Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) merupakan salah satu novel trilogi karya Ahmad Tohari, selain Jentera Bianglala dan Lintang Kemukus Dini Hari. Banyak pengamat bilang, RDP merupakan satu di antara sekian novel Indonesia mutakhir yang sangat kuat warna lokalnya. Ia menampilkan sisi-sisi kearifan lokal masyarakat desa yang masih sangat kental persentuhannya dengan alam. Gaya naratif Kang Tohari, demikian novelis yang tetap betah dan nyaman tinggal di kampung kelahirannya, desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah itu biasa disapa, agaknya sangat tepat mendeskripsikan keakraban masyarakat dukuh Paruk terhadap berbagai fenomena alam yang terjadi di sekelilingnya. Sangat beralasan apabila novel yang “eksotis” ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.
RDP tak bisa dilepaskan dari peran seorang Srintil yang dinilai mampu menggeliatkan semangat dukuh Paruk yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja. Pamornya makin cemerlang setelah ia dinobatkan menjadi seorang ronggeng. Konon, tanpa Srintil, dukuh Paruk akan merasa kehilangan jatidiri. Srintil mendadak menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua penduduk dari berbagai lapisan usia merasa memiliki ronggeng itu.
Namun, malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh para penguasa di penjara itu. Akan tetapi, pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Oleh karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Rasus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun.
Salah satu bagian yang menarik dalam RDP adalah deskripsi tentang prosesi “sakral” penahbisan Srintil sebagai ronggeng. Konon, untuk menjadi seorang ronggeng, Srintil harus melewati proses penobatan yang terkesan sakral dan mistis. Selain harus melakukan pemandian di pekuburan Ki Secamenggala, sesepuh yang dianggap sebagai “cikal bakal” dukuh Paruk, dia harus menjalani upacara bukak klambu; sebuah ritual sayembara “penyerahan” keperawanan kepada seorang lelaki. Berikut ini kutipannya.
Aku mengira upacara permandian di pekuburan itu adalah syarat terakhir sebelum seorang gadis sah menjadi ronggeng. Ternyata aku salah. Orang-orang Dukuh Paruk mengatakan bahwa Srintil masih harus menyelesaikan satu syarat lagi. Sebelum hal itu terlaksana, Srintil tak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran.
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.
“Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung!” pikirku.
Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula sakit hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu. Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanannya disayembarakan, hatiku panas bukan main. Celaka lagi, bukak-klambu yang harus dialami oleh Srintil sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapa pun tak bisa mengubahnya, apa pula aku yang bernama Rasus. Jadi dengan perasaan perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi.
Jauh-jauh hari Kartareja sudah menentukan malam hari Srintil harus kehilangan keperawanannya. Untuk itu Kartareja sendiri harus mengeluarkan biaya. Tiga ekor kambing telah dijualnya ke pasar. Dengan uang hasil penjualan itu dibelinya sebuah tempat tidur baru, lengkap dengan kasur bantal dan kelambu. Dalam tempat tidur ini kelak Srintil akan diwisuda oleh laki-laki yang memenangkan sayembara.
Sementara waktu suara calung lenyap dari Dukuh Paruk. Kartareja sedang giat membuat persiapan pelaksanaan malam bukak-klambu itu. Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersiar kabar tentang malam bukak-klambu bagi ronggeng Srintil. Orang-orang segera tahu pula, Kartareja menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi laki-laki yang ingin menjadi pemenang.
Ya, ya, sebuah ritual yang unik. Konon, ritual semacam itu dulu benar-benar sebuah peristiwa riil. Namun, lantaran dianggap kurang manusiawi, upacara penahbisan ronggeng melalui prosesi semacam itu akhirnya dilarang. Tiba-tiba saja, saya ingat seni pertunjukan rakyat yang ada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yakni tayub yang melibatkan ledhek sebagai “pemeran utama”, yang hingga kini masih eksis. Tayub Grobogan bisa dengan mudah disaksikan ketika ada warga yang punya hajat, entah itu khitan, nikah, selapanan bayi, atau hajat nazar yang lain.
Berbeda dengan ronggeng banyumasan sebagaimana yang tergambar dalam RDP, ledhek di Grobogan diterjuni oleh para pelakunya tanpa harus melalui ritual khusus yang bersifat mistis. Seperti layaknya profesi hiburan yang lain, ledhek diterjuni secara wajar-wajar saja oleh para pelakunya. Asal ada niat dan sanggup, meluncurlah mereka ke tengah-tengah masyarakat sebagai ledhek.
Ledhek, konon merupakan jarwa-dhosok dari “Elek ben angger gelem medhek-medhek” (biar jelek asal mau mendekat). Seperti kebanyakan ledhek di daerah Kabupaten Grobogan, modal kecantikan agaknya tak begitu penting, meski juga berpengaruh dalam hal pemasaran. Modalnya cukup dengan dandanan yang seronok dengan vokal yang lancar selama semalam suntuk ditambah dengan keberanian mendekati kaum lelaki.
Sebagai seni pertunjukan rakyat yang bercorak agraris, konon, dulu seni tayub hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar bagi warga desa yang kebetulan punya uni alias nazar. Masyarakat Grobogan meyakini adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, ada anggota keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah fatal yang lain. Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah ledhek untuk menolak musibah yang bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada Hyang Widhi atas niat dan maksudnya yang telah terkabul. Lama pertunjukan cukup singkat sekitar 1-2 jam. Konon, mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek itulah yang sanggup meredam segala musibah.
Dengan iringan gamelan yang mengalun, sang ledhek mulai mengucapkan matra dalam bentuk tembang. Ada suasana sakral di sana. Di tengah asap dupa yang membubung dengan segenap uba rapenya semacam ayam panggang, keris, onggokan pisang, ketupat, dan beras putih, sang ledhek tak henti-hentinya mengucapkan mantra sambil menyebar beras putih ke segala penjuru sebagai tulak balak: “…ana sengkala saka kulon tinulak bali mangulon. Sing nulak balak Raja Iman Slamet …” (ada musibah dari barat ditolak kembali ke barat. Yang menolak Raja Iman Selamat) ….” Byur! Beras putih disebar ke arah barat. Demikian seterusnya higga tujuh kali sesuai dengan arah yang disebutkan. Setelah sang ledhek selesai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang, tamatlah pertunjukan sebagai pertanda bahwa nazar telah dilaksanakan. Mereka yakin, musibah tak mungkin muncul sekaligus sang empunya nazar terhindari dari segala petaka.
Namun, seirama dengan perkembangan seni hiburan di daerah pelosok pedesaan, seni tayub kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan seremonial nazar, kini beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna, berganti suasana ingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang yang keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar klekar seperti hiburan lain pada umumnya.
Seni pertunjukan rakyat berbau hiburan agaknya akan terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakatnya agar tetap bisa eksis di tengah gempuran budaya global. Meski secara ritual, antara RDP dan Tayub Grobogan mengalami prosesi yang berbeda, tetapi secara kultural, seni pertunjukan rakyat ini memiliki fungsi yang (nyaris) sama, yakni sebagai klangenan (hiburan) masyarakat agraris di tengah-tengah rutinitas keseharian. Mungkin ada benarnya kalau ada orang yang bilang bahwa pada dasarnya setiap masyarakat memiliki naluri untuk menemukan katharsis dan pencerahan jiwa melalui seni pertunjukan yang dianggap mampu memenuhi hasrat emosi dan spiritualnya. Begitukah? ***
Sebenarnya, kesenian lokal awalnya sangat kental dengan suasana spritual yang membawa misi dakwah, entah kenapa, kian sirna. Inilah Akhir zaman, tanda dimana semua nilai positif telah hilang karena dunia akan segera sirna dan luluh lantak
itulah dinamika seni pertunjukan rakyat, mas. selalu terjadi perubahan dan pergeseran.
byuh byuh, jadi mbayangke apa yang terjadi ketika prosesi ‘wisuda’ ronggeng Srinthil itu tadi Pak.. hoho.. aneh2 ae wong jaman biyen, tapi bocah jaman saiki gak kalah aneh, melakukan ‘wisuda’ sebelum waktunya, sejak sangat dini sekali! 🙁
hehe …. sebentar lagi, mas dion menyusul diwisuda, ya, semoga lancar dan sukses, mas.
salam sobat
informasi yang bagus kawan
makasih ya nambah pengetahuan
salam juga, mas imtikhan. terima kasih atas apresiasinya.
Good posting mas sawali, nice info
terima kasih atas apresiasinya, mas, semoga tidak sekadar fast-reading bacanya, ya, hehe ….
waduh. ngeri banget ih. . .
bagian mana yang ngeri, mas?
kemasannya bagus sekali mas, salam kenal ya……..
salam kenal juga, mas, terima kasih kunjungannya.
Lain ladang tidak lain belalang… Antara Grobogan – Ngawi- Bojonegoro- Tuban dan Nganjuk , semuanya punya ciri khas kesenian ini Tayub alias Ledek atau dalam bahasa desa saya Kledek..
ya, ya, meski beda wilayah, jenis seni pertunjukan rakyatnya memang ada kemiripan, ya, mas pur.
Saya termasuk orang yang awam dengan kesenian traditional, jadi saya banyak belajar dengan membaca berbagai posting di blog anda yang banyak mengandung pesan2.
ndak apa2, mas harry. terima kasih telah berkenan utk selalu membaca postingan di blog ini, mas.
tentang RDP, tak bisa dibantah, itu adalah karya sastra yang sangat berkelas
ahmad tohadi adalah salah satu maestro dengan gaya kultural yang khas
soal ledhek atau tayub, di daerah kami ada kesenian semacam itu
orang-orang menyebutnya lengger
tapi banyak miripnya Kang..
sedj
alhamdulillah, sekarang kita bisa membaca beberapa bagian dalam RDP yang dulu sempat dimutilasi oleh penerbit, mas sedj.
masa kecil saya tinggal di perkampungan agraris, kurang lebih seperti apa yang dideskripsikan di sini. tayub sebagai pemenuhan emosional dan spiritual. Namun sekarang seiring perkembangan zaman, di kampung saya apa masih seperti itu atau sudah bergeser saya kurang tahu
oh, ya? meski tak se-orisinil dulu, mungkin seni pertunjukan tayub masih ada di berbagai wilayah, kang bud.
ada RDP kedua?! Secara keseluruhan memang mirip… Bagaimana hal itu (Ronggeng) dapat terulang kembali? Mungkin benar juga, inilah akhir zaman…
utk RDP cetakan terakhir lebih lengkap, mbak robiah. bagian2 yang dulu dimutilasi penerbit, sekarang bisa dibaca secara utuh dan lengkap.
yang sakral, menjadi biasa..
zaman kah yang harus disalahkan?
mungkin tidak harus menyalahkan zaman, mas garis, hehe … karena zaman termasuk keniscayaan sejarah yang ndak mungkin terelakkan.
yah.. sepertinya begitu.. 😀
dan saya pun pengen baca buku ini…
mangga, mas, edisi yang terbaru malah hadir lebih utuh dan lengkap!
Jadi penasaran saya, Pak, sama Ronggeng Dukuh Paruk ini, ingin membacanya….
silakan dicari, mas, mudah2an di perpustakaan sekolah dah ada RDP edisi terbaru.
amazing
Seperti ngliat kalo Mas Tohari Sendiri yang menulis tulisan review RDP nya pak, Manteb Tenan….
Baru tau kalo Ronggeng itu harus mandi di pekuburan, jadi cewek harus punya mental baja x ya?
soal budaya ya pak.. menurut ane seh apapun budaya nya yg terpenting adalah jangan sampai melanggar akidah islam yg sesungguhnya coz banyak juga budaya yg bertentangan dengan syariat islam
setuju banget, bos. makanya, kata yang lebih tepat bukan semata-mata melestarikan seni tradisional, melainkan mengembangkannya agar menjadi produk budaya yang lebih bermartabat.
maaf mas numpang promosi dulu gpp ya!
maaf mas numpang naur link ya
mangga, mas, terima kasih, insyaallah blog KM nanti akan saya taut di halaman link. kalau saya lupa diingatkan, ya, mas.
Ada kabar terbaru ni tentang gempa jepang
semoga tarian ini ga dijadiin inspirasi film horror Indonesia yang cabul banget
iya, mas, makin repot kalau seni pertunjukan rakyat terlalu mengeksploitasi hal2 “mesum” seperti itu, hiks.
mari kita jaga kebudayaan qt
ayoooo!
sangat menarik mas admin artikelnya…apakah boleh saya copas untuk posting di blog saya dan tetap mencantumkan sumbernya dari mas admin…????
mangga, silakan kalau mau di-kopas. terima kasih kalau berkenan men-share-nya.
Saya pernah membaca RDP waktu SMA dulu, Pak. Rebutan sama teman-teman dan memang yang dinanti-nanti adalah prosesi bukak klambu itu. Hahaha… Novel yang bagus dan layak untuk dibaca.
oh, ya? di mana2 ternyata adegan seperti itu larisnya melebihi pisang goreng, ya, mas arif, hehe ….
Menurut saya yang paling menarik adalah prosesi bukak klambu, sebuah ritual ataukah hanya sebagai alih alih pemuasan nafsu 🙂
alhamdulillah, “ritual” seperti akhirnya sdh tak ada lagi, mas, lantaran dianggap kurang manusiawi.
waduh. .piye itu gan???? hehehe
sangking kayanya bangsa qta akan budaya tuh. .
itulah sebabnya sebutan negeri multikultur ndak mungkin lagi terelakkan, mas.
Tradisi tayub, atau lebih sering di tempat saya disebut tayuban, hingga kini masih ada. Satu hal yang menarik untuk disampaikan di sini adalah ledhek tayub di tempat saya sering mendapat uang “sawer” dari lelaki yang ikut terjun ke area menari. Uang sawer yang disampaikan lelaki yang turut menari itu, umumnya dimasukkan lewat belah dada yang sedikit terbuka karena ledhek tayub umumnya memakai kebaya.
Salam kekerabatan.
itu dia yang sebenarnya ndak diperbolehkan, pak, hehe … perlu sentuhan kebijakan yang tegas tanpa melukai hati para penayub ketika mau memberikan saweran, hiks.
dek tempat menone namanya tayub…….. n byk org yg memandang miring para roggeng…. padahal mereka ga semuanya nakal ya ga sob?
salam persahabatan dr MENONE
bener, mas, tergantung dari pelaku seni itu sendiri.
Selamat berakhir pekan pa sawali.. 🙂
terima kasih, mas garis. semoga mas garis bisa menikmati akhir pekan dengan ceria, yak?
Pemainnya Orang2 dewasa pak ya..!
iya, mas, meski pertunjukan ini pada dasarnya bersifat terbuka dan bebas ditonton dari berbagai lapisan usia.
Keseniaan seperti ini layak dilestarikan pak.. terlepas dari aroma mistis, tp begitulah.. hampir setiap kesenian jawa memang seperti itu.
Maaf baru bisa berkunjung pak.. Salam
iya, pak fendik. semoga bisa dikembangkan menjadi seni pertunjukan rakyat yang mencerahkan, tidak lagi menonjolkan unsur erotisnya.
wah sangat bagus sekali artikelnya.. nice info kang
walah, biasa saja, mas. terima kasih atas kunjungan dan apresiasinya, ya.
salam blogging anda salam sahabat
saya beri judul nih
terima kasih kunjungan dan komentarnya, mas.
Saya jadi kepingin mbaca buku dongeng dukuh paruk itu loh.
Salam…
mangga, mas dicari. RDP edisi terbaru tampil dengan versi yang lebih utuh dan lengkap kok.
RDP dan Tayub Grobogan, ada pula tetangganya yaitu Tayub Sragenan ya pak, saya jadi teringat gending Sragenan yaitu “Kijing Miring” hehehe …
hehe … kalau di sragen sering disebut cokekan, pak. irama gamelannya cenderung rancak dan sedikit keras, hehe … “kijing miring” memang terkenal, pak.
jadi penasaran baca novelnya…
mangga dicari di toko buku. cerita pada edisi terbaru tampil lebih utuh dan lengkap.
saya baru baca RDP, belum baca yang dua.
bagus banget…
oh, ya? memang bagus, mbak, saya suka gaya naratif kang tohari.
Pernah baca novel Ronggeng Dukun Paruk, memang keren ….
oh, ya? novel yang satu ini memang ndak pernah membosankan meski dibaca berulang-ulang, mas ruby.
Mas bahs juga dong sintren yang juga asyiik kan.
sintren oke juga, kok, mas tri. sayangnya, saya belum memiliki rujukan yang jelas tentang seni pertunjukan rakyat ini. terima kasih masukannya.
Aku sudah membacanya sampai selesai, dan bahkan nonton filmnya di telebivi dulu. Tonggeng Dukuh Paruk memang bagus…:) Kang Tohari memang lihai menuangkan cerita rakyat dalam novel.
Salah satu novel terbaik tanah air. Saya membaca ini pertama kali semasa smp dulu, dan seingat saya ini adalah salah satu novel yang menjerumuskan saya hingga jadi suka baca karya sastra bagus.
keren banget……….
pernah baca thuuu….. bagusss N keren….
manteb gan<<<
SALAM RONGGENG
th 70an di desa saya sulursari sering saya mendengar dan bahkan melihat pertunjukan tayub untuk keperluan hjatan…lagu yang sering saya dengar adalah :…gandung gondorio ganduuuunng manuke sopo…manuk2 podang dst (saya lupa syirnya…)..th 2000an ini sudah jarang saya dengarkan dan merindukan melihat tayub kembali….tolong ya kalau ada yang pirso syair tembangnya dilanjutkan ..nuwun..sukses tuk tayub grobogan…