Dalang: Sawali Tuhusetya
Kemarau panjang membuat tanah Hastinapura panas dan retak-retak. Gerah. Pepohonan asri dan rindang di sepanjang jalan protokol ibukota berubah meranggas dan kerontang. Wajah para pengendara yang melintas seperti tertampar ekor kalajengking yang menyengat. Panas dan perih. Sengatan matahari benar-benar seperti neraka. Duryudana yang berada di ruangan yang sejuk ber-AC pun tak sanggup menyembunyikan kegerahannya. Demikian juga para Kurawa yang lain. Ruangan yang sejuk itu mendadak berubah seperti penjara. Pengap dan menyesakkan.
Wajah Duryudana makin suntrut ketika ingat kegagalannya dalam mengikuti sayembara memperebutkan Drupadi. Ia harus bertekuk lutut di bawah seorang brahmana dekil yang tak lain adalah Arjuna, kerabat Pendawa yang sudah lama hendak disingkirkan. Peristiwa ini benar-benar membuat Duryudana khawatir. Pendawa bukannya tersingkirkan, melainkan makin kuat dan berkharisma.
Lain Duryudana, lain pula Widura. Adik Drestrarastra itu justru merasa gembira begitu mendengar kemenangan gemilang yang berhasil diraih oleh para Pendawa, kemenakannya. Dengan wajah berbinar, ia segera menyampaikan kabar itu kepada Destrarastra, ayah Kurawa.
“Kita layak bersyukur, Paduka Raja, Pendawa ternyata masih hidup. Bahkan, Arjuna berhasil memenangkan sayembara dan berhak menyunting Drupadi,” kata Widura dengan sikap takzim. Destrarastra tersentak. Penguasa Hastina itu benar-benar tak menduga kalau kabar itu harus masuk ke dalam gendang telinganya. “Kelima Pendawa telah berhasil menyunting Drupadi dan perkawinan mereka telah dianggap sah sesuai dengan yang tertulis dalam kitab-kitab Sastra. Bersama Dewi Kunthi, kini mereka hidup bahagia di bawah lindungan Raja Drupada,” lanjut Widura dengan wajah tenang. Destrarastra sangat kecewa mendengar penjelasan Widura. Kebencian mendadak menyelubungi dinding hatinya. Namun, sebisa mungkin ia berusaha menutupi kegundahan yang mengeram dalam gendang nuraninya.
“Widura, aku senang mendengar kabar itu. Ternyata Pendawa masih hidup. Hmm … padahal, kita telah mengadakan upacara perkabungan. Kabar itu benar-benar membuat saya lega. Itu artinya, putri Raja Drupada itu sekarang telah menjadi menantu kita? Syukurlah!” kata Destrarastra sambil menahan kebencian yang bergolak di dadanya.
***
Sementara itu, Duryudana belum juga bisa menerima kenyataan terhadap kekalahan dirinya. Ia benar-benar telah dipermalukan di depan publik. Putra Kurawa yang berambisi besar untuk menjadi penguasa tunggal di Hastinapura yang agung itu benar-benar kehilangan muka. Kebenciannya terhadap Pendawa makin mengerak ke dalam dinding hatinya. Sudah berbagai macam cara ia lakukan untuk menyingkirkan Pendawa agar tidak menjadi klilip terhadap ambisinya yang hendak menguasai Hastina. Namun, ternyata Pendawa masih juga segar-bugar. Bahkan, tempaan pengalaman hidup yang pahit telah membuat Pendawa makin kuat dan sulit disingkirkan. Bagi Duryudana, Pendawa benar-benar telah menjadi ancaman besar untuk mewujudkan ambisinya. Namun, bukan Duryudana kalau hanya tinggal diam. Dengan berbagai cara, ia terus berupaya menyusun siasat licik untuk menyingkirkan Pendawa.
Duryudana mengajak Dursasana, adiknya, untuk menemui Sengkuni. Dengan hati penuh dendam dan kebencian, ia berkata kepada pamannya itu, “Aku kecewa berat, Paman. Berbagai cara untuk menyingkirkan Pendawa gagal total. Pendawa justu makin kuat. Kini Drestajumena dan Srikandi pun telah berpihak pada mereka. Apa yang mesti kita lakukan sekarang, Paman?” Seperti biasa, Sengkuni terkekeh sambil mengelus-elus jenggotnya yang tumbuh jarang-jarang, lantas menyarankan agar Duryudana mengajak Karna untuk menghadap ayahanda, Destrarastra, yang buta. Duryudana pun setuju.
Di depan ayahnya yang buta, Duryudana merajuk.
“Ayah, engkau telah berkata kepada Paman Widura bahwa masa depan kita akan cerah dan gemilang. Ayah tidak bermaksud hendak mengatakan bahwa masa depan kita yang gemilang berarti kuatnya Pendawa, musuh bebuyutan kita itu, bukan? Ayah masih punya ambisi untuk menghancurkan Pendawa, bukan? Ayo, katakan ayah! Katakan ayah setuju kalau kita hancurkan Pendawa sekarang daripada harus menunggu mereka menghancurkan kita!”
“Duryudana dan anak-anakku, apa yang kamu katakan itu benar adanya. Ayah tetap berpihak pada kalian! Tak usah khawatir! Lalu, apa rencana kalian?” sahut Destrastra.
“Saat ini, pikiranku sedang kacau, Ayah! Aku belum punya rencana yang jitu untuk menyingkirkan Pendawa! Namun, aku sesekali ingin menyingkirkan mereka dengan cara yang halus dengan mengadu domba mereka! Bukankah mereka terlahir dari dua ibu? Kita buat anak-anak Madrim membenci anak-anak Kunti. Kita bujuk Drupada agar mau bergabung dengan kita. Walaupun ia telah memberikan anaknya kepada Pendawa, hal itu tidak menghalangi niat kita untuk mengajaknya bersekutu. Tanpa kekayaan dan harta benda, tak ada yang bisa mereka lakukan.”
“Itu omong kosong!” sergah Karna dengan bola mata membelalak.
“Apa pun yang terjadi, Pendawa tak boleh menuntut hak mereka atas kerajaan yang sudah ada di tangan kita. Kita harus menempatkan beberapa brahmana di Pancala untuk menyebarkan berita bohong. Kita juga harus mengatakan kepada Pendawa, jika berani kembali ke Hastinapura mereka akan menghadapi bahaya besar. Dengan begitu Pendawa pasti tidak berani datang ke sini,” sahut Duryudana.
“Aha! Itu juga omong kosong. Engkau tidak dapat menakut-nakuti mereka dengan cara-cara kuno seperti itu!” sergah Karna.
“Apakah kita tidak bisa memisahkan Pendawa melalui Drupadi? Bukankah mereka berlima mempunyai satu istri? Perkawinan seperti itu baik untuk siasat kita. Kita akan membuat mereka ragu, cemburu dan saling curiga dengan bantuan perempuan-perempuan penjaja asmara yang cantik dan mempesona. Ya, dengan cara itu kita pasti berhasil. Kita suruh perempuan-perempuan itu menggoda anak-anak Kunti dan membuat Drupadi cemburu. Jika cemburu, Drupadi pasti akan mengadu pada ayahnya dan Drupada pasti akan memarahi Pendawa. Setelah itu, kita undang Drupadi ke Hastinapura dan kita buat dia tercemar!”
“Semua rencanamu pasti gagal. Engkau mustahil bisa memecah belah Pendawa dengan siasat seperti itu. Dulu ketika mereka masih muda, ibarat anak burung yang belum sempurna sayapnya, kita bisa menipu mereka. Namun, sekarang mereka sudah menjadi orang hebat. Pengalaman hidup yang pahit telah membuat mereka makin kuat, matang, dan bijaksana!” sahut Karna. “Hanya ada satu cara! Gempur mereka dan para sekutunya sebelum semakin kuat. Kita harus menyerang mereka dengan tiba-tiba sebelum Kresna bergabung! Kita serang mereka secara terbuka. Tipu muslihat hanya akan sia-sia.”
Suasana kian tegang. Destrarastra makin kelimpungan. Ia meminta pertimbangan Bhisma dan Durna. Bhisma yang sedari terdiam, merasa senang mendengar kabar bahwa Pendawa masih hidup dan kini menjadi menantu Raja Drupada. Bhisma yang jujur dan bijaksana menyarankan agar Pendawa dipersilakan kembali ke Hastina, lalu membagi kerajaan menjadi dua.
“Apa kalian tidak mendengar suara rakyat? Dengarlah jeritan mereka yang sudah lama merindukan pemimpin yang jujur dan bersih seperti Pendawa! Itulah satu-satunya jalan untuk menjaga martabat dan kebesaran bangsa Kuru. Jangan tenggelam ke dalam masa silam. Tak ada gunanya menyimpan dendam dan dengki. Kita semua bisa hidup damai berdampingan jika Pendawa dipersilakan pulang dan setengah Kerajaan Hastina diberikan kepada mereka. Itulah nasihatku!” kata Bhisma dengan suara yang berat dan berwibawa. Hal ini disetujui Durna. Guru besar salah satu perguruan tinggi ternama di Hastina itu mengusulkan agar Kurawa mengirim utusan untuk menyampaikan pesan tentang penyelesaian masalah itu secara damai.
Mendadak, Karna murka. Giginya gemeletuk menahan amarah. Ia sama sekali tidak setuju dengan usulan Bhisma dan Durna.
“Aduh, payah benar cara berpikir guru besar kita yang satu ini! Sudah diberi fasilitas serba mewah dan gaji berlimpah, eh, lha kok malah berpihak kepada Pendawa ini bagaimana toh! Sungguh keblinger!” sergah Karna. Durna tersinggung. Terjadilah perdebatan sengit.
“Dasar prajurit picik! Karna, kamu telah memberikan nasihat yang keliru kepada bosmu. Lihat saja nanti, jika Destrarastra tidak mengikuti nasihat Bhisma dan nasihatku, dalam waktu dekat Kurawa akan mengalami kehancuran,” jawab Durna dengan wajah merah padam. Suasana rapat makin tegang dan panas. Namun, buru-buru Destrarastra melerainya dan mengalihkan perhatian dengan meminta pendapat Widura.
“Nasihat Eyang Bhisma dan Prof. Durna sungguh adil dan bijaksana. Pendawa adalah keluarga kita juga. Menghancurkan mereka sama saja akan membikin bangsa hancur. Kresna dan bangsa Yadawa, Drupada dan seisi kerajaannya sudah menjadi sekutu Pendawa. Kita tak akan sanggup menaklukkan mereka. Usul prajurit Karna sangat sembrono dan gegabah,” kata Widura tenang. “Seluruh rakyat Hastina gembira ketika mendengar bahwa Pendawa masih hidup. Mereka ingin melihat Pendawa kembali. Jangan hiraukan kata-kata Duryudana. Karna dan Sengkuni masih hijau, belum memahami seluk beluk tata negara. Mereka belum pantas memberi nasihat. Ikutilah nasihat Bhisma dan Durna.”
Drestrarastra tercenung. Karena bingung, akhirnya ia memutuskan untuk menempuh jalan damai dengan memberikan setengah Kerajaan Hastina kepada Pendawa, putra Pandu. Kemudian, ia mengutus Widura ke Pancala untuk menjemput Dewi Kunti, Pendawa, dan Drupadi. Sampai di Pancala, Widura mempersembahkan tanda mata berupa emas permata dari Destrarastra kepada Raja Drupada. Selanjutnya, dia mohon diizinkan menemui Pendawa untuk menyerahkan surat Raja Hastina kepada mereka. Dijelaskannya bahwa Destrarastra berniat menempuh jalan damai dan memberikan setengah kerajaannya kepada Pendawa. Drupada yang tidak percaya kepada Destrarastra menjawab ringkas, “Semua terserah kepada Pendawa. Merekalah yang lebih berhak untuk membuat keputusan terbaik!” Widura lalu menghadap Dewi Kunti untuk mengungkapkan maksud kedatangannya.
“Paman Widura, aku percaya Sampeyan! Engkau telah menyelamatkan anak-anakku. Aku turuti nasihatmu, meskipun aku tak bisa sepenuhnya mempercayai Destrarastra,” jawab Dewi Kunti dengan suara yang lembut.
“Anak-anakmu tidak akan menghadapi masalah. Mereka akan menjadi pewaris sah kerajaan dan akan populer di mata rakyat. Percayalah!” sahut Widura. Walhasil, Drupada pun menyetujuinya. Widura kembali ke Hastinapura bersama Dewi Kunti, Pendawa, dan Drupadi.
Rakyat Hastinapura yang sudah lama merindukan sosok pemimpin yang bersih dan jujur menyambut kehadiran Pendawa dengan meriah dan gegap gempita. Umbul-umbul dan bendera kebesaran terpajang megah sepanjang tepi jalan-jalan protokol. Mereka berjejal-jejal antre menunggu kehadiran sosok pemimpin yang amat dicintainya. Mereka terus meneriakkan yel-yel dengan penuh semangat dan optimisme. Ketika tiba di tengah massa Hastina yang bejibun, para Pendawa tak henti-hentinya melambaikan tangan sambil menaburkan pesona senyuman yang merakyat.
Di istana Hastina yang megah, para Kurawa menyambut kehadiran Pendawa dengan sikap dingin dan kurang bersahabat. Namun, sesuai kesepakatan, Drestrarastra segera mengumumkan rencananya. Destrarastra membagi Kerajaan Hastinapura menjadi dua. Separo untuk Kurawa dan separonya lagi diserahkan kepada Pendawa. Yudhistira dinobatkan sebagai penguasa yang sah.
Dalam upacara penobatan, Drestrastra dengan suara bergetar dan terbata-bata mengungkapkan tentang peran almarhum Pandu, adiknya, yang telah menjadikan kerajaan Hastina makmur dan sejahtera.
“Saya berharap, engkau dapat membuktikan diri sebagai penguasa yang adil, bersih, dan jujur, Yudhistira! Saya memutuskan penyelesaian damai ini dengan sadar agar tak ada lagi perselisihan dan kebencian di antara kalian semua. Pergilah ke Kandawaprasta dan bangunlah ibukota kerajaanmu di sana! Selamat berkarya, Yudhistira dan keponakan-keponakanku tercinta!” kata Destrarastra dengan nada sendu.
Pesta penobatan pun usai. Pendawa segera mohon diri menuju ke Kandawaprasta. Di sanalah bumi masa depan mereka terbentang. Mereka kembali membangun ibukota dan istana dengan susah-payah dari puing-puing yang tersisa. Nama ibukota pun diubah menjadi Indraprasta, sedangkan kerajaannya berubah menjadi Amarta. Secara bertahap, Amarta berkembang menjadi negeri yang masyhur dan disegani. (Tancep kayon) ***
Sebuah diskripsi yang sangat tepat dijadikan rujukan untuk bangsa kita agar menjadi bangsa yang jujur sehingga kelak akan melambung tinggi kejayaannya seperti halnya Negara Amarta. Pak Wali,… Saya pikir posting ini sangat inspiratif sekali bagi pengemudi bangsa tercinta ini…Pak…!!! Semoga banyak yang baca posting ini…
terima kasih atas apresiasinya, mas amin. dunia pewayangan memang menyajikan banyak nilai filosofis yang bisa dijadikan sebagai kekayaan referensi dalam mengelola negara-bangsa.
semoga Kurawa yang bercokol dinegara kita lekas pergi… diganti dengan pandawa
wah, sepertinya kurawa di negeri ini sulit disingkirkan, mas pencerah, apabila tidak ada “perang bharayuda”, hehe ….
Semoga pandawa2 bangsa kita secepatnya dapat bermunculan untuk membangun masa depan bangsa ini.
menjadikan masa depan bangsa ini legih baik lagi,,
amiiin, memang seperti itulah yang kita harapkan, mbak astri.
Jangan sampai negara ini diadu domba oleh si jahat Duryudana.
setuju, mas tanto. sayangnya, kurawa2 di negeri ini sengaja dibiarkan berkeliaran utk menaburkan kepongahan dan kelicikannya.
Cukup jelas pesannya bagi yang peduli dengan nasib sesama. Apalagi para penggiat sastra, sudah tentu paham dengan makna semua ini.
Salam Kreatif pak dhalang… eh pak Sawali he he 🙂
salam kreatif juga, mas ari. terima kasih atas apresiasinya.
Sudah lama sekali saya ndak membaca cerita beginian pak.. lumayan mengobati rasa kangen saya pak.. makasih atas sharenya.. semoga negara kita ini para kurawanya tobat.. hehehe
sama2, pak fendik. terima kasih juga atas apresiasinya.
Semoga para pmimpin negeri ini dapat lebih banyak belajar untuk bertindak secara nurani dengan mementingkan kepentingan masyarakat dan negara.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah’s Blog
amiiin, semoga harapan mas indra dan kita semua benar2 bisa terwujud.
amarta oh amarta. Cerita sebuah Negeri kebenaran dan penuh cinta. andai ada di dunia nyata negeri yang sesempurna itu ya….
amarta memang tumbuh dan berkembang menjadi negara yang (nyaris) sempurna. agaknya makin sulit menemukan sosok negarawan seperti para petinggi amarta di negeri ini, mas.
Kebenaran akan selalu menang. Dan negara yang dibangun berlandaskan kejujuran dan kebenaran akan makmur, sejahtera, aman, dan sentosa.
setuju banget, mas, meski memang banyak rintangannya. orang benar dan jujur belakangan ini justru malah makin tersingkir dalam pusaran kekuasaan.
kebenaran yang mutlak itu kebenaran yang berdasarkan asumsi kejujuran dan keikhlasan,, semoga saja<<<< AMIN..
amiiin, semoga memang demikian, mas nayzz.
I think this is one of the most important information for me.
And i am glad reading your article. But want to remark on some
general things, The website style is great, the articles
is really great : D. Good job, cheers