Aku tahu, saat ini Sampeyan sedang dililit banyak kesibukan. Waktu menjadi demikian berharga buatmu. Setiap menit, bahkan detik, bahkan juga setiap tarikan napas, selalu berharga untuk mengekspresikan imaji-imaji liar yang menumpuk di kepala. Aku selalu mendengar suara “pemberontakan”-mu sebagaimana tercermin dalam teks-teks cerpenmu. Ada nuansa romantisme, cinta, teror, darah, kebencian, perempuan, warna lokal, mitos, dan juga tradisi. Yang selalu kuingat dari cerpen-cerpenmu adalah suasana absurdisme yang meneror, untuk selanjutnya membawa imaji pembaca ke dalam sebuah ruang tafsir yang rumit, kompleks, tetapi sekaligus membawa daya kejut.
Triyanto –kalau boleh aku menyapamu demikian sebagaimana nama yang diberikan oleh kedua orang tuamu– yang baik. Entah, sudah berapa tahun kita tak bertemu. Pertemuan terakhir pun aku sudah lupa di mana. Yang sempat kuingat ketika Sampeyan menjadi moderator diskusi dalam Pertemuan Sastrawan Jawa Tengah di Purwokerto, Jawa Tengah, sekitar tahun 2000-an. Setelah itu, kita hanya bisa kontak lewat SMS. Itu pun sekarang sudah jarang kita lakukan. Ya, sudah, kita memang telah ditakdirkan untuk mengikuti “jalan hidup” yang telah disuratkan oleh-Nya. Sampeyan menjadi seorang jurnalis dan sastrawan yang telah mengglobal, sedangkan aku menekuni duniaku sebagai seorang guru, hanya ingin menjadi seorang shi fu, meski terkesan ndesa dan katrok. *halah*
Bukannya aku menyesal menjadi seorang guru. Justru aku merasa bahagia dan sangat menikmatinya. Yup, ini juga sekaligus memenuhi “panggilan hidup” sebagaimana yang selalu disuarakan oleh Emakku ketika aku masih kecil. Emakku akan merasa amat berbahagia seandainya aku bisa menjadi seorang guru. Alhamdulillah, aku sudah memenuhi amanat emakku yang kini sangat menikmati hidup di sebuah kampung yang sunyi menjelang masa-masa senjanya.
Triyanto yang baik. Entah, tiba-tiba saja aku merasa cengeng. Romantisme masa lalu tiba-tiba saja mengusik perasaanku. Aku kangen sekali untuk bisa bertemu denganmu. Apalagi, tanpa kuduga, kamu meninggalkan jejak komentar di sini. Sungguh, komentarmu membuat perasaanku seperti mendengarkan terompet orkestra yang berirama pedih. Menyayat-nyayat. Teringat saat kita masih bersama-sama menimba ilmu di sebuah lembaga keguruan. Mungkin Sampeyan sudah lupa, kalau kita pernah menggelandang di kompleks Mberok Semarang yang kumuh, bercengkerama dengan para “wadam” hingga akhirnya kita terusir setelah mereka gagal mengajak kita berkencan. Kita pun lari terbirit-birit hingga akhirnya terdampar di Pasar Johar. Karena capek, kita pun terlelap di atas box reot yang biasa dipakai para pedagang berjualan. Ketika Subuh tiba, kita pun sempat terkejut, lantaran sandal kulit usang yang kita pakai, diembat juga para pencoleng Pasar Johar yang sering berkeliaran seperti nyamuk-nyamuk liar yang menyedot darah kita semalaman.
Pernah juga kita bersama-sama dengan Mas S. Prasetyo Utomo dan Herlino Soleman menikmati malam di Bumi Wanamukti, Semarang, tempat Mas Mahmud Hidayat tinggal selama ini. Malam itu juga kita dikejutkan oleh suara-suara teriakan orang-orang kampung yang hendak menangkap seorang pencuri. Kita pun bersama-sama berhamburan keluar. Lantas, bikin sayembara untuk mengabadikan peristiwa itu menjadi sebuah cerpen. Ternyata, Sampeyan memang hebat. Dari peristiwa itu, Sampeyan berhasil membikin sebuah cerpen berdaya kejut tinggi “Ritus Tikus”. Masih ingatkah Sampeyan pada peristiwa itu? Lantas, pada malam yang berbeda, kita sering menghabiskan waktu untuk berdiskusi, bahkan berdebat, soal genre sastra dan filsafat. Topik yang selalu berat yang Sampeyan tawarkan.
Tak lama kemudian, nama Sampeyan sering tertulis di koran lengkap dengan cerpen-cerpen bergaya surealis dan absurd itu. Sampeyan pun dipercaya untuk menjadi penjaga gawang tetap “analisis puisi mingguan” di harian sore Wawasan. Namun, tak lama kemudian, aku tak tahu lagi kabar Sampeyan. Beberapa teman bilang, Sampeyan sedang “hiatus” dan melakukan “metamorfosis”. Bertahun-tahun peristiwa itu berlalu hingga akhirnya nama Sampeyan mulai melejit sebagai cerpenis papan atas dengan semakin banyaknya cerpen-cerpen Sampeyan yang khas itu muncul di Kompas. Tak lama kemudian, aku mendengar kabar bahwa Sampeyan telah memiliki sebuah antologi cerpen Rezim Seks dan dipercaya menjadi redaktur Sastra-Budaya di harian Suara Merdeka. Bahkan, Sampeyan juga mulai intens berkomunikasi dengan sobat Herlino Soleman hingga akhirnya berhasil menerbitkan kumpulan cerpen bersama Pintu Tertutup Salju. Buku itu pula yang berhasil membawa kita duduk satu meja dalam forum diskusi dan bedah buku yang digelar oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Kendal.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita juga sempat bertemu dalam forum Temu Sastrawan Jawa Tengah di Purwokerto bersama Kang Ahmad Tohari, S. Prasetyo Utomo, Gunoto Sapari, SN Ratmana, ES Wibowo, Timur SS, dll. Nah, sejak saat itu, nama Sampeyan makin melambung hingga menembus batas dan sekat-sekat geografis. Aku mendengar kabar, Sampeyan sering mengadakan lawatan sastra ke luar negeri. Syukurlah, aku jadi ikut senang dan bangga. Tak lama kemudian, muncullah buku-buku kumpulan cerpen Sampeyan berikutnya, semacam Ragaula, The Wings of the Dog, Malam sepasang lampion, atau Children Sharpening the Knives. Sejak saat itu pula, aku merasa semakin sulit berkomunikasi dengan Sampeyan. Ketika berlangsung acara Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus (19-21 Januari 2008) yang lalu, aku berharap Sampeyan bisa hadir. Ingin rasanya segera melepas kangen setelah sekian tahun tak bertemu. Namun, ternyata Sampeyan sedang mengikuti acara Residensi Sastra di Sydney Australia. Ketika di Kudus, aku pun sempat bertemu dengan Maman S. Mahayana dan sempat ngobrol di warung kopi hingga larut malam di bawah guyuran hujan yang membadai. Banyak hal yang kami obrolkan, termasuk “ngrasani” Sampeyan .
Lebih membanggakan lagi ketika aku membuka website Penakencana. Ternyata, Sampeyan juga yang menjadi Direktur Program Anugerah Sastra Pena Kencana yang heboh itu. Betapa tidak! Sampeyan telah berkiprah secara nyata hadir untuk memangkas jalur yang terlalu lama dan ingin lebih memartabatkan sastrawan.
Karena itu selain setahun sekali memberikan penghargaan tertinggi untuk satu puisi dan cerpen terbaik, juga meningkatkan jumlah hadiah. Untuk 2008, puisi dan cerpen terbaik, masing-masing Rp 50 juta. Nilai penghargaan itu diharapkan dari tahun ke tahun meningkat.
Itu kata Sampeyan dalam sebuah pengantar yang sempat aku baca. Luar biasa! Sebuah penghargaan yang bisa menjadi sebuah Indonesia yang I dalam menghidupkan martabat sastrawan. Aku percaya, masih ada kiprah-kiprah Sampeyan yang lain yang luput dari perhatian awamku sehingga tak terjamah dalam surat ini.
Triyanto yang baik. Untuk sementara, demikian surat terbuka yang sengaja aku tulis sebagai wujud apresiasi dan simpati dari seorang teman lama sekaligus sebagai ekspresi rasa kangen dalam menjelajahi romantisme masa silam yang pernah kita lalui bersama. Semoga Sampeyan masih sempat punya waktu dan berkenan untuk membaca surat cengeng ini. Mohon maaf apabila kehadiran surat ini sudah mengusik ketenanganmu.
Terima kasih.
Selamat berjuang dan salam kreatif, kawan.
Dari seorang teman lama,
Sawali Tuhusetya
oOo
Catatan:
Yang ingin membaca cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo, silakan klik di sini.
wah pak sawali kangen sama bapak2 kekeke
__________________________________________
btw, masa mudanya pak sawali serem juga yak
dikejar2 wadam, terus nyangkut di pasar sgala
tsk…tsk…
haibat lha 😀
Goop’s last blog post..Engine
oOo
walah, teringat kenangan lama, mas goop. wakakakakaka … semarang memang gudangnya dunia malam, mas goop, hehehehe 😆 mas goop mau sesekali menggelandang di semarang? biar tahu rasanya dikejar2, hehehehe
duuh.. suratnya bagus banget.. itu dikirim ke orangnya juga kan?? hmm.. ridu jadi takut kalo mo minjem duit ke pak sawali deh..takutnya surat penagihannya dipublish di blog lagi!
ridu’s last blog post..Survey Tawa Warga Jakarta
oOo
walah, hanya surat cengeng kok mas ridu. yup, triyanto dah saya beri tembusan dengan tulisan yang sama. mudah2an ada waktu dia utk membacanya. wakakakakaka … emang mas ridu butuh utang berapa duwit, hehehehehe 😆 ntar saya umumin di blog ini dg tulisan besar2, kekekekekeke ….
kok last blog post ridu masih survey tawa jakarta yak??
ridu’s last blog post..Survey Tawa Warga Jakarta
oOo
walah, itu juga ndak tahu saya mas ridu. apa rada error yak pluginnya? tapi temen yang lain ndak tuh?
diajak ngeblog aja, pak 🙂
edy’s last blog post..Bila Microsoft Membeli Yahoo!
oOo
walah, kalau dia udah apakek website. malah dah ada yang mbuatin bung, hehehehe 😆
Wah, teman yang luar biasa . Dan yang punya teman luar biasa pasti luar biasa jugak.
danalingga’s last blog post..Mari Memanfaatkan Komentar !!!
oOo
betul, mas dana. Triyanto memang luar biasa. walah, kalau aku sih bisanya cuman nebeng ketenaran teman saja, mas, hehehehe 😆
Kekuatan teman memang luar biasa pak. Dia bahkan dapat menjadi ukuran tentang diri kita.
oOo
Yup, bener banget, pak heri, setidaknya kita bisa ikut seneng juga kalo ada temen yang sukses.
sekarang ini memang jaman aneh ya pak sawali….
mentang-mentang semua hal memerlukan serba keterbukaan, eh, masa surat juga ikut-ikutan terbuka…. 🙂
maaf pak sawali, bukannya saya tidak setuju bapak membuat postingan ini…
saya hanya merasa kasihan saja dengan surat bapak yg terbuka itu….
kenapa kasihannya….?? »»» takut masuk angin, hehe…..
kan kasihan sama pak sawali juga, udah cape2 bikin surat, eh gak taunya suratnya harus ‘kerokan’ dulu sebelum bisa dibaca…. 😆
*komentar sambil bawa balsem*
antar~pulau’s last blog post..bersih-bersih ah?
oOo
walah, bapak kepala suku bisa aja nih. masak surat pake dikerokin, ntar malah lecek, ndak kebaca, hehehehe 😆
Haiyahhh… Saya jadi mau iseng kayak masa muda bapak. Kayaknya asyik dikejar-kejar wadam…
*ngumpulin teman-teman, sesama bloger aja*
Goenawan Lee’s last blog post..Roda Pembenaran
oOo
hahahahaha 😆 mas gun mau nyoba jugak? hiks. ndak usah, ntar kerepotan malah!
Ass…ya itulah arti persahabatan, kadang kita rindu sama2 temen sekolahan, kuliahan….sama sy seirng juga kadang iseng ke o-om google, tulis nama2 temen sekolahan dulu, mana tau ada akses ke mereka dan bisa silaturrahim lewat dunia virtual.
olangbiaca’s last blog post..The Power of Du’a
oOo
yup, bener banget, mas. dunia maya bisa sangat membantu mempererat silaturahmi. tentu saja asal sama2 bisa saling mengakses. jadi deh.
Romantisme masa muda memang sangat begitu terasa, ah saya masih muda tapi kok belum sampe dikejar2 wadam ya…(amit-amit jabang bayi 😀 )
*nunggu pak triyanto komen disini, dan dijadikan bahan posting oleh pak wali lagi. *
annots’s last blog post..Need help
oOo
wakakakaka 😆 ndak pernah bergaul sama wadam sih mas annots. mau nyoba jugak?
*walah, triyanto mau baca surat ini aja alhamdulillah mas, ndak harus ninggalin komen kok!*
aduh ngakak baca komen ridu euy!
mas ntar ta sampein dech sama akuw…sekalian minta tanda tangan hehe
LieZMaya’s last blog post..Tips cara membuat Multi-User Account YM dan Gtalk/ googletalk
oOo
wekekekekeke 😆 sejak kapan mbak maya bisnis kurir?
Kalau saya jg sering tanya mbah google, sama om frindster, kali aja nama n foto temen nongol. Gaya Pak Guru Sawali unik, lewat blognya yg “ngetop” ini mengungkapkannya… Kata orang2 Be Yourself…!!!
salam kangen jg pak guru, lama ga berkunjung… hehehe…
ansori’s last blog post..Sudah muslimkah aku?
oOo
unik? blog “ngetop” apaan mas ansori, hehehehe 😆 biasa aja kok.
Ceile …nostalgik, untung saja ngak dramatik he he .Aku seolah0olah ikut berkelana ke masa silam Pak Swali. Ya, semoga menjadi pemicu kehidupan ke depan. Masa lalu cermin belakang kehidupan dalam menatap masa kini menuju masa datang lebih baik. Amin.
Ersis W. Abbas’s last blog post..Mengurangi Merokok ? Berhenti Merokok
oOo
amiin, terima kasih banget pak ersis. mudah2an bisa menjadi pemicu “adrenalin” utk istikomah dalam menulis, hiks.
wah…. kangen sobat toh pak… sekalian ini kirim ke suara merdeka dot com aja pak 😀
dobelden’s last blog post..Kok Suaranya Putus-putus?? Maklum Pleksi
oOo
hehehehe 😆 ya mas dobeleden. cengeng, yak? psot ini hanya untuk dipublish di blog ini kok mas.
Barusan saya mengetikan nama “Triyanto Triwikromo” di Google dan ternyata teman pak Sawali ini memang orang huebat 🙂
Dan seperti komen danalingga di atas, saya yakin teman seperjuangannya (pak Sawali) juga orang huebat, he he 😉
sigid’s last blog post..Dante’s Inferno Test
oOo
betul juga pak. nama triyanto di google emang dah sangat terkenal. kalo saya sih cuman ikut numpang ketenarannya doang, pak sigit, hehehehehe 😆
Weh, ternyata bila seorang menulis surat malah jadi cerpen ya..
Menarik..
oOo
walah, tetap saja sebuah surat mas nazieb, hehehehe 😆 bukan cerpen.
sik Pak Sawali, saya print saya baca di rumah dulu ya… daripada OOT. makasih lho komennya di saya… 😳
isnuansa’s last blog post..Bayi Atau Brownies?
oOo
yup, mangga mbak is, makasih juga yak!
Wah…. kalau surat untuk pribadi walaupun terbuka, saya nggak bisa banyak komentar nih! Huehehe…..
Tapi saya juga pernah merasakan kehilangan teman ‘seperjuangan’ sekarang entah ke mana rimbanya, terakhir ia menempuh pendidikannya di AS, sekarang entah ke mana, apakah ia pulang ke tanah air atau tidak, benar2 kehilangan kontak.
Ya udah deh, mudah2an seluruh teman2 seperjuangan Pak Sawali dapat menyatu kembali di blog ini. Dan itulah Internet, sarana pemersatu yang paling mudah, cepat (dan murah?) 😀
Yari NK’s last blog post..Ramalan Nostradamus Jadi Tidak Tepat??
oOo
wah, bener bung, kehilangan seorang sahabat kayaknya memang seringkali membuat kita gelisah juga, hiks. ok, trims bung yari, blog agaknya memang bisa mendekatkan teman yang jauh sekaligus merekatkan silaturahmi temen2 dekat. semikian juga mudah2an bung yari dipertemukan dg temen bung yang di amrik ituh.
Hmm …
Saya jadi kepikiran teman-teman seperjuangan saya di sini, Pak. Akankah nanti saya juga menulis surat seperti ini untuk mereka. Berat sekali rasanya.
STR’s last blog post..Tawa Knalpot
oOo
sesekali perlu juga itu dilakukan mas satria. ini juga sebagai upaya utk kirim kabar lewat om google. mudah2an surat mas satria itu kebaca juga oleh temen mas satria ituh.
Wah, saya bacanya jadi inget temen saya waktu SMA dulu pak, sekarang malah saya ga tau lagi dimana rimbanya…hik..hik
steelheart’s last blog post..Kecanduan Internet, Bentuk Stres Pekerjaan
oOo
wah, ndak dicoba cari mas bima? coba sesekali posting khusus, siapa tahu om google bisa menyampaikan kabar keberadaan temanmu ituh.
saya membayangkan kalau saya tau nanti seperti ini gak yah…
hehehe…
sahabat itu seperti lem di balik perangko…
kadang nempel tapi kadang kalo marahan gak bisa nempel…
Moerz’s last blog post..Six String Story (Eps.1)
oOo
yuo, bener juga mas moerz. mudah2an saja bisa lengket terus. BTW, saya dg temen saya itu ndak marahan loh, hehehehe 😆
Lagi2 saya gak bisa jadi komentator yang pertama.
Rindu ama teman lama nih pak? kata siapa bapak cengeng, ini kan hanya sebagai wujud pengungkapan saja, dan gak ada kalimat2 cengeng tuh.
ternyata bapak punya teman seorang sastrawan besar ya. saya juga jadi ikut-ikutan bangga punya teman (saya sebut teman aja ya pak) sesama bloger yang punya teman seorang sastrawan besar. Berarti temannya teman saya adalah orang besar. Numpang tenar doang
Hair’s last blog post..Aurat Perempuan, Pemandangan Terindah Yang Pernah Tercipta
oOo
walah, gpp, mas hair. kesibukan itu kan kadang memang ndak bisa ditunda. ndak harus jadi komentator vertamax, kan? yup, boleh mashair, malah lebih akrab. hehehehe 😆 saya juga ikutan nebeng nama besar temen ye!
Salam kenal, Pak Tuhu. Saya tetangga baru.
BTW, guru bahasa Indonesia kalo pas lagi nggak ngajar bahasanya gaul juga ya 😆
Samsul’s last blog post..PHPSpeedy: Tidak Bisa Diakses Robot?
oOo
salam kenal juga mas samsul, makasih, yak, telah berkunjung. BTW, nanti kalo bahsanya resmi terus komennya jadi kaku, mas, hiks.
Wah, enaknya jadi penulis. Mardies pengen jadi penulis. Tapi kalo nulis rasanya maleees banget. 😀
Mardies’s last blog post..Waspadalah! Valentine Itu Cuma Tipuan Pebisnis
oOo
walah, mas mardies ok jugak kok nulisnya. saya kan sering juga berkunjung ke blog mas mardies. surat ini juga sekadar unglapan dan ekspresi saya terhadap seorang teman yang sudah lama tak bertemu.
Wah, saya pengen jadi penulis, biar bisa dapat 50 jutanya.
Lumayan buat persiapan merried …
Hehehe ….
Abied’s last blog post..Izinkan Saya Menikah Pak!
oOo
wah, bagus mas abied. kenapa nggak? tulis saja cerpen atau puisi terbaik, kemudian kirimkan ke koran yang ditunjuk. baca selengkapnya di http://www.penakencana.com/
persahabatan kadang melebihi jalinan kasih dua manusia
tak terpisahkan arti logika
hanya ruang dan waktu
yang akan menjadi saksi bisu
alfaroby’s last blog post..bodoh atau serakah
oOo
terima kasih mas faroby. sepakat banget dengan pernyataan itu. mencerahkan.
Sawali yang baik,
Aduh, sori baru bisa membaca surat indah Sampeyan. Surat yang tentu mengingatkan –meski saya tak pernah bisa melupakan– saya pada berbagai peristiwa heboh pada masa-masa menggelandang dan memungut tema-tema kehidupan dari berbagai ruang dan waktu.
Seharusnya semua orang tahu betapa Sampeyan adalah salah satu dari guru-guru terbaikku. Ha ha ha, meskipun sekarang aku bekerja di Suara Merdeka, rupa-rupanya Allah tidak memperbolehkan hamba yang pernah kuliah di IKIP ini tidak mendarmabaktikan ilmunya untuk orang lain. Karena itu atas ridanya, aku diberi kesempatan mengajar Penulisan Kreatif dan Penulisn Iklan di Fakultas Sastra Undip. Malah IAIN Walisongo juga memintaku mengajar “Penulisan Populer”. Ini berkah kehidupan yang terindah.
Sawali yang baik,
Hidup memang aneh, unik, dan tak terduga. Aku tak pernah membayangkan bakal bisa mengililingi empat benua (Amerika, Eropa, Australia, dan Asia, tetapi cerpen dan karya jurnalistikku ternyata punya sayap dan menerbangkan aku ke tempat-tempat yang asing dan jauh itu. Aku juga tak pernah membayangkan bisa menulis begitu banyak buku, karena mesin tik pun dulu tak punya. Aku juga tak membayangkan memimpin lembaga pemberi penghargaan terbesar di Indonesia, karena sejarah kemiskinan yang membelit terlalu lama.
Sawali yang baik,
Di luar kehendak Tuhan, ada satu hal yang membuat segalanya berubah: kerja keras. Aku menulis, ketika yang lain tidur nyenyak. Aku menulis, ketika yang lain dugem. Aku menulis, ketika yang lain memilih melecehkan orang lain. Aku terus menulis, ketika yang lain tak mau belajar merasakan rasa sakit dan penderitaan.
Sawali yang baik,
Maaf aku terlambat membaca permintaanmu untuk menulis endorsment. Jika masih ada kesempatan, maka aku akan bilang: Cerpen-cerpen Sawali adalah suara lain dari sejarah wong cilik yang senantiasa diabaikan dan digelapkan. Suara cerpen Sawali adalah silent majority yang kelak menjadi ledakan dahsyat jika terus-menerus ditekan dan disudutkan di kotak sampah peradaban
Salam kangen selalu
Triyanto Triwikromo
Sahabat Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Mendatang
oOo
wah, makasih banget, sobat, akhirnya sampeyan berkenan juga membaca dan sekaligus berkunjung ke gubugku ini. ini sebuah kehormatan bagi saya setelah sekian lama kita tak pernah bertemu. komentar sampeyan sudah bisa membuat saya lega, bangga, sekaligus terharu. meski jarang bertemu, saya masih rutin mengikuti kiprah sampeyan, baik lewat koran maupun lewat dunia maya. bahkan, pernah juga punya pemikiran untuk membuat blog khusus temen-temen seperjuangan, seperti mas pras, atau herlino. lewat blog itu, kita bisa menjalin kreativitas bersama melalui dunia maya di sela-sela kesibukan kita masing2. sudah ada beberapa cerpen karya temen2 yang berhasil saya kumpulkan. inginnya segera saya publish. namun, keinginan itu belum juga bisa terwujud. di blog itu, kita juga bisa menampilkan teks2 cerpen yang pernah dimuat di berbagai media cetak sehingga bisa dibaca secara meluas dan mengglobal oleh berbagai kalangan.
sahabat triyanto yang baik. alhamdulillah, kalau pada akhirnya sampeyan berhasil menemukan “dunia”-mu yang sesungguhnya. apalagi sekarang memiliki kesempatan untuk menyampaikan dan sharing ilmu sampeyan di biodang penulisan kreatif di UNDIP dan juga di IAIN Walisongo. mudah2an banyak manfaatnya bagi mahasiswa sampeyan.
terima kasih juga endorsnya. belum telat kok, insyaallah tetap akan saya sertakan dalam kumcer, melengkapi pengantar pak maman s mahayana, juga endors dari temen2 yang lain. endors sampeyan akan sangat besar manfaatnya buat saya.
terima kasih juga atas salamnya. mudah2an Allah mempertemukan kita bersama-sama teman yang lain pada sebuah ruang dan waktu. salam untuk istri dan ananda, semoga Allah tak henti-hentinya mengulurkan tangan gaib-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan keluarga kita, amiin.
Jadi pingin kenal sama Riyanto euy … apa dia punya bloh Pak Swali? Minimal sampaikan salam, ada orang dari Kalimantan yang sangat bangga siapa saja menulis, kagum dengan kiprah TT. Tolong ya Pak. TQ.
Ersis W. Abbas’s last blog post..Menulis Menembak Diri
oOo
Yup, bisa juga dan saya yakin triyanto pun akan senang bisa berkenalan dg pak ersis. mungkin pak ersis bisa kontak lewat e-mailnya, pak. sama2 juga, pak. alamat email triyanto sudah saya kirim via email, pak. makasih.
Triyanto Triwikromo
Ersis W. Abbas’s last blog post..Menulis Menembak Diri
Waduh, senengnya sudah dapet balesan surat dari Pak Triyanto.
Pak Sawali, mengenang romantisme masa silam memang menyenangkan ya? Dengan mendengar kabarnya saja, bahwa teman-teman kita sudah jadi “orang”, suatu kebanggaan tersendiri bagi kita.
Maaf Pak, boleh ya, saya sedikit memberi masukan? Ada inkonsistensi penyebutan nama diri di postingan ini, kadang “aku” kadang “saya”.
isnuansa’s last blog post..Bayi Atau Brownies?
oOo
makasih mbak is, yak! yup, sesekali mengenang nostalgia masa silam ada perlunya juga, mbak. iya, ya, mbak is, bener sekali. itu semata kekeliruan saya, hehehehe …. habis, dalam suasana hati yang sedang kangen, *halah* penggunaan kata ganti seringkali berubah-ubah, cermin suasana hatinya yang sedang “gelisah”, hehehehe 😆 makasih ya mbak masukannya.
Mudah-mudahan bisa cepet ketemu. Ane kira surat terbukanya bakalan sampe juga ama beliau, paling enggak ada blogger yang kenal ama beliau terus nyampein surat ini, terus nyaranin buat blog, terus kongkow-kongkowan lagi dah di blog…
Cabe Rawit’s last blog post..Tetangga Ane Sukses Karena?
oOo
makasih doanya mas cabe. alhamdulillah, akhirnya sampek juga surat ini kepada triyanto. malah sudah komen juga di blog ini. rasanya seneng juga. meski belum ketemuan langsung tapi dah bisa jadi media pengibat kangen, *halah*
Asl…pak, thanks udah mampir di kemah sy pak, moga persahabatan ini berkah dan diridhoi oleh-Nya. sy link ya pak
olangbiaca’s last blog post..Ada apa dengan 14 februari ?
oOo
wah, sama2 mas, amiin. terima kasih, mas kalao mau ngelink jugak.
Sejujurnya, saat baca surat sampeyan kagum banget saya dengan isinya.. tapi gara-gara mas ridu, komen nomer 2, buyar sudah komentar yang akan saya tulis.. jadi tertawa terbahak-bahak membacanya…
hahahahahahahahahahahahahahaha…
maaf pak sawali .. numpang nyampah..
gempur’s last blog post..Permasalahan yang Menghadang Dunia Petani dan Pertanian
oOo
hahahaha 😆 komen ridu yang takut dipublish kalo utang sama saya, pak? hiks, ada2 saja. Ridu memang suka bercanda kok, pak.
Indah juga walau sudah lama berpisah dan bisa bersua kembali lewat BLOG. MANTAP.
Ozan’s last blog post..Sudeep Janda
oOo
yup, makasih mas ozan.
Betapa indahnya persahabatan kedua teman, yang bisa dipublish disini…kami bisa ikut menikmatinya.
edratna’s last blog post..Harap-harap cemas
ooo
yups, makasih banget bu enny, di sela2 kesibukan mantu, masih sempat pinarak ke sini.
waah.. jalan-jalan pagi tak terasa sampai di gubugnya pak sawali. baca susuratan dengan pak Triyanto yang hmmmm.. sangat menyentuh dan menginspirasi. betapa menyenangkannya sebuah persahabatan…
jalaindra’s last blog post..Tentangmu Yang Tiba-Tiba
ooo
wah, sempat juga baca surat itu rupanya mas adi. karena dorongan rasa kangen saja dengan triyanto, bung. yup, makasih, yak!
Wah, ingat masa kuliah di Semarang. Sama-sama Triyanto, adik kelas. Nah jadi ingat hutang, nih.
Waktu kuliah setahuku Triyanto itu cukup menderita, lho. Syukurlah, penderitaan itu sekarang terbalas dengan kesuksesannya.
Willy Ediyantos last blog post..Jam Mengajar ≠ Beban Kerja
Sepasang Kekasih yang Mencari Arah Laut Lepas
Terceritalah kisah sepasang kekasih yang entah kapan tepatnya bermulai melaut.
Dalam kesekian waktu yang seolah tak akan pernah berhenti dan memang tak berhenti dan di barangkali saja telah berlangsung berbulan-bulan bertahun-tahun berabad-abad dalam waktu yang tak pernah terasa kecuali bayangan serupa pagi serupa siang serupa petang serupa malam, kami masih berada di perahu cadik berkayu coklat yang semakin tua serta kusam juga masih kuat sekalipun cukup waktu lama bagi kayu perahu kami berdua melapuk, ini mencari tempat pulang.
Ya, asal kau tahu, kami memang belum pulang. Entah kapan kami berpulang. Dan apakah suatu keharusan bilamana kami mesti kembali pada daratan negeri kami dalam—yang bagi kami—kesementaraan kami masih di laut. Tidak.
Sekalipun perjalanan kami berdua menyusuri tiap arah laut menjadikan waktu seolah dan barangkali saja melumut hebat, kami masih di laut. Di laut tanpa kami takutkan berapa kali lagi usia kami mesti berlanjut. Kami seperti manusia tanpa usia. Seperti keberusiaan di sepanjang keberadaan alam ini ada. Demikianlah adanya kami.
Di waktu ini pula, ketika sempat kami mempersoalkan usia, kami menyebut usia kami sekitar 300-an tahun. Barangkali lebih. Meski demikian kami belum luput. Kami masih bersuka mencari mata angin. Mencari arah. Arah laut lepas; arah yang acap bagi kami seperti sejengkal menuju kebahagiaan. Dalam kesadaran kami, kebahagiaan tak akan pernah mengeriput.
Setidaknya begitulah cara kami memperoleh kebahagian: berpikir bahwa sejengkal pada jarak di depan adalah harapan kami. Semacam cara menguji perasaan maupun firasat kami terhadap waktu. Kira-kira. Begitulah.
Di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan. Percakapan yang seolah tak sebatas kata. Melainkan firasat dan rasa. Percakapan sepasang kekasih. Begitulah.
“Masih adakah tempat terakhir di laut ini sebelum kita memutuskan untuk segera berlabuh dari rasa letih?” kata kekasihku.
Sambil memandang ke arah laut lepas yang seperti hanya tertampak garis tipis di hadapan kami, dari katanya yang seolah dalam benak terdengar olehku, bahwa sepanjang kehidupan ini tak pernah terbesit kalau laut menyediakan sebuah akhir. Entah masih adakah akhir? Entah adakah. Entah adakah.
“Laut tak akan pernah menyediakan sebuah akhir. Sampai kapan pun,” kataku.
“Ehm…Ya. Barangkali karena itulah, karena laut sepertinya selalu dan memang tanpa akhir, aku begitu masih mempertanyakan apakah cintamu utuh padaku. Sekali lagi, apakah cintamu utuh dan sejati padaku seperti sepanjang, seluas, sehebat, bahkan sedahsyat laut ini yang senyata-nyatanya dalam kenyataannya tanpa akhir, kekasihku? Seberapa tahan kau mampu mempertahankan cintamu padaku? Sekali lagi, sementara laut ini memang tanpa akhir,” katanya membalas.
Dari ucap yang seperti menampakkan kegelisahannya terucapkan kembali.
“Lantas kau akan mengakhiri cintamu saat di laut yang benar-benar terakhir nantinya?”
Aku tak menjawabnya.
Katanya lagi, ”Jika demikian, kita seperti dan hanya mengemas cinta palsu saja di sepanjang mengarungi laut ini.”
Kami sama-sama terdiam. Kecuali, deburan ombak serta desiran angin yang semakin memperlihatkan kehebatannya. Kehebatan dari yang tak lagi sekadar berbisik. Sekalipun demikian, kami masih mengarungi di tengah hamparan laut luas ini.
Maka tersebutlah saat ini, kami sebagai sepasang kekasih yang masih tersibukkan mencari arah laut lepas untuk mengakhiri perjalanan ini, dalam kenyataan belum dipertemukan oleh akhir. Dan sepertinya memang tak akan pernah.
Seperti tadi terkatakan oleh kami bahwa di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan yang seolah tak sebatas kata-kata melainkan firasat dan rasa. Seperti firasat datangnya malam. Seperti rasa datangnya angin yang acap tak lagi sekadar berbisik.
Sesungguhnya tersebutlah pula kami sebagai sepasang kekasih yang tengah berlari dari negeri di daratan itu. Ya, negeri kami masa lalu. Sebuah negeri yang terakhir terketahui warnanya telah berubah menjadi abu-abu. Negeri abu-abu. Negeri mati warna.
Tentang negeri kami di masa lalu; sebuah negeri yang tak pernah beres serta berkesudahan kelimpungan dalam persoalan. Persoalan sebuah negeri yang tanpa hari bersekaligus tanpa mataharinya, tanpa bulannya bersekaligus tanpa gemerlap bintang gemintang disekelilingnya yang berisi daging persoalan. Persoalan yang semakin memanjakan negeri kami dalam kecengengan. Persoalan tindas-menindas sesama manusia. Mati kasih. Kira-kira terkatakan begitu.
Sekali lagi, atas nama kekacaubalauan negeri kami, kami berlapang dada meninggalkannya. Ketimbang mesti bermunafik. Betapa ironis hidup dalam kemunafikan.
***
Hampir semua manusia di negeri kami pernah menganggap kami gila. Semua mengatakan kami hidup dalam pelarian. Pelarian yang berlari dan untuk terus berlari seperti sepasang kekasih yang memang nyata-nyatanya kami adalah sepasang kekasih tengah mencari kehidupan baru. Demikianlah kami.
Kami masih dan akan selalu masih mencari arah laut lepas di semacam yang kira-kira pada akhirnya nanti adalah akhir perjalanan kami. Kami terus mencari ujung perjalanan ini tanpa henti. Tanpa keputusasaan. Mencari akhir. Sekali lagi, entah adakah akhir.
Segala persoalan di sini—di tengah hamparan cakrawala laut lepas bersama kecipak deburan ombak yang terkadang mengganas dan terkadang tidak, malam yang seolah seperti kesuraman. Apalagi bila hujan mengguyur deras perahu kami berdua—dalam keberduaan kami hadapi penuh kasih. Dalam keberduaan sepasang kekasih.
Kami seperti mempunyai kata-kata tersendiri terhadap alam. Barangkali itulah alasan mengapa sampai kini kami masih bertahan. Bukti kebertahanan yang sampai detik ini kami masih mencari arah di lautan. Arah laut lepas. Bukti kebertahanan sebagai sepasang kekasih.
Entah seberapa tahan pula kami mencari arah laut lepas. Laut lepas yang benar-benar terlepas dari awal dan tengahnya lautan ini.
Entah bagaimana pula kami mesti berpikir bahwa kepengetahuan kami tentang di titik awal mana ketika beranjak melaut. Juga entah titik tengah mana sebuah lautan. Dalam kenyataan, senyata-nyatanya, kami masih melaut sampai saat ini. Mencari akhir dari sebuah arah laut lepas tanpa henti.
Kami masih bertahan. Kecuali, bilamana di ujung laut ini nanti; sebuah akhir yang kami anggap terselesaikan dari kami melaut. Entah apakah ini kegilaan dalam beranggap?
Ya, sekalipun hampir seluruh manusia menganggap kami gila. Entah kegilaan seperti bagaimana bila sekadar terus mencari ujung perjuangan sebuah kehidupan? Sekalipun di laut. Sekalipun bersama amuknya. Amuk yang jika itu memang suatu ketika menyergap kemudian menyeret kami. Kami masih tiada henti mencari arah. Arah laut lepas. Arah sebagai akhir perjalanan kami. Arah yang tersebutkan pula sebagai akhir sebuah kepenatan maupun kepekatan dari pikiran kami.
***
Dalam sekian waktu perjalanan melaut ini, tiba saja tertampak sebuah perahu-perahu laut bersandar. Tertampak memang pada sebuah daratan. Entah itu semua perahu-perahu siapa yang bersandar di daratan itu. Entah itu daratan apa. Entah daratan dari kehidupan siapa pula. Sekalipun terlihat sebagai daratan yang terjorok dari arah lautan.
Kekasihku tersenyum kecil sambil sesekali sedikit tersedu-sedu sambil berucap.
”Inikah ujung dari sebuah arah laut lepas yang kita nanti-nantikan?”
”Tidak.”
”Apakah ini daratan baru dari sebuah negeri baru yang akan kita singgahi?”
”Bukan.”
”Kemudian berarti telah sampaikah kita pada titik akhir perjalanan ini karena telah terlihat daratan? Tidakkah kau lihat, gedung-gedungnya tampak begitu menjulang. Seperti sejajar dengan bukit-bukit di sekelilingnya.”
”Belum.”
***
Kami masih mencari arah laut lepas. Mencari dan mencari dalam kesabaran berpenuh kasih.Tersadari oleh kami di entah keberapa kalinya kami mesti memperhitungkan usia kami. Ah, sudahlah, betapa hidup ini hanya ketakutan saja bilamana di dalamnya kami mesti memperhitungkan seberapa lagi usia mesti berlanjut. Kami masih mengalir saja seperti tanpa perhentian.
Mengalir yang bagi kami seperti aliran di seluas—sedahsyat maupun sehebat betapa tak terukur dan terujung lautan—laut ini.
Hal belum kami sadari, ternyata kami yang senyata-nyatanya sampai detik ini, tidak menemukan sebuah akhir dari lautan ini. Sekalipun terjumpai Tanjung maupun Teluk yang telah berubah warna menjadi abu-abu di keselamaan perjalanan kami ketika melihat rupa daratannya. Daratan pucat. Entah kepucatan Tanjung maupun Teluk yang mana.
Meskipun suatu ketika kami menjumpai daratan itu lagi, jauh bagi kami untuk menyinggahinya. Buktinya kami masih di laut. Mencari ujung dari sebuah arah laut lepas. Bagi kami adalah akhir perjalanan kami. Mungkinkah? Rasanya jauh pula kami mesti memikirkannya.
Yogyakarta-Lampung-Jakarta, Juli 2008
Sepasang Kekasih yang Mencari Arah Laut Lepas
*)F. Moses
Terceritalah kisah sepasang kekasih yang entah kapan tepatnya bermulai melaut.
Dalam kesekian waktu yang seolah tak akan pernah berhenti dan memang tak berhenti dan di barangkali saja telah berlangsung berbulan-bulan bertahun-tahun berabad-abad dalam waktu yang tak pernah terasa kecuali bayangan serupa pagi serupa siang serupa petang serupa malam, kami masih berada di perahu cadik berkayu coklat yang semakin tua serta kusam juga masih kuat sekalipun cukup waktu lama bagi kayu perahu kami berdua melapuk, ini mencari tempat pulang.
Ya, asal kau tahu, kami memang belum pulang. Entah kapan kami berpulang. Dan apakah suatu keharusan bilamana kami mesti kembali pada daratan negeri kami dalam—yang bagi kami—kesementaraan kami masih di laut. Tidak.
Sekalipun perjalanan kami berdua menyusuri tiap arah laut menjadikan waktu seolah dan barangkali saja melumut hebat, kami masih di laut. Di laut tanpa kami takutkan berapa kali lagi usia kami mesti berlanjut. Kami seperti manusia tanpa usia. Seperti keberusiaan di sepanjang keberadaan alam ini ada. Demikianlah adanya kami.
Di waktu ini pula, ketika sempat kami mempersoalkan usia, kami menyebut usia kami sekitar 300-an tahun. Barangkali lebih. Meski demikian kami belum luput. Kami masih bersuka mencari mata angin. Mencari arah. Arah laut lepas; arah yang acap bagi kami seperti sejengkal menuju kebahagiaan. Dalam kesadaran kami, kebahagiaan tak akan pernah mengeriput.
Setidaknya begitulah cara kami memperoleh kebahagian: berpikir bahwa sejengkal pada jarak di depan adalah harapan kami. Semacam cara menguji perasaan maupun firasat kami terhadap waktu. Kira-kira. Begitulah.
Di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan. Percakapan yang seolah tak sebatas kata. Melainkan firasat dan rasa. Percakapan sepasang kekasih. Begitulah.
“Masih adakah tempat terakhir di laut ini sebelum kita memutuskan untuk segera berlabuh dari rasa letih?” kata kekasihku.
Sambil memandang ke arah laut lepas yang seperti hanya tertampak garis tipis di hadapan kami, dari katanya yang seolah dalam benak terdengar olehku, bahwa sepanjang kehidupan ini tak pernah terbesit kalau laut menyediakan sebuah akhir. Entah masih adakah akhir? Entah adakah. Entah adakah.
“Laut tak akan pernah menyediakan sebuah akhir. Sampai kapan pun,” kataku.
“Ehm…Ya. Barangkali karena itulah, karena laut sepertinya selalu dan memang tanpa akhir, aku begitu masih mempertanyakan apakah cintamu utuh padaku. Sekali lagi, apakah cintamu utuh dan sejati padaku seperti sepanjang, seluas, sehebat, bahkan sedahsyat laut ini yang senyata-nyatanya dalam kenyataannya tanpa akhir, kekasihku? Seberapa tahan kau mampu mempertahankan cintamu padaku? Sekali lagi, sementara laut ini memang tanpa akhir,” katanya membalas.
Dari ucap yang seperti menampakkan kegelisahannya terucapkan kembali.
“Lantas kau akan mengakhiri cintamu saat di laut yang benar-benar terakhir nantinya?”
Aku tak menjawabnya.
Katanya lagi, ”Jika demikian, kita seperti dan hanya mengemas cinta palsu saja di sepanjang mengarungi laut ini.”
Kami sama-sama terdiam. Kecuali, deburan ombak serta desiran angin yang semakin memperlihatkan kehebatannya. Kehebatan dari yang tak lagi sekadar berbisik. Sekalipun demikian, kami masih mengarungi di tengah hamparan laut luas ini.
Maka tersebutlah saat ini, kami sebagai sepasang kekasih yang masih tersibukkan mencari arah laut lepas untuk mengakhiri perjalanan ini, dalam kenyataan belum dipertemukan oleh akhir. Dan sepertinya memang tak akan pernah.
Seperti tadi terkatakan oleh kami bahwa di laut, terarungi oleh kami sejak puluhan tahun sampai hari ini, betapa kami semakin ternikmati oleh percakapan yang seolah tak sebatas kata-kata melainkan firasat dan rasa. Seperti firasat datangnya malam. Seperti rasa datangnya angin yang acap tak lagi sekadar berbisik.
Sesungguhnya tersebutlah pula kami sebagai sepasang kekasih yang tengah berlari dari negeri di daratan itu. Ya, negeri kami masa lalu. Sebuah negeri yang terakhir terketahui warnanya telah berubah menjadi abu-abu. Negeri abu-abu. Negeri mati warna.
Tentang negeri kami di masa lalu; sebuah negeri yang tak pernah beres serta berkesudahan kelimpungan dalam persoalan. Persoalan sebuah negeri yang tanpa hari bersekaligus tanpa mataharinya, tanpa bulannya bersekaligus tanpa gemerlap bintang gemintang disekelilingnya yang berisi daging persoalan. Persoalan yang semakin memanjakan negeri kami dalam kecengengan. Persoalan tindas-menindas sesama manusia. Mati kasih. Kira-kira terkatakan begitu.
Sekali lagi, atas nama kekacaubalauan negeri kami, kami berlapang dada meninggalkannya. Ketimbang mesti bermunafik. Betapa ironis hidup dalam kemunafikan.
***
Hampir semua manusia di negeri kami pernah menganggap kami gila. Semua mengatakan kami hidup dalam pelarian. Pelarian yang berlari dan untuk terus berlari seperti sepasang kekasih yang memang nyata-nyatanya kami adalah sepasang kekasih tengah mencari kehidupan baru. Demikianlah kami.
Kami masih dan akan selalu masih mencari arah laut lepas di semacam yang kira-kira pada akhirnya nanti adalah akhir perjalanan kami. Kami terus mencari ujung perjalanan ini tanpa henti. Tanpa keputusasaan. Mencari akhir. Sekali lagi, entah adakah akhir.
Segala persoalan di sini—di tengah hamparan cakrawala laut lepas bersama kecipak deburan ombak yang terkadang mengganas dan terkadang tidak, malam yang seolah seperti kesuraman. Apalagi bila hujan mengguyur deras perahu kami berdua—dalam keberduaan kami hadapi penuh kasih. Dalam keberduaan sepasang kekasih.
Kami seperti mempunyai kata-kata tersendiri terhadap alam. Barangkali itulah alasan mengapa sampai kini kami masih bertahan. Bukti kebertahanan yang sampai detik ini kami masih mencari arah di lautan. Arah laut lepas. Bukti kebertahanan sebagai sepasang kekasih.
Entah seberapa tahan pula kami mencari arah laut lepas. Laut lepas yang benar-benar terlepas dari awal dan tengahnya lautan ini.
Entah bagaimana pula kami mesti berpikir bahwa kepengetahuan kami tentang di titik awal mana ketika beranjak melaut. Juga entah titik tengah mana sebuah lautan. Dalam kenyataan, senyata-nyatanya, kami masih melaut sampai saat ini. Mencari akhir dari sebuah arah laut lepas tanpa henti.
Kami masih bertahan. Kecuali, bilamana di ujung laut ini nanti; sebuah akhir yang kami anggap terselesaikan dari kami melaut. Entah apakah ini kegilaan dalam beranggap?
Ya, sekalipun hampir seluruh manusia menganggap kami gila. Entah kegilaan seperti bagaimana bila sekadar terus mencari ujung perjuangan sebuah kehidupan? Sekalipun di laut. Sekalipun bersama amuknya. Amuk yang jika itu memang suatu ketika menyergap kemudian menyeret kami. Kami masih tiada henti mencari arah. Arah laut lepas. Arah sebagai akhir perjalanan kami. Arah yang tersebutkan pula sebagai akhir sebuah kepenatan maupun kepekatan dari pikiran kami.
***
Dalam sekian waktu perjalanan melaut ini, tiba saja tertampak sebuah perahu-perahu laut bersandar. Tertampak memang pada sebuah daratan. Entah itu semua perahu-perahu siapa yang bersandar di daratan itu. Entah itu daratan apa. Entah daratan dari kehidupan siapa pula. Sekalipun terlihat sebagai daratan yang terjorok dari arah lautan.
Kekasihku tersenyum kecil sambil sesekali sedikit tersedu-sedu sambil berucap.
”Inikah ujung dari sebuah arah laut lepas yang kita nanti-nantikan?”
”Tidak.”
”Apakah ini daratan baru dari sebuah negeri baru yang akan kita singgahi?”
”Bukan.”
”Kemudian berarti telah sampaikah kita pada titik akhir perjalanan ini karena telah terlihat daratan? Tidakkah kau lihat, gedung-gedungnya tampak begitu menjulang. Seperti sejajar dengan bukit-bukit di sekelilingnya.”
”Belum.”
***
Kami masih mencari arah laut lepas. Mencari dan mencari dalam kesabaran berpenuh kasih.Tersadari oleh kami di entah keberapa kalinya kami mesti memperhitungkan usia kami. Ah, sudahlah, betapa hidup ini hanya ketakutan saja bilamana di dalamnya kami mesti memperhitungkan seberapa lagi usia mesti berlanjut. Kami masih mengalir saja seperti tanpa perhentian.
Mengalir yang bagi kami seperti aliran di seluas—sedahsyat maupun sehebat betapa tak terukur dan terujung lautan—laut ini.
Hal belum kami sadari, ternyata kami yang senyata-nyatanya sampai detik ini, tidak menemukan sebuah akhir dari lautan ini. Sekalipun terjumpai Tanjung maupun Teluk yang telah berubah warna menjadi abu-abu di keselamaan perjalanan kami ketika melihat rupa daratannya. Daratan pucat. Entah kepucatan Tanjung maupun Teluk yang mana.
Meskipun suatu ketika kami menjumpai daratan itu lagi, jauh bagi kami untuk menyinggahinya. Buktinya kami masih di laut. Mencari ujung dari sebuah arah laut lepas. Bagi kami adalah akhir perjalanan kami. Mungkinkah? Rasanya jauh pula kami mesti memikirkannya.
Yogyakarta-Lampung-Jakarta, Juli 2008