga pembaca yang setia pada koran kok, pak, hehehehe 😆 yang baca blog kan sebagian besar temen2 bloger itu. 🙄

  6. azaxs

    Betul pak.. sastra dan koran adlah dua sisi kepingan uang yang tidak dapat dipisahkan.. walaupun paa kenyataannnya rublik sastra sekarang sulit didapatkan di koran-koran..

    justru sastralah sumber dari segalanya, bisa menyimpan pesan apapun yang justru tidak dapat kita temukan dlam bentuk lainnya..

    azaxss last blog post..Demontrasi GEMAPO dan KMB

    saya kira benar, mas azaxs. sayangnya, banyak koran yang sengaja menggusur rubrik sastra lantaran dinilai kurang menguntungkan secara finansial. 😛

  7. Dari dulu saya menyenangi cerita bersambung di Kompas…dari sini saya mulai mengenal pengarangnya, dan berlajut jika ada uang beli bukunya.Cerita bersambung karangan Romo Mangun, trilogi Roro Mendut, sekarang lagi beredar di Gramedia…dan betapa senangnya hati, saat anak sulungku membawakan buku tadi untuk hadiah buat ibunya.
    Saya juga resensi buku yang diulas di Kompas…..dan akhirnya saya beli satu set karangannya Andrea Hirata, Gajah Mada nya LKH dll. Dulu saya ga kenal Clara Ng, setelah baca cerber nya di Kompas, saya beli buku-bukunya, ternyata si bungsu menyenangi.

    Kedua anakku sama-sama suka buku, cuma minatnya berbeda…si sulung lebih ke arah cerita yang mengandung budaya, sejarah, konflik politik (seperti babad Tanah Jawi, karangan A.A Nafis, Romo Mangun dsb nya)…si bungsu seleranya lebih ke arah “halus”…seperti karangan NH Dini (dia baca lengkap bukunya Dini), Clara Ng, juga Chicklit sejenis karangan Sita Karina.

    edratnas last blog post..Kencangkan atau longgarkan ikat pinggang?

    salut banget kepada keluarga ibu yang suka membaca buku2 sastra. cerita bersambung di kompas, menurut hemat saya juga bagus2, bu. namun, biasanya juga akan lebih mantab bacanya kalau sudah diterbitkan menjadi sebuah buku. 💡

  8. Tulisan ini mengingatkan saya pada pertarungan antara sastra koran dan sastra cyber di awal tahun 2000-an. Sejumlah penulis puisi (temanku bahkan ada yang menyebutnya sastra-awam) yang intens menulis puisi di dunia maya menganggap koran sudah dikuasai oleh hegemoni tertentu.
    Sementara dunia cyber yang bebas ruang dan waktu memiliki kesempatan lebih untuk mempublikasikan karya.
    Memang benar koran menjadi salah satu media publikasi, tapi bukan satu-satunya. Sebuah karya yang baik akan tetap menjadi baik walaupun di tulis di daun lontar sekali pun…
    Jadi menulis atau berkarya di mana saja bisa saja dilakukan…
    Seorang kawan bahkan nekad mempublikasikan karyanya dengan memfotokopi sajak-sajaknya kemudian dibagikan kepada para penumpang bus atau ditempel di tiang-tiang listrik. “Walau tak efektif… Yang penting karya bisa sampai ke masyarakat,” begitu kata temanku.

    Qizink La Azivas last blog post..Waspadai Praktik Curang Sertifikasi Guru

    saya sependapat dengan cung qizink. media apa pun bisa dijadikan untuk menyosialisasikan teks sastra. meski demikian, koran agaknya masih menjadi sebuah “kekuasaan” yang sulit ditundukkan, khususnya bagi penulis yang masih membutuhkan legitimasi dari publiknya. 💡

  9. Kalau Mas Sawali punya uneg uneg tentang Sastra Koran untuk mengangkat Nama nama Gerson Poyk,Seno Gumira Ajidarma,Gus Mus dll.
    Saya sekarang mempunyai uneg uneg untuk Mas Sawali adalah Sastrawan Bloger… he he..
    Gimana para pengunjung dan pengagum Mas Sawali …setuju enggak…Kalau Mas Sawali kita jadikan sebagai Ikon Sastrawan Bloger Indonesia.

    semelekethes last blog post..Menjajal (jawanya : Mencoba ) Ilmu Cak Wid -Untuk SEO

    wakakakakaka 😀 jangan begitu, mas. saya kira masih banyak bloger lain yang layak menerima predikat semacam itu. saya masih harus banyak belajar, mas.

  10. Salam
    Hmm setuju Pak, paling engga adanya karya sastra ditampilkan di koran hitung2 penyejuk dan penyeimbang dari berita2 panas nan memiriskan hati, seengganya dengan kata2 yang nyastra, hati bisa lebih tersentuh 🙂

    nenyoks last blog post..Aku Wanita

    yaps, seharusnya begitu, mas nenyok. sayangnya banyak koran yang menggusur rubrik sastra. 😛

  11. sepakat sekali Pak.. saat ini media massa cenderung lebih provokatif dan menyajikan berita yang tidak proporsional, alih2 menyajikan keindahan lewat sastra.. sy sarankan klo pak sawali saat ini sudah mampu membuat perusahaan media cetak atau televisi, buatlah media yg benar2 independen.. UU Pers adalah payung hukumnya pak, jelas sekali bahwa informasi yg seimbang dan independen Tanpa adanya tekanan dari penguasa adalah hak seluruh rakyat!

    fauzansigmas last blog post..Utopia Jadi Negara Kaya

    sepakat banget, mas sigma. waduh, sayangnya saya sama sekali ndak punya modal, hiks. jadi malu nih! 🙂

  12. yup…para penerbit sekarang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan mengesampingkan fungsi dari koran itu sendiri

    dafhys last blog post..aksi GEMAPO

    itulah fakta yang menyedihkan, mas dafhy, ketika para pemilik modal telah menjadikan untung-rugi sbg orientasi bisnis. 😛

  13. Hmmmm…. bagaimana kalau ada majalah/tabloid/penerbitan khusus sastra?? Seperti halnya ada juga ada majalah atau tabloid komputer, hp, film, ekonomi, bisnis, musik dsb.? Kira2 akan bisa survive di pasaran nggak ya terutama di era sekarang??

    Tentu…. kemasannya harus disesuaikan dengan keadaan sekarang serta desainnya juga yang menarik dan tidak kaku, sehingga sastra tidak dianggap lagi sebagai barang antik atau barang kuno, tetapi tetap bagian daripada kebudayaan modern seperti halnya film dan musik?? Siapa tahu kalau manajemennya profesional, terbitan khusus sastra bisa meledak di pasaran……..

    Yari NKs last blog post..Kenaikan Harga BBM di Mata Seorang Penjual Kupat Tahu

    sebenarnya sudah ada kok, bung yari majalah khusus sastra, misalnya horison atau basis, bahkan juga kalam. sayangnya dicetak dalam jumlah yang terbatas. 💡

  14. Betul itu, bang.
    Sastra adalah komponen terpenting dari media cetak. Kurang sreg rasanya baca koran yang gak isinya masalah semua dan disajikan mentah-mentah.

    saya kira tidak salah, mas andra. idealnya begitu agar pembaca juga cerdas secara intelektual dan emosional. 💡

  15. ass.

    p.Sawali wrote : “apalagi buku-buku sastra termasuk jenis buku yang ”mati” di pasaran.”

    hanya sedih mbaca penggal kalimat ini pak…..sedih sekali.
    benarkah faktanya begitu ?

    sekarang masyarakat lebih suka memilih audiovisual ketimbang mbaca ya pak ? lebih suka yang instan2..cerita artis..gosip sana-sini.makanya koran isinya banyak info artis melulu. gosip melulu.

    Padahal disadari atau tidak, bahwa Bahasa Indonesia yang kita pakai hari ini adalah disosialisasikan dan timbul akibat dari SASTRA itu sendiri. Lihatlah Karya2 sastra kuno. spt.RAJA ALI HAJI, HAMZAH FANSURI,dll.. bahasa mereka semua memakai bahasa indonesia tempodoeloe (bahasa melayu), padahal Indonesia saat itu belum ada. Begitu besar sumbangsih SASTRAWAN buat bangsa ini.

    Alex Abdillahs last blog post..JIKA ORIENTASI AKHIRAT, DUNIA KAN DAPAT

    wa’alaikum salam, bung abdillah. itulah kenyataan ironis yang berlangsung ketika budaya instan sudah menggerus sendi2 kehidupan masyarakat. hal-hal yang berkaitan dengan masalah2 kemanusiaan dan religi jadi terabaikan. 😛

  16. iya tuh

    etika bahasanya main kacauuuu 🙂

    achoey sang khilafs last blog post..ML

    hiks 😥 jadi bener2 prihatin, mas achoey.

  17. Lhahh… kok jade bruwet gini Pak…?? Mo komentar jade ndak isah… 😥
    *nunggu klo sudah isah dibaca*

    serdadu95s last blog post..oleh-oleh selama cuti…

    maaf banget bung serdadu kalau bikin komen pada saat blog ini kurang nyaman. servernya sering down, nggak tahu juga yah 😛

  18. Jujur, saya bukan orang yang suka menikmati satra, apalagi yang dimuat di koran. sayang sekali, pengetahuan sastra saya amat sedikit. ini mungkin juga karena membaca sastra bukan hobi saya sejak kecil, namun baru dimulai akhir-akhir ini. saya memilih membaca berita yang lebih ringan di koran.

    isnuansas last blog post..Enaknya Tanpa Macet

  19. saya lebih suka sastra, tapi yang bahasanya juga ga berat.
    apalagi kalo bercerita tentang sejarah, budaya dan semacam itu. 😀

    bagus juga mas imam. oke banget 💡

  20. Tetap menjadi pilihan bagi sastrawan untuk memasuki sastra koran atau tidak.. meski tidak bisa disanggah beberapa kasus yang memang menunjukkan bahwa sastra koran memasung kreatifitas sastrawan, jelas koran mengacu pada selera pasar meski standar selera koran itu sendiri patut dipertanyakan instrumen pengukurannya.. halah…

    semua kembali ke sastrawannya, pak! hiks… 🙂

    saya kira benar, pak 💡 koran biasanya akan menjadi media sosialisasi yang lebih tepat bagi para penulis yang sedang membutuhkan legitimasi publik. karya2 sastrawan papan atas biasanya begitu mudah menembus penerbit. 💡

  21. bagaimana pun sastra koran gak kalah dg karya sastra di majalah sastra. Seno Gumira Adjidarma contohnya, sebagian besar karyanya justru lahir di koran. Hal yg sama dilakukan harris efendi thahar, gus tf, joni ariadinata, bahkan a.a. navis di cerpen-cerpen terakhirnya.

    namun karena dianggap tidak terlalu bernilai jual tinggi, karya sastra sering tenggelam dan tergusur oleh iklan

    Zulmasris last blog post..M E N U N G G U

    tepat sekali, pak zul. disayangkan juga yah, koran2 yang telah dengan sengaja mematikan rubrik sastra. 😥

  22. *nah sekarang dah jelas,komen ahh..*

    “sudah tiba saatnya koran menjadi media alternatif, semacam katharsis dan pencerahan batin, untuk ikut peduli meredam emosi pembaca lewat teks-teks sastra, baik kreatif maupun literer, yang mampu membikin hati sejuk, penuh sentuhan nilai kemanusiaan dan religi..”

    Mudah2an “weblog” nantinya juwega demikian yaa Pak… ndak hanya buat tempat misuh2 ajahh… 😯

    serdadu95s last blog post..oleh-oleh selama cuti…

  23. media sastra tidak hanya koran saja, banyak media lain yang bisa mngangkat makna suatu sastra. salah satunya adalah media blog ini.yang jadi masalah apa para sastrawan mengetahui(dapat memanfaatkan) media blog ini, seperti sampean mas.

  24. Sangat menarik ulasannya Pak. Namun tak bisa dipungkiri bahwa koranpun sebenarnya korban dari tuntutan pembacanya yang lebih menyukai menikmati berita hangat ketimbang menikmati karya sastra melalui surat kabar. Jadi dua-duanya – koran dan sastrawan – adalah korban dari industrialisasi dan kapitalisme.

  25. @ serdadu95: mudah2an bung serdadu 💡

    @ aminhers: yap, bener banget, pak amin. meski demikian, banyak yang bilang bahwa “kekuasaan” koran belum bisa ditaklukkan oleh penulis dalam upaya memperoleh legitimasi publik.

    @ hanggadamai:
    memangnya kenapa, mas hangga? sibuk, yak? 😡

    @ Rafki RS: sepakat banget pak rafky. itulah resiko yang harus dihadapi banyak penulis ketika dunia penerbitan sudah menjadi bagian dari industrialisasi dan kapitalisme 😛

    Sawali Tuhusetyas last blog post..Sastra Koran di Tengah Imaji Kekerasan

  26. Semakin familiarnya internet di indonesia, bisa jadi generasi selanjutnya dah ga mau baca koran. Mau buka berita online ada, mo buka web para sastrawan dan sastrawati ada.

    salam kenal pak..

    leahs last blog post..Ke shopping center

    Salam kenal juga mbak leah. makasih dah mampir. btw, memang bener, mbak, tapi agaknya koran masih juga jadi media yang “sakti” utk memublikasikan teks sastra. 💡

  27. Saya setuju dengan komen #9 Semeleketehe, kalau Pak Sawali kita nobatkan menjadi sastrawan blogger Indonesia. Sastra koran pelan2 akan hilang. Contohnya saya sendiri sudah jarang baca cerpen di Kompas Minggu. Gantinya saya malah baca petualangan di Kompas On line. (Wah kalau begini bukan salah medianya, tapi hobinya memang bukan baca cerpen). Halah…

    Hery Azwans last blog post..Membaca Petualangan Agustinus Wibowo

    wakakakaka 😆 lagi2 mas azwan ikut2an berlebihan. biasa ajalah! bener juga, mas, seiring dengan perkembangan teknologi, agaknya koran cetak pun sudah di-online-kan. “syurga” bagi para peselancar dunia maya, hehehehe 💡

  28. aLe

    Kemungkinan memang 50 50,.
    koran skr kbnykn mngejar headline, dan masyarakat memang cnderung lbh suka yg berbau gosip dan hot.
    Entahlah, ini kmunduran atau kemajuan, waktu juga yg akan membimbing kita.

    aLes last blog post..Kapan Anda merasa Seksi?

    ya, mas aLe. itulah kenyataan yang terjadi, mas. karena penerbitan koran sdh menjadi bagian industri, tentu saja mereka akan mengikuti selera pasar. idealisme sudah hilang entah ke mana. 😥

  29. hmmm saya jarang baca koran… habis isinya membosankan…. itu lagi itu lagi… kalo kata iklan mah “MAGASIDAAAA”

    dulu suka baca satu karya bersambung di koran nasional, tapi sekarang sudah dibukukan tuh… jadi nda perlu baca koran kembali 😡

    natazyas last blog post..Nasionalis itu…

    bener juga, mbak natazya. internet kayaknya sudah mampu menggantikan fungsi media cetak juga pada hal2 tertentu.

  30. yup’s aku setuju tu :112
    Biar nyegerin suasana :292

    prass last blog post..Serunya G. Argo Piloso

    hehehehe 😆 seharusnya memang begitu, mas, biar ada keseimbangan. tak cuma menikmati berita2 “panas” mlulu.

  31. pAK sAWALI yaNG bAIK,
    saya sebenarnya ingin sekali menulis cerpen di media cetak seperti kolran, namun saya dibatasi oleh ketidak tahuan cara memulainya .
    saya yakin bapak bisa membantu

    ILYAS AFSOHs last blog post..BLOGER JUGA MARKETER

    wew… saya juga masih belajar mas ilyas. kalau ingin nulis cerpen, hehehehe 😆 ya tulis saja, lalu kirimkan. masalah perbaikan kualitas tulisan kan bisa dilakukan sambil jalan. *hiks sok tahu*

  32. kalo sastra media cetak kurang ‘ramah’, ya mungkin sastra internet ya Pak ?

    sebenarnya ndak ada sastra yang tidak “ramah” kok, mas dadan. media apa pun bisa digunakan untuk memubilkasikan, termasuk blog tentunya. 💡

  33. Saya s7 dgn bpak. Memang kebanyakan sastrawan kita mulai terangkat namanya lewat sastra koran. Ada beberapa sastrawan kondang yg saya kenal,mengatakan karir sastranya terangkat melalui koran. Di samping nantinya dbaca orang banyak, sastra koran akan lebih bersahabat dgn masyarakat krn koran stiap hari dikonsumsi masyarakat. Tapi saya agak kecewa dgn beberapa media massa (koran) yg skrg mghilangkan rubrik sastra. Mungkin pilihan lain ya melalui blog ini. Betul tdk Master? 😆

    Farhans last blog post..Love at the First Sight

    yap, bener sekali farhan. dominasi koran dalam melambungkan nama sastrawan agaknya masih belum tergantikan. disayangkan juga ya kalau ternyata banyak koran yang menggusur rubrik sastra. Nah, Farhan bisa menggunakan blog sbg media dan sarana utk terus mengembangkan kreativitas dalam menulis. :oke

  34. Koran = surat kabar. Jadi nggak salah dong, Pak, kalau koran tidak memublikasikan sastra –*–

    Ketika dulu saya masih sering membaca Kompas Minggu, bagian sastra selalu saya baca lebih dulu. Saya suka baca cerpen dan sajak yang ada di sana. Namun, lama-kelamaan saya tidak punya waktu lagi untuk baca koran konvensional yang ukuran kertasnya sebesar itu sehingga saya beralih ke koran kompak macam Koran Tempo. Maklum baca koran di bus yang melaju, ukuran koran juga jadi pilihan. Sayangnya nggak ada sastra di hari Senin – Jumat. Entah Sabtu dan Minggu, belum pernah beli Koran Tempo akhir pekan.

    Eh, saya tidak pernah menilai sastra koran kualitasnya lebih rendah dari sastra buku atau sastra horison, sastra basis dan sastra kalam.

    (Ini kali kelima saya buka tulisan ini dan baru bisa membaca sampai selesai. Maklum, buruh.)

    arifs last blog post..Gratis Buku "The Journey" Karya Gola Gong"

    hehehehe 😆 bener juga, mas, apalagi koran kompas rata2 jumlah halamannya tebel banget. tapi juga malah lebih praktis karena bisa dibawa ke mana2. kalau teks sastra online kan mesti butuh tempat khusus. betul juga mas arif, kualitas karya sastra tidak ditentukan oleh media publikasi yang digunakan. karyalah yang berbicara, bukan medianya. :oke

  35. Thank you for this blog. Thats all I can say. You most definitely have made this blog into something thats eye opening and important. You clearly know so much about the subject, youve covered so many bases. Great stuff from this part of the internet. Again, thank you for this blog.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *