Hingga sekarang, agaknya belum ada definisi sastra yang benar-benar sahih dan memuaskan. Benarkah sastra bisa menjadi sarana yang tepat untuk menyampaikan ajaran? Benar jugakah kalau orang mendefinisikan bahwa sastra adalah tulisan yang indah dengan menggunakan bahasa sebagai medianya? Tidak salah jugakah kalau orang mengatakan bahwa sastra merupakan tafsir terhadap berbagai peristiwa hidup dan kehidupan manusia pada setiap peradaban?
Agaknya, sastra memang tidak perlu didefinisikan. Siapa pun mereka, berhak untuk menafsirkan sastra beserta pernik-perniknya sesuai dengan alur logika dan emosinya masing-masing. Dengan menabukan monotafsir tentang sastra, maka kehidupan dunia sastra justru akan makin berkembang, dinamis, dan luwes sesuai dengan gerak zaman yang memolanya. Meski demikian, ada satu hal yang –menurut hemat saya– menjadi sebuah brand dan ikon dunia sastra, yakni adanya dimensi kehidupan manusia. Bisa jadi apa yang dituturkan dalam teks sastra bukan manusia yang “berdarah dan berdaging” –khususnya pada “sekte” simbolik– tetapi esensi persoalan yang ingin diungkap berkelindan juga dengan kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut pemahaman awam saya, sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, lengkap dengan segala thethek-mbengek yang bergelayut dengan masalah kehidupan manusia dengan segala problematikanya yang begitu majemuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik dalam khazanah imajinasi untuk dihayati, direnungkan, diendapkan, kemudian disalurkan dalam wujud karya sastra. Saya pikir, seorang sastrawan mokal akan menghindari proses kreatif semacam itu.
Dalam konteks demikian, manusia, masalah, dan lingkungannya itulah yang menjadi titik bidik para sastrawan dalam berproses kreatif. Seorang sastrawan, kebanyakan juga seorang intelektual. (Istilah intelektual tidak selalu merujuk pada derajat dan tingkat pendidikan). Mereka memiliki daya penalaran yang tinggi, mata batin yang tajam, sekaligus memiliki daya intuitif yang sangat peka. Dalam hal ini, karya-karya sastra yang lahir pun akan diwarnai oleh latar belakang sosiokultural yang melingkupi kehidupan sang sastrawan.
Sebuah keabsahan jika dalam teks sastra kita jumpai unsur-unsur ekstrinsik yang turut mewarnai karya sastra, seperti filsafat, psikologi, religi, gagasan, pendapat, sikap, keyakinan, dan visi lain dari sang pengarang dalam memandang dunia dan kehidupan. Unsur-unsur ekstrinsik itulah yang menyebabkan mengapa karya sastra tak mungkin terhindar dari amanat, tendensi, unsur mendidik, dan fatwa tentang makna kearifan hidup yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sastrawan akan terus berupaya menyalurkan obsesinya yang begitu dahsyat mendesak-desak gendang nuraninya agar mampu dimaknai dan dinikmati oleh pembaca. Visi dan persepsi sang sastrawan tentang eksistensi manusia diharapkan akan bisa ditangkap dan dicerna oleh pembaca, agar pembaca, paling tidak, terangsang untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau hedonis dan tidak memiliki kecenderungan untuk memuaskan kebuasan hati. Ini artinya, persoalan amanat, tendensi, unsur edukatif, dan nasihat bukanlah hal yang terlalu berlebihan dalam karya sastra. Bahkan, unsur-unsur tersebut merupakan unsur paling esensial yang perlu digarap dengan catatan tanpa meninggalkan unsur estetikanya. Sebab, kalau sebuah tulisan hanya mengumbar pepatah-petitih sosial, kepincangan-kepincangan sosial, tanpa diimbangi aspek estetika, namanya bukan karya sastra, melainkan hanyalah sebuah laporan jurnalistik yang meng-ekspose kejadian-kejadian negatif yang tengah berlangsung di tengah masyarakat.
***
Barangkali kita masih ingat luncuran konsepnya Paulo Freire yang mengatakan bahwa rakyat seharusnya jangan hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, tetapi justru harus dijadikan sebagai subjek. Pernyataan ini menyiratkan makna bahwasanya rakyat (wong cilik) adalah sosok manusia yang paling berat dihimpit ketidakberdayaan. Sanggupkah karya sastra mengentaskan ketidakberdayaan yang menghimpit rakyat? Secara langsung tidak memang. Akan tetapi, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat pembaca mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia secara langsung dan sekaligus mampu memberikan pencerahan dan katharsis terhadap berbagai persoalan hidup.
Pada mulanya, karya sastra memang untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk dipahami. Akan tetapi, mengingat bahwa karya sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka persoalannya menjadi lain. Karya sastra berkembang sesuai dengan proses kearifan zaman sehingga lama-kelamaan sastra pun berkembang fungsinya. Yang semula hanya sekadar menghibur, pada tahapan proses berikutnya karya sastra juga dituntut untuk dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca. Hal ini relevan dengan idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna).
Memang, persoalan estetika tak mungkin dilepaskan dalam sastra. Akan tetapi, untuk menghindar dari berbagai persoalan etika, nilai-nilai moral, dan fenomena-fenomena sosial yang tengah bergolak di tengah masyarakat juga mokal. Jadi, keduanya sama-sama penting kehadirannya dalam karya sastra. Karya sastra yang hanya bertaburkan bias-bias keindahan dan hanya melambungkan khayal yang bombastis, zonder diimbangi adanya dimensi kehidupan manusia, sama saja kita berhadapan dengan rumah sakit yang megah, tetapi tak ada pasien yang dirawat. Kehadirannya menjadi tak bermakna.
Sastra tidak lagi memburu pegangan nilai-nilai moral, kesetiakawanan sosial, dan segala thethek-mbengek persoalan manusia. Dus, dapat ditarik sebuah sintesis bahwa selain aspek estetika (tipografi), karya sastra juga harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral, kepincangan-kepincangan sosial, dan problematika kehidupan manusia beserta kompleksnya persoalan-persoalan kemanusiaan.
(Tulisan ini sekaligus ingin mencoba untuk merespon komentar Bu Enny, Mas Tukang Kopi, dan Pak Slamet pada tulisan saya sebelumnya).
***
Seperti sudah saya singgung bahwa teks sastra yang baik sudah seharusnya mengangkat persoalan dan dimensi kehidupan manusia. Ibarat sebuah cermin, teks sastra memantulkan nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menyentuh kepekaan nurani pembacanya untuk melakukan pencerahan dan katharsis jiwa. Tentu saja, teks sastra tidak akan pernah melepaskan diri dari persoalan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa dalam teks sastra, dengan sendirinya, tidak sekadar digunakan untuk mendeskripsikan berbagai peristiwa kemanusiaan itu, tetapi juga digunakan untuk memberikan efek emosional tertentu kepada pembaca. Melalui bahasa dan muatan nilai yang terangkum dalam teks sastra itulah pembaca bisa menemukan banyak kandungan nilai kearifan hidup dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya. Dengan kata lain, ada dua aspek yang menonjol dalam teks sastra, yakni muatan nilai (isi) dan style (bahasa) yang digunakan sang pengarang.
Ada banyak ragam dan jenis muatan nilai serta style yang diangkat oleh para sastrawan ke dalam teks sastra yang diluncurkannya. Bahkan, mengusung banyak aliran di dalamnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik dalam dunia imajinasi sang sastrawan. Teks sastra dengan berbagai muatan nilai dan style yang beragam dengan mengusung berbagai aliran semacam itu justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun isi (amanat)-nya. Biarlah setiap sastrawan dengan berbagai macam aliran yang dianutnya berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya.
Persoalannya sekarang, apa yang membedakan antara teks sastra dan nonsasatra? Dalam pemahaman awam saya, dua aspek tadi (muatan nilai dan bahasa) bisa dijadikan sebagai unsur pembeda. Dari aspek muatan nilai, teks sastra selalu mengangkat persoalan dan dimensi kemanusiaan dengan beragam persoalan hidup yang rumit dan kompleks. Dari aspek ini, teks sastra tak jarang menciptakan konflik-konflik kemanusiaan yang mampu membangkitkan kesan emosional tertentu kepada pembaca, semacam sikap empati, haru, sedih, gembira, dan semacamnya. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diangkat dalam teks sastra mampu mengajak pembaca melakukan refleksi dan katharsis diri untuk menemukan makna kearifan dan kesejatian hidup. Tak berlebihan kalau ada yang menyatakan bahwa membaca teks sastra tak ubahnya menjelajahi jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos), tempat diproyeksikannya berbagai persoalan manusia melalui perilaku tokoh yang diciptakan sang sastrawan.
Dari aspek bahasa, teks sastra seringkali menggunakan bahasa metaforik yang mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, bahkan simbolik. Selain itu, juga banyak menggunakan idiom dan majas yang cukup terjaga secara estetis. Itulah sebabnya, teks sastra membuka banyak kemungkinan penafsiran (polyinterpretable) karena penggunaan bahasa yang cenderung emotif, intuitif, dan sugestif. Itu sah-sah saja.
Coba kita simak kutipan monolog seorang perempuan bunting dalam cerpen “Kecubung Pengasihan” karya Danarto berikut ini!
“O, rahim semesta. Demikian agungkah Engkau? Rahimku mengandung diriku sendiri, di mana aku bermain-main di dalamnya dengan tenteramnya.”
Sebuah kutipan yang indah sekaligus mengandung muatan nilai kemanusiaan yang kompleks, bukan?
Ini hanya sekadar contoh. Masih banyak style sastrawan lain yang dapat kita temukan lewat teks-teks kreatifnya. Hingga saat ini, saya masih percaya pada pernyataan Horace bahwa esensi teks sastra terletak pada “Dulce et Utile”-nya itu (menyenangkan dan berguna). Menyenangkan karena kita mendapatkan hiburan dan gizi batin yang mencerahkan lewat penggunaan bahasa yang indah. Berguna karena mengangkat persoalan dan dimensi kehidupan manusia yang menyentuh nurani dan empati kita terhadap nasib sesama melalui tokoh yang diciptakan sang pengarang.
Dari sisi ini jelas bahwa teks-teks yang hanya sekadar memburu aspek hiburan dan selera pasar, zonder memperhatikan dimensi kehidupan manusia, agak sulit digolongkan ke dalam teks sastra. Apalagi, kalau teks-teks tersebut justru memicu adrenalin pembaca untuk melakukan tindakan tak terpuji.
(Mohon maaf kalau tulisan ini belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Kebetulan saja, saya tidak menggunakan pendekatan dan teori yang justru kerapkali membingungkan). Nah, salam budaya! ***
000
Gambar “dicuri” habis-habisan dari sini.
kok g da yg sy cari…..:-?
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)
Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).
JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.
Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.
Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?
Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).
Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.
SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).
Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.
Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).
Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.
SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).
Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.
Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).
Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.
SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)
Qinimain Zains last blog post..Strategi (R)Evolusi Sistem Ilmu Pengetahuan (+)
Menulis karya sastra adalah sebuah ungkapam isi hati dan perasaan. adakalanya seseorang menulis suatu karya sastra untuk mendapatkan kepuasan batin. tapi tak sedikit dari mereka yang ingin berbagi dengan kita dengan mendapatkan uang dari tulisan tersebut. oleh karena itu mana pilihan kita tentunya anda sendiri yang menentukan
farhan’s last blog post..MENGEJAR SORGA SEJAK DI DUNIA
ooo
loh kok mesti saya saya menentukan? piye toh, farhan, hehehehe 😆 postingan ini kan membahas ttg teks sastra, bukan semata2 persoalan cari dueit atau tidak, hehehehe 🙂 ttg duwit, saya kira itu imbas dari sebuah apresiasi media, kok.
Oooh…. kalau menurut saya pak, mengapresiasi sastra itu yang penting mungkin bukan susah atau gampangnya, tapi memang ada sebagian orang yang hatinya tidak pernah tergetar pada saat ia membaca atau mendengar sebuah teks sastra seperti saya dulu. Orang2 seperti itulah yang nampaknya adalah orang yg sangat sulit untuk mengapresiasi sastra. Maklumlah yang membuat sastra itu terasa indah sebenarnya bukanlah otak tapi hati dan perasaan. Itu menurut saya lho! **halaah**
Yari NK’s last blog post..Selera Menonton TV Masyarakat Kita Berubah??
ooo
hehehehe 🙂 ada juga kok bung karya sastra yang menggunakan otak juga, tidak mlulu menggunakan emosi dan intuisi. kan ada juga tuh cerpen2 yang mengangkat tema2 pengetahuan sebagai background cerita. kalau mengebiri logika, sepertinya sulit menciptakan teks sastra yang menggunakan setting tadi.
idiom sastra “Dulce et Utile” (menyenangkan dan berguna) saya sepakat dengannya.. berarti sastra memang bertendens gitu khan pak? tujuannya kahn menghibur dan berguna untuk membangun kemanusiaan yang lebih baik lagi. Lantas, jika sastra ditunggangi kepentingan ideologi tertentu dan untuk menguntungkan kepentingan manusia tertentu, apakah terkategori menyenangkan dan berguna bagi kemanusiaan secara universal? jika tidak! maka layakkah disebut sebagai sastra? jadi makin mumet saya?!
maaf! baru bisa mampir.. kesibukan telah menjadikan saya sulit blogwalking.. hehehehe…
gempur’s last blog post..Rindu Ini Terbendung
ooo
yaps, saya juga sepakat idiom itu pak gempur, tapi kalau lantas diterjemahkan bahwa karya sastra lantas menjadi corong bagi ideologi tertentu, wah, agaknya saya kurang sependapat, pak, hehehehe 💡 apalagi kalau itu sudah menyangkut pada kepentingan kelompok tertentu. sejarah sastra kita pun agaknya pernah mengalami “tragedi” semacam itu ketika tengah terjadsi “polemik kebudayaan” pada sekitar tahun ’60-an *kalau tidak salah* bagaimanapun juga, teks sastra yang baik mesti mengangkat persoalan2 kemanusiaan secara universal.