Baru saja kita menyaksikan sebuah adegan drama di atas panggung kehidupan sosial. Tragis dan ironis sekaligus. Tragis lantaran harus ada korban. Kaum muda kita, mahasiswa-mahasiswa yang gencar menyuarakan penolakan kenaikan BBM itu, ada yang harus tersungkur kena sasaran peluru aparat. Belum lagi terhitung yang luka-luka akibat bentrok terbuka. Ironis, lantaran bangsa ini telah kehilangan kearifan. Bangsa yang dulu pernah disanjung puji sebagai bangsa yang ramah dan santun telah berubah jadi bar-bar dan biadab terhadap sesamanya.
Tapi sudahlah! Bangsa kita memang telah kebal terhadap luka dan derita. Luka-luka itu akan segera terlupakan. Ibu pertiwi pun tak sanggup lagi menitikkan air mata. Darah telah terkuras akibat luka yang terus menganga. Ibu pertiwi tampak pucat. Sebagai “anak kandung”-nya, tegakah kita menambah beban penderitaannya? Masihkah kita akan terus menyakiti nuraninya dengan melakukan tindakan-tindakan konyol dengan tak henti-hentinya menyemburkan darah dan mengumbar kekerasan?
***
Kenaikan BBM memang berdampak luas. Banyak rakyat yang menjerit lantaran dampaknya sudah demikian terasa. Harga-harga kebutuhan pokok dipastikan akan meroket. Di tengah daya beli rakyat yang semakin anjlog, jelas situasi semacam itu sangat tidak menguntungkan. Pemerintah memang berniat untuk memberikan subsidi kepada rakyat miskin lewat Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun, kebijakan itu dinilai hanya strategi sesaat untuk meredam amarah rakyat. Tidak mendidik, membunuh etos kerja, bahkan cenderung membikin rakyat jadi pemalas dan serba bergantung. Berkaca dari pengalaman, BLT juga hanya membikin masalah baru, yakni munculnya intrik terselubung antarsesama warga dan ketidakpuasan terhadap kinerja aparat desa/kelurahan yang dinilai tidak adil. Tak heran jika pemerintah menuai demo. Mahasiswa, buruh, karyawan, sopir angkutan, hingga ibu-ibu rumah tangga turun ke jalan dengan ekspresi wajah dan teriakan yang sama. Penguasa dinilai telah kehilangan kepekaan terhadap nasib jutaan rakyat yang sempoyongan memikul beban nasib.
Namun, seperti telah diduga, kebijakan kenaikan BBM akhirnya jalan terus. Demo yang terus menggelontor dari berbagai sudut dan pelosok negeri tak menggoyahkan kokohnya tembok kekuasaan. Para demonstran yang babak-belur dan terluka dipahami sebagai resiko sebuah kebijakan. Aparat yang terpaksa bertindak represif ditafsirkan sebagai bentuk pengabdian.
Dalam situasi chaos seperti itu, ditengarai akan muncul “tangan-tangan invisible” yang hendak memancing di air keruh. Para petualang politik yang kebetulan berseberangan dengan penguasa tak segan-segan pasang aksi dengan beragam argumen dan jargon yang menyudutkan. Rakyat kembali “dijual” dalam kemasan yang sarat dengan aroma politik. Tanpa rasa malu, para pemburu kursi kekuasaan mengatasnamakan rakyat untuk memuluskan manuvernya dalam meraih simpati. Kosakata “rakyat” demikian masif digelontorkan dengan artikulasi yang jelas dan fasih. Para penggerak demo bayaran pun konon juga mulai pasang aksi “pasang tarif”. Banyak rakyat yang ikut-ikutan berteriak dan turun ke jalan hanya sekadar mencari sesuap nasi, tanpa tahu apa yang mereka perjuangkan. Sungguh, sebuah fenomena dan anomali sosial yang bertentangan secara diametral dengan slogan “kedaulatan rakyat”.
Kita lupa bahwa ibu pertiwi sudah tak berdaya menanggung beban luka yang terus menganga di sekujur tubuh. Haruskah kita terus-terusan berbuat durhaka dan menambah beban luka dan derita? Sudahlah, cukup satu Malin Kundang saja! Biarkan sosok pendurhaka itu menjadi masa lalu yang memfosil dalam mitos dan legenda! Saatnya kita meringankan beban sang “ibu kandung” dengan mencari cara yang tepat untuk menyembuhkan luka akut yang disandangnya dari generasi ke generasi. *Sok bijak mode on*
Kita bikin hati sang ibu pertiwi selalu tersenyum dan ceria. Kita kembalikan imaji bangsa yang santun, terhormat, dan bermartabat yang selama ini (nyaris) telah hilang dalam kamus kehidupan kita. Optimalkan kinerja, maksimalkan pengabdian pada bangsa, siapkan siasat untuk menghadapi situasi yang tidak menentu! Yang mau demo, silakan saja, asalkan selalu waspada agar tak mudah dikompori dan dimanfaatkan oleh para petualang politik. Yang tak kalah penting, hindarkan kekerasan, cakar-cakaran, atau bakar-bakaran!
Ada masukan buat pemerintah? Tidak ada! Di sekeliling mereka sudah banyak orang pintar yang ketinggian ilmunya telah “sundul langit”. BBM yang sengaja dinaikkan di tengah nasib jutaan rakyat yang terlunta-lunta pun konon sudah melibatkan penghitungan yang cermat dari orang yang hebat-hebat itu. Kalkulasi untung-rugi sudah dilakukan. Orang-orang di sekeliling istana yang rata-rata berjidat licin itu *simbol kecerdasan* konon sudah sangat piawai menghitung angka-angka. Tak heran jika masukan dan kritikan apa pun sudah tak mempan. Mereka adalah orang yang sangat percaya diri bahwa negara ini ada dalam genggaman tangan. Mereka sudah biasa menghadap rakyat yang marah. Hanya tinggal memberi aba-aba dan komando, aparat sudah sigap mengatasinya. Kalau rakyat berbuat kelewatan, tinggal main gebug saja. Jadi, sekencang apa pun kita berteriak, gemanya mustahil mampu menembus tembok istana yang angkuh itu. ***
oOo
harga bbm naik memang membuat rakyat susah, kalau tidak naik pemerintah rugi, karena minyak dunia kan ikut naik juga sehhhh.
salam Admin : Sundulbet.com
www:sundulbet.com mohon untuk kunjungannya.
ya memang sedih memikirkan hal2 seperti itu…
tapi apalah yang bisa kita lakukan selin berdoa dan mulai sesuatu yang baik dari diri kita sendiri..
betul, mbak yuli, paling bagus memang memulai sesuatu dari diri sendiri.
di malaysia pun ikut naik juga minyaknya… naik sedih gini
Baass last blog post..Seminar Perniagaan Internet’s update from JomSeminar