Seni Ketoprak di Kendal “Mati Suri”?

Sabtu, 14 Mei 2011 (pukul 19.00 s.d. selesai), saya berkesempatan mengikuti dua event kesenian dan kebudayaan sekaligus, yakni Musikalisasi Puisi “Kata Hati” dari Komunitas Sorlem (Dewan Kesenian Kota Tegal) dalam rangka memeriahkan Parade Teater 2011 yang digelar oleh Teater Semut, Kendal, di Balai Kesenian Remaja (belakang GOR Bahureksa) dan diskusi rutin Sabtu Pahingan dengan mengangkat tema “Matinya Seni Ketoprak di Kendal” di halaman rumah dinas Bupati Kendal yang digelar oleh Komunitas Kantung-Kantung Budaya Kendal (K3BK). Sayangnya, saya tidak bisa menikmati dua event sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Ketika musikalisasi puisi digelar, saya ketemu dengan Mas Heri Candra Santosa (penggiat seni Lereng Medini, Boja, Kendal) yang kebetulan juga mendapatkan undangan yang sama. Karena dua event ini ingin sama-sama bisa kami ikuti, akhirnya kami berdua sepakat bagi-bagi waktu. Kami segera meluncur ke halaman rumah dinas Bupati, meski acara musikalisasi puisi baru mementaskan dua puisi.

diskusidiskusidiskusidiskusidiskusidiskusi
 
Ketika tiba ke lokasi, acara sudah dimulai dengan acara pembuka, yakni tari tradisional khas “Kendal Beribadat”. Sebelum diskusi dimulai, kami masih bisa menikmati tari kreasi baru “nuri”, tari “gambyong”, musik kolaborasi gamelan dan perkusi oleh siswa PMS Patebon, dan simulasi pendek adegan “ketoprak”. Hmm … sebuah suguhan pembuka yang cukup menarik dan menghibur di tengah gerusan seni modern yang terus mengalir deras di tengah-tengah kehidupan masyarakat Kendal.

Usai acara pembuka, diskusi Sabtu Pahingan yang dihadiri sekitar 50-an audiens itu pun segera digelar dengan diawali sambutan Sekda Kendal, Bambang Dwiyono, mewakili Bupati Kendal yang berhalangan hadir. Dalam sambutannya, Bambang Dwiyono mengungkapkan bahwa pemerintah Kendal berusaha serius untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisi. Bahkan, dalam memeriahkan Hari Jadi Kabupaten Kendal, bupati akan memerankan lakon “Srikandi Senopati” dalam event Parade Budaya. Ditambahkan juga bahwa pemerintah juga berusaha menjalin kerja sama dengan Dewan Kesenian Kendal (DK-2) untuk memajukan seni-budaya yang hidup dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat Kendal.

Acara diskusi yang juga dihari oleh Ketua Dewan Kesenian Kendal, Itos Budi Santosa, wartawan, dan pencinta seni pun segera dimulai setelah Sekda Kendal turun dari “panggung”. Gembong, staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Kendal, yang bertindak sebagai moderator segera mendaulat Sonni Wisnumurti (pelaku seni Ketoprak Bahureksa Kendal), Kelana (penikmat seni ketoprak), dan Sukirno (pengamat seni ketoprak dari Semarang) untuk menyampaikan materi diskusi. Ketiga pembicara secara garis besar mengungkapkan bahwa seni ketoprak di Kendal sebenarnya belum mati, tetapi nasibnya seperti “kerakap tumbuh di atas batu” (hidup segan mati pun tak mau). Bahkan, Sonni Wisnumurti dengan lantang mengungkapkan bahwa semangat para pelaku seni ketoprak di Kendal belum mati.

“Para pelaku seni ketoprak di Kendal sebenarnya belum mati. Meski sudah jarang bermain di Kendal, kami masih digunakan daerah-daerah lain untuk pentas. Kudus, Pati, Juwana, Rembang, atau Grobogan masih sering mengundang kami untuk main. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, dalam festival Ketoprak di Surakarta, kami masih bisa meraih predikat sebagai juara ketiga. Yang membanggakan, pemain kami juga berhasil meraih predikat sebagai pemain putri terbaik tingkat Jawa Tengah,” ujarnya disambut aplaus meriah audiens yang hadir.

Dalam diskusi itu, Kelana yang juga penggiat K3BK, mengungkapkan kenangannya ketika pertunjukan ketoprak masih disukai penonton. “Tapi bukan di Kendal, melainkan di daerah lain,” kelakarnya. “Namun, sekarang pertunjukan ketoprak (nyaris) langka untuk bisa disaksikan,” lanjutnya sekaligus mengusulkan agar acara Sabtu Pahingan digelar di halaman rumah dinas bupati. “Saya tidak tahu, kalau digelar di sini kok yang datang lebih banyak daripada biasanya,” tegasnya.

Sementara itu, Sukirna, dalam diskusi itu lebih banyak memaparkan tentang kondisi Indonesia yang makin kehilangan nilai kegotongroyongan dan nilai-nilai kolektivitas. “Lihat saja dunia olahraga kita. Hampir semua cabang olahraga yang melibatkan banyak orang pasti keok, sepakbola, misalnya. Demikian juga dengan cabang seni, termasuk ketoprak. Menonjolnya nilai-nilai individualistis telah ikut memengaruhi lesunya seni ketoprak. Saya menduga, ada negara lain yang sengaja ingin menghancurkan nilai-nilai kegotongroyongan di negeri ini untuk kepentingan negara mereka,” ujarnya.

Usai ketiga narasumber menyampaikan materi, giliran audiens yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan komentar dan tanggapan. Diskusi yang hanya menampilkan satu termin dengan lima penanggap (Sekda Kendal, Itos Budi Santosa, Sawali Tuhusetya, Heri Candra Santosa, dan Slamet Priyatin), secara garis besar mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib seni ketoprak di Kendal yang “mati suri”. Menyikapi situasi seperti itu, diperlukan upaya serius agar seni ketoprak kembali “hidup” dan eksis. Slamet Priyatin, misalnya, mengusulkan agar pementasan ketoprak dipentaskan dari kecamatan ke kecamatan. Dengan cara demikian, ketoprak akan makin dikenal dan dicintai masyarakat. Tak hanya itu, saya juga mengusulkan agar ketoprak bisa dipentaskan ke sekolah-sekolah sebagai “strategi kebudayaan” untuk memperkenalkan produk seni dan budaya tradisional yang selama ini (nyaris) tenggelam akibat gerusan seni global kepada generasi muda.

Saya tak tahu persis apakah usulan dan rekomendasi yang mengemuka dalam diskusi itu ada tindak-lanjutnya atau tidak. Namun, yang jelas, diskusi malam itu setidaknya mampu menyentil “kesadaran budaya” segenap audiens bahwa Kendal yang kaya akan seni tradisi perlu melakukan revitalisasi serius terhadap seni ketoprak sebagai salah satu kekayaan budaya yang sarat akan nilai-nilai kearifan lokal. ***

51 Comments

  1. sepertinya hal sejenis terjadi merata di negeri ini. sekalipun bukan pegiat kesenian, saya pun merasa sudah sangat sulit menemukan jenis² seni budaya tertentu dari asal saya. bahkan konon katanya, beberapa sudah punah. entahlah… 🙁

  2. (Maaf) izin mengamankan KEDUAX dulu. Boleh, kan?!
    Kalau di Pati seni ketoprak masih lumayan bisa bertahan, Pak. Di kecamatan saya saja ada satu grup, sdedangkan di kecamatan sebelah malah masih eksis tiga grup.

  3. Dulu, duluuu sekali Papa sering ngajakin nonton ketoprak di TV…tapi karena dulu bahasa Jawanya kan agak gak familiar gitu jadi cerewet nanya apa maksudnya dsb. Tapi, melihat ketoprak secara langsung saya belum pernah….kalau Ludruk saya masih pernah…

    Pergeseran budaya sekarang semua jadi sedikit tergilas oleh modernisasi yang nggak selalu berdampak baik….Ketoprak dan diskusi. Papa saya bilang kalau mereka itu dalam pelakonannya membahas keadaan suatu negara….

    • wah, salut sekali dengan upaya sang papa utk mengakrabkannya pada seni ketoprak, meski hanya sebatas lewat tayangan TV. semoga ini bisa menjadi salah satu cara utk ikut menumbuhkembangkan seni ketoprak.

  4. sekarang sudah jarang sekali liat ketoprak dan wayang. terakhir liat ketoprak waktu acara 17 an di daerah ketep. sekarang orang-orang lebih suka nanggap dangdut dan organ tunggal dari pada ketoprak dan wayang. padahal ketoprak dan wayang memiliki nilai historis dan pesan moral yang sangat bagus. semoga grup ketoprak dan wayang bisa bangkit lagi karena itu adalah ciri khas masyarakat jawa.

    • itulah yang membuat keprihatinan para penikmat dan pencinta seni tradisi, mas ardian. mudah2an kesadaran kolektif utk membangkitkan dan menghidupkan kembali seni tradisi mulai tumbuh dari berbagai kalangan.

      • supaya menarik mungkin penampilan ketoprak harus dipermak sedemikian ruapa sehingga anak-anak muda jaman sekarang menjadi tertarik…

      • mungkin penampilan ketoprak harus dipermak pak biar menarik kaum muda sekarang

  5. Seni sebongso ketoprak, grup kroncong dll kuwi muncule soko ati Pak…
    Dan itu muncul secara alami, koyo wit2an sing thukul dhewe.
    Nek kethoprak sing dibentuk berdasar kelembagaan koyoto ketoprake RRI, ketoprake Pemda dan ketoprak kantoran yo mesti ra pati awet lan usum2an.
    Nek ganti bos biasane bubar jalan.
    Wani kethok2an driji…
    (drijine tonggone)

    • Dan kesenian jenis ini biasane wis nduwe wilayah dewe2, ora sembarang kabupaten ono…
      Saupomo ono yo cuman ono2nan.
      Nek ning Pati, daerahe Mas Alamendah aku percoyo, mergo wiwit aku cilik, nek ono wong nduwe gawe mesti manggil ketoprak ko Pati.
      Mbiyen sing paling ngetop jenenge Kembang Joyo
      Jathilan yo ngono, wilayahe sekitar Jogja.
      Upomo Kendal ono, pasti sak gebyaran thoke…

      • Iki ora pesimis lho Pak…
        Sopo ngerti pengamatanku salah…
        Sopo ngerti suk nek wong Kudus opo wong Grobogan mantu nanggap ketoprak ko Kendal

  6. Ya semoga usulan yang muncul ada tindak lanjutnya ya Pak Sawali,
    jangan sampai nanti kita terkaget-kaget, ketika kemudian ketoprak giat dipelajari orang Jerman … sementara anak-anak daerahnya sendiri nggak tahu apa-apa

    • itulah yang kita harapkan, mas cayo. semoga diskusi tak hanya sekadar melontarkan wacana, tetapi bener2 ada follow-up-nya.

  7. Setuju untuk menghidupkan lagi kesenian tradisional Ketoprak. Mungkin diperlukan sentuhan khusus pak, agar kemasannya menarik dan sesuai dengan perkembangan jaman.

    Salam

    • setuju, pak, dalam diskusi itu juga dibahas upaya pembaharuan ketoprak agar lebih inovatif dan sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

  8. Setuju dihidupkan lagi kesenian Ketoprak, mungkin dengan sentuhan khusus pak, agar menarik dan sesuai ombyaking jaman …

    Salam

  9. kalau sebuah komunitas sudah tidak memiliki atau melestarikan budaya, pastilah pariwisata mlempem pak, di semarang juga masi mati suri juga pak, sedang berusaha dihidupkan lagi ini… mohon petunjuknya…

    • wah, antara pariwisata dan kebudayaan memang saling mendukung, mas sriyono. semoga semarang-kendal suatu ketika menjadi dua kota bertetangga yang memiliki kepedulian yang sama utk menghidupkan kembali seni2 tradisi, termasuk ketoprak.

  10. Halo Mas Sawali,
    Mudah2an Pemda setempat atau pihak2 lainnya dapat membantu agar Ketoprak di Kendal tetap exist.

  11. Nah itu dia, pementasan ke sekolah2, dimana sekarang generasi anak sekolahan lebih melirik gaya techno tanpa melandasinya dengan budaya. Kalau tak begini, semua nya hilang begitu saja

  12. alhamdulillah di sekitar rumah saya di ponorogo,, pemudanya masih senang bermain Reog waktu bulan purnama,,

    salam kenal pak, saya dari ponorogo

  13. oh iya bener pak.. kearifan lokal sudah banyak yang tertinggal dan bahkan terlupakan begitu saja.. saya juga sering lupa klo mau posting ini di Surabaya.. trims tulisannya menginspirasi pak..

  14. DM

    Apakah sejak dulu pemerintah Kabutapaten Kendal memang selalu responsif terhadap geliat kesenian di Kendal, Pak Sawali? Artinya, kalau masyarakat, pegiat seni, dan pemerintah daerah bisa bersinergi, kesenian-kesenian yang tumbuh mengakar di masyarakat sepertinya tak perlu khawatir punah. Sepertinya…

  15. sampai kapan kesenian tradisional bertahan? atau harus tranformasi ke wujud baru?

  16. Biar generasi muda gini saya penyuka hiburan2 jawa, macam ketoprak, ludruk dan lagu² keroncong sayangnya hal tersebut jarang di ekspos di media televisi dimana saya tiap harinya sering pelototin hehee….harus ada generasi penerusnya nih pak biar gak mati beneran

  17. met pagi.. good share about budaya Indonesia .. smoga budaya2 asli spt ketoprak bisa tetap exist ya. salam.

  18. memang untuk seni-seni seperti itu harus tetap dilestarikan terus,,,

  19. terus pertahankan dan lestarikan budaya budaya bangsa indonesia,,,
    jangan sampai ada lagi budaya kita di culik oleh bangsa lain.

  20. wah klo gag di lestarikan anak cucu kita gag bs menikmati kesenian ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *