Dimensi Kehidupan Manusia dalam Teks Sastra

Hingga sekarang, agaknya belum ada definisi sastra yang benar-benar sahih dan memuaskan. Benarkah sastra bisa menjadi sarana yang tepat untuk menyampaikan ajaran? Benar jugakah kalau orang mendefinisikan bahwa sastra adalah tulisan yang indah dengan menggunakan bahasa sebagai medianya? Tidak salah jugakah kalau orang mengatakan bahwa sastra merupakan tafsir terhadap berbagai peristiwa hidup dan kehidupan manusia pada setiap peradaban?

Agaknya, sastra memang tidak perlu didefinisikan. Siapa pun mereka, berhak untuk menafsirkan sastra beserta pernik-perniknya sesuai dengan alur logika dan emosinya masing-masing. Dengan menabukan monotafsir tentang sastra, maka kehidupan dunia sastra justru akan makin berkembang, dinamis, dan luwes sesuai dengan gerak zaman yang memolanya. Meski demikian, ada satu hal yang –menurut hemat saya– menjadi sebuah brand dan ikon dunia sastra, yakni adanya dimensi kehidupan manusia. Bisa jadi apa yang dituturkan dalam teks sastra bukan manusia yang “berdarah dan berdaging” –khususnya pada “sekte” simbolik– tetapi esensi persoalan yang ingin diungkap berkelindan juga dengan kehidupan manusia itu sendiri.

Menurut pemahaman awam saya, sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, lengkap dengan segala thethek-mbengek yang bergelayut dengan masalah kehidupan manusia dengan segala problematikanya yang begitu majemuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik dalam khazanah imajinasi untuk dihayati, direnungkan, diendapkan, kemudian disalurkan dalam wujud karya sastra. Saya pikir, seorang sastrawan mokal akan menghindari proses kreatif semacam itu.

Dalam konteks demikian, manusia, masalah, dan lingkungannya itulah yang menjadi titik bidik para sastrawan dalam berproses kreatif. Seorang sastrawan, kebanyakan juga seorang intelektual. (Istilah intelektual tidak selalu merujuk pada derajat dan tingkat pendidikan). Mereka memiliki daya penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, sekaligus memiliki daya intuitif yang sangat peka. Dalam hal ini, karya-karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sang sastrawan.

Sebuah keabsahan jika dalam teks sastra kita jumpai unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya sastra, seperti filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari sang pengarang dalam memandang dunia dan kehidupan. Unsur-unsur ekstrinsik itulah yang menyebabkan mengapa karya sastra tak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Sastrawan akan terus berupaya menyalurkan obsesinya yang begitu dahsyat mendesak-desak gendang nuraninya agar mampu dimaknai dan dinikmati oleh pembaca. Visi dan persepsi sang sastrawan tentang eksistensi manusia diharapkan akan bisa ditangkap dan dicerna oleh pembaca, agar pembaca, paling tidak, terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memiliki kecenderungan untuk memuaskan kebuasan hati. Ini artinya, persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif, dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra. Bahkan, unsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensial yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab, kalau sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra, melainkan hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang meng-ekspose kejadian-kejadian negatif yang tengah berlangsung di tengah masyarakat.
***

Barangkali kita masih ingat luncuran konsepnya Paulo Freire yang mengatakan bahwa rakyat seharusnya jangan hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, tetapi justru harus dijadikan sebagai subjek. Pernyataan ini menyiratkan makna bahwasanya rakyat (wong cilik) adalah sosok manusia yang paling berat dihimpit ketidakberdayaan. Sanggupkah karya sastra mengentaskan ketidakberdayaan yang menghimpit rakyat? Secara langsung tidak memang. Akan tetapi, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat pembaca mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia secara langsung dan sekaligus mampu memberikan pencerahan dan katharsis terhadap berbagai persoalan hidup.

Pada mulanya, karya sastra memang untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dipahami. Akan tetapi, mengingat bahwa karya sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka persoalannya menjadi lain. Karya sastra berkembang sesuai dengan proses kearifan zaman sehingga lama-kelamaan sastra pun berkembang fungsinya. Yang semula hanya sekadar menghibur, pada tahapan proses berikutnya karya sastra juga dituntut untuk dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca. Hal ini relevan dengan idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna).

Memang, persoalan estetika tak mungkin dilepaskan dalam sastra. Akan tetapi, untuk menghindar dari berbagai persoalan etika, nilai-nilai moral, dan fenomena-fenomena sosial yang tengah bergolak di tengah masyarakat juga mokal. Jadi, keduanya sama-sama penting kehadirannya dalam karya sastra. Karya sastra yang hanya bertaburkan bias-bias keindahan dan hanya melambungkan khayal yang bombastis, zonder diimbangi adanya dimensi kehidupan manusia, sama saja kita berhadapan dengan rumah sakit yang megah, tetapi tak ada pasien yang dirawat. Kehadirannya menjadi tak bermakna.

Sastra tidak lagi memburu pegangan nilai-nilai moral, kesetiakawanan sosial, dan segala thethek-mbengek persoalan manusia. Dus, dapat ditarik sebuah sintesis bahwa selain aspek estetika (tipografi), karya sastra juga harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral, kepincangan-kepincangan sosial, dan problematika kehidupan manusia beserta kompleksnya persoalan-persoalan kemanusiaan.

(Tulisan ini sekaligus ingin mencoba untuk merespon komentar Bu Enny, Mas Tukang Kopi, dan Pak Slamet pada tulisan saya sebelumnya).

***

Seperti sudah saya singgung bahwa teks sastra yang baik sudah seharusnya mengangkat persoalan dan dimensi kehidupan manusia. Ibarat sebuah cermin, teks sastra memantulkan nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menyentuh kepekaan nurani pembacanya untuk melakukan pencerahan dan katharsis jiwa. Tentu saja, teks sastra tidak akan pernah melepaskan diri dari persoalan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa dalam teks sastra, dengan sendirinya, tidak sekadar digunakan untuk mendeskripsikan berbagai peristiwa kemanusiaan itu, tetapi juga digunakan untuk memberikan efek emosional tertentu kepada pembaca. Melalui bahasa dan muatan nilai yang terangkum dalam teks sastra itulah pembaca bisa menemukan banyak kandungan nilai kearifan hidup dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya. Dengan kata lain, ada dua aspek yang menonjol dalam teks sastra, yakni muatan nilai (isi) dan style (bahasa) yang digunakan sang pengarang.

Ada banyak ragam dan jenis muatan nilai serta style yang diangkat oleh para sastrawan ke dalam teks sastra yang diluncurkannya. Bahkan, mengusung banyak aliran di dalamnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik dalam dunia imajinasi sang sastrawan. Teks sastra dengan berbagai muatan nilai dan style yang beragam dengan mengusung berbagai aliran semacam itu justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun isi (amanat)-nya. Biarlah setiap sastrawan dengan berbagai macam aliran yang dianutnya berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya.

Persoalannya sekarang, apa yang membedakan antara teks sastra dan nonsasatra? Dalam pemahaman awam saya, dua aspek tadi (muatan nilai dan bahasa) bisa dijadikan sebagai unsur pembeda. Dari aspek muatan nilai, teks sastra selalu mengangkat persoalan dan dimensi kemanusiaan dengan beragam persoalan hidup yang rumit dan kompleks. Dari aspek ini, teks sastra tak jarang menciptakan konflik-konflik kemanusiaan yang mampu membangkitkan kesan emosional tertentu kepada pembaca, semacam sikap empati, haru, sedih, gembira, dan semacamnya. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diangkat dalam teks sastra mampu mengajak pembaca melakukan refleksi dan katharsis diri untuk menemukan makna kearifan dan kesejatian hidup. Tak berlebihan kalau ada yang menyatakan bahwa membaca teks sastra tak ubahnya menjelajahi jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos), tempat diproyeksikannya berbagai persoalan manusia melalui perilaku tokoh yang diciptakan sang sastrawan.

Dari aspek bahasa, teks sastra seringkali menggunakan bahasa metaforik yang mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, bahkan simbolik. Selain itu, juga banyak menggunakan idiom dan majas yang cukup terjaga secara estetis. Itulah sebabnya, teks sastra membuka banyak kemungkinan penafsiran (polyinterpretable) karena penggunaan bahasa yang cenderung emotif, intuitif, dan sugestif. Itu sah-sah saja.

Coba kita simak kutipan monolog seorang perempuan bunting dalam cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto berikut ini!

“O, rahim semesta. Demikian agungkah Engkau? Rahimku mengandung diriku sendiri, di mana aku bermain-main di dalamnya dengan tenteramnya.”

Sebuah kutipan yang indah sekaligus mengandung muatan nilai kemanusiaan yang kompleks, bukan?

Ini hanya sekadar contoh. Masih banyak style sastrawan lain yang dapat kita temukan lewat teks-teks kreatifnya. Hingga saat ini, saya masih percaya pada pernyataan Horace bahwa esensi teks sastra terletak pada “Dulce et Utile”-nya itu (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena kita mendapatkan hiburan dan gizi batin yang mencerahkan lewat penggunaan bahasa yang indah. Berguna karena mengangkat persoalan dan dimensi kehidupan manusia yang menyentuh nurani dan empati kita terhadap nasib sesama melalui tokoh yang diciptakan sang pengarang.

Dari sisi ini jelas bahwa teks-teks yang hanya sekadar memburu aspek hiburan dan selera pasar, zonder memperhatikan dimensi kehidupan manusia, agak sulit digolongkan ke dalam teks sastra. Apalagi, kalau teks-teks tersebut justru memicu adrenalin pembaca untuk melakukan tindakan tak terpuji.

(Mohon maaf kalau tulisan ini belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Kebetulan saja, saya tidak menggunakan pendekatan dan teori yang justru kerapkali membingungkan). Nah, salam budaya! ***

000

Gambar “dicuri” habis-habisan dari sini.

Comments

  1. Ini komentar OOT pak, pengen nyobain smiley..lucu-lucu 😀

    Samsul’s last blog post..WordPress 2.5 Sudah Beredar

    oooo
    hahahaha 😆 rupanya mas samsul tertarik untuk mencoba smilenya, yak! silakan!

  2. *Benarkah sastra bisa menjadi sarana yang tepat untuk menyampaikan ajaran?

    *****Ya untuk hal-hal tertentu, hasil karya sastrawan tertentu.

    *Horace bahwa esensi teks sastra terletak pada “Dulce et Utile”-nya itu (menyenangkan dan berguna).

    *****Ya, hal paling dominan orang membaca karya sastra.

    Ersis Warmansyah Abbas’s last blog post..Rekreasi Menulis

    oooo
    setuju banget pak ersis,hahahaha 😕

  3. Susah juga kalo mau nyastra ya pak? Harus memperhatikan gaya bahasa juga.

    danalingga’s last blog post..UU ITE Yang Meresahkanku

    ooo
    sebenarnya nggak susah juga kok, mas dana, hal itu tergantung pada minat dan kebiasaan aja, *halah, sok tahu*

  4. Mangut-mangut(moga tak salah tulis lagi :mrgreen: )

    saya sih memang senang banget dengan karya sastra terutama keindahan bahasanya yang sarat makna. tentang gaya bahasa saya kurang paham. yang pasti saya menikmatinya.

    Hanna Fransisca’s last blog post..Bening Sungaiku

    ooo
    yaps, salut deh buat mbak hanna yang suka baca sastra. ttg gaya bahasa ndak usah harus jadi belenggu, kok, hehehehehe 😈

  5. Bagi saya, secara umum sastra memang hanya salah satu pilihan. Sastra dan produknya bukanlah ujung tombak, ia hanya alternatif. Sastra bisa sebagai alternatif dalam berdakwah (seperti yg dilakukan Wali Songo). Sastra bisa membuat kita bisa memahami dan lebih arif menyikapi kehidupan. Sastra dalam hal tertentu bisa mengingatkan tentang di balik yang tersurat/tampak (konsep presence and absence), dsb. Intinya sastra memiliki dimensì yg luas dan beragam.

    Dalam hal ini saya setuju dengan Pak Sawali, bahwa sastra tak bisa lepas dari manusia dan kemanusiaan. Apa pun bentuk dan jenis/genre-nya.

    Zulmasri’s last blog post..Senja yang Melelahkan

    ooo
    makasih banget tambahan infonya pak zul!

  6. weh sulit juga ya ternyata nulis dengan gaya ‘teks sastra’ musti paham betul masalah atau sisi kehidupan yg akan disampaikan 😯

    joyo’s last blog post..Om, Tuhan itu agamanya apa?

    ooo
    sebenarnya ndak sulit juga kok mas joyo. kata para ahli sih, yang penting menulis dan menulis, hehehehe 🙂

  7. siwi priwit

    melalui sastra qt bisa m”ngetahui budaya masa lampau hingga sekarang.. tp sungguh tidak mudah untuk memahami apa yang terkandung dalam teks sastra.

    ooo
    kalau sering membaca, saya kira akan lebih mudah untuk menemukan nilai yang terkandung dalam karya sastra mbak siwi, hehehe *jadi sok tahu nih*

  8. Karena adanya syarat-syarat itulah maka saya hanya bisa mengagumi karya sastra tanpa mampu menyusun sebuah karya sastra pun.

    Pertanyaan saya, apakah sastra harus selalu berbentuk teks?

    arif’s last blog post..Kelompok hahahihi (Harapan untuk KBBC dan Ikastara Tangerang)

    ooo
    itu juga karena mas arif belum mencoba, hehehehe 🙂 yups, memang ada juga sastra lisan, mas. tulisan ini terkait dg pertanyaan bu enny, kok.

  9. waduh komentku ilang… 😀
    sastra sendiri banyak ngak tau loh pak, terutama yang awam, taunya mereka yah novel, cerpen, puisi tanpa mengetahui sastra itu apa.
    *emoticonnya lucu2, asyik tapi kegedean 😀 *
    😐

    aRuL’s last blog post..Menulis buku vs Ngeblog

    ooo
    gpp, mas aRul, sastra memang bukan semata-mata utk dipahami, tetapi untuk dinikmati! 🙂

  10. saya setuju dengan pendapat bapak bahwa kita nggak perlu meributkan definisi sastra.. yang jelas sastra itu berbentuk tulisan.. (batasannya memang gak jelas)..
    jika kita terlalu ribut tentang definisi, kapan nulisnya?
    hehehe

    morishige’s last blog post..Penting, ya?

    ooo
    yaps, sepakat banget mas morish!

  11. Saya biasanya kalau ke toko buku (mis Gramedia) mendatangi rak buku…ada rak bagian sastra dan bagian Novel. Untuk orang awam seperti saya antara Novel dan Sastra memang mirip…tapi seperti yang dijelaskan pak Sawali, dan dulu pernah juga oleh pak Jacob Sumardjo, bahwa untuk bacaan sastra selalu ada tujuannya, lebih dalam, serta semakin dibaca akan semakin mempunyai persepsi…dan memahami apa yang ada dibalik tulisan tsb.

    Bahkan sekarang novel pun (dulu pertama kali baca novel karangan Motinggo Busye secara sembunyi-sembunyi karena dimarahi ayah, padahal sudah SMA), kemudian Marga T dkk….akhir-akhir ini muncul Chicklit dan Teenlit…dan juga Metro Pop yang merupakan novel yang mengetengahkan kehidupan metropolitan masa kini.

    Novel atau karya sastra (dapat hadiah Pulitzer) yang sampai saat ini saya kenang adalah “To Kill a Mockingbird”…penulisnya seorang jurnalis, bahasanya sederhana, tetapi makin dibaca makin ingin tahu dan bacanya di ulang-ulang.

    edratna’s last blog post..Hujan es menimpa rumahku di Buah Batu

    ooo
    memang benar sekali, bu enny, di toko2 buku, novel dikelompokkan ke dalam klasifikasi sastra karena novel merupakan salah satu genre atau bentuk sastra. genre sastra yang lain, misalnya cerpen, puisi, naskah drama, kritik dan esai, dan semacamnya juga memiliki klasifikasi yang sama. Hanya saja, yang dikelompokkan ke dalam klasifikasi sastra itu diprioritaskan pada teks sastra yang muatan nilai dan style (bahasa)-nya memang memenuhi syarat sbg sebuah teks sastra; mengandung muatan dimensi kemanusiaan dengan menggunakan bahasa yang terjaga keindahannya. teks2 sastra semacam ini hampir selalu menawarkan pengalaman2 hidup yang selalu menarik untuk dibaca berulang-ulang, termasuk novel yang mendapat hadiah Pulitzer (hadiah di bidang jurnalistik). Perkembangan novel pun sekarang ini sudah kian berkembang. yang paling marak adalah novel teenlit atau cheeklit yang memang lebih praktis sehingga bisa dibawa ke mana2. apakah novel2 semacam itu masuk kategori sastra atau tidak, menurut hemat saya, kita kembalikan lagi pada cirinya “dulce et utile” itu. Baik, bu, terima kasih masukannya.

  12. Dari sisi ini jelas bahwa teks-teks yang hanya sekadar memburu aspek hiburan dan selera pasar, zonder memperhatikan dimensi kehidupan manusia, agak sulit digolongkan ke dalam teks sastra.

    Pak, apakah teks2 yang dibuat sesuai selera pasar itu sama sekali tidak memperhatikan dimensi kehidupan manusia? karena menurut saya, entah novel, teenlit, cerpen, fiksi, atau nonfiksi, selama itu ditulis oleh manusia pastinya memuat aspek kehidupan manusia juga.
    lain lagi kalo soal bahasa yang digunakan. sampai saat ini saya masih setuju kalo sebuah karya sastra itu memiliki keindahan bahasa sebagai salah satu unsurnya.
    jadi tidak salah kan Pak, kalo kita bisa membuat karya sastra yang sesuai dengan selera pasar? lha soalnya kalo kita selalu ingin membuat karya yang sesuai dengan idealisme kita (yang mungkin tidak sejalan dengan selera pasar) kapan sastra bisa dinikmati semua orang?
    Maaf, kalo ada komentar saya yang salah, Pak.. 😆

    ooo
    yaps, makasih banget mas yudis. dimensi kehidupan manusia itu rumit dan kompleks. ada banyak persoalan esensial yang dihadirkan di sana. ada sentuhan2 nilai kemanusiaan, semacam kasih sayang, kebencian, dendam, atau kekerasan, yang mampu memberikan bahan refleksi bagi pembaca sehingga terhindar dari rangsangan untuk melakukan tindakan tak terpuji. memang banyak kok mas, teks2 sastra bermutu yang laris di pasaran. kita ingat triloginya ahmad tohari, ronggeng dukuh paruk, jentera bianglala, lintang kemukus dinihari –utk menyebut sebuah contoh– cukup laris di pasaran meski kadar sastranya cukup bagus. buku2 yang hanya memburu selera pasar, nah ini penting utk kita garis bawahi, selera pasar itu identik dg apa maunya pasar. misalnya, kalo pasar suka buku2 bernapaskan cinta dibumbui dg adegan2 syuur, lalu penulis berkongkalingkong dg penerbit utk menerbitkan buku yang bercorak spt itu, nah itu dia yang hanya sekadar memburu selera pasar, hehehe 🙂 nah, sepanjang sang pengarang berproses kreatif berdasarkan apa yang ia yakini kebenarannya dg menyentuh nilai2 kemanusiaan, kemudian ternyata digemari pembaca dan laris manis, nah saya kira itu tdk sama dg selera pasar tadi, mas. novel2 ayu utami atau dee juga banyak digemari pembaca kok, yang belakangan ayat2 cinta-nya hebiburrahman atau tetraloginya andrea hirata, karya2 mereka cukup digemari, tetapi mereka berkarya bukan semata2 memburu selera pasar. yaps, makasih mas yudhis masukannya, yak!

  13. pagi ini iseng sarapan di sini, hehe.

    ada komen Yudis, tukangkopi yang mengikat kakiku hingga meninggalkan jejak kaki lagi. idealisme, saya tidak begitu banyak memahami istilah2 keren. maaf, kalau pengertian saya tentang istilah ini salah. yang saya tahu, saya sangat sedih bila seorang penulis harus kehilangan idealisme hanya untuk mengejar selera pasar. bila hanya mengejar selera pasar menulis itu sendiri sudah menjadi semacam ajang bisnis buku. buku yang laris manis baik karya sastra maupun tidak belum tentu sebuah karya yang benar2 baik. sedangkan buku yang kurang disukai tidak berarti karya yang tak baik. makanya, saya kurang begitu suka dengan penerbit yang tidak idealime.

    hai…ya…
    kenapa panjang begene komengnya.(untuk sahabatku yang kalem, Yudis)>>> maaf ya, Dis. saya tidak bermaksud sok tahu apalagi sok pintar karena saya sendiri masih dalam proses belajar. saya pribadi tetap akan menulis dengan kebebasan. saya kurang setuju bila kita menulis hanya karena mengejar selera pasar. -salam ya-

    Hanna Fransisca’s last blog post..Bening Sungaiku

    ooo
    yaps, idealisme dalam konteks ini tentunya yang mengandung sentuhan nilai kemanusiaan kan, mbak hanna? ya, spt komen utk mas yudis, teks yang mengndung idealisme semacam itu banyak juga penggemarnya kok. ok, makasih banget tambahan infonya, mbak.

  14. @hanna
    hmm..bukan begitu kamsud saya, mbak. saya juga tidak setuju kalo hanya menulis untuk memuaskan selera pasar TANPA memperhatikan unsur-unsur lain yang menunjang untuk terciptanya sebuah karya yang bermutu.
    tapi membuat suatu karya yang ngetren di pasaran, bisa diterima orang banyak tapi tetap berkualitas, memperhatikan dimensi kehidupan manusia, dan dibalut dengan bahasa yang indah tentunya adalah sebuah tantangan tersendiri bukan? 🙂
    idealisme itu buat saya juga penting. tapi kita juga harus menjaga agar tetap open minded.
    ataukah saya yang salah dalam menggunakan istilah “idealisme” itu ya? 😆
    saya juga masih belajar mbak..

  15. 🙂 pertama kali mampir, jadi nunut loncat2 dulu pak guru, keren websitenya.

    salam

    000
    wew… silakan loncat2 sampai puas, mas xero. saya juga jadi pingin ikutan, wakakakaka 🙂 salam juga, makasih telah mampir.

  16. @ hanna dan yudis
    yaps, idealisme dalam konteks ini tentunya yang mengandung sentuhan nilai kemanusiaan kan, mbak hanna? ya, spt komen utk mas yudis, teks yang mengndung idealisme semacam itu banyak juga penggemarnya kok. info menarik dari mas yudis utk mbak hanna nih. intinya, teks yang laris di pasaran — dan ini tidak sama dengan selera pasar loh– asalkan masih mengandung muatan nilai kemanusiaan dan disajikan dg bahasa yang indah, itu sah2 saja, dan kadar sastranya tetap bagus.

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Dimensi Kehidupan Manusia dalam Teks Sastra

  17. Yang selalu menjadi masalah personal, adalah mayoritas karya sastra itu sulit dipahami secara literer. Tapi dari segi hakikat, yang membuat saya cukup tertarik terhadap sastra, adalah lantaran sastra mencakup dua pesan Ilahi yang paling esensial; yakni membaca dan menulis.

    Salam,

    ariss_’s last blog post..Barangkali Inilah Pesan Tuhan itu?

    ooo
    wah, info yang menarik sekali, mas ariss. sepakat juga tuh 🙂

  18. Yups…
    makasih Pak Sawali dan Mas Yudis.
    aku belajar banyak hari ini dari sini. senang deh. semakin banyak kita berdiskusi semakin banyak yang kita dapat.

    -salam menulis ya-

    Hanna Fransisca’s last blog post..Bening Sungaiku

    ooo
    makasih juga mbak hanna. pendapat mbak hanna telah ikut memperkaya wawasan saya ttg sastra.

  19. Saya dulu orang yang benar2 buta sastra dan tidak mau tahu apa2 tentang sastra, jangankan mengapresiasi, menikmati keindahannya saja saya tidak bisa, persis seperti berusaha untuk menikmati lukisan abstrak yang sampai sekarang saya tidak mengerti!

    Namun saya menyadari bahwa segalanya bisa berubah, tergantung niat seseorang itu sendiri, walaupun apresiasi saya terhadap sastra belum sebesar apresiasi saya terhadap sains tapi apresiasi saya terhadap sastra mulai tumbuh.

    Memang, dimensi yang paling berkontribusi dalam tumbuhnya apresiasi sastra dalam diri saya adalah aspek manusia(wi)nya, di dalam sastra selain melibatkan otak juga melibatkan perasaan dan hati atau emosi, sesuatu yang mungkin akan sukar didapat di dunia sains. Dan terkadang saya sadar manusia bukanlah terdiri dari otak saja, unsur hati, perasaan dan emosional sangatlah penting bagi manusia, yang membuat manusia itu seperti manusia yang kita kenal sekarang! **halaah** 😀

    Yari NK’s last blog post..Islam Dihina Geert Wilders?? Pede Aja Lagi!!!

    ooo
    wew… *halah*-nya pasti tak pernah lupa nih, bung yari 🙂 yaps, saya kira pendapat bung yari sangat tepat. sastra memang tidak melulu melibatkan aktivitas otak, tetapi juga hati dan emosi. meski demikian, tidak lantas berarti bahwa mengapresiasi teks sastra itu merupakan hal yang sulit loh. itu hanya karena faktor minat dan kebiasaan aja kok.

  20. wow, makasih buat penjelasannya, Pak.. 🙂

    ooo
    walah, makasih juga mas yudis telah memberikan banyak info menarik pada postingan ini 🙂

  21. Aduh, semakin membaca tulisan ini saya kok semakin ngrasa saya ndak berbakat nulis sastra blas yah? 🙄

    ooo
    wew… kenapa juga mas nazieb suka menghakimi diri sendiri, yak? kok tahu kalo mas nasieb ndak berbakat, hiks :mrgreen: bakat itu baru diketahui setelah seseorang melahirkan karya.

  22. woo, gitu toh pak. idealisme penulis memang sangat dibutuhkan, apalagi ketika harus berhadapan dengan sebuah kata yang seringkali menjerumuskan “pasar”.
    bukankah seharusnya sang sastrawan yang harus bisa mewujudkan pasar.

    sluman slumun slamet’s last blog post..Data seorang siswa SD di tahun 2030 ?

    ooo
    yups, sastrawan memang perlu memiliki idealisme, pak slamet *lagi2 sok tahu* dan rata2 sastrawan memang begitu. meski demikian, banyak juga karya sastrawan yang mampu merebut pasar kok.

  23. idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna) saya sepakat dengannya.. berarti sastra memang bertendens gitu khan pak? tujuannya kahn menghibur dan berguna untuk membangun kemanusiaan yang lebih baik lagi. Lantas, jika sastra ditunggangi kepentingan ideologi tertentu dan untuk menguntungkan kepentingan manusia tertentu, apakah terkategori menyenangkan dan berguna bagi kemanusiaan secara universal? jika tidak! maka layakkah disebut sebagai sastra? jadi makin mumet saya?!

    maaf! baru bisa mampir.. kesibukan telah menjadikan saya sulit blogwalking.. hehehehe…

    gempur’s last blog post..Rindu Ini Terbendung

    ooo
    yaps, saya juga sepakat idiom itu pak gempur, tapi kalau lantas diterjemahkan bahwa karya sastra lantas menjadi corong bagi ideologi tertentu, wah, agaknya saya kurang sependapat, pak, hehehehe 💡 apalagi kalau itu sudah menyangkut pada kepentingan kelompok tertentu. sejarah sastra kita pun agaknya pernah mengalami “tragedi” semacam itu ketika tengah terjadsi “polemik kebudayaan” pada sekitar tahun ’60-an *kalau tidak salah* bagaimanapun juga, teks sastra yang baik mesti mengangkat persoalan2 kemanusiaan secara universal.

  24. Oooh…. kalau menurut saya pak, mengapresiasi sastra itu yang penting mungkin bukan susah atau gampangnya, tapi memang ada sebagian orang yang hatinya tidak pernah tergetar pada saat ia membaca atau mendengar sebuah teks sastra seperti saya dulu. Orang2 seperti itulah yang nampaknya adalah orang yg sangat sulit untuk mengapresiasi sastra. Maklumlah yang membuat sastra itu terasa indah sebenarnya bukanlah otak tapi hati dan perasaan. Itu menurut saya lho! **halaah** :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Selera Menonton TV Masyarakat Kita Berubah??

    ooo
    hehehehe 🙂 ada juga kok bung karya sastra yang menggunakan otak juga, tidak mlulu menggunakan emosi dan intuisi. kan ada juga tuh cerpen2 yang mengangkat tema2 pengetahuan sebagai background cerita. kalau mengebiri logika, sepertinya sulit menciptakan teks sastra yang menggunakan setting tadi.

  25. Menulis karya sastra adalah sebuah ungkapam isi hati dan perasaan. adakalanya seseorang menulis suatu karya sastra untuk mendapatkan kepuasan batin. tapi tak sedikit dari mereka yang ingin berbagi dengan kita dengan mendapatkan uang dari tulisan tersebut. oleh karena itu mana pilihan kita tentunya anda sendiri yang menentukan

    farhan’s last blog post..MENGEJAR SORGA SEJAK DI DUNIA

    ooo
    loh kok mesti saya saya menentukan? piye toh, farhan, hehehehe 😆 postingan ini kan membahas ttg teks sastra, bukan semata2 persoalan cari dueit atau tidak, hehehehe 🙂 ttg duwit, saya kira itu imbas dari sebuah apresiasi media, kok.

  26. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

    Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
    (Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

    JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

    Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

    Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

    Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

    Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

    SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

    Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

    Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

    Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

    SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

    Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

    Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

    Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

    SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

    Qinimain Zains last blog post..Strategi (R)Evolusi Sistem Ilmu Pengetahuan (+)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *