Bahan Ajar, Micro-Teaching, dan Kesetaraan Gender

Apa yang terjadi jika seorang guru model melakukan simulasi pembelajaran di depan rekan-rekan sejawatnya? Lucu, kocak? Ya, ya, itulah yang terjadi. Ketika guru yang biasanya menyajikan materi di kelas tiba-tiba harus memerankan diri sebagai murid, yang terjadi kemudian adalah kelucuan dan kekocakan sikap akibat perilaku “dibuat-buat” yang “latah” menirukan perilaku murid-muridnya yang sering disaksikan di kelas. Guru model pun seringkali tak sanggup menahan tawa ketika kena sentilan “murid-murid” dadakannya itu. Begitulah yang terjadi ketika sesi micro-teaching dalam sebuah pelatihan PUG Bidang Pendidikan berlangsung di Dinas Pendidikan Kabupaten Batang, Jumat, 16 Desember 2011, yang lalu. Seru dan kocak.

gendergendergendergender

PUG

Suasana ketika praktik micro-teaching berlangsung di Dinas Pendidikan Kabupaten Batang (Jumat, 16 Desember 2011)

Micro-teaching yang dilakukan oleh rekan-rekan sejawat dari kelompok SD, MI, dan SMP dalam pelatihan tersebut merupakan rangkaian kegiatan pelatihan PUG Bidang Pendidikan setelah mereka me-review Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan menyusun bahan ajar. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kemampuan dan kinerja guru dalam mengimplementasikan pembelajaran yang responsif gender. Hal-hal yang masih menjadi kekurangan guru dikritisi bersama untuk kemudian diberikan masukan sehingga jika tiba di unit kerjanya masing-masing benar-benar mampu mengimplementasikan pembelajaran responsif gender dengan cara yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Sebenarnya kesetaraan gender dalam dunia pendidikan kita bukanlah persoalan baru. Ketika KTSP diluncurkan tahun 2006, kesetaraan gender telah dijadikan sebagai salah satu acuan operasional penyusunan kurikulum. Namun, agaknya kesetaraan gender belum direspon secara serius dalam kurikulum pendidikan kita. Kesetaraan gender masih ditafsirkan setengah-setengah dan belum menjadi bagian dari “roh” kurikulum. Barangkali kondisi semacam itulah yang melatarbelakangi dikeluarkannya Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.

Dalam lampiran Permendiknas yang berlaku efektif sejak 23 Desember 2008 tersebut ditegaskan bahwa peningkatan kesetaraan dan keadilan gender di bidang pendidikan sangat penting untuk dilakukan agar lebih menjamin semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengakses pelayanan pendidikan, berpartisipasi aktif, dan mempunyai kontrol, serta mendapat manfaat dari pembangunan pendidikan pendidikan, sehingga laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.

Secara nasional dalam hal akses penduduk laki-laki dan perempuan sudah memiliki peluang yang hampir setara untuk mendapatkan layanan  pendidikan. Namun demikian, kesenjangan gender masih terjadi di beberapa daerah, di samping kesenjangan antara penduduk kaya dan penduduk miskin, serta antara daerah perkotaan dan perdesaan. Proses pembelajaran perlu ditingkatkan agar  sepenuhnya responsif gender yang antara lain ditunjukkan oleh (i) materi bahan ajar yang pada umumnya masih bias gender; (ii) proses pembelajaran di kelas yang belum sepenuhnya mendorong partisipasi aktif secara seimbang antara siswa laki-laki dan perempuan; dan (iii) lingkungan fisik sekolah yang belum menjawab kebutuhan spesifik anak laki-laki dan perempuan. Disamping itu pengelolaan pendidikan juga perlu dilaksanakan kearah  adil gender atau  memberikan peluang yang seimbang bagi laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Sehubungan dengan itu, untuk mendukung pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan diperlukan Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Pendidikan. Pedoman ini merupakan acuan bagi semua pihak yang melaksanakan pembangunan pendidikan, baik yang dilaksanakan oleh  unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional maupun yang dilaksanakan oleh unit kerja di lingkungan pemerintah daerah dan perguruan tinggi dalam melaksanakan PUG bidang pendidikan. Melalui PUG Bidang  Pendidikan  ini diharapkan seluruh aspek pembangunan pendidikan menjadi responsif gender dan lebih menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses pelayanan pendidikan, berpartisipasi aktif secara seimbang, memiliki kontrol yang sama terhadap sumber-sumber pembangunan, menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan pendidikan.

Jika dicermati dengan saksama, semangat yang melatarbelakangi keluarnya Permendiknas tentang Pedoman Pelaksanaan PUG Pendidikan adalah untuk menjadikan kesetaraan gender sebagai bagian dari “roh” pembelajaran. Dengan kata lain, kesetaraan gender tidak cukup hanya sekadar ditempelkan dalam proses pembelajaran, tetapi juga menjadi bagian substansial dalam pembelajaran, baik disisipkan melalui indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, maupu penilaian. Untuk mewujudkan atmosfer pembelajaran yang responsif gender jelas tak semudah orang membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan proses sosialisasi, implementasi, dan perhatian intensif melalui dukungan kebijakan yang benar-benar berpihak terhadap upaya pengarusutamaan gender dalam dunia pendidikan kita. Itulah sebabnya, proses penyusunan silabus, RPP, atau bahan ajar perlu ditindaklanjuti melalui praktik pembelajaran mini (micro-teaching) sehingga guru yang berdiri di garda depan dalam pembelajaran di sekolah benar-benar mampu mengemas desain dan mengimplementasikan pembelajaran responsif gender sesuai dengan apa yang diharapkan.

Disadari atau tidak, selama ini muncul opini yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita bahwa keadilan dan kesetaraan gender identik dengan feminisme yang secara radikal dikembangkan oleh kaum feminis Barat sebagai bentuk protes dan “pemberontakan” terhadap dominasi kaum lelaki di atas kaum perempuan. Di Indonesia, kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu kondisi di mana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang, dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis dan tidak bersifat universal. Jadi, konsep kesetaraan adalah konsep filosofis yang bersifat kualitatif, tidak selalu bermakna kuantitatif.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka sosialisasi Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia mengenal prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Pluralistis (menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis), karena bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan dan keragaman yang perlu dipertahankan di dalam Pengarusutamaan Gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut; (2) Bukan pendekatan konflik (pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan); (3) melalui proses sosialisasi dan advokasi (prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam PUG tidak semudah membalikkan telapak tangan atau ibarat memakan ”cabe” begitu digigit terasa pedas, tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat; dan (4) menjunjung nilai ham dan demokratisasi (pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya akan selalu menjunjung nilai-nilai Hak Azazi Manusia dan demokratis, sehingga akan diterima oleh lapisan masyarakat tanpa ada penekanan-penekanan).

Upaya serius untuk membumikan keadilan dan kesetaraan gender, dalam konteks demikian, menjadi penting dan urgen untuk terus dilakukan agar tidak terus terjadi ketidakadilan akibat diskriminasi gender yang sebagian besar perempuan selalu menjadi korban. Beberapa manifestasi ketidakadilan gender, di antaranya: (1) marjinalisasi atau peminggiran perempuan (proses pemiskinan yang merupakan proses, sikap, perilaku masyarakat maupun kebijakan negara yang berakibat pada penyisihan/pemiskinan bagi perempuan atau laki-laki); (2) sub-ordinasi (keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya, sehingga ada jenis kelamin yang merasa dinomorduakan atau kurang didengarkan suaranya, bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya; (3) pandangan stereotype (pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif secara umum terhadap salah satu jenis kelamin tertentu); (4) kekerasan atau violence (serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang); dan (5) beban kerja (peran dan tanggung jawab seseorang dalam melakukan berbagai jenis kegiatan sehari-hari yang sangat memberatkan seseorang adalah sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan).

Sebagai “laboratorium budaya” sekolah idealnya mampu menciptakan atmosfer pembelajaran yang kondusif, sehingga mampu dijadikan sebagai ruang yang nyaman bagi peserta didik untuk menimba ilmu, berinteraksi, bersosialisasi, dan beraktualisasi diri. Sekolah perlu memosisikan diri sebagai “masyarakat mini” yang memberikan ruang bagi peserta didik untuk belajar hidup bermasyarakat dalam naungan kurikulum kehidupan yang sesungguhnya. ***

11 Comments

  1. Ga kebayang gimana ya kalo guru saya yang paling killer di SMU dulu berposisi jadi ‘saya’ yang menghukum saya jongkok sejam di samping tiang bendera? Hehe.

    Nice blog. Salam 🙂

    • salam juga, mas agus. walah, kok sampai sejauh itu menghukumnya, ya, mas. utk saat ini agaknya sanksi2 fisik semacam itu sudah jauh berkurang.

  2. Wah, ceritanya guru ngajar guru itu, Pak. Kaya teman-teman pendidikan guru yang latihan ngajar di kampus sebelum diterjunkan PKL ke sekolah-sekolah. 😀

    • begitulah, mas eko, hehe …. micro-teaching memang sangat tepat dijadikan sbg ajang berlatih utk meningkatkan kinerja guru dalam mengajar.

  3. Evi

    Pak, dimasyakat, ungkapan kesetaraan gender saja masih dicurigai sebagai sesuatu yg akan mengoyak sendi-sendi kemapanan yg sudah berlangsung selama ini. Kesetaraan gender diidentikan dengan tuntutan perempuan akan persamaannya dengan lelaki dalam semua bidang. Di luar mungkin kesetaraan gender diterapkan secara ekstrim, namun saya perhatikan di Indonesia cara kerjanya berbeda. Disamping menuntut kesetaraan, perempuan disini masih menempatkan lelaki sebagai kepala suku dalam rumah tangga. Peran ganda masih mereka hayati dengan santun. Namun penggerdilan filosofi kesetaraan lelaki-perempuan dipicikan dalam istilahnya bahwa itu bukan cara hidup budaya timur. Emang sih tak semua orang begitu. Tapi masih ada. Gimana itu Pak Guru?

    • terima kasih banget tambahan infonya, bu evi. bisa jadi situasi seperti terjadi lantaran kesetaraan gender belum disosialisasikan secara masif sehingga masih muncul banyak “resistensi” dari kalangan tertentu. seiring dengan berjalannya waktu, semoga secara bertahap masyarakat kita makin memahami bahwa kesetaraan gender memang beda dengan feminisme yang dikembangkan secara esktrem oleh para feminis barat.

  4. Baru tahu, ternyata ada juga toh kegiatan guru ngajar guru? Saya kira guru itu dapat keterampilan mengajar karena mungkin ada pendidikan khusus mengajar…

    Belajar pengetahuan baru nih… 🙂

    • hehe …. mengajar itu aktivitas yang selalu dinamis, mas pras. guru pun sesekali perlu berlatih juga melalui micro-teacing agar bisa mendapatkan masukan dari sesama rekan sejawat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *