Selasa, 18 Oktober 2011, Presiden SBY telah mengumumkan Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Ada 12 kementerian dan Pejabat Setingkat Menteri yang dirombak. Satu hal yang menarik adalah dikembalikannya domain kebudayaan ke dalam kementerian pendidikan. Nama kementerian yang semula Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Yang tidak kalah menarik, pos Kemendikbud terdapat dua Wakil Menteri yang masing-masing mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan.
Terlepas siapa pun yang menduduki pos sebagai wakil menteri (Wamen), dua Wamen yang terpilih diharapkan mampu membantu Mendikbud untuk menata kembali “dapur” kementerian agar mampu mewujudkan “mimpi” besar untuk menjadi bangsa yang beradab, berbudaya, dan bermartabat. Ini artinya, perubahan struktur Kemendikbud pasca-reshuffle, disadari atau tidak, akan memberikan sebuah ekspektasi besar terhadap hal-hal mendasar dalam mind-set pendidikan dan kebudayaan; dua ranah yang dalam satu dasawarsa terakhir telah resmi “diceraikan”. Kebudayaan yang esensinya tidak bisa dipisahkan dari pendidikan diharapkan bisa kembali “rujuk” dan mampu mengembalikan nilai-nilai kesejatian bangsa yang selama ini tercerai-berai dan amburadul akibat sentuhan kebijakan yang salah urus.
Negeri besar ini memang tengah berada di tengah peradaban yang “sakit”. Fenomena involusi budaya benar-benar telah menggerus nilai-nilai kesejatian dan keluhuran sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Wabah korupsi, kekerasan akut, atau degradasi moral merupakan persoalan besar yang perlu secepatnya teragendakan untuk mengembalikan kehormatan dan martabat bangsa. Ini jelas menjadi PR besar yang perlu segera diselesaikan oleh jajaran Kemendikbud.
Penggabungan domain kebudayaan ke dalam “atap pariwisata” dinilai banyak kalangan sebagai sebuah kekeliruan besar. Budaya tak hanya sebatas berkaitan dengan benda-benda “bersejarah” yang biasa dijual melalui paket pariwisata, tetapi yang tidak kalah penting justru yang berkaitan dengan pewarisan nilai-nilai luhur, termasuk nilai-nilai kearifan lokal, yang perlu terus dikembangkan dan dikemas secara kontinyu dan berkelanjutan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah peradaban sebuah bangsa. Jika upaya pewarisan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal itu terputus, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah “kebiadaban budaya” yang akan menghancurkan masa depan sebuah bangsa dalam mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat di tengah-tengah peradaban global dan mondial. Tak berlebihan jika dalam satu dasawarsa terakhir, persoalan moral dan budaya (nyaris) tenggelam ke dalam hiruk-pikuk peradaban yang kian memuja ke hal-hal yang bersifat kebendawian. Nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi makin tak berbentuk hingga akhirnya punah tertelan zaman.
Kita berharap, menyatunya pendidikan dan kebudayaan bisa menjadi momen strategis untuk membangun kembali puing-puing peradaban yang porak-poranda. Jangan sampai terjadi, pendidikan gagal mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lantaran manajemen ketatanegaraan yang salah urus. ***
Wah kop surat juga ikut berubah seperti dulu lagi ya pak? Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PDK)
Cuma saya sedikit merasa aneh saja, kenapa bisa kembali seperti itu ya? Apakah reformasi telah gagal?
Semoga perubahan ini memberikan dampak positif yang signifikan dalam dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Amin
sepertti begitu, mas ari. nomenklatur kemendiknas telah berubah menjadi kemendikbud. itu artinya, dinas pendidikan di kab/kota pun perlu segera mengikutinya. perubahan ini justru telah mengembalikan pendidikan pada khittah-nya, mas, hehe …
Semoga dunia pendidikan di negeri ini dapat membuat perubahan pada pembudayaan serta nilai norma dalam suatu nilai pendidikan yang berkarakter tanpa mengenyampingkan nilai suatu budaya bangsa.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog
amiiin, memang seperti itulah yang kita harapkan, mas indra. salam sukses selalu juga, ya!
Kalau saya aspek kebudayaan harus di keloka dalam satu bidang tersendiri Pak Wali, mengingat pada zaman kini dan selanjutnya nilai bangsa hanya dilihat dari budayanya, adapun perkembangan iptek sudah otomatis maju dengan sendirinya sedangkan imtaq …nah itu yang kebanyakan semakin bobrok…
inginnya sih begitu, mas begitu, mas amin. tapi konon kata pak sby, jumlah kabinetnya sudah mencapai 34.
semoga bisa memberikan perubahan yg cukup besar bagi kemajuan bangsa kita
perubahan itu ditunjukkan dengan adanya korelasi yang positif diantara jajaran aparatur negara,,
setuju banget, mas nayzz.
amiin, amiiin, amiiin. semoga harapan mas pencerah bisa terwujud.
ah ternyata tetap pak nuh, padahal saya berharap pak nuh menggeser posisi tifatul sembiring
hehe … rupanya mas dion mengidolakan pak nuh.
Setuju sekali. Pendidikan di Indonesia harus mengajarkan tentang budaya Indonesia yang saling menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. Nice post.
sepertinya budaya dengan karakter bangsa itu hampir sama,, untuk saat ini sangat penting sekali pendidikan berkarakter<<<<
sejatinya memang demikian, mas tanto. konon pendidikan memang bertujuan utk membangun peradaban yang bermartabat dan berbudaya.
salam kenal, mohon dukungan untuk kontes SEO yang sedang berlangsung ya gan =)
salam kenal juga, mas. ok, saya sudah langsung ke tkp loh!
sekarang mah ada tambahannya tuhh,, wakil menteri…
semoga saja membawa bangsa ini menjadi lebih baik,, seperti pepatah jangan ada dusta diantara kita,,,
iya nih, mas nayzz. semoga memang tidak terjadi benturan, tapi justru saling mengisi dan melengkapi.
Saya masih belum optimis akan ada perubahan dan perbaikan yang signifikan Pak Wali. Tapi, ya semoga ….
Btw, Pak Fasli masih wamen nggak? hehe
ya, ya, semoga optimisnya bisa segera terwujud, pak deni. wah, sepertinya pak fasli sudah tdk jadi wamen lagi.
semoga menjadi lebih baik 🙂
amiiin, semoga demikian, mas bend.
semoga dapat mengangkat Indonesia ke yang lebih baik dari sebelumnya. Dan yang mendapatkan amanah, akan segera dapat bekerja dengan baik sesuai bidangnya masing2, tanpa ada saling jegal-menjegal antar individu.
itulah yang memang kita harapkan, mas andika.
terlalu banyak permisif terhadap keputusan presiden. kita rakyat kecil hanya bisa ‘ngobrol’ tapi biarlah presiden yang memimpin rakyatnya.
semoga sikap permisif tidak mengendurkan semangat utk memperjuangkan nasib rakyat, hehe ….
Setuju sekali, pak, semoga setelah adanya perujukan kembali antara pendidikan dan kebudayaan membawa bangsa ini ke arah yang benar dan bermartabat. Dengan demikian, anak-anak kita, terutama, yang menjadi generasi penerus bangsa ini memiliki pijakan yang tidak membingungkan.
setuju banget, pak. banyak pengamat menilai, kebudayaan akan jauh lebih maju dan dinamis.
Sebelum reshuffle diumumkan, mantan Kepala SMATN, Prof. Dr. Tarwotjo, M.Sc., EG menulis di facebooknya mengenai dikembalikannya kebudayaan ke pendidikan. Saya mengira karena ditunjuknya wamendiknas bidang kebudayaan. Besoknya baru saya baca Paripurna DPR yang menyetujui penggantian nama dua kementerian.
Semoga kebudayaan Indonesia bisa kembali ke jalan yang benar setelah disandingkan kembali dengan pendidikan.
banyak pengamat menilai, diceraikannya kebudayaan dg pendidikan merupakan sebuah kekeliruan fatal. kebudayaan selama ini hanya dipahami secara sebatas budaya fisik yang erat kaitannya dengan objek2 wisata. semoga pendidikan dan kebudayaan bener2 bisa “rujuk” agar mampu menghasilkan “anak2 bangsa” yang beradab dan berbudaya.
Mudah-mudahan bisamembawa kebaikan kepada kita semua, walaupun menurut saya tidak terlalu penting. Ini soal menempatkan orang yang tepat saja pada posisinya.
amiiin. sesungguhnya ini termasuk persoalan mendasar di negeri ini, mas rahman. pendidikan dan kebudayaan menjadi pilar dalam membangun peradaban bangsa.
kebingungan yang telah lama saya rasakan, kini telah sirna. Saya malah semakin yakin kalau konsep kabinet saat “orba” tidak seburuk apa yang banyak orang katakan. Kop surat, stempel, papan nama … diknas kembali menjadi dikbud. Kapan penggantian itu harus mulai diubah … tunggu instruksi ngkali ya ? hidup kemendikbud, hidup Reformasi !
seperti apa rasanya pergantian dan resufle itu,
saya merasakan dampaknya dalamhidup saya kok “gak ngefek Pak.
benar, kebudayaan bukan hanya masalah tangible,tp intangible. msh minim kepedulian utk menyadari dan membuat kepedulian kebudayaan. karna itu luas sekali. semoga kebudayaan bisa diedukasi dgn adanya wajah baru,kemendikbud. meskipun scr pribadi masih cukup pesimis.
seperti mengundi nasib posisinya. mau strategis tapi malah memancing kesialan. kita pasti berharap sasarannya tepat, tak meleset.
tulisan pak sawali makin mantab saja.
salam hormat