Ketika Guru Bertemu dengan Pengarang

Kategori Sastra Oleh

Bertempat di Kompleks Kalireyeng, Kebondalem, Kendal, Selasa, 13 Desember 2011 yang lalu, MGMP Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Kendal menggelar acara Pelatihan Penulisan Kreatif bagi Guru. Dua pengarang cerpen yang dihadirkan adalah Gunawan Budi Susanto (pengarang antologi Nyanyian Penggali Kubur) dan Budi Maryono (pengarang antologi Di Kereta Kita Selingkuh). Acara yang berlangsung pukul 10.00 s.d. 13.00 WIB itu pun berlangsung meriah, akrab, dan santai.

Meskipun demikian, ada dua suasana yang cukup kontras ketika dua pengarang ini didaulat untuk memaparkan proses kreatifnya dalam menulis cerpen. Ketika Kang Putu –sapaan akrab Gunawan Budi Susanto– didaulat untuk berbicara, suasana siang itu seperti hanyut dalam suasana mengharukan. Sangat bisa dimaklumi lantaran cerpen-cerpen Kang Putu yang termuat dalam antologi Nyanyian Penggali Kubur (NPK) memang berlatarkan situasi historis tentang tragedi pasca-1965.

kalireyengkalireyengkalireyengkalireyeng

(Suasana ketika Pelatihan Penulisan Kreatif bagi Guru Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Kendal berlangsung di Kompleks Kalireyeng, Kebondalem, Kendal)

“Jauh sebelum cerpen-cerpen ini saya buat, saya pernah menawarkan kisah-kisah tragis yang saya alami semasa kecil agar ditulis menjadi sebuah cerpen. Setiap kali ketemu sedulur cerpenis, seperti S. Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo, atau Budi Maryono, peristiwa-peristiwa menyerikan itu saya kisahkan dengan harapan mereka mau menuliskannya ke dalam cerpen. Namun, setiap kali saya tagih, mereka selalu mengatakan tidak sanggup,” kenangnya. Walhasil, Kang Putu pun menuliskan kisah-kisah tragedi masa lalunya ke dalam cerpen berdasarkan gaya tuturnya sendiri. Lebih lanjut dikisahkan bahwa menulis cerpen, bagi Kang Putu, merupakan cara bagi dia untuk membasuh luka masa silam.

“Semacam ikhtiar untuk melakukan katharsis agar beban kesedihan yang menumpuk bisa berkurang. Dan ternyata, menulis cerpen bisa menjadi therapi bagi saya untuk menyembuhkan luka batin. Jujur saja, setiap kali saya ingat peristiwa masa lalu, saya selalu emosional. Bayangan Bapak yang diseret di penjara, Mbok Nah yang setia mengirimkan ransum nasi dan sayur bayam kesukaan ayah di tahanan yang kemudian ditumpahkan ke dalam tong selalu tak bisa saya lupakan. Demikian juga ketika setiap kali saya menyaksikan berpuluh-puluh mayat, bahkan beratus-ratus mayat yang hanyut bersama banjir, sungguh, saya tak sanggup membendung kesedihan itu,” lanjut alumni Fakultas Sastra Undip itu. Karuan saja, sekitar 70-an guru yang mengikuti paparan haru Kang Putu seperti terbawa ke dalam suasana masa silam ketika rezim Orde Baru melakukan “pembersihan” massal terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam peristiwa Gestapu. “Nah, setelah kisah-kisah tragis itu saya kemas dalam cerpen, ternyata beban kegelisahan yang menumpuk bertahun-tahun lamanya itu berangsur-angsur bisa menghilang,” tegasnya.

Suasana semacam itu sungguh berbalik ketika giliran Budi Maryono didaulat untuk berbicara. Suasana haru berubah cair. Sesekali muncul joke-joke segar ketika Ketua MGMP, Sawali Tuhusetya, yang menjadi moderator acara memancing praktisi media dan penerbitan ini untuk mengungkapkan trik-triknya ketika berproses kreatif. Namun, sebelum dia memaparkan proses kreatifnya, dia sempat merespon Kang Putu yang menyatakan bahwa setelah menulis cerpen beban kegelisahan dan rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang. Sekitar tahun 1970-an, kata Budi Maryono, pernah berkembang “Therapy Writing” yang intinya bahwa menulis memang bisa menjadi terapi untuk menyembuhkan luka dan sakit hati.

“Begitulah kira-kira. Saya sendiri menulis cerpen berdasarkan apa yang saya lihat dan saya alami dalam kehidupan sehari-hari. Namun, saya berusaha menggunakan “mata pengarang” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Budi Darma,” tegasnya. Selanjutnya, dia memaparkan tentang pengalaman-pengalaman hidupnya ketika dia bergaul akrab dengan para waria dan trans-gender. Tak heran jika tokoh-tokoh cerpen yang dia tampilkan banyak mengungkap tentang dunia kaum waria.

“Dengan menggunakan mata pengarang, kita bisa berandai-andai. Suatu ketika, saya pernah melihat lebah yang menerobos masuk ke dalam sebuah bus yang sarat penumpang. Meski lebah tersebut bisa dihalau keluar, tetapi saya bisa berandai-andai, apa yang akan terjadi jika lebah tersebut secara tiba-tiba menyelusup ke dalam tubuh penumpang? Sungguh akan merepotkan, bukan? Maka lahirlah sebuah cerpen berjudul “Lebah”,” kenangnya sambil tertawa. Audiens pun mengangguk-angguk, tertawa serempak.

Begitulah ketika dua pengarang dengan gaya yang berbeda dihadirkan dalam sebuah acara. Masing-masing memiliki trik dan tips untuk menyiasati proses kreatifnya. Hal ini juga makin membuktikan bahwa tak ada sebuah teori baku yang bisa dijadikan sebagai rujukan dalam menulis cerpen. Hal ini penting digarisbawahi oleh rekan-rekan sejawat ketika harus menyajikan materi pembelajaran “menulis cerpen” kepada peserta didik. Anak-anak perlu diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai dengan kekuatan dan daya imajinasinya. Tugas guru adalah memotivasi, memfasilitasi, dan menguatkan, sehingga talenta peserta didik bisa berkembang sesuai dengan karakternya masing-masing.

Begitulah ketika guru bertemu dengan pengarang. Para guru berusaha menggali pengalaman-pengalaman kreatif dari para pengarang secara langsung sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan dan pemerkaya pengetahuan ketika harus tampil di depan peserta didiknya dalam menyajikan materi penulisan cerpen. Sayangnya, waktu sudah semakin beranjak siang, sehingga acara pelatihan pun mesti diakhiri. Meski demikian, kedua pengarang ini masih bisa leluasa diajak ngobrol sembari minum es cendol dan menyantap soto model angkringan di kawasan Kalireyeng yang begitu terbuka.

Terima kasih Kang Putu dan Mas Budi Maryono, semoga Sampeyan berdua tidak jera dan tetap mau berbagi dengan rekan-rekan sejawat jika suatu ketika kami daulat untuk datang kembali ke Kendal. Mohon maaf jika ada kekurangan dan salam budaya! ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

33 Comments

  1. Memang buat saya yang bukan penulis dan jurnalis, kegiatan ini bagi kalangan awam yang belajar sastra menjadi inspirasi yang didambakan dan boleh kita lihat proses kreatif sekarang ini makin menantang seiring kebutuhan pembaca makin meningkat.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Sastra

Membalas Cerita Ombak

MEMBALAS CERITA OMBAK Ali Syamsudin Arsi Kata-kata ombak: ( 1 ) “Ya
Go to Top