Belum mereda imbas “perang sastra” antara Taufiq Ismail dan Hudan Hidayat tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”, kini dunia sastra Indonesia mutakhir kembali menabuh genderang perang antara kubu Boemipoetra dan Teater Utan Kayu (TUK). Kubu Boemipoetra yang dikomandani oleh Saut Situmorang (SS) sangat agresif menyerang kubu TUK yang digawangi oleh Goenawan Muhammad (GM). Dengan nada “provokatif”, penyair eksentrik itu bilang bahwa TUK adalah agen imperialisme Liberalisme-Kapitalisme, terutama Amerika Serikat, dalam jagat sastra Indonesia, lewat program-program sastranya. Mudahnya akses bagi orang-orang TUK dan sekutunya ke program-program di Amerika Serikat, seperti program menulis Iowa itu, misalnya, sementara orang-orang yang non-TUK ditolak visa mereka oleh Kedutaan Amerika Serikat, adalah bukti nyata. (Wawancara dengan Saut Situmorang selengkapnya bisa di baca di sini.)
Mendapatkan serangan gencar dan bertubi-tubi semacam itu, GM bersama TUK agaknya memilih bersikap defensif dan membiarkan Saut Situmorang (SS) bersama Boemipoetra-nya “menari-nari” di tengah irama genderang perang yang ditabuhnya sendiri. Munculnya perseteruan semacam itu agaknya mengulang “mitos” lama tentang munculnya dua kubu sastrawan yang tak kan pernah bertemu dalam satu titik kebersamaan. Kita belum bisa melupakan “perang” antara kubu Lekra dan Manikebu (tahun ’50-an?), heboh sastra tentang cerpen Ki Pandji Kusmin (tahun ’60-an?), antara sastra universal dan sastra kontekstual (tahun ’80-an) –sekadar untuk menyebut beberapa kasus). Walah, kenapa setiap perbedaan paham mesti dilanjutkan dengan “perang”, ya? Tidak adakah ruang yang tepat untuk duduk dalam satu meja, untuk kemudian saling memahami posisinya masing-masing, tanpa harus saling mengklaim diri sebagai satu-satunya kubu yang mengusung kebenaran?
Ketika “perang” tersulut, seringkali ada pihak yang harus menjadi tumbal dan korban seperti tamsil “Gajah berperang melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah”. Lantas, siapakah “pelanduk” yang harus menjadi korban di tengah “perang” sastra itu? Menurut hemat saya, tumbal dan korbannya adalah rakyat! Loh, apa hubungannya? Secara langsung tidak ada memang. Namun, jika kita cermati, sastra seharusnya mampu mengantarkan “tahta untuk rakyat”. Lantaran sibuk “berperang”, sastrawan seringkali melupakan rakyat yang seharusnya menjadi subjek dalam teks-teks sastra mereka.
Berangkat dari pemikiran Paulo Freire, maka rakyat sebagai sumber ilham kreativitas susastra menjadi sangat relevan dalam upayanya memberikan pencerahan kondisi zaman. Freire bilang bahwa rakyat mestinya tidak hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, melainkan justru sebagai subjek. Dengan bahasa lain, bisa dikatakan bahwa susatra tidak hanya berbicara tentang dan untuk rakyat, tetapi juga berbicara dengan mereka. Himpitan zaman yang mencekik rakyat, kemiskinan yang nyaris mengeringkan sumsum tulang, kebodohan yang merupakan sumber merajalelanya penipuan dan manipulasi, otoritas penguasa yang cenderung “memuaskan kebuasan hati” (pinjam istilah almarhum Satyagraha Hoerip) serta kebobrokan fatalis lainnya merupakan kondisi yang seharusnya diakrabi oleh para sastrawan.
Nah, apakah kalau sastra sudah gamblang-gamblangnya melabrak kemiskinan dan kebodohan masyarakat jadi terentas dari kebobrokan? Secara langsung tidak memang. Namun, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat (pembaca) mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia dan kemanusiaan. Sastrawan pengarang novel Warisan yang berwarna lokal Minangkabau sekaligus pencetus konsep Sastra sebagai human control ini juga mengatakan bahwa sastra menjadi mustahil tanpa ada persoalan manusia yang disentuhnya. Oleh sebab itu, betapapun sebuah karya sastra bergelimang dengan tebaran estetika yang mengharubiru sanubari, tanpa ada persoalan humani yang disentuhnya, ia tak kan bermakna apa-apa dalam benak pembaca. Karya sastra hanya akan melambungkan khayal yang muluk-muluk tanpa ada koherensi makna kemanusiaan yang diluncurkannya. Padahal, menurut A. Teeuw, karya sastra merupakan a unified whole, yakni dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna dengan dunia otonom yang minta untuk dinikmati demi dirinya sendiri sebagai aspek terpenting.
“Tahta untuk rakyat” sebenarnya telah dirintis sejak zaman pujangga besar Ronggowarsito dengan serat Kalatidha-nya yang melukiskan bobroknya moral para pejabat Jawa di masyarakat Surakarta Hadiningrat. Dus, masalah sosial dalam sastra sebenarnya telah mengusik kegelisahan pujangga zaman kerajaan yang dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan terhadap kondisi zaman yang penuh dengan ulah dan tingkah kemunafikan.
Bagi para sastrawan yang menghamba pada “Dewa Estetika”, boleh jadi berang dengan luncuran-luncuran konsep semacam itu. Akan tetapi, mengingat bahwa susastra sebagai sebuah unicum yang hadir dengan kemandirian persepsi masing-masing sastrawannya, maka konsep-konsep tersebut justru menjadi sah adanya. Bahkan, dengan adanya beragam persepsi yang majemuk sanggup menjadikan rimba sastra kita semakin kaya dan semarak. Sastra dengan kondisi yang pluralis justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun muatan isinya. Biarlah masing-masing kubu sastrawan berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya.
Nah, daripada sibuk “berperang”, lebih baik kita merangkul rakyat untuk bersama-sama membangun sebuah peradaban yang santun, beradab, berbudaya, dan bermartabat lewat teks-teks sastra yang “liar” dan mencengangkan. Nah, bagaimana? ***
Wah, peperangan yang menarik ini.
Sepertinya perang ini sudah terjadi dari dulu ya pak? Dan terus berulang di setiap jaman.
danalingga’s last blog post..Pekerja LSM
oOo
Kayaknya memang sudah “kodrat”-nya barangkali mas dana. “perang” semacam itu hampir selalu ada pada setiap angkatan dan generasi.
Huh, hal-hal yang ter-libat dengan dunia seni yang notabene me-wakili-in ke-indah-an secara general aja di-ribut-kan, bahkan oleh mereka-mereka yang ngaku-nya pelaku itu sendiri 😕 . Untuk apa sih?
Bukan-nya pada akhir-nya itu se-harus-nya men-jadi karya seni yang indah yang bisa di-nikmati oleh kita semua? Ada-ada saja yaks Pak Guru…
extremusmilitis’s last blog post..Aku Sayang Keluarga-ku
oOo
itulah ironisnya bung militis. sastra ternyata bisa juga menjadi sumber “peperangan”, yak. Tapi perang dalam sastra memang bukan perang fisik, melainkan perang aliran, paham, wacana, atau pada tataran ide.
Sepertinya bagi yang menginginkan ‘perang’, menurut mereka itu cara membangun peradaban dengan ideologi mereka yang menang dan akhirnya dipakai. Ckckckk…
Goenawan Lee’s last blog post..Aku ingin kamu merasakan…
oOo
bisa jadi begitu, mas gun. repotnya, kalau kubu yang belum tentu benar, ternyata justru malah banyak pengikutnya, hiks.
ya ternyata perang ego perpecahan tidak mengenal bidang ya pak 🙂
Seharusnya sastra dan seni itu menentramkan bukan menanamkan permusuhan 😐
dobelden’s last blog post..Si Mbak Bakul Nasi
oOo
bener sekali mas dobelden. sastra mestinya bisa saling berdamai meski berbeda paham. tapi begitulah kenyataannya, mas. sastra pun tak beda jauh dengan bidang yang lain. suka mengklaim bahwa pendapat sendiri atau kelompoknyalah yang paling benar.
Walah…
barangkali diantara dua kubu perlu sebuah acara kenalan dulu kali pak
Goop’s last blog post..Kenalan
oOo
Walah, pakek kendalan dulu segala. habis itu terus pasang kuda2 untuk menerapkan jurus tahap berikutnya, yak, mas goop. hayah!
Kok pada bagian awal cara menulisnya pak sawali seperti reporter pertandingan sepak bola sich? cara nulis baru nich. Dapat ilmu baru lagi dech
Hair’s last blog post..Domain Baru
oOo
Walah, mas hair ini kok ada2 aja sih, hiks. karena ada serangan, gawang, dan defensif itu, yak, jadi seperti kayak reporter sepak bola, hehehehe 😆
Jan-jane soal ideologi, ego, atau sekedar rebutan sesuap nasi to Pak? Ora mudheng aku.
Dee’s last blog post..Bayi dan Ransel Hitam
oOo
Walah, saya kira bukan semata-mata sesuap nasi kok, mas nudee. ada beberapa alasan yang membuat mereka berseteru. yang paling agresif adalah saut situmorang dengan boemipoetranya. sasaran serangannya jelas TUK, khususnya GM, yang dianggap telah menjadi “antek” imperialisme AS.
Melawan sastra dg sastra. wah, ini sih masih lebih baik daripada perang pisik. konsep sastra tak melulu pada estetika dan aturan baku. dah bukan jamannya. Faktanya banyak susastra yg tak mewakili kelompok manapun, tapi beraliran baru dan jauh dari estetetika. tapi biasanya malah lebih menarik.
rizki’s last blog post..PC Media AntiVirus (PCMAV) RC24 Update Build1: Virus XPower
oOo
Yup, “perang” sastra pada tahapan ini memang dipicu oleh perbedaan paham alias aliran, mas riziq. Utk dinamika sastra sih ndak masalah, cuman kalo ribut mlulu, akhirnya sastra justru makin jauh dari esensinya untuk mengangkat persoalan-persoalan rakyat dan kerakyatan.
Setuju, kita sama-sama membangun peradaban yang santu, berada, berbudaya, dan bermartabat. Lalu kira-kira, sastra macam mana yang lebih sesuai Pak? Apakah diantara pihak yang berperang sastra itu ada yang sesuai dengan cita-cita kita? Untuk menuju Indonesia yang maju dan sejahtera.
Iwan Awaludin’s last blog post..Catatan Nikmat Ke-10: Diskon
oOo
Sulit untuk membedakan mana yang sesuai dengan cita2 kita dan mana yang tidak, Pak Iwan. Masing2 kubu punya argumen yang sama-sama kuat. secara pribadi, saya lebih bagus netral ajah, pak. kalo memang mau bikin teks sastra, yup, tek sastra yang bermakna bagi kepentingan rakyat, hehehehe 😆 *sok tahu ya pak?*
Nuwun sewu pak! Jangan sampai genderang perang yang ditabuh oleh pak saut di dunia sastra merembet lebih jauh ke dunia blog.. takutnya nanti ada pertempuran yang sengit antara “Blog Serius” dengan “Blog Iseng” hahahahahahahaha…
Dan jangan sampe saya menjadi bagian yang menyulut peperangan itu.. wakakakakakakkak..
Naudzubillah..
Selam di dunia bloger ada hakim yang bijaksana selevel pak sawali, Insya Allah blogosphere aman dan damai.. Amin Allahumma Amin..
gempur’s last blog post..Political Will untuk Petani?
oOo
Loh, emang ada blog yang serius dan blog iseng ya, pak? jadi pingin tahu, blog yang serius tuh yang kayak apa? Lalu, blog yang iseng ituh yang bagaimana? hahahahaha 😆 emang pak gempur punya bakat untuk menjadi penyulut peperangan di dunia blogsphere ya pak? BTW, kok makin ndak ngerti, pak, hakim? weleh, makanan apa itu, pak? jadi makin ndak ngerti sayah!
Perdebatan itu mengulang perseteruan lama antara seni bertendens dengan seni untuk seni.. tul gak pak?
Saya kira, melihat pandangan bapak, bapak merupakan bagian dari seni bertendens, selama tidak bertendensi politik khan pak? hehheheehe.. maksudnya, untuk membangun peradaban yang lebih memihak rakyat, bukan begitu? Kalo iya, saya do’akan rakyat yang bapak perjuangkan benar-benar rakyat yang sbenarnya.. Amin Allahumma Amin…
gempur’s last blog post..Political Will untuk Petani?
oOo
bener sekali pak gempur. perdebatan klasik semacam itu agaknya akan terus berulang pada setiap generasi. BTW, sastra bertendens? hiks menurut hemat saya sih mestinya karya sastrawan harus selalu memihak pada rakyat. saya sendiri juga ndak tahu, pak, apakah cerpen2 tak bermutu yang saya buat termasuk memihak rakyat atau tidak, hehehehe 😆
pak sawali kudu jadi mediator nih, biar yang ‘perang’ itu bisa duduk bareng, berbincang bareng, ngopi bareng, jangan saling tuding dari jauh sembari menebar syak wasangka…
tan’s last blog post..Belalang dan Anjing
oOo
walah, emangnya saya bisa apaan, mas andalas? hiks jangankan jadi mediator, kenal mereka juga ndak begitu akrab, hehehehehe 😆
ya ampun…yang kayak beginian kok diributin sih?? 😕
cK’s last blog post..Wajar Kalau Jakarta Banjir
oOo
Begitulah, Mbak Chika! Kayak ndak ada kerjaan ajah, hiks.
Saya dak bisa komen apa-apa… hanya bisa sekedar absen saja… 😐
suandana’s last blog post..terkadang?
oOo
Gpp, pak adit. walah, ndak harus absen kok, kayak sekolah aja, hiks 😆 cukup fast-reading juga udah seneng kok, hehehehehe 😆
Walah … Perang perang perang … Di mana-mana orang-orang pada perang. Saya makin lama makin capek. Apalagi kalo udah perang sama orang dungu, yang lebih suka meng-ad hominem pribadi daripada mematahkan argumen lawan.
STR’s last blog post..Catatan Hari Ini: Tumpang Tindih Pembangunan
Aduh…. Pak Sawali….. saya jadi binun nih….. kok sastra ini sepertinya dipolitisasi juga ya?? Perang sih boleh aja…. tapi ya… perang yang sehat…. menuju kemajuan sastra seutuhnya bukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok sastrawan tertentu….
Yari NK’s last blog post..GSM vs CDMA: Adu Murah, Tapi Siapa Yang Paling Murah?
oOo
“perang” dalam sunia sastra itu dah hampir selalu terjadi pada setiap angkatan, bung yari. bisa jadi dah jadi kodrtnya, hehehehe 😆 tapi hanya sebatas perang perbedaan paham dan aliran kok, ndak sampai perang fisik, hiks
Yup, ini salah satu jenis perang yang menurut saya malah kontraproduktif terhadap tujuan dari sastra itu sendiri. Dan selalu saja terbentuk kubu-kubu yang saling berlawanan dan mengedepankan perbedaan sebagai pembatas antara “sastra sini” dan “sastra sono”.
Saya salah satu penggemar karya GG Marquez, karena karya-karya selalu mendobrak suatu kebobrokan sosial yang ada di masyarakat, khususnya di Amerika Latin. Sastra dapat menjadi senjata untuk melakukan perlawanan politis keberpihakan pada kaum yang tertindas, tentunya tanpa kehilangan sentuhan keindahan. Dan itu sebenarnya lebih efektif daripada perang-perangan nggak jelas antara para sastrawan.
fertob’s last blog post..Defensif
oOo
wah, salut nih, bung fertob, penggemar teks2 cerpennya marquez yang sering mengangkat tema2 peradaban yang sakit di amreika latin. mestinya sastra bisa menjalankan fungsi semacam itu bung seperti yang dikatakan seno gumira. kalau pers dibungkam, sastralah nyang berbicara. *halah sok tahu, yak* ketika pers gampang dibeli oleh kaum kapitalis, sastra mestinya bisa melakukan mitos pembebasan agar peradaban yang terbangun menjadi lebih terhormat dan bermartabat.
Sampeyan ikut kubu yang mana, Pak?
Kombor’s last blog post..Kurang 5,4 Dolar Lagi
oOo
walah, aku ndak ikut ke mana-mana kok mas arief. kubu2an semacam itu seringkali justru menjadi belenggu utk menciptakan teks2 yang lebih bebas dan merdeka. kalau masuk ke kubu tertentu, seringkali napas teks sastranya mesti mengikuti alur dan gaya aliran yang dianutnya. jadi, ndak bisa bebas lagi, kan? hehehehehehe 😆
seni seperti juga sastra adalah ‘peluru berbalut madu’ ketika ketinggian ilmu kedalaman pengetahuan hanyalah sebuah kedok bagi ‘kepentingan’ 👿
saya setuju dengan imbauan Pak Guru untuk merangkul rakyat membangun peradaban yang santun, beradab, berbudaya, dan bermartabat lewat karya sastra
dan yang penting adalah pembebasan & pemerdekaan manusia lewat pengkajian jati diri manusia, dalam bahasa-bahasa sastra yang liar, mencengangkan 😈
tomy’s last blog post..Orang Muda, siapkan dirimu..!!
ooo
yup, makasih pak tomy. daripada berdebat kan lebih baik melahirkan teks sastra yang menjadikan rakyat sebagai subjek.
Matinya sebuah bangsa
http://www.duniasastra.com
Kulihat bangsaku perlahan telah mati nuraninya, karena lapar saling menyikut dan menindas…siapa cepat dan kuat dialah pemenangnya…
Aku tertegun dan terpana semua ingin diraih, tak pernah ada kata puas….seakan yang hidup bergabung dengan yang mati demi sebuah ambisi.
Aku menyaksikan wajah-wajah yang tak kenal rasa malu, yang menutupi matanya dengan debu-debu emas yang memantulkan gemerlap cahaya teplok- airmata derita .
Kulihat pula derai tawa – tak berdosa sembunyikan tangis bayi dari bilik kardus bawah kolong jembatan; suara tangisan yang mengharap susu manis dari kedua tetek kering ibunya, tarikan nafas kegetiran yang menanti matangnya bebatuan didalam kuali ; serta Jeritan nafas kemiskinan yang membuat seorang ibu tega meletakkan anaknya dalam kardus- tepi sungai.
Tak ada bedanya aku, kamu dan mereka…karena nuranilah kita berbeda- karena kejujuranlah kita jadi mulia. sadarkah engkau bahwa orang mulia sekalipun-tak jarang dari mereka adalah keturunan darah penjahat !.
Aku muak dengan kapitalis karena ia merupakan raksasa tak berkaki serta berotak anak ayam, jelmaan lintah yang tak pernah kenyang. Aku; kamu; dan mereka semua; bayi-bayi ini, serta para pewaris bangsa…mereka adalah para pewaris yang terpasung dan terkekang, karena kemiskinan telah merantai tangan-tangan dan tubuh mereka dalam belenggu kebodohan.
Aku bukanlah seorang provokator, atau anarkis bukan pula komunis, aku mengajarkan kepada mereka tentang Tuhan, dan ketika mereka marah meradang , aku redam mereka dengan akal dan nurani, Aku seorang motivator , sekaligus orang yang terpasung, roda-roda kehidupan kudapati berlawanan arah denganku, ia melindas dengan angkuh setiap benih yang kutanam dan hendak bertunas.
Dan aku melihat disana, dibalik tumpukan sampah ada budak sedang tertidur , aku tak ingin membangunkan dia kalau-kalau ia sedang memimpikan “kebebasan.”
Bila ia telah terbangun akan aku jelaskan tentang arti kebebasan kepadanya.
Tapi aku juga mencintai para budak itu, seperti cintaku pada kebebasan, sebab mereka mengecup dengan mata tertutup taring binatang buas dalam hening ketidaktahuan, tanpa tahu senyum maut yang menunggu, dan tak pernah menyadari, sedang menggali kuburan dengan tangan mereka sendiri.
kehidupan berbangsa laksana sebuah kursi singgasana, bila rusak atau patah sebagian maka pincanglah sebuah bangsa.
Dan Matilah sebuah bangsa bila hukum dapat dibeli dengan uang, serta para pemikirnya membiarkan kebohongan sedangkan ia mengetahuinya -kemudian karena sesuatu hal ia hanya diam terpaku , lalu menyerah dalam kubangan belenggu yang bernama kekuasaan.
Hartono Beny Hidayat In Elaboration with KG
makasih banget esainya yang sangat menarik ini, mas beny. salam budaya!
:d Bahkan dalam sastrapun ada perang juga. Hi Hi Hi. Nafsu berkelahi manusia agaknya memang selalu ada di semua ruang dan semua waktu. 😕
Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Lupa Password Winforce(r)
begitulah yang terjadi, mas love.